Peranan sekolah Katolik dalam mengembangkan kepedulian sosial remaja usia SMA

(1)

i

PERANAN SEKOLAH KATOLIK DALAM MENGEMBANGKAN KEPEDULIAN SOSIAL REMAJA USIA SMA

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Oktavianus Jeffrey Budiarto NIM: 061124018

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2013


(2)

(3)

(4)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada

Yang telah bersatu di surga, ayahku tercinta (Antonius Surahmin) beserta ibuku tercinta (Theresia Bartinah),

Orangtua angkatku Veronica Maridah dan Suparman, pendamping hidupku terkasih (Maria Wardayanti Perdani)

dan teman-teman seperjuanganku angkatan 2006 serta


(5)

v MOTTO

“Demi lebih besarnya kemuliaan nama Tuhan Ad Maiorem Dei Gloriam”


(6)

(7)

(8)

viii ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Peranan Sekolah Katolik Dalam Mengembangkan Kepedulian Sosial Remaja Usia SMA. Penulis memilih judul ini berdasarkan keprihatinan yang penulis lihat sehubungan dengan realitas kepedulian sosial remaja usia SMA dewasa ini. Banyak remaja usia SMA yang mengalami masalah dalam memenuhi tugas perkembangannya sebagai remaja untuk berintegrasi dengan masyarakat.

Sekolah Katolik sebagai perwujudan panggilan Gereja Katolik dalam dunia pendidikan haruslah menanggapi kebutuhan remaja usia SMA dalam berkembang sebagai manusia yang utuh. Remaja usia SMA perlu untuk dibantu dan difasilitasi. Maka, Gereja Katolik perlu hadir dalam dunia pendidikan sehingga remaja usia SMA sungguh terbantu dalam mengembangkan kepedulian sosial.

Persoalan skripsi ini adalah bagaimana Sekolah Katolik mengambil peranan yang strategis untuk mengembangkan kepedulian sosial pada diri remaja usia SMA. Sekolah Katolik berperan penting mengupayakan segala macam usaha melalui program-program kegiatan. Dengan program tersebut, tiga aspek kepedulian sosial pada diri remaja usia SMA yakni, aspek kesadaran, aspek kehendak dan aspek keterlibatan dapat dikembangkan lebih lanjut. Sekolah Katolik dapat menempuh pendidikan non-formal maupun formal dalam upaya itu. Lalu usaha yang seperti apa yang dapat dilakukan sekolah Katolik secara khusus dalam mengembangkan remaja usia SMA agar dapat berkembang menjadi pribadi yang utuh.

Dari pembahasan yang mendalam dari setiap bab, penulis yakin bahwa berbagai program kegiatan perlu diadakan sebagai wujud kerja sama antara pihak Sekolah Katolik dengan masyarakat untuk mengembangkan kepedulian sosial remaja usia SMA.


(9)

ix ABSTRACT

This thesis title is “The Role of Catholic School in Developing Social Awareness for Teeanagers in Senior High School. The writer has chosen this title based on concerns of awareness social reality that experienced by teenagers in senior high school. Many of them have problems in fulfilling devlopment tasks as individu to integrate with society.

Catholic school as the manifestation of Catholic Church calling in education have to respond the needs of teenagers in development as a full human being. The teenagers in senior high school are needed to be helped and facilitated in developing social awareness. Remembering Catholic Church has a big expectation to teeanagers who become the next generation.

The main point of this thesis is how Catholic School takes a strategic role to develop social awareness of teenagers in senior high school. Catholic school has an important role to make many social activities. Then, what kind of activities that can be done by Catholic School in developing teenagers in senior high school to grow as full human being.

From deep studies in every chapter, the writer is sure that activity program such as live in is needed to be held as the manifestation of collaboration between Catholic School and society to develop social awareness of teenagers in senior high school.


(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya yang berlimpah pada semua orang. Sebab atas rahmat-Nyalah maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul PERANAN SEKOLAH KATOLIK DALAM MENGEMBANGKAN KEPEDULIAN SOSIAL REMAJA USIA SMA.

Penulisan skripsi ini bertolak dari keprihatinan penulis dengan kondisi kepedulian sosial yang dialami remaja usia SMA. Gereja Katolik dalam dokumen Gravissimum Educationis (GE) telah menekankan pentingnya pendidikan manusia yang utuh dan memiliki kedewasaan kristiani. Agar remaja usia SMA mampu berkembang menjadi manusia yang utuh dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi maka Gereja Katolik hadir melalui sekolah-sekolah Katolik dalam rangka mengusahakan pengembangan kepedulian sosial.

Penulis menyadari bahwa proses penulisan skripsi ini dapat terselesaikan berkat bantuan, bimbingan, dukungan, motivasi dan doa dari banyak pihak. Oleh karena itu maka dari hati yang paling dalam penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Drs. FX. Heryatno WW., S. J., M. Ed., selaku Kaprodi IPPAK-USD yang telah mendukung dan memberi kesempatan kepada penulis untuk mempertanggungjawabkan skripsi ini.

2. Drs. H.J., Suhardiyanto, S. J., selaku Kaprodi IPPAK-USD (periode lalu) yang dengan segenap hati memberikan perhatian, doa dan menyemangati penulis agar segera menyelesaikan skripsi ini.


(11)

xi

3. Y.H. Bintang Nusantara, SFK., M.Hum, selaku dosen pembimbing utama penulis yang telah dengan sabar, setia, penuh perhatian, penuh semangat dan selalu berusaha menyediakan waktu dalam membimbing penulis. Beliau juga dengan sepenuh hati senantiasa memotivasi, mencintai dan menumbuhkan kepercayaan diri pada penulis.

4. Dra. Y. Supriyati, M. Pd., sebagai seorang ibu dan selaku dosen pembimbing akademik serta dosen penguji kedua dengan setulus hatinya membimbing, memberi perhatian, dan memberikan dukungan kepada penulis.

5. Yoseph Kristianto, SFK., M. Pd., sebagai seorang bapak dan selaku dosen penguji ketiga yang juga senantiasa memberi motivasi, dukungan, saran dan kritikan yang membangun bagi penulis baik dalam proses penulisan skripsi ini maupun selama menjalani kuliah di IPPAK.

6. Segenap dosen prodi IPPAK dan Staf karyawan yang selama ini telah mendidik dan mengajarkan banyak hal demi perkembangan iman dan juga kepribadian penulis. Mereka juga dengan setia membimbing dan mengarahkan penulis selama proses studi ini. Teciptanya hubungan kekeluargaan yang kental di IPPAK sehingga relasi yang akrab dapat terjalin antara dosen dan mahasiswa.

7. Ayahku Alm. Antonius Surahmin dan ibuku Alm. Theresia Bartina yang selalu menyemangati dan mendoakan penulis dari kebersamaan dengan Allah Bapa di surga.


(12)

xii

8. Spesial buat yang tercinta Maria Wardayanti Perdani yang selalu memberi motivasi dan penyemangat, terima kasih atas kesabaran, kasih sayang yang telah diberikan.

9. Sahabatku tercinta yang sama-sama berjuang Yuniarti Ninu, Lidia Angela Hiping dan Rosita Dangin, yang selalu memberikan semangat dan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Teman-teman seangkatan 2006-2013 yang telah meneguhkan dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.

11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang selama ini dengan ketulusan hati telah memberikan motivasi dan bantuan hingga terselesainya penulis skripsi ini.

Penulis menyadari keterbatasan dan kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis menerima segara kritik dan saran yang membangun demi perbaikan skripsi ini dengan terbuka dan lapang dada. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi siapa saja yang membutuhkannya.

Yogyakarta, 15 Agustus 2013 Penulis


(13)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .. ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO. ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penulisan ... 7

D. Manfaat Penulisan ... 8

E. Metode Penulisan ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II. Kepedulian Sosial Remaja Usia SMA dan Upaya Pengembangannya 10

A. Gambaran Umum Remaja Usia SMA ... 10

1. Pengertian Remaja Usia SMA ... 10

2. Tahap-tahap Perkembangan Remaja ... 12

a. Remaja Awal ... 12

b. Remaja Madya ... 13

c. Remaja Akhir ... 13

3. Tugas Perkembangan Remaja Usia SMA ... 13


(14)

xiv

a. Aspek Fisik ... 15

b. Aspek Emosi ... 16

c. Aspek Sosial ... 16

d. Aspek Inteligensi ... 17

e. Aspek Moral dan Religi ... 18

B. Gambaran Umum Kehidupan Sosial Remaja Usia SMA dan Masalah yang melingkupi ... 20

1. Kehidupan Sosial Remaja Usia SMA ... 20

a. Kehidupan sosial remaja dalam keluarga ... 20

b. Kehidupan sosial remaja dalam sekolah ... 20

c. Kehidupan sosial remaja dengan teman sebaya ... 22

d. Kehidupan sosial remaja dalam masyarakat ... 23

2. Masalah-masalah yang dihadapi remaja ... 23

a. Masalah remaja dalam keluarga ... 24

b. Masalah remaja dalam sekolah ... 24

c. Masalah remaja dengan teman sebaya ... 27

d. Masalah remaja dalam masyarakat ... 28

C. Pengembangan Kepedulian Sosial Remaja Usia SMA ... 29

1. Pengertian Kepedulian Sosial ... 30

2. Aspek-aspek Pengembangan Kepedulian Sosial ... 30

a. Aspek Kesadaran ... 30

b. Aspek Kehendak ... 33

c. Aspek Keterlibatan ... 34

3. Peranan Keluarga, Sekolah dan Masyarakat dalam Pengembangan Kepedulian sosial remaja usia SMA ... 35

a. Peranan Keluarga ... 35

b. Peranan Sekolah... 38

c. Peranan Masyarakat... 41

BAB III Sekolah Katolik dan Pengembangan Kepedulian Sosial……... 42


(15)

xv

1. Latar Belakang Gereja Katolik Terlibat dalam Dunia Pendidikan……. 42 2. Tujuan Pendidikan Menurut Gereja Katolik………....43 B. Pendidikan di Sekolah Sebagai Usaha Pengembangan Manusia Utuh 46 1. Visi dan Misi Sekolah dalam Pembentukan Karakter………. 46 2. Visi dan Misi Sekolah Katolik……….48 3. Tantangan Sekolah Katolik dalam Mengembangkan Visi Pendidikan

Karakter………. 51

C. Sekolah Katolik sebagai Sarana Pengembangan Kepedulian Sosial… 54 1. Sekolah Katolik sebagai Komunitas………54 2. Sekolah Katolik sebagai Pusat Mendidik……….. 57 3. Sekolah Katolik Mewujudkan Tujuan Sosial………. 58 4. Sekolah Katolik Sebagai Tempat Dan Sarana Pengembangan Kepedulian

Sosial ……… 60

D. Sekolah Katolik Mengembangkan Kepedulian Sosial Remaja Usia

SMA………... 61

1. Pendidikan Kepedulian Sosial dalam Pengajaran Formal……….. 62 2. Pendidikan Kepedulian Sosial dalam Pendidikan Non Formal………. 63

BAB IV Live In Sebagai Usaha Pengembangan Kepedulian Sosial Remaja Usia

SMA………... 68

A. Pengertian Live In dan Aspek-aspek Kepedulian Sosial yang

Dikembangkan……….………...68


(16)

xvi

2. Aspek-aspek Kepedulian Sosial yang dikembangkan Dalam Live In…. 68

a.Aspek Kesadaran………..……. 68

b.Aspek Kehendak……….…….. 69

c.Aspek Keterlibatan……….….. 70

B. Tahap-tahap Live In dalam Mengembangkan Kepedulian Sosial..……. 71

1. Tahap Mengalami……….. 71

2. Tahap Merefleksikan………. 73

3. Tahap Bertindak……… 74

4. Tahap Evaluasi………... 75

BAB V PENUTUP……… 76

A. Kesimpulan……….76

B. Saran………... 77


(17)

xvii

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Kitab Suci KS : Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti singkatan yang terdapat dalam daftar singkatan Alkitab Deuterokanonika (1995) terbitan Lembaga Alkitab Indonesia. B. Singkatan Dokumen Gereja

ASG : Ajaran Sosial Gereja GE : Gravissimum Educationis

KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici) KWI : Konferensi Waligereja Indonesia

C. Singkatan lainnya Art : Artikel Kan : Kanon

KWI : Konferensi Waligereja Indonesia KOMKAT: Komisi Kateketik


(18)

1

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Permasalahan

Pendidikan di sekolah sejatinya bukan hanya untuk menciptakan manusia dengan keahlian tinggi tetapi lebih dari itu, menumbuhkan manusia-manusia terpelajar yang memiliki kepedulian sosial. Inilah pendidikan yang terarah pada proses perubahan sosial menuju masyarakat dan dunia yang lebih baik. Pendidikan adalah instrumen untuk mencapai idealisme tersebut. Dengan demikian, pendidikan menemukan relevansinya sebagai kunci perubahan sosial. Maka, pendidikan di sekolah harus berhasil menumbuhkembangkan pribadi dan karakter siswa, sehingga di kemudian hari mereka siap hidup dalam masyarakat.. Keyakinan ini harus diwujudkan karena pendidikan berperan penting dalam upaya membangun kehidupan bersama yang diwarnai persaudaraan sejati, keadilan, solidaritas tanggungjawab dan kepedulian sosial.

Kepedulian sosial merupakan hal yang sangat penting dalam pendidikan bagi remaja usia Sekolah Menengah Atas. Pembangunan karakter akan bisa terlihat dan berhasil bila kemudian seorang siswa tidak hanya memahami nilai kepedulian sosial sebagai satu bentuk pengetahuan, namun juga menjadikannya sebagai bagian dari hidup dan secara sadar hidup berdasar pada nilai tersebut.


(19)

2

Sekolah Katolik telah lama dianggap sebagai sebuah lembaga pendidikan yang memiliki fokus terutama pada pengembangan intelektual, iman dan moral bagi siswanya. Pengembangan karakter di tingkat sekolah tidak bisa melalaikan pada tugas khas tersebut. Oleh karena itu, pendidikan karakter di sekolah katolik memiliki sifat bidireksional, yaitu pengembangan kemampuan intelektual dan kemampuan moral. Dua arah pengembangan ini diharapkan menjadi semacam idealisme bagi para siswa agar mereka semakin mampu mengembangkan ketajaman intelektual dan integritas diri sebagai pribadi yang memiliki karakter kuat.

Pendidikan karakter menjadi semakin mendesak untuk diterapkan dalam lembaga pendidikan kita mengingat adanya berbagai macam perilaku yang non-edukatif kini telah menyerambah dalam lembaga pendidikan kita, seperti fenomena kekerasan tawuran antar pelajar, sikap apatisme, sikap individualiastis, gaya hidup hedonis dan materialistis.

Sebagai suatu lembaga pendidikan, SMA Santa Ursula Bumi Serpong Damai melihat pentingnya membangun karakter siswa baik melalui proses pembelajaran di kelas maupun pelatihan keterampilan (Majalah Basis, 2007: 33). Tujuannya agar siswa memiliki tidak hanya pengetahuan tetapi juga keterampilan yang mampu menumbuhkembangkan mereka secara optimal.

Hasil belajar dari suatu proses pendidikan nilai tidak mudah diukur seperti halnya kita mengukur hasil belajar Fisika atau Bahasa Indonesia. Keberhasilan pembangunan watak siswa tidak murni hanya berasal dari pendidikan yang diberikan di sekolah karena siswa itu sendiri juga berproses baik di dalam keluarga maupun


(20)

3

lingkungannya. Sebagai satu lembaga pendidikan, Santa Ursula BSD menjadi satu sarana bagi siswa untuk belajar dan berproses menjadi manusia yang berwatak.

Karakter suatu sekolah juga merupakan suatu hasil pembentukan dari proses yang terus berkesinambungan mulai dari visi pendiri sekolah tentang pembentukan sekolah tersebut. Proses pendidikan yang dilakukan pada dasarnya mengajarkan dua pengetahuan atau keterampilan, yaitu yang tergolong sebagai hard skill (ilmu pengetahuan) dan soft skill. Hard skill adalah pengetahuan atau keterampilan dalam bidang-bidang akademis yang bersifat objektif seperti matematikan, pengetahuan tentang bahasa, ilmu-ilmu pengetahuan alam dan juga ilmu-ilmu pengetahuan sosial. Sementara soft skill adalah pengetahuan atau ketrampilan dalam bidang-bidang non-akademik atau yang bersifat subjektif seperti kesenian, budi pekerti serta pendidikan nilai-nilai.

Pelatihan social awareness diberikan kepada siswa kelas X SMA dengan tujuan untuk meningkatkan keterampilan siswa dalam menganalisis permasalahan sosial yang ada di sekitar mereka. Selain itu, melalui pelatihan ini siswa juga diajak untuk menjadi lebih peduli dan peka melihat permasalahan sosial yang ada. Ada beberapa nilai yang bisa dipelajari dalam pelatihan social awareness, antara lain nilai solidaritas dan tanggungjawab, dimana siswa diharapkan mampu mengembangkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan mereka dan menjadikannya bagian dari proses pembentukan karakter mereka masing-masing. Dengan demikian, siswa diharapkan pada saatnya nanti mampu bertindak berdasarkan nilai-nilai yang diyakininya baik.


(21)

4

Tanpa pendidikan karakter, kita membiarkan campur aduknya kejernihan pemahaman akan nilai-nilai moral dan sifat ambigu yang menyertainya, yang pada gilirannya menghambat para siswa untik dapat mengambil keputusanyang memiliki landasan moral yang kuat. Pendidikan karakter akan memperluas wawasan para pelajar tentang nilai-nilai moral dan etis yang membuat mereka semakin mampu mengambil keputusan yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam konteks ini, pendidikan karakter yang diterapkan dalam lembaga pendidikan kita bisa menjadi salah satu sarana pembudayaan dan pemanusiaan. Kita ingin menciptakan sebuah lingkungan hidup yang menghargai hidup manusia, menghargai keutuhan dan keunikan ciptaan, serta menghasilkan sosok pribadi yang memiliki kemampuan intelektual dan moral yang seimbang sehingga masyarakat akan menjadi semakin manusiawi.

Pendidikan karakter bukan sekadar memiliki dimensi integratif, dalam arti, mengukuhkan moral intelektual anak didik sehingga menjadi pribadi yang kokoh dan tahan uji, melainkan juga bersifat kuratif secara personal maupun sosial. Pendidikan karakter bisa menjadi salah satu sarana penyembuh penyakit sosial. Pendidikan karakter menjadi sebuah jalan keluar bagi proses perbaikan dalam masyarakat kita. Situasi sosial yang ada menjadi alasan utama agar pendidikan karakter segera dilaksanakan dalam lembaga pendidikan kita. Mulyadi Waseso (1986: 133) mengutip pernyataan Brooks dan Goble yang menyatakan bahwa “Pendidikan karakter yang secara sistematis diterapkan dalam pendidikan dasar dan menengah merupakan sebuah daya tawar berharga bagi seluruh komunitas. Para siswa mendapatkan


(22)

5

keuntungan dengan memperoleh perilaku dan kebiasaan positif yang mampu meningkatkan rasa percaya dalam diri mereka, membuat hidup mereka lebih bahagia dan lebih produktif.”

Tugas-tugas guru menjadi lebih ringan dan lebih memberikan kepuasan ketika para siswa memiliki disiplin yang lebih besar di dalam kelas. Orang tua bergembira ketika anak-anak mereka belajar untuk menjadi lebih sopan, memiliki rasa hormat dan produktif. Para pengelola sekolah akan menyaksikan berbagai macam perbaikan dalam hal disiplin, kehadiran, beasiswa, pengenalan nilai-nilai moral bagi siswa maupun guru, demikian juga berkurangnya tindakan vandalisme di dalam sekolah.

Memasuki abad ke-21 banyak pendidik ingin menekankan kembali hadirnya pendidikan budi pekerti, untuk memprmosikan nilai-nilai positif bagi anak-anak muda dalam kaitannya dengan merebaknya perilaku kekerasan dalam masyarakat. Mulyadi Wasesa (1986: 113) mengindikasikan bahwa, “...kejahatan dan bentuk -bentuk lain perilaku tidak bertanggungjawab telah meningkat dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan dan telah merember menembus berbagai macam aspek kehidupan sehari-hari dan telah menjadi proses reproduksi sosial.” Masyarakat kita sedang berada dalam ancaman tindak kekerasan, vandalisme, kejahatan di jalan, adanya geng-geng jalanan, anak-anak yang kabur dari sekolah/bolos (truancy), kehamilan di kalangan anak-anak muda, bisnis hitam (business fraud), korupsi para politisi, kehancuran dalam kehidupan rumah tangga, hilangnya rasa hormat pada orang lain, dan memupusnya etika profesi.”


(23)

6

Pendidikan diperlukan sebagai sebuah sarana yang mampu membentuk manusia secara utuh meliputi jasmani maupun rohani. Pembentukan kepribadian ini harus bisa ditata dengan baik, dan disesuaikan dengan jenjang pendidikan yang ada. Pada kenyataannya, pendidikan yang harusnya digunakan sebagai wahana penempaan karakter hanya mengedepankan transfer of learning dalam penyampaian materi-materi pelajaran dan masih mengesampingkan pembentukan sikap dan perilaku peserta didik yang menjadi unsur penting dalam pembentukan karakter peserta didik di Indonesia (Zubaedi, 2012: 87).

Untuk memiliki kepedulian sosial, sekolah katolik sebagai lembaga pendidikanperlumemiliki visi menumbuhkankembangkan kepedulian sosial terhadap sesama dan lingkungan demi mewujudkan semangat kekeluargaan dan persaudaraan. Sekolah Katolik perlu mengusahakan lulusan yang beriman mendalam, berkepribadian utuh, mampu merefleksikan imannya dan berkualitas untuk mengembangkan dan membentuk peserta didik menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan berkualitas sehingga mampu memilih nilai-nilai hidup yang sesuai hati nurani. Sekolah Katolik perlu mendampingi peserta didik agar pada waktunya nanti mampu menjadi remaja mandiri, berkarier yang cakap, berdedikasi tinggi bagi kemajuan bangsa, negara, gereja berdasarkan visi dan nilai-nilai kristiani.

Peserta didik di SMA yang merupakan kaum remaja perlu mendapatkan perhatian khusus dalam pendidikan di sekolah agar memiliki kesadaran, kehendak dan keterlibatan dalam kehidupan sosialnya di tengah masyarakat. Dalam hal ini


(24)

7

sekolah katolik perlu membantu remaja usia SMA melalui program kegiatan yang sesuai.

Berdasarkan pemikiran yang telah diuraikan diatas dan terdorong oleh keprihatinan pentingnya pendidikan yang bervisi sosial atau juga pentingnya kepedulian sosial dalam kehidupan jaman ini, maka penulis menyusunskripsi dengan judul Peranan Sekolah Katolik Dalam Mengembangkan Kepedulian Sosial Remaja usia Sekolah Menengah Atas.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dapat diidentifikasikan masalah skripsi sebagai berikut :

1. Apakah yang dimaksud dengan kepedulian sosial?

2. Bagaimanakah perkembangan kepedulian sosial pada remaja? 3. Apakah yang dimaksud dengan sekolah katolik?

4. Bagaimanakah peranan sekolah katolik dalam mengembangkan kepedulian sosial remaja usia SMA?

5. Usaha apa yang dapat membantu mengembangkan kepedulian sosial remaja usia SMA?

C.Tujuan Penulisan

1. Mampu memahami tentang arti Sekolah Katolik dan kepedulian sosial.

2. Mampu memahami peranan Sekolah Katolik dalam usaha mengembangkan kepedulian sosial.


(25)

8

3. Menunjukkan peranan Sekolah Katolik terhadap perkembangan kepedulian sosial remaja usia SMA.

4. Untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar sarjana S1 Pendidikan Agama Katolik.

D.Manfaat Penulisan

1. Supaya penulis memiliki pengalaman, pengetahuan dan wawasan dalam penulisan ilmiah.

2. Memberikan sumbangan gagasan akan peranan Sekolah Katolik dalam mengembangkan kepedulian sosial remaja usia SMA.

3. Sebagai bahan refleksi dalam usaha menumbuhkembangkan kepedulian sosial remaja usia SMA untuk ambil bagian dalam mengurangi permasalahan yang terjadi di masyarakat sekitarnya.

4. Sebagai masukan bagi Gereja Katolik bahwa Sekolah Katolik memiliki peranan dalam mengembangkan kepedulian sosial siswi terhadap realitas kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.

E.Metode Penulisan

Metode yang dipakai penulis adalah dengan kajian studi pustaka. Penulis dalam skripsi ini menggunakan buku-buku acuan yang berkaitan dengan pendidikan karakter, psikologi perkembangan dan dokumen Gravissimum Educationis (GE)


(26)

9

sebagai acuan untuk memahami kepedulian sosial dan sekolah katolik. Dari buku dan dokumen tersebut akan disimpulkan adanya peranan Sekolah Katolik terhadap kepedulian sosial remaja usia SMA.

F. Sistematika Penulisan

Pada Bab pertama merupakan pendahuluan. Pada bagian ini, penulis memaparkan mengenai latar belakang permasalahan, rumusan permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

Pada Bab kedua, penulis menguraikan kepedulian sosial remaja usia SMA dan upaya pengembangannya meliputi: Gambaran Umum Kehidupan Remaja Usia SMA, Gambaran Umum Kehidupan Sosial Remaja Usia SMA dan Masalah yang Melingkupi, Pengembangan Kepedulian Sosial bagi Remaja Usia SMA.

Pada Bab ketiga, penulis menguraikan tentang Panggilan Gereja Dalam Dunia Pendidikan, Pendidikan di Sekolah Sebagai Usaha Pengembangan Manusia Yang Utuh Sekolah Katolik Sebagai Sarana Pengembangan Kepedulian Sosial, Usaha Sekolah Katolik Mengembangkan Kepedulian Sosial Siswa SMA.

Pada Bab empat, penulisan menguraikan pengembangan langkah-langkah untuk menyelenggarakan program live in untuk mengembangkan kepedulian sosial remaja usia SMA meliputi: pengertian, tujuan, dan langkah-langkah yang perlu untuk dibuat.

Pada Bab lima merupakan penutup, pada bagian ini penulis memaparkan mengenai kesimpulan dan saran.


(27)

BAB II

KEPEDULIAN SOSIAL REMAJA USIA SMA DAN UPAYA PENGEMBANGANNYA

A. Gambaran Umum Remaja Usia SMA 1. Pengertian Remaja Usia SMA

Istilah remaja berasal dari kata dalam bahasa Latin adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescence, seperti yang dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Dalam hal ini menurut Jean Piaget, dalam Elizabeth Hurlock (1980: 206) mengatakan :

Secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak....Integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek efektif kurang lebih berhubungan dengan masa puber. Termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok. Transformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja ini memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan ini.

Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa remaja merupakan masa dimana individu sedang berproses dalam pertumbuhan menjadi dewasa dan sedang berusaha menempatkan diri dalam integrasi dengan masyarakat. Proses ini mengarah pada pencapaian hubungan sosial dengan orang dewasa dalam masyarakat.


(28)

Sarlito W. Sarwono (1991: 9) mengutip pernyataan WHO (World Health Organization) pada tahun 1974, tentang definisi remaja yang bersifat konseptual. Secara biologis remaja adalah suatu masa dimana individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual. Usia 11 tahun adalah usia dimana pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai nampak. Sementara itu, secara psikologis individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa. Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa seperti tercapainya identitas diri tercapainya fase genital dari perkembangan psikoseksual dan tercapainya puncak perkembangan konitif maupun moral.

Menurut Sarlito W. Sarwono (1991: 14-15) mendefinisikan remaja untuk masyarakat Indonesia sulit karena Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, adat dan tingkatan sosial-ekonomi maupun pendidikan. Tidak ada profil remaja Indonesia yang seragam dan berlaku secara nasional. Walaupun demikian, sebagai pedoman umum kita dapat menggunakan batasan usia 11-24 tahun dan belum menikah untuk remaja Indonesia dengan pertimbangan antara lain secara fisik usia 11 tahun sudah dianggap akil balik dan pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai nampak. Dengan begitu, secara sosial, di banyak masyarakat di Indonesia, mereka tidak lagi diperlakukan sebagai anak-anak.

Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal, yaitu untuk memberi peluang bagi mereka yang sampai batas usia tersebut masih menggantungkan diri pada


(29)

orangtua, belum mempunyai hak-hak penuh sebagai orang dewasa. Dengan kata lain, orang-orang yang sampai batas usia 24 tahun belum dapat memenuhi persyaratan kedewasaan sosial maupun psikologis, masih dapat digolongkan sebagai remaja. Di Indonesia sendiri, individu yang duduk di bangku SMA adalah mereka yang rata-rata berusia 15-17 tahun, sehingga dapat disimpulkan bahwa remaja usia SMA adalah individu yang dalam usia 15-17 tahun yang sedang bertumbuh menjadi dewasa dan dalam masa berintegrasi yang mengarah pada hubungan sosial dengan masyarakat.

2. Tahap – tahap Perkembangan Remaja

Dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, ada tiga tahap perkembangan remaja (Sarwono, 2010: 110-112), yakni remaja awal (early adolescent), remaja madya (middle adolescent) dan remaja akhir (late adolescent). Tahap-tahap tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Remaja awal (early adolescent)

Pada tahap remaja awal, seorang remaja masih terheran-heran akan perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan - dorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis, dan mudah terangsang secara erotis. Dengan dipegang bahunya saja oleh lawan jenis ia sudah berfantasi erotik. Kepekaan yang berlebih-lebihan ini ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap ego menyebabkan para remaja awal ini sulit dimengerti orang dewasa.


(30)

b. Remaja madya (middle adolescent)

Sementara dalam tahap remaja madya (middle adolescent) remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau banyak teman yang mengakuinya. Ada kecenderungan narsistis yaitu mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang sama dengan dirinya, selain itu, ia berada dalam kondisi kebingungan karena tidak tahu memilih yang mana peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimistis atau pesimistis, idealis atau materialis, dan sebagainya. Remaja usia SMA berada dalam tahap ini.

c. Remaja akhir (late adolescent).

Pada tahap remaja akhir (late adolescent), remaja mengalami masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal, yaitu: Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek, egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan dalam pengalaman- pengalaman baru, terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi, egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain dan tumbuh ”dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum.

3. Tugas Perkembangan Remaja Usia SMA

Menurut Robert Havighrust dalam Adam & Gullota (1983: 86) periode yang beragam dalam kehidupan individu menuntut untuk menuntaskan tugas-tugas perkembangan yang khusus. Tugas-tugas ini berkaitan erat dengan perubahan


(31)

kematangan, persekolahan, pekerjaan, pengalaman beragama, dan hal lainnya sebagai prasyarat untuk pemenuhan dan kebahagiaan hidupnya. Selanjutnya Havighrust mengartikan tugas-tugas perkembangan itu sebagai “A developmental ta sk is a task which arises at or about a certain period in the life of the individual, successful achievement of which leads to his happiness and to success with later task, while failure leads to unhappiness in the individual, disapproval by society and difficulty with later task.”

Maksudnya, bahwa tugas perkembangan itu merupakan suatu tugas yang muncul pada periode tertentu dalam rentang kehidupan individu, yang apabila tugas itu dapat berhasil dituntaskan akan membawa kebahagiaan dan kesuksesan dalam menuntaskan tugas-tugas berikutnya. Sementara apabila gagal, maka akan menyebabkan ketidakbahagiaan pada diri individu yang bersangkutan, menimbulkan penolakan masyarakat, dan kesulitan-kesulitan dalam menuntaskan tugas-tugas berikutnya.

Tugas-tugas perkembangan ini berkaitan dengan sikap, perilaku, atau keterampilan yang seyogianya dimiliki oleh individu, sesuai dengan usia atau fase

perkembangannya. Elizabeth Hurlock (1980: 209) menyebut tugas-tugas

perkembangan ini sebagai social expectations. Dalam arti, setiap kelompok budaya mengharapkan anggotanya menguasai keterampilan tertentu yang penting dan memperoleh pola perilaku yang disetujui bagi berbagai usia sepanjang rentang kehidupan.


(32)

Setiap individu tumbuh dan berkembang selama perjalanan kehidupannya melalui beberapa periode atau fase-fase perkembangan. Setiap fase perkembangan mempunyai serangkaian tugas perkembangan yang harus diselesaikan dengan baik oleh setiap individu. Sebab, kegagalan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan pada fase tertentu akan memperlancar pelaksanaan tugas-tugas perkembangan pada fase berikutnya.

4. Aspek – aspek Perkembangan Remaja Usia SMA a. Aspek fisik

Masa remaja adalah masa seorang anak mengalami pubertas. Masa pubertas ini akan sangat tampak bermula dari pada perubahan fisik yang relatif cepat, pertambahan berat tinggi badan yang dramatis, perubahan bentuk tubuh, dan perkembangan karakteristik seksual seperti pembesaran buah dada, perkembangan pinggang dan kumis, dan dalamnya suara. Anak usia remaja perempuan maupun laki-laki akan sama-sama mengalami masa ini. Pada perkembangan primer mereka yang meliputi kematangan seksual, mereka mengalami ketertarikan pada lawan jenis karena organ reproduksinya yang sedang tumbuh (Gunarsa, 1994: 16).

Dalam membahas aspek fisik, Hurlock (1980: 207) mengutip Tanner yang mengatakan “Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental terutama pada masa awal remaja. Semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat baru”.


(33)

b. Aspek emosi

Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode “storm and stress” atau “badai dan tekanan”, suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Hurlock (1980: 212) mengungkapkan meningginya emosi terutama karena remaja berada di bawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru, sedangkan selama masa kanak-kanak ia kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan-keadaan itu.

Tidak semua remaja mengalami masa badai dan tekanan. Namun benar juga bila sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru. Misalnya masalah yang berhubungan dengan percintaan merupakan masalah yang pelik pada periode ini. bila kisah cinta berjalan lancar, remaja merasa bahagia, tetapi mereka menjadi sedih bilamana percintaan kurang lancar. Meskipun emosi remaja seringkali sangat kuat, tidak terkendali dan tampaknya irasional, tetapi Hurlock (1980: 213) mengatakan pada umumnya dari tahun ke tahun terjadi perbaikan perilaku emosional.

c. Aspek sosial

Dari aspek sosial, remaja pada umumnya mengalami „krisis identitas.‟ Menurut pandangan Erickson dalam Elizabeth Hurlock (1980: 208) “Identitas yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya? Apa peranannya dalam


(34)

masyarakat? Apakah ia seorang anak atau seorang dewasa?” Hal ini menimbulkan masalah identitas-ego pada remaja.

Gejolak emosi remaja dan masalah remaja lain pada umumnya disebabkan antara lain oleh adanya konflik peran sosial. Di satu pihak ia sudah ingin mandiri sebagai orang dewasa, di lain pihak ia masih harus terus mengikuti kemauan orang tua. Dalam hal ini Sarlito W. Sarwono (1991: 86) mengungkapkan bahwa konflik peran sosial yang dapat menimbulkan gejolak emosi dan kesulitan-kesulitan lain pada masa remaja dapat dikurangi dengan memberi latihan-latihan agar anak dapat mandiri sedini mungkin. Dengan kemandiriannya anak dapat memilih jalannya sendiri dan ia akan berkembang lebih mantab. Oleh karena ia tahu dengan tepat saat-saat yang berbahaya dimana ia harus kembali berkonsultasi dengan orangtuanya atau dengan orang dewasa lain yang lebih tahu dari dirinya sendiri.

d. Aspek Inteligensi

Sarlito W. Sarwono (1991: 76) mengutip pendapat David Wechsler yang mengartikan inteligensi sebagai “keseluruhan kemampuan individu untuk berpikir dan bertindak secara terarah serta mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif.” Jadi, inteligensi memang mengandung unsur pikiran atau ratio. Makin banyak unsur ratio yang harus digunakan dalam suatu tindakan atau tingkah laku, makin berinteligensi tingkah laku tersebut. Ukuran inteligensi dinyatakan dalam IQ (Intelligence Quotient).


(35)

Pada usia remaja IQ dihitung dengan cara memberikan seperangkat pertanyaan yang terdiri dari berbagai soal (hitungan, kata-kata, gambar-gambar, dan lain-lain) dan menghitung berapa banyaknya pertanyaan yang dijawab dengan benar dan membandingkannya dengan sebuah daftar dan didapatlah nilai IQ yang bersangkutan.

Gunarsa (1982: 146-161) mengutip teori Piaget mengenai perkembangan kognitif yang mengatakan “Dalam usia remaja dan seterusnya seseorang sudah mampu berpikir abstrak dan hipotetis. Pada tahap ini ia bisa memperkirakan apa yang mungkin terjadi.” Tahap ini disebut juga sebagai masa formal-operasional. Dengan berpikir abstrak, remaja mulai memproyeksikan dirinya kepada nilai-nilai kehidupan yang bersifat universal. Dengan nilai tersebut, remaja berjuang dengan pengalaman hidupnya agar mencapai internalisasi diri atau penyatuan nilai tersebut dengan dirinya.

e. Aspek Moral dan Religi

Moral dan religi merupakan bagian yang cukup penting dalam jiwa remaja. Sebagian orang meyakini bahwa moral dan religi bisa mengendalikan tingkah laku anak yang beranjak dewasa sehingga tidak melakukan hal-hal yang merugikan atau bertentangan dengan kehendak atau pandangan masyarakat. Di sisi lain, tiadanya moral dan religi ini dituding sebagai faktor penyebab meningkatnya kenakalan remaja.


(36)

Menurut Sarlito W. Sarwono (1991: 91), religi adalah kepercayaan terhadap kekuasaan suatu zat yang mengatur alam semesta ini yang juga adalah sebagian dari moral, sebab dalam moral sebenarnya diatur segala perbuatan yang dinilai baik sehingga suatu perbuatan yang dinilai tidak baik perlu dihindari. Agama, oleh karena mengatur juga tingkah laku baik-buruk, secara psikologis termasuk dalam moral. Untuk remaja, moral merupakan suatu kebutuhan tersendiri oleh karena mereka sedang dalam keadaan membutuhkan pedoman atau petunjuk dalam rangka mencari jalannya sendiri. pedoman atau petunjuk ini dibutuhkan juga untuk menumbuhkan identitas dirinya, menuju kepribadian matang dengan “unifying philosophy of life” dan menghindarkan diri dari konflik-konflik peran yang selalu terjadi dalam masa transisi ini.

Bagi remaja, agama memiliki arti yang sama pentingnya dengan moral. Bahkan, sebagaimana dijelaskan oleh Sarlito W. Sarwono (1991: 93), agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya. Agama dapat menstabilkan tingkah laku dan bisa memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada di dunia ini. Agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari eksistensi dirinya. Dibandingkan dengan masa awal anak-anak misalnya, keyakinan agama remaja telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada masa awal anak-anak ketika mereka baru memiliki kemampuan berpikir simbolik. Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada di awan, maka pada masa remaja mereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam


(37)

tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman remaja terhadap keyakinan agama ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.

B.Gambaran Umum Kehidupan Sosial Remaja Usia SMA dan Masalah Yang Melingkupi

1. Kehidupan Sosial Remaja Usia SMA

Kehidupan sosial remaja akan nampak dalam interaksi di keluarga, sekolah dan masyarakat Sarlito W. Sarwono (1991: 112). Setiap interaksi akan mempengaruhi remaja usia SMA seperti diuraikan di bawah ini :

a. Kehidupan sosial remaja dalam keluarga

Kiranya tidak dapat dielakkan bahwa keluarga merupakan lingkungan primer hampir setiap individu. Menurut sebagai lingkungan primer, hubungan antar manusia yang paling intensif dan paling awal terjadi dalam keluarga. Sebelum seorang anak mengenal lingkungan yang lebih luas, ia terlebih dahulu mengenal lingkungan keluarganya. Karena itu sebelum ia mengenal norma-norma dan nilai-nilai dari masyarakat umum, pertama kali ia menyerap norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam keluarganya untuk dijadikan bagian dari kepribadiannya.

Tidak mengherankan jika nilai-nilai yang dianut oleh orangtua akhirnya juga dianut oleh remaja. Tidak mengherankan pula bila ada pendapat yang menyatakan bahwa segala sifat negatif yang ada pada anak sebenarnya ada pula pada orang


(38)

tuanya. Bukan semata-mata karena faktor bawaan atau keturunan, akan tetapi karena proses pendidikan, proses sosialisasi dan proses identifikasi.

b. Kehidupan sosial remaja di sekolah

Bagi remaja usia SMA, sekolah adalah lingkungan pendidikan sekunder. Lingkungan yang hampir setiap hari dimasukinya selain lingkungan rumah adalah lingkungan sekolah. Remaja usia SMA umumnya menghabiskan waktu sekitar 7 jam sehari di sekolahnya. Ini berarti bahwa hampir sepertiga dari waktunya setiap hari dilewatkan remaja di sekolah. Tidak mengherankan kalau pengaruh sekolah terhadap perkembangan jiwa remaja cukup besar (Sarwono, 1991: 123-125).

Pengaruh sekolah itu tentunya diharapkan positif terhadap perkembangan jiwa remaja, karena sekolah adalah lembaga pendidikan. Sebagai lembaga pendidikan, sebagaimana halnya dengan keluarga, sekolah juga mengajarkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat di samping mengajarkan berbagai keterampilan dan kepandaian kepada para siswanya.

Pelbagai kegiatan di sekolah diikuti remaja dan dengan meluasnya kesempatan untuk melibatkan diri dalam pelbagai kegiatan sosial, maka wawasan sosial semakin membaik pada remaja. Semakin banyak partisipasi sosial, maka semakin besar kompetensi sosial remaja. Dengan demikian remaja memiliki kepercayaan diri yang diungkapkan melalui sikap yang tenang dan seimbang dalam situasi sosial.

Sosialisasi remaja di sekolah pada umumnya terjadi atas dasar minat dan aktivitas bersama. Hubungan persahabatan dan hubungan peergroup di sekolah


(39)

bersifat timbal balik dan biasanya diantara sesama anggota kelompok ada saling pengertian, saling membantu, saling percaya dan saling menghargai serta menerima satu sama lain.

c. Kehidupan sosial remaja usia SMA dengan teman sebaya

Selama masa pertengahan dan akhir, biasanya remaja lebih banyak meluangkan waktunya dalam berinteraksi dengan teman sebaya. Dalam suatu investigasi, diketahui bahwa waktu yang digunakan untuk remaja-remaja berinteraksi dengan teman sebayanya sebanyak 40 persen per tahun.

Tahap masa remaja akhir (late adolescent) sering disebut sebagai ”usia berkelompok” (gang), karena pada masa ini ditandai dengan adanya minat terhadap aktivitas teman-teman dan meningkatnya keinginan yang kuat untuk diterima sebagai anggota kelompok di sekolahnya. Ia merasa tidak puas bila tidak bersama teman-temannya. Remaja tidak lagi puas bermain sendiri di rumah atau dengan saudara kandung atau melakukan kegiatan dengan anggota keluarga. Remaja ingin bermain bersama teman-teman sekolahnya dan akan merasa kesepian serta tidak puas bila tidak bersama teman-temannya tersebut.

Apa yang dilakukan bersama teman-temannya? Dalam suatu penelitian yang dilakukan untuk mengetahui tentang bagaimana aktivitas remaja, diketahui bahwa umumnya remaja-remaja masa akhir melakukan kegiatan olah raga, jalan-jalan, permainan dan sosialisasi yang merupakan kegiatan yang paling sering dilakukan. Pada saat mereka melakukan kegiatan biasanya anggota kelompok


(40)

terdiri dari teman yang sama jenis kelaminya daripada diantara remaja-remaja yang berbeda jenis kelaminnya.

Pada tahap remaja akhir (late adolescent) mereka telah menjalin persahabatan dengan teman sebaya dan mulai memasuki usia gang, yaitu usaha yang pada saat itu kesadaran sosial berkembang pesat dan telah menjadi pribadi sosial yang merupakan salah salah satu tugas perkembangan yang utama dalam periode ini.

d. Kehidupan sosial remaja di masyarakat

Seorang anak remaja tidak hanya hidup di dalam keluarga, sekolah atau diantara teman sebayanya, mau tidak mau seorang remaja secara otomatis merupakan bagian dari masyarakat. Remaja harus belajar bagaimana terlibat dalam masyarakat, berinteraksi dengan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Dalam interaksi dengan masyarakat, seorang remaja harus belajar beradaptasi dengan mengakui dan menghormati terhadap hak-hak orang lain, memelihara jalinan persahabatan dengan orang lain, bersikap simpati dan altruis terhadap kesejahteraan orang lain dan bersikap respek terhadap nilai-nilai, hukum, tradisi, dan kebijakan-kebijakan masyarakat (Schneiders, 1964: 452-460).

2. Masalah-masalah yang dihadapi remaja dalam kehidupan sosial

Menurut Kurt Lewin dalam Sarwono (1991: 128) pada gilirannya remaja akan dihadapkan kepada berbagai pilihan yang tidak jarang menimbulkan pertentangan batin di dalam diri remaja itu sendiri. Bagi remaja pertentangan tersebut menjadi masalah yang cukup penting dan berpengaruh besar. Pertentangan batin itu bisa


(41)

berupa “konflik” yang ada beberapa macam, yaitu masalah yang dihadapi di dalam keluarga, sekolah, teman sebaya dan masyarakat. Masalah-masalah tersebut dapat dijabarkan seperti berikut ini :

a. Masalah-masalah yang dihadapi remaja dalam keluarga

Meluangkan waktu sejenak untuk berkumpul bersama keluarga merupakan hal kecil yang mempengaruhi perkembangan remaja diluar karena pada saat seperti inilah masing-masing anggota keluarga menceritakan masalah kepada orang tua atau orang yang lebih tua di dalam keluarga tersebut demi mendapat sebuah solusi yang benar .

Remaja melakukan hal negatif adalah karena jarangnya meluangkan waktu untuk berkumpul bersama keluarga dengan alasan orang tua bekerja dan sibuk dengan urusan lain, jika didiamkan begitu saja remaja tidak mendapat teman untuk menceritakan masalah yang dihadapinya sehingga remaja mencari jalan keluarnya sendiri yang menurutnya benar dan tak jarang dari keputusan itulah dapat mengorbankan orang lain.

b. Masalah-masalah yang dihadapi remaja dalam sekolah

Seperti yang telah dijabarkan di atas, sekolah merupakan pendidikan nomor dua setelah keluarga. Dengan sekolah, diharapkan para remaja dapat menimba ilmu dan nilai-nilai serta belajar berelasi dengan sesama. Namun, dunia sekolah masa kini juga ternyata membuat remaja tidak lepas dari berbagai masalah seperti membolos sekolah, karena malas mendengarkan guru mengajar, mencontek pada saat tes atau


(42)

ujian berlangsung. Selain itu, remaja juga mengalami masalah dalam perilakunya di sekolah, yaitu perilaku bermasalah (problem behavior), perilaku menyimpang (behaviour disorder), penyesuaian diri yang salah (behaviour maladjustment), dan perilaku tidak dapat membedakan benar-salah (conduct disorder). Masalah perilaku remaja tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Perilaku Bermasalah (problem behavior)

Masalah perilaku yang dialami remaja di sekolah dapat dikatakan masih dalam kategori wajar jika tidak merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Dampak perilaku bermasalah yang dilakukan remaja akan menghambat dirinya dalam proses sosialisasinya dengan remaja lain, dengan guru, dan dengan masyarakat. Perilaku malu dalam mengikuti berbagai aktivitas yang digelar sekolah misalnya, termasuk dalam kategori perilaku bermasalah yang menyebabkan seorang remaja mengalami kekurangan pengalaman. Jadi, problem behaviour akan merugikan secara tidak langsung pada seorang remaja di sekolah akibat perilakunya sendiri.

2) Perilaku menyimpang (behaviour disorder)

Perilaku menyimpang pada remaja merupakan perilaku yang kacau yang menyebabkan seorang remaja kelihatan gugup (nervous) dan perilakunya tidak terkontrol (uncontrol). Memang diakui bahwa tidak semua remaja mengalami behaviour disorder. Seorang remaja mengalami hal ini jika ia tidak tenang, unhappiness dan menyebabkan hilangnya konsentrasi diri. Perilaku menyimpang pada remaja akan mengakibatkan munculnya tindakan tidak terkontrol yang


(43)

mengarah pada tindakan kejahatan. Penyebab behaviour disorder lebih banyak karena persoalan psikologis yang selalu menghantui dirinya.

3) Penyesuaian diri yang salah (behaviour maladjustment)

Perilaku yang tidak sesuai yang dilakukan remaja biasanya didorong oleh keinginan mencari jalan pintas dalam menyelesaikan sesuatu tanpa mendefinisikan secara cermat akibatnya. Perilaku menyontek, bolos, dan melanggar peraturan sekolah merupakan contoh penyesuaian diri yang salah pada remaja di sekolah menengah (SMP/SMA).

4) Perilaku tidak dapat membedakan benar-salah (conduct disorder)

Kecenderungan pada sebagian remaja adalah tidak mampu membedakan antara perilaku benar dan salah. Wujud dari conduct disorder adalah munculnya cara pikir dan perilaku yang kacau dan sering menyimpang dari aturan yang berlaku di sekolah. Penyebabnya, karena sejak kecil orangtua tidak bisa membedakan perilaku yang benar dan salah pada anak. Wajarnya, orang tua harus mampu memberikan hukuman (punishment) pada anak saat ia memunculkan perilaku yang salah dan memberikan pujian atau hadiah (reward) saat anak memunculkan perilaku yang baik atau benar. Seorang remaja di sekolah dikategorikan dalam conduct disorder apabila ia memunculkan perilaku anti sosial baik secara verbal maupun secara non verbal seperti melawan aturan, tidak sopan terhadap guru, dan mempermainkan temannya. Selain itu, conduct disordser juga dikategorikan pada remaja yang berperilaku


(44)

oppositional deviant disorder yaitu perilaku oposisi yang ditunjukkan remaja yang menjurus ke unsur permusuhan yang akan merugikan orang lain.

c. Masalah-masalah yang dihadapi remaja dengan teman sebaya

Keanggotaan kelompok dapat menimbulkan akibat yang kurang baik pada remaja-remaja, diantaranya adalah:

1) Menjadi anggota geng seringkali menimbulkan pertentangan dengan orang tua dan penolakan terhadap standar orang tua, sehingga akan memperlemah ikatan emosional antara kedua pihak.

2) Permusuhan antara remaja laki-laki dan remaja perempuan semakin meluas. Hal ini disebabkan karena remaja perempuan mencapai masa puber lebih cepat dibandingkan remaja laki-laki. Sehingga remaja perempuan akan tampil lebih dewasa dibanding remaja laki-laki.

3) Kecenderungan remaja yang lebih tua untuk mengembangkan prasangka terhadap remaja yang berbeda sehingga sering terjadi prasangka dan diskriminasi berdasarkan pada perbedaan rasial, agama dan sosial ekonomi.

4) Seringkali bersikap kejam terhadap remaja-remaja yang tidak dianggap sebagai anggota geng. Banyaknya rahasia yang ada diantara anggota geng dimaksudkan untuk menjauhkan remaja yang tidak disenangi.


(45)

d. Masalah remaja dalam kehidupan sosial di masyarakat

Masalah sosial dalam perilaku menyimpang dalam lingkungan masyarakat diantaranya adalah kenakalan remaja. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai peraturan sosial ataupun nilai dan norma sosial yang berlaku. Perilaku menyimpang dapat dianggap sebagai sumber masalah karena dapat membahayakan dan merusak sistem sosial yang berlaku di dalam lingkungan masyarakat. Perilaku menyimpang dapat dibedakan menjadi dua macam diantaranya ada perilaku menyimpang yang tidak disengaja dan yang disengaja. Perilaku menyimpang yang tidak disengaja karena pelaku kurang memahami peraturan yang berlaku. Sedangkan untuk perilaku menyimpang yang disengaja, bukan karena pelaku tidak mengetahui aturan, tetapi memang sengaja dilakukannya. Hal tersebut disebabkan karena pada dasarnya setiap manusia pasti mengalami dorongan untuk melakukan pelanggaran pada situasi tertentu, tetapi pada kebanyakan orang tidak menjadi kenyataan yang berwujud penyimpangan, sebab orang dianggap normal biasanya dapat menahan diri dari dorongan-dorongan untuk menyimpang.

Dalam kehidupannya para remaja berusaha untuk mencari jati diri dan ingin melepaskan diri dari pengaruh dan bayang-bayang orang tua atau bisa juga disebut proses mencari identitas ego. James S. Colemen dalam Sarlito W. Sarwono (1991: 38) mengemukakan teori tentang Youth Culture (budaya anak muda). Menurut Colemen para remaja sadar akan pentingnya kebudayaan sebagai tolak ukur terhadap tingkah laku sendiri. Kebudayaan memberikan pedoman, arah, persetujuan,


(46)

pengingkaran, dukungan, kasih sayang dan perasaan aman kepada remaja. Akan tetapi mereka juga punya keinginan untuk mandiri, untuk berotonomi.

C.Pengembangan Kepedulian Sosial bagi Remaja Usia SMA 1. Pengertian Kepedulian Sosial

Kepedulian sosial adalah perasaan bertanggung jawab atas kesulitan yang dihadapi oleh orang lain di mana seseorang terdorong untuk melakukan sesuatu untuk mengatasinya. Kepedulian sosial dalam kehidupan bermasyarakat lebih kental diartikan sebagai perilaku baik seseorang terhadap orang lain di sekitarnya. Kepedulian sosial dimulai dari kemauan “memberi” bukan “menerima” (Waseso, 1986: 84).

Kepedulian sosial juga berarti minat atau ketertarikan kita untuk membantu orang lain. Lingkungan terdekat kita yang berpengaruh besar dalam menentukan tingkat kepedulian sosial kita. Lingkungan yang dimaksud di sini adalah keluarga, teman-teman, dan lingkungan tempat bertumbuh besar. Karena merekalah kita mendapat nilai-nilai tentang kepedulian sosial. Nilai-nilai yang tertanam itulah yang nanti akan menjadi suara hati kita untuk selalu membantu dan menjaga sesama.

Dalam konteks pemikiran Paulo Freire (1972: 68), pendidikan memiliki peranan utama dalam membentuk kepribadian seseorang. Perkembangan kepribadian seseorang ditentukan oleh tingkat kesadaran kritis yang dimilikinya. Artinya, kesadaran yang bersikap kritis terhadap dirinya sendiri mau pun terhadap lingkungan


(47)

sosial tempat seseorang berada. Kesadaran kritis ini dibedakan dari kesadaran naif yang hanya tunduk, pasif dan sekedar menyesuaikan diri dengan segala keadaan yang dihadapinya.

Kesadaran kritis mampu membuat orang memahami dunianya dengan baik, dunia yang bersama dengannya manusia hidup. Maka pendidikan merupakan usaha untuk menciptakan kesadaran kritis dalam kepribadian seseorang. Melalui kesadaran kritisnya seseorang mampu memiliki kepercayaan terhadap dirinya sendiri dan terhadap lingkungannya.

2. Aspek-aspek Pengembangan Kepedulian Sosial a. Aspek Kesadaran

Kesadaran diri mempengaruhi semua aspek kehidupan. Melalui kesadaran diri, seseorang akan mampu mengelola emosional diri sendiri untuk kebahagiaan, kesehatan, keluarga, pekerjaan, persahabatan, karir, uang, kesejahteraan, dan mengelola hubungan dengan setiap orang yang berada di luar inti kehidupan.

Orang-orang yang sangat sadar diri terhadap realitas kehidupan selalu menjadi sangat cerdas untuk mengidentifikasi, mengenali, dan mengendalikan emosi mereka sendiri serta mengenali dan merespons dengan tepat terhadap emosi orang lain. Mereka sangat peduli untuk mengembangkan nilai-nilai pribadi atas dasar etika, moralitas, dan integritas. Mereka selalu membangun dan mengelola dirinya melalui standar kehidupan yang tidak berbenturan dengan realitas sosial di sekitar mereka.


(48)

Mereka sangat mencintai kehidupan dan kemanusiaan. Oleh karena itu, nilai-nilai pribadi (personal core values) mereka selalu mengacu kepada kebersatuan dalam keragaman dan perbedaan melalui perilaku toleransi dan kemanusiaan yang sangat tinggi.

Menurut Komensky dalam Doni Koesuma (2007: 368), “anak didik semestinya diajarkan seluruh keutamaan tanpa mengecualikannya. Ini adalah prinsip dasar pendidikan karakter, sebab sekolah merupakan sebuah lembaga yang dapat menjaga kehidupan nilai-nilai sebuah masyarakat.” Oleh karena itu, bukan sembarang cara bertindak, pola perilaku yang diajarkan di dalam sekolah, melainkan nilai-nilai yang semakin membawa proses membudaya dan manusialah yang boleh masuk di dalam penanaman nilai di sekolah.

Ada beberapa kriteria nilai yang bisa menjadi bagian dalam kerangka pendidikan karakter yang dilaksanakan di sekolah. Nilai-nilai ini diambil sebagai garis besarnya saja, sifatnya terbuka, masih bisa ditambahkan nilai-nilai lain yang relevan dengan situasi kelembagaan pendidikan tempat setiap individu bekerja (Doni Koesoema, 2007: 205). Nilai-nilai itu antara lain nilai keutamaan, nilai kerja dan nilai kemanusiaan. Secara lebih lengkap dapat dijelaskan seperti di bawah ini :

1) Nilai Keutamaan

Manusia memiliki keutamaan kalau ia menghayati dan melaksanakan tindakan-tindakan yang utama, yang membawa kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain. Dalam konteks Yunani kuno, misalnya, nilai keutamaan ini tampil dalam


(49)

kekuatan fisik dan moral. Kekuatan fisik disini berarti ekselensi, kekuatan, keuletan dan kemurahan hati. Sementara, kekuatan moral berarti berani mengambil resiko atas pilihan hidup, konsisten dan setia.

Sejarah pendidikan di negeri ini, sejak zaman kolonial, menempatkan nilai keutamaan, seperti kesatuan dalam hidup bersama sebagai sebuah bangsa sebagai nilai utama yang diperjuangkan. Para pahlawan bangsa dan pendiri bangsa ini lebih mengutamakan nilai-nilai yang berguna bagi kepentingan bangsa daripada kepentingan kelompoknya sendiri. Bahkan, kalu perlu mengorbankan dirinya demi kemerdekaan bangsa. Itulah sebabnya, nilai-nilai seperti kepahlawanan, jiwa pengorbanan, mementingkan kesatuan bangsa daripada kepentingan kelompok, merupakan nilai keutamaan yang memiliki akar tradisi sejarah yang kuat dalam perjalanan bangsa kita.

2) Nilai Kerja

Jika ingin berbuat adil, manusia harus bekerja. Penghargaan atas nilai kerja inilah yang menentukan kualitas diri seorang individu. Menjadi manusia utama adalah menjadi manusia yang bekerja. Untuk itu butuh kesabaran, ketekunan dan jerih payah. Jika lembaga pendidikan kita tidak menanamkan nilai kerja ini, individu yang terlibat di dalamnya tidak akan dapat mengembangkan karakter dengan baik. Bangsa kita adalah sebuah bangsa yang bekerja keras. Dinamika masyarakat kita yang sebagian besar adalah petani membuktikan adanya etos kerja itu.


(50)

3) Nilai-nilai kemanusiaan

Apa yang membuat manusia sungguh-sungguh manusiawi itu merupakan bagian dari keprihatinan setiap orang. Menghayati nilai-nilai kemanusiaan mengandaikan sikap keterbukaan terhadap kebudayaan lain, termasuk di sini kultur agama dan keyakinan yang berbeda. Yang menjadi nilai bukanlah kepentingan kelompokku sendiri, melainkan kepentingan yang menjadi kepentingan setiap orang, seperti keadilan, persamaan di depan hukum, kebbeasan, dll. Nilai-nilai kemanusiaan ini menjadi sangat relevan diterapkan dalam pendidikan karakter karena masyarakat kita telah menjadi masyarakat global.

b. Aspek Kehendak

Kehendak merupakan kekuatan yang ada dalam diri seseorang untuk menggerakkannya melakukan sesuatu sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini benar. Sagala (2013: 132-133) merumuskan kehendak sebagai kekuatan dari dalam diri untuk memilih dan merealisasikan suatu tujuan yang merupakan pilihan antara berbagai tujuan yang bertentangan. Dalam kepedulian sosial, kehendak juga berkerja sebagai penggerak yang berperan mengaktifkan keinginan-keinginan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan hasil yang ingin diperoleh dari aspek kesadaran.

Setiap manusia diciptakan dengan kehendak bebasnya masing-masing. Kehendak bebas berfungsi agar manusia dapat memilih apa akan dilakukan untuk kehidupannya. Kehendak ini tidak pernah dapat lepas dari pikiran atau otak manusia untuk mencapai suatu tujuan. Otak yang mengatur seluruh tubuh itu juga


(51)

membutuhkan hati atau perasaan untuk mengatur tepat atau tidaknya hal yang akan dilakukan.

Kehendak yang dikolaborasi dengan kemampuan otak dan bekerjasama dengan perasaan (suara hati) akan membantu manusia untuk menentukan jalan mana yang akan diambil, pilihan hidup seperti apa yang akan ditempuh. Begitu juga dengan kepedulian sosial. Dengan kehendak yang menuntun otak dan berkolaborasi dengan hati untuk kearah peduli terhadap kehidupan sosial, maka seseorang itu dapat menjadi seorang yang berkepedulian sosial tinggi.

c. Aspek Keterlibatan

Keterlibatan adalah sikap dan tindakan seseorang sebagai wujud kepedulian untuk ikut ambil bagian terhadap situasi tertentu. Dalam keterlibatannya seseorang hadir dan memberikan sumbangsih baik tenaga maupun pikiran. Keterlibatan sosial adalah sikap dan tindakan seseorang sebagai wujud kepedulian untuk ikut ambil bagian terhadap situasi sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Adapun contoh keterlibatan sosial yang ada misalnya keterlibatan kaum muda kristiani di lingkungan Gereja dan di lingkungan masyarakat tempat tinggalnya. Keterlibatan di lingkungan Gereja seperti keikutsertaan dalam kor lingkungan, pendalaman iman, lektor, retret, kemping Rohani, dll. Adapun keterlibatan di lingkungan masyarakat tempat tinggalnya seperti terlibat dalam membangun suatu tatanan sosial yang ada di lingkungan masyarakat, misalnya ikut terlibat dalam kegiatan pembangunan desa, dengan melibatkan diri menjadi seorang aktivis, yang akan memperjuangkan hak dan


(52)

kewajiban masyarakat demi terciptanya tatanan masyarakat sosial yang lebih baik, ikut kegiatan kerja bakti di lingkungan masyarakat tempat tinggal, dll.

Dengan ikut terlibat secara aktif dalam kegiatan yang ada di lingkungannya kaum muda dapat menumbuhkan rasa kesadaran yang tinggi tentang keanekaragaman masyarakat yang majemuk, sehingga kaum muda kristiani dapat menghargai dan menghormati perbedaan agama dalam masyarakat yang majemuk. Kita mengetahui bahwa di dalam masyarakat majemuk tidak ada satu sistem sosial untuk semua dan juga tidak ada satu agama saja. Dengan demikian kaum muda dapat menyadari pentingnya keterlibatan mereka di lingkungan sosial dalam mengatasi permasalahan sosial.

3. Peranan Keluarga, Sekolah dan Masyarakat dalam Pengembangan Kepedulian Sosial Remaja Usia SMA.

Kepedulian sosial seorang remaja memang tidak terbentuk baik secara otomatis saja, tetapi membutuhkan sinergi peran keluarga, sekolah dan masyarakat di mana remaja tersebut tumbuh dan berkembang (Sarwono, 1991: 107). Peranan dari keluarga, sekolah dan masyarakat tersebut adalah sebagai berikut :

a. Peranan Keluarga

Keluarga merupakan lingkungan utama yang memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek perkembangan anak termasuk perkembangan sosialnya. Keluarga disebut sebagai pendidikan yang pertama dan utama, serta merupakan peletak pondasi dari karakter dan pendidikan setelahnya. Proses pendidikan yang bertujuan


(53)

mengembangkan kepribadian anak lebih banyak ditentukan oleh keluarga. Pola pergaulan dan bagaimana norma dalam menetapkan diri terhadap lingkungan yang lebih luas ditetapkan dan diarahkan. keluarga memiliki peranan untuk Kematangan sosial pada diri anak sangat dipengaruhi oleh peran orang tua dalam membimbing dan mengenalkan mengenai kehidupan sosial, baik norma-norma kehidupan bermasyarakat atau pun fenomina lain seputar lingkungan sekitar. Bimbingan orang tua sangat penting bagi anak, karena anak belum bisa mengenal sekitar dan tidak memiliki pengalaman banyak untuk mencapai kematangan sosialnya sendiri.

Keluarga menempati posisi yang sentral dalam masyarakat, berkaitan dengan fungsinya sebagai pendidik yang utama dan terutama. Dalam Kompendium Ajaran Sosial Gereja dinyatakan bahwa “Sebagai satu persekutuan alamiah di mana sosialita manusia dialami, keluarga memainkan peran yang sangat khas dan tak tergantikan bagi kesejahteraan seluruh masyarakat” (ASG, 2009: 149).

Sebab kebersamaan dalam keluarga sebenarnya lahir dari kebersamaan antar pribadi : “‟Kesamaan‟ berkaitan dengan relasi personal antara „Aku‟ dan „Engkau‟. Namun „kebersamaan‟ melampaui skema ini dan terarah kepada „persekutuan‟, satu „kekitaan‟. Karena itu, keluarga sebagai satu kebersamaan antarpribadi merupakan „persekutuan‟manusia pertama.

Satu masyarakat yang ditata berdasarkan kriteria sebuah keluarga merupakan perlindungan yang terbaik melawan segala tendensi individualisme dan kolektivisme, sebab masyarakat seperti ini selalu menempatkan pribadi pada pusat perhatian, bukan sebagai sarana, melainkan sebagai tujuan. Sebab itu sangat jelas bahwa kesejahteraan


(54)

pribadi-pribadi dan keberfungsian yang baik dari masyarakat terkait erat dengan “kesejahteraan persekutuan perkawinan dan keluarga”. Tanpa keluarga-keluarga yang kuat dalam kebersamaan dan berkanjang dalam komitmennya, maka bangsa-bangsa akan kehilangan kekuatannya. Sejak tahun-tahun awal keluarga telah memberi andil untuk membatinkan nilai-nilai moral seperti juga mewariskan pusaka spiritual dan kultural dari satu jemaat beragama dan satu bangsa. Di dalam keluarga, seorang anak manusia belajar menerima tanggungjawab sosial dan bersikap solider.

Sebagai unsur yang terpenting dan utama, keluarga mendapatkan perhatian khusus oleh Gereja Katolik dalam Kompendium Ajaran Sosial Gereja :

Keluarga harus mendapat prioritas dibandingkan dengan masyarakat dan negara. Sekurang-kurangnya dalam segi penerusan keturunan keluarga merupakan prasyarat bagi keberadaan masyarakat dan negara. Fungsi-fungsi lain yang dilaksanakan demi kebaikan para anggotanya, merupakan hal-hal yang lebih penting dan bernilai dibandingkan dengan fungsi-fungsi yang dilaksanakan oleh masyarakat dan negara. Sebagai pemilik hak-hak yang tidak boleh terlecehkan, keluarga memperoleh legitimasinya dari kodrat manusia dan bukan dari pengakuan oleh pihak negara. Sebab itu, keluarga tidak ada untuk masyarakat dan negara, melainkan masyarakat dan negara ada untuk keluarga (ASG, 2009: 168).

Tidak ada model masyarakat yang hendak mengupayakan kesejahteraan manusia dapat mengabaikan makna sentral dan tanggungjawab sosial keluarga. Sebaliknya, masyarakat dan negara mempunyai kewajiban untuk berpegang pada prinsip subsidiaritas dalam menentukan relasinya terhadap keluarga. Berdasarkan prinsip ini maka otoritas-otoritas publik tidak boleh mengambil alih dari keluarga tugas-tugas yang dapat dilaksanakan sendiri oleh keluarga atau dalam kerja sama yang bebas dengan keluarga-keluarga lain. Pada pihak lain, otoritas-otoritas publik ini


(55)

mempunyai kewajiban untuk mendukung keluarga dengan cara menyediakan sarana-sarana bantuan yang diperlukannya untuk dapat memenuhi kewajibannya secara benar.

Keluarga pun memiliki tugas mendidik kaum muda seperti tertuang dalam Kompendium ASG (2009: 168) bahwa “melalui pendidikan keluarga membentuk manusia dan mengantarnya pada kepenuhan martabatnya, dalam seluruh matra, termasuk matra sosial.

b. Peranan sekolah

Doni Koesoema (2007: 155-156) mengungkapkan bahwa setiap sekolah harus memiliki visi yang sarat dengan pendidikan karakter. Visi pendidikan karakter yang ditetapkan oleh sekolah merupakan cita-cita yang akan diarah melalui kinerja lembaga pendidikan. Tanpa visi yang diungkapkan melalui pernyataan yang jelas dan dapat dipahami oleh semua pihak yang terlibat di dalam lembaga pendidikan tersebut, setiap usaha pengembangan pendidikan karakter akan menjadi sia-sia. Oleh karena itu, setiap sekolah semestinya menentukan visi pendidikan yang akan menjadi dasar acuan bagi setiap kerja, pembuatan program dan pendekatan pendidikan karakter yang dilakukan di dalam sekolah.

Visi pendidikan karakter di dalam lembaga pendidikan akan semakin menjiwai setiap individu ketika mereka semua merasa dilibatkan dalam penentuan visi tersebut sehingga visi tersebut menjadi bagian dari keyakinan pribadi dan keyakinan komunitas lembaga pendidikan tersebut.


(56)

Di Indonesia, banyak sekolah swasta yang telah dikelola secara profesional memiliki visi ini. Kadang visi ini ditentukan melalui latar belakang sejarah pendirian lembaga pendidikan tersebut. Oleh karena itu bisa jadi seorang guru ketika sudah masuk dalam lembaga pendidikan tertentu telah menerima tradisi dari para pendahulunya tentang visi lembaga pendidikan tempat ia bekerja. Meskipun visi itu seringkali telah jadi, dan tidak ada partisipasi langsung dari guru dan individu yang terlibat dalam lembaga pendidikan tersebut, visi tersebut tetap dapat menjadi roh bagi setiap individu sejauh tidak bertentangan dengan keyakinan pribadinya tentang visi pendidikan yang dia miliki.

Jika visi di dalam sekolah itu telah ada, apakah dengan visi tersebut, sekolah itu memiliki misi, yaitu semacam penjabaran yang lebih praktis-operasional, yang indikasinya dapat diukur, diverifikasi, dan dievaluasi secara terus-menerus. Misi adlah sebuah usaha menjembatani praxis harian di lapangan dengan cita-cita ideal yang menjiwai seluruh gerak sekolah. Bisa dikatakan, tercapainya misi merupakan tanda keberhasilan dilaksanakannya visi secara konsisten dan setia.

Sekolah adalah tempat mengenyam pendidikan dalam bentuk kelembagaan. Sekolah juga dapat disebut lembaga pendidikan kedua setelah keluarga. Pendidikan merupakan proses sosialisais anak yang terarah. Pendidikan merupakan proses pengoperasian ilmu yang normatif. Di sekolah, setiap peserta didik mendapatkan pengajaran tentang norma-norma yang ada tidak hanya dalam lingkup keluarga dan masyarakat, tetapi dalam lingkup yang lebih luas yaitu lingkup nasional.


(57)

Yusuf (2007: 95) mengungkapkan bahwa sekolah sebagai salah satu lingkungan sosial tempat individu berinteraksi, harus mampu menciptakan dan memberikan suasana psikologis yang dapat mencapai perkembangan sosial secara matang, dalam arti dia memiliki kemampuan penyesuaian sosial yang tepat.

Sekolah berperan dalam menggugah kesadaran sosial peserta didik dengan memberikan pengetahuan-pengetahuan tentang segala hal kemanusiaan. Selain itu, sekolah dengan kegiatan-kegiatan yang diadakan, melatih peserta didik untuk peka terhadap sesama yang kesulitan. Sekolah membuka jendela pemikiran peserta didik. Hal ini cukup beralasan, mengingat bahwa sekolah merupakan tempat khusus dalam menuntut berbagai ilmu pengetahuan.

A. Sewaka, SJ (1991: 21) menjelaskan ajaran dan pedoman gereja tentang Pendidikan Katolik mengenai asimilasi budaya tiap pribadi :

Pendekatan pokok itu terjadi di sekolah dalam bentuk kontak dan keterlibatan pribadi yang memperhatikan nilai-nilai mutlak dalam suatu konteks hidup, dan berusaha memasukkan nilai-nilai ke dalam kerangka hidup. Sesungguhnya kebudayaan itu hanya mendidik kalau kaum muda dapat mengaitkan pelajaran mereka dengan keadaan hidup nyata yang mereka kenal. Sekolah harus mendorong murid melatih pikirannya melalui pemahaman yang dinamis guna mendapatkan kejelasan dan kekayaan akal. Sekolah harus menolong murid mengupas arti pengalaman-pengalamannya dan kebenaran dari pengalaman itu. tiap sekolah yang melalaikan kewajiban itu dan yang hanya menyampaikan kesimpulan-kesimpulan yang terjadi, sekolah tersebut menghambat perkembangan pribadi murid-muridnya.

Dari hal tersebut diatas tampak jelas, penting sekali menekankan relevansi pengalaman hidup yang secara nyata dialami peserta didik dalam konteks hidup bermasyarakat dengan proses pendidikan di sekolah. Agar tidak menciptakan


(58)

perasaan keterasingan, maka peserta didik harus selalu didekatkan dengan realitas sosial dimana mereka hidup.

c. Peranan masyarakat

Masyarakat adalah lembaga pendidikan non formal, yang juga menjadi bagian penting dalam proses pendidikan remaja, tetapi tidak mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat (Sarwono, 1991: 128). Masyarakat yang terdiri dari sekelompok atau beberapa individu yang beragam akan mempengaruhi kepekaan sosial yang tinggal di sekitarnya. Oleh karena itu, dalam pendidikan kemanusiaan, masyarakat memiliki juga mempunyai tanggung jawab yang sama dalam mendidik.

Masyarakat sebagai lingkungan pendidikan yang lebih luas turut berperan dalam terselenggaranya proses kepedulian sosial. Setiap individu sebagai anggota dari masyarakat tersebut harus bertanggung jawab dalam menciptakan suasana yang nyaman dan mendukung. Ketika anak atau peserta didik berada di lingkungan masyarakat yang kurang baik, maka perkembangan kepedulian sosialnya akan kurang baik pula.

Dalam kaitannya dengan lingkungan keluarga, orang tua harus memilih lingkungan masyarakat yang sehat dan cocok sebagai tempat tinggal orang tua beserta anaknya. Jadi, mengingat pentingnya peran masyarakat sebagai lingkungan pendidikan, maka setiap individu sebagai anggota masyarakat harus menciptakan suasana yang nyaman demi keberlangsungan proses pendidikan yang terjadi di dalamnya.


(59)

BAB III

SEKOLAH KATOLIK

DAN PENGEMBANGAN KEPEDULIAN SOSIAL

A.Panggilan Gereja dalam Dunia Pendidikan

1. Latar Belakang Gereja Katolik Terlibat dalam Dunia Pendidikan.

Menurut Gereja Katolik setiap orang berhak mendapatkan pendidikan. Oleh karena itu dalam dokumen Gravissimum Educationis dinyatakan bahwa “Semua orang dari suku, kondisi atau usia manapun juga, berdasarkan martabat mereka selaku pribadi mempunyai hak yang tak dapat diganggu gugat atas pendidikan.” (GE art. 1). Rumusan ini menegaskan bahwa hak atas pendidikan menjadi hak yang sangat mendasar bagi setiap orang tanpa memandang latar belakangnya. Hak ini melekat pada diri setiap orang sejak ia hidup dan tidak dapat dicabut oleh siapa pun. Begitu tingginya pengakuan Gereja Katolik terhadap hak atas pendidikan.

Perhatian khusus mengenai pendidikan ditujukan kepada anak-anak dan remaja. Dalam GE dikatakan bahwa “...anak-anak dan kaum remaja berhak didukung, untuk belajar menghargai dengan suara hati yang lurus, nilai-nilai moral, serta dengan tulus menghayatinya secara pribadi, pun juga untuk makin sempurna mengenal serta mengasihi Allah...” (GE art. 1). Jelas diungkapkan bahwa anak-anak dan remaja selain berhak atas pendidikan, mereka juga berhak mendapatkan dukungan untuk mendapatkan hak tersebut.


(60)

Gereja Katolik mengemban amanat yang besar untuk memenuhi hak atas pendidikan tersebut. Dalam rangka melaksanakan perintah Pendirinya yang ilahi, yakni mewartakan misteri keselamatan kepada semua orang yang membaharui segalanya dalam Kristus. Maka, Gereja berperan serta dalam pengembangan dan perluasan pendidikan.

2. Tujuan Pendidikan menurut Gereja Katolik

Dalam mengemban tugas sucinya, Gereja Katolik memiliki kewajiban untuk menghantarkan umat agar sampai pada keselamatan di dalam Yesus Kristus. Pendidikan merupakan salah satu jalan menuju keselamatan tersebut. Sehingga arti pendidikan dirumuskan dengan sangat baik dalam GE art. 1 sebagai sebuah bentuk tanggungjawab untuk membina jiwa-jiwa agar bertumbuh dan senantiasa mengembangkan hidupnya. Mengenai hal ini, tujuan pendidikan dirumuskan dalam GE yaitu untuk :

...mencapai pembinaan pribadi manusia dalam perspektif tujuan terakhirnya demi kesejahteraan kelompok-kelompok masyarakat, mengingat bahwa manusia termasuk anggotanya, dan bila sudah dewasa ikut berperan menunaikan tugas kewajibannya. Maka dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan psikologi, pedagogi dan didaktik, perlulah anak-anak dan kaum remaja dibantu untuk menumbuhkan secara luas-serasi bakat pembawaan fisik, moral dan intelektual mereka. Dengan demikian mereka setapak demi setapak akan mencapai kesadaran bertanggungjawab yang kian penuh, dan kesadaran itu akan tampil dalam usaha terus menerus untuk dengan saksama mengembangkan hidup mereka sendiri (GE art.1).

Bagi Driyarkara (2003: 17), yang harus diangkat dalam pemanusiaan manusia adalah seluruh diri manusia itu untuk dapat hidup sesuai dengan kodratnya. Jadi,


(61)

manusia harus memanusiakan dirinya. Driyarkara mengistilahkannya sebagai hominisasi dan humanisasi. Dua istilah ini bisa dijelaskan sebagai berikut :

a. Hominisasi

Hominisasi dapat diartikan sebagai proses pemanusiaan secara umum atau dengan kata lain hominisasi diartikan sebagai penjadian manusia. Hominisasi ini terjadi pada setiap manusia, sejak awal hidupnya sampai akhir hayat. Manusia dari hari ke hari dan masa ke masa bertumbuh kembang, berproses, dan lambat laun akan sampai kepada kemanusiaannya. Manusia berkembang untuk menjadi seorang pribadi, person, seorang subyek yang artinya mengerti diri, menempatkan diri dalam situasinya, mampu mengambil sikap, dan menentukan dirinya. Proses untuk menjadi pribadi inilah yang menjadi peran dari pendidikan.

b. Humanisasi

Humanisasi diartikan sebagai pembudayaan yang dilakukan manusia terhadap dirinyadan lingkungannya. Bila dibandingkan dengan hominisasi, taraf humanisasi menjadi lebih tinggi tingkat atau derajatnya karena tidak semata berhubungan dengan perkembangan diri tapi juga memberi arti bagi dirinya dengan lingkungannya. Aspek-aspek pembudayaan itu meliputi tematisasi (proses memberi arti sehingga tidak sekedar dijalani saja), universalisasi (memahami bahwa nilai yang dialami dalam hidupnya itu juga berharga bagi orang lain), dan teorisasi (proses memberdalamkan makna secara lebih sistematis dan dinamis).


(1)

manisfestasi lahiriah manusia yang tersentuh oleh pengalaman, sehingga memutuskan untuk menindaklanjuti dengan aksi. Sesuatu yang dimulai dengan pengalaman berakhir pula dengan pengalaman, dan manusia ”merasakan dan mengenyam” pengalamannya secara sungguh-sungguh.Maka dalam memaknai pengalaman tersebut, mahasiswa perlu mendapat bimbingan yang memberi kekuatan bagi mereka untuk menemukan tindakan atau aksi yang sesuai dalam mengatasi masalah yang mereka hadapi.

d. Evaluasi

Evaluasi yaitu menilai kemajuan pembentukan pribadi individu secara menyeluruh. Akan tetapi, yang harus diperhatikan adalah bahwa dalam evaluasi ini harus mencakup perkembangan secara menyeluruh, yaitu perhatian kepada sejauh mana individu berkembang sebagai pribadi yang mengarah menjadi manusia bagi orang lain.


(2)

BAB V PENUTUP

Bab penutup ini memuat kesimpulan beberapa hal dari bab-bab sebelumnya, yang perlu ditegaskan kembali dan beberapa saran dalam upaya pengembangan kepedulian sosial bagi remaja usia SMA.

A.Kesimpulan

Berdasarkan permasalahan dan hasil penelitian yang dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, maka, dapat disimpulkan beberapa hal berikut:

1. Remaja usia SMA adalah individu yang dalam usia 15-17 tahun yang sedang bertumbuh menjadi dewasa dan dalam masa berintegrasi yang mengarah pada hubungan sosial dengan masyarakat.

2. Kepedulian sosial adalah perasaan bertanggung jawab atas kesulitan yang dihadapi oleh orang lain di mana seseorang terdorong untuk melakukan sesuatu untuk mengatasinya. Kepedulian sosial dalam kehidupan bermasyarakat lebih kental diartikan sebagai perilaku baik seseorang terhadap orang lain di sekitarnya.

3. Sekolah Katolik memiliki fungsi strategis dalam mengembangkan sebuah penciptaan lingkungan sekolah yang dapat mengembangkan kepedulian sosial.


(3)

4. Sekolah Katolik perlu mengadakan kerja sama dengan masyarakat dalam penyusunan program live in yang dapat menjadi wahana aktualisasi nilai dan mengembangkan aspek kesadaran, kehendak dan keterlibatan dalam pengembangan kepedulian sosial.

B.Saran

Bertitik tolak dari keseluruhan pembahasan yang telah diuraikan dalam setiap bab, akhirnya penulis mencoba mengungkapkan beberapa saran yang dapat mendukung pengembangan kepedulian sosial remaja usia SMA di dalam sekolah Katolik. Saran ini dapat menjadi petimbangan dan perhatian semua pihak, saran yang penulis sampaikan yakni:

1. Kepada para remaja

Para remaja perlu membekali diri secara sungguh-sungguh selama bersekolah, dengan melatih diri dalam kegiatan-kegiatan sosial di sekolah sehingga nantinya dapat mengetahui dan memahami serta melaksanakan dengan baik bagaimana peranannya dalam hidup bermasyarakat.

2. Kepada Sekolah Katolik

Perlu adanya program-program kegiatan sosial yang sistematis dan terencana dalam rangka pengembangan kepedulian sosial remaja usia SMA.


(4)

Demikianlah kesimpulan dan saran yang dapat penulis sampaikan, semoga kesimpulan dan saran yang penulisan berikan ini dapat membantu remaja usia SMA dan sekolah Katolik dalam pengembangan kepedulian sosial.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Aris Dwiatmoko, Ig. 2011. Model Pembelajaran Berbasis Pedagogi Ignasian/Pedagogi Reflektif. Yogyakarta: LPM Universitas Sanata Dharma. Disampaikan dalam Lokakarya Kurikulum PS PGSD-USD, tanggal 23 Mei 2011. Manuskrip.

Diksa Kuntara, Antonius. 2011. Penerapan Model Pembelajaran Metode Kasus BerbasisPedagogi Ignasian pada Proses Pembelajaran Mata Kuliah Metodologi Penelitian Akuntansi Terapan. Disampaikan dalam Sharing dan Lokakarya”Perancangan Model-Model Pembelajaran Berprinsip Pedagogi Ignasian” di gedung pusat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, tanggal 18 Januari 2011. Manuskrip.

Banawiratma, J.B. 1990. Spiritualitas Transformatif: Suatu Pergumulan Ekumenis. Yogyakarta: Kanisius

Fowler, James W. 1995. Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Freire, Paulo. 1972. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES.

Goleman, Daniel. 2007. Kecerdasan Emosional. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Gunarso, Singgih. 1980. Psikologi Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Hendropuspito. 1983. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius

Hurlock, Elizabeth. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga Koesoema, Doni. 2007. Pendidikan Karakter. Jakarta: Grasindo.

Konferensi Wali Gereja Indonesia. 1996. Iman Katolik. Yogyakarta: Kanisius.

Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian. 2009. Kompendium Ajaran Sosial Gereja.

Konsili Vatikan II. 2002. Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta: Obor Seri Dokumen Gerejawi Edisi Khusus. 1999. Kuntoro Adi, C. dkk. 2010. Model Pendidikan Karakter Di Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

LAI. (1995). Alkitab. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.

Marianti, Fransesco. 2007. Hard Skill & Soft Skill dalam Character Building (dalam Majalah Basis Nomor 07-08, Tahun ke-56). Yogyakarta: Basis.

Suharjanto, L. 2011. Pedagogi Ignasian. Disampaikan dalam Sharing dan Lokakarya” Perancangan Model-Model Pembelajaran Berprinsip Pedagogi Ignasian” di gedung pusat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, tanggal 18 Januari 2011. Manuskrip.

Syaiful, Sagala. 2013. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.

Suparno, Paul. 2001. Keadilan dan Hak Asasi. Yogyakarta: Pusat Studi Ignasian USD.

_______. 2001. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius. Tim Pendamping Live In Gubug Selo. 2011. Panduan Live In SMA Santa Maria


(6)

Tim Pendamping Retret Kesadaran dan Keterlibatan Sosial (RKKS). 2011. Panduan Retret Kesadaran dan Keterlibatan Sosial (RKKS) SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan. Manuskrip.

Tim Penyusun Pusat Pengembangan Penjaminan Mutu Pembelajaran. 2008. Pedoman Model Pembelajaran Berbasis Pedagogi Ignasian. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Tim Redaksi Kanisius. 2008. Paradigma Pedagogi Reflektif: Alternatif Solusi Menuju Idealisme Pendidikan Kristiani. Yogyakarta: Kanisius.

Sewaka, A. 1991. Ajaran dan Pedoman Gereja tentang Pendidikan Katolik. Jakarta: Grasindo.

Sarwono, Sarlito W. 1991. Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali.