Untitled Document

(1)

HENRI HUTABARAT

ZEOLITE :

KECERNAAN NUTRISI

Pusat Kajian Peternakan, Perikanan,

Sumberdaya Pesisir dan Laut

Fakultas Peternakan

UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN

MEDAN


(2)

ZEOLITE :

KECERNAAN NUTRISI

Oleh

Henri Hutabarat

Cetakan pertama, Agustus 2011

Hak Cipta © 2011

Pusat Kajian Peternakan, Perikanan, Sumberdaya Pesisir

dan Laut

Fakultas Peternakan Universitas HKBP Nommensen

Jalan Sutomo No 4 A Medan

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang. Tidak diperkenankan

memperbanyak penerbitan ini dalam bentuk cetak, stensil, offset,

fotocopi, mikrofis atau bentuk lain tanpa izin tertulis dari penerbit

Hutabarat, Henri

Zeolite : kecernaan nutrisi : Pusat Kajian Peternakan, Perikanan, Sumberdaya Pesisir dan Laut Fakultas Peternakan Universitas HKBP Nommensen, 2011.


(3)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI iv

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR TABEL vii

BAB I : PENDAHULUAN 1

1.1. Latar belakang 2

1.2. Tujuan studi 3

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA 4

2.1. Komposisi dan struktur zeolit 5

2.2. Sifat-sifat zeolit 6

2.2.1. Pertukaran kation 6

2.2.2. Adsorpsi 6

2.3. Mekanisme kerja zeolite dalam tubuh ternak 8

2.3.1. Ternak ruminansia 8

2.3.2. Ternak non ruminansia 13

2.4. Hasil-hasil penelitian penggunaan zeolit 15

2.4.1. Unggas 15

2.4.2. Ruminansia 17

2.4.3. Babi 17


(4)

3.1. Tempat penelitian 19

3.2. Bahan dan alat 19

3.2.1. Zeolit 19

3.2.2.Ternak 19

3.2.3. Ransum 20

3.2.4. Peralatan 20

3.3. Metode penelitian 20

3.3.1. Rancangan penelitian 20

3.3.2. Prosedur percobaan 21

3.3.2.1. Ukuran partikel zeolite 21

3.3.2.2. Aktivasi zeolite 21

3.3.2.3. Penyusunan ransum 22

3.3.2.4. Penempatan ternak 22

3.3.2.4. Koleksi feses 22

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN 26

4.1. Kecernaan bahan kering 26

4.2. Kecernaan bahan organik 28

4.3. Kecernaan protein 31

4.4. Kecernaan lemak 33

4.5. Kecernaan serat kasar 37

4.6. Kecernaan abu 39

4.7. Kecernaan energi 42


(5)

5.1. Kesimpulan 46

5.2. Saran 46

DAFTAR PUSTAKA 48


(6)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Susunan ransum selama 4 minggu penelitian 25

Tabel 2. Rataan koefisien cerna bahan kering 26

Tabel 3. Koefisien cerna bahan organik 29

Tabel 4. Koefisien cerna protein kasar 31

Tabel 5. Koefisien cerna lemak 34

Tabel 6. Koefisien cerna serat kasar 37

Tabel 7. Koefisien cerna abu 39

Tabel 8. Koefisien cerna energi 43

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Sidik ragam koefisien cerna bahan kering 51


(7)

Lampiran 3. Sidik ragam koefisien cerna protein kasar 52

Lampiran 4. Sidik ragam koefisien cerna lemak 52

Lampiran 5. Sidik ragam koefisien cerna serat kasar 53

Lampiran 6. Sidik ragam koefisien cerna abu 53

Lampiran 7. Sidik ragam koefisien cerna beta-n 54

Lampiran 8. Sidik ragam koefisien energi 54

KATA PENGANTAR

Mengingat potensi zeolite di bidang peternakan cukup besar namun masih banyak hal-hal yang belum diketahui maka perlu dilakukan penelitian-penelitian lebih lanjut dengan kondisi di Indonesia, misalnya untuk mengetahui aras zeolite yang tepat, ukuran partikel zeolite atau pemanasan ulang zeolite dapat mempengaruhi dan memperbaiki nilai cerna nutrisi ternak monogastrik seperti ternak babi.

Untuk mempelajari maksud tersebut diatas penulis memperoleh dana dari Fakultas Peternakan dan Lembaga Penelitian Universitas HKBP Nommensen untuk mengkaji ulang kemungkinan dapat disusun strategi penelitian dimana


(8)

zeolite alam dapat dimanfaatkan tidak hanya untuk satu kebutuhan, tetapi diupayakan dalam satu paket penelitian dapat berdaya guna rangkap untuk lebih dari satu jenis kebutuhan.

Penulis mengucapkan terima kasih setinggi-tingginya kepada seluruh staf dosen Fakultas Peternakan, istri saya Dra. Antetti Tampubolon, MSc., Apt serta Naomi dan Paulus anak saya yang selalu membantu pengetikan buku ini. Akhirnya penulis mengharapkan kritikan berupa saran-saran dari pembaca untuk penyempurnaan tulisan ini.

Medan, Maret 2011 Henri Hutabarat

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Penggunaan mineral di bidang peternakan bukan merupakan hal yang baru. Penambahan mineral sebagai bahan aditif pada pakan umumnya dilakukan oleh para peneliti atau peternak untuk memenuhi kebutuhan mineral ternak yang bersangkutan. Pada akhir tahun 1950, para peneliti mulai mengembangkan sumber mineral yang lain yaitu kelompok mineral yang disebut zeolite.

Zeolite merupakan bahan tambang yang pertama kali ditemukan, pada tahun 1758 oleh Freiher Alex Frederick Cronstedt, seorang ahli mineral dari Swedia.


(9)

Kata zeolite berasal dari bahasa Yunani yang dalam bahasa Inggrisnya dapat disebut boiling stones. Sejak ditemukannya zeolite, lebih dari 50 spesies telah dapat diidentifikasi dan lebih dari 40 negara menghasilkan bahan tambang tersebut untuk keperluan berbagai bidang kegiatan. Selain itu lebih dari 100 spesies zeolite telah dapat disintesis di laboratorium (Mumpton, 1984; Hawkins, 1984).

Di Indonesia, potensi zeolite alam mencapai jutaan ton yang tersebar di 45 lokasi (Komar, 1987 disitasi Anonimus, 1990). Baru sebagian kecil zeolite Indonesia yang sudah dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Zeolite yang sudah dieksploitasi dan dimanfaatkan diantaranya terletak di kabupaten-kabupaten Bogor, Sukabumi dan Tangerang (Anonimus, 1990).

Zeolit yang banyak dipasarkan di Indonesia merupakan hasil penambangan batu-batuan, berupa garam alumina silikat komplex 3 dimensi yang porous dan bermuatan negatif (Dryer, 1988). Karena itu dapat mengikat kation (cathion) dan berperanan sebagai penukar kation (cathion exchanger), seperti resin sulfonat polystyrene yang lazim dipakai dalam khromatografi asam amino. Mengingat kemampuannya untuk mengikat kation itu, semula zeolit dimanfaatkan sebagai penyerap (sorbent) berbagai kation yang tidak dikehendaki pada pembuatan air minum. Dalam bidang industri juga banyak dimanfaatkan untuk penyerap polutan (pollutant) yang berupa logam berat beracun, seperti Hg dan Pb. Pemakaiannya terus berkembang sehingga sekarang mulai memasuki bidang pertanian. Zeolit mulai banyak dipakai sebagai pakan tambahan (feed additive) dalam bidang peternakan dan perikanan.


(10)

Aplikasi dan potensi zeolite alam maupun sintetik sangat tergantung pada sifat-sifat fisik dan kimiawinya, antara lain ukuran, bentuk dan porositas mineral serta komposisi kimia dan struktur kristal. Banyak penelitian dan pemanfaatan zeolite telah dilakukan di berbagai bidang kegiatan peternakan antara lain sebagai additive makanan ternak.

1.2. Tujuan studi

Dari uraian tersebut diatas maka dilakukan suatu studi untuk mengetahui manfaat zeolite dalam ransum ternak monogastrik dalam hubungannya dengan kecernaan nutrisi yang mencakup kecernaan bahan kering, bahan organik, protein kasar, lemak, serat kasar, abu, beta-n dan efisiensi energi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Komposisi dan Struktur Zeolite

Zeolite adalah tektosilikat, senyawa aluminosilikat terhidrasi dari alkali dan alkali tanah, terdiri dari kerangka tiga dimensi tetrahedra, dimana keempat sudut ion oksigen setiap tetrahedra berhubungan dengan tetrahedra di sebelahnya. Susunan ini menurunkan secara keseluruhan imbangan Si : O menjadi 2 : 1, dan apabila tiap tetrahedra dalam kerangka mengandung Si sebagai kation sentral maka struktur tersebut bersifat netral seperti quartz ( ).


(11)

Dalam struktur zeolite, beberapa atom Si yang bervalensi empat dapat disubstitusi oleh Al yang bervalensi tiga, sehingga mineral berkurang muatan positif atau dengan kata lain mineral tersebut dapat bernuatan negatif. Muatan ini akan dinetralkan atau dapat mengikat kation yang bervalensi satu seperti ,

, dan pada bagian lain dari strukturnya. Formula empiris zelite adalah:

Dimana M adalah suatu alkali atau kation alkali tanah, n adalah valensi kation, x adalah suatu angka dari 2 sampai 0, dan y adalah suatu angka dari 2 sampai 8 (Mumpton, 1984). Sebagai contoh, formula empiris clinoptilolite adalah:

atau

O

Ion – ion dalam tanda kurung pertama dalam formula unit sel diketahui sebagai kation-kation yang dapat bertukar, sedangkan ion-ion yang berada dalam tanda kurung kedua disebut kation-kation struktural dengan oksigen membentuk kerangka tetrahedra struktur tersebut.

Perlu diketahui bahwa imbangan (Al + Si) : O selalu 1 : 2 dalam formula kristal zeolite. Tidak ada zeolite yang dikenal yang mengandung atom Al lebih banyak


(12)

dibandingkan dengan atom Si, sehingga imbangan molekul : selalu sama atau lebih besar dari 2 : 1.

Molekul air yang mudah lepas juga terdaat dalam struktur semua zeolite dan mengelilingi kation yang dapat bertukar tempat. Air menyusun 10 sampai 20% berat struktur dan umumnya dapat dihilangkan dengan pemanasan sampai sekitar 350 C.ᴼ

Tiap spesies zeolite mempunyai struktur kristal, sifat fisik serta kimiawi tersendiri. Beberapa contoh spesies zeolite dengan formula, kapasitas tukar kation, imbangan SI : Al serta kation yang dominan tertera pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1. Formula dan kapasitas tukar kation beberapa spesies zeoli alam

Zeolit Formula kristal Kapasitas

tukar kation, meq/g Analcime Chabazite Clinoptilolite Erionite Heulandite Laumontite Mordenite Phillipsite

Na16 (Al16Si32O96). 16H2O

(Na2, Ca)6 (Al12Si24O72.40 H2O

(Na3K3) (Al6Si30O72). 24 H2O

(Na, Ca0,5,K)9 (Al9Si27O72). 27 H2O

Ca4 (Al8Si28O72). 24 H2O

Ca4 (Al8Si16O48). 16 H2O

Na8 (Al8Si40O96). 24 H2O

(Na,K)5 (Al5Si11O32). 20 H2O

4,54 3,84 2,16 3,12 2,91 4,25, 2,29 3,31

Tabel 2. Imbangan Si: Al dan kation yang dominan spesies zeolit

Zeolit Imbangan Si:Al Kation dominan

Analcime Chabazite Clinoptilolite Erionite

1,7 - 2,9 1,7 – 3,8 4,0 – 5,1 3,0 – 3,6

Na Ca, Na K > Na Na, K


(13)

Heulandite Laumontite Mordenite Phillipsite

2,9 – 4,0 2,0 4,3 – 5,3 1,3 – 3,4

Ca, Na Ca Na>K K, Na, Ca

Clinotilolite dan mordenite mengandung silika banyak, sehingga imbangan Si : Al tinggi. Diantara spesies zeolite yang tertera pada Tabel 1 dan Tabel 2, chabazite, clinoptilolite, erionite, mordenite dan phillipsite adalah spesies zeolite yang paling berguna pada bidang pertanian dan peternakan dan clinoptilolite menenmpati urutan yang pertama. Batuan zeolite umumnya mengandung clinoptilolite sekitar 80% (Hawkins, 1948)

2.2. Sifat – sifat zeolit

Berdasarkan struktur zeolite yang berpori dengan molekul air di dalamnya yang mudah lepas, maka zeolite mempunyai sifat-sifat yang menarik, yaitu dapat mengadakan pertukaran kation, dapat mengadsorpsi gas atau cairan, berfungsi sebagai katalisator, mampu menyaring benda berukuran halus. Di bidang peternakan, kiranya dua sifat yang pertama sangat berperan dalam pemanfaatan zeolite.

2.2.1. Pertukaran kation

Kation yang mudah ditukar dengan struktur zeolite terikat lepas dalam kerangka tetrahedra dan dapat dilepas atau ditukar dengan mudah oleh pencucian dengan larutan yang mengandung kation lain. Proses pertukaran kation terjadi apabila ion dari larutan mengganti ion dalam struktur kristal zeolite. Hal ini terjadi pada seluruh partikel zeolite. Kapasitas tukar kation adalah suatu ukuran dari angka kation penukar ang ada per unit berat atau volume dari zeolite; dan angka


(14)

tersebut menunjukkan angka atau jumlah kation yang tersedia untuk pertukaran. Kapasitas tukar kation ini sangat terciri bagi setiap spesies zeolite (Weber, 1972). Pertukaran kation tidak merupakan proses yang mudah dan cepat. Proses tersebut memerlukan waktu bagi ion-ion untuk mengalami difusi ke dalam atau ke luar dari struktur zeolite. Apabila waktu kontak antara zeolite dan larutan tidak cukup untuk pertukaran kation yang sempurna, maka perlu penambahan jumlah zeolite. Salah satu parameter penting yang mempengaruhi pertukaran kation adalah ukuran partikel. Selain itu jumlah Al yang sedikit dalam kerangka zeolite, misalnya clinoptilolite akan menyebabkan kapasitas tukar ion relatif rendah (sekitar 2,2 meq/g). Meskipun demikian, selektivitas kationnya adalah:

Ca > Rb > K > > Ba > Sr > Na > Ca > Fe > Al > Mg > Li

(Ames, 1960), sehingga clinoptilolite mempunyai pilihan yang pasti untuk kation yang lebih besar dan selectivitasnya untuk digunakan oleh Ames (1967) untuk menghilangkan nitrogen amonia dari buangan kotoran.

Perlu diketahui, bahwa dalam praktek harus berkompetisi dengan kation

lain (misalnya , ) yang tersedia di dalam larutan untuk dapat terikat di

struktur zeolite. Apabila konsentrasi dan meningkat, kapasitas tukar

kation berkurang bagi , sehingga zeolite kurang efektif dalam mengurangi


(15)

2.2.2 Adsorpsi

Air harus dihilangkan dari kristal zeolite sebelum adsorpsi molekul dapat terlaksana, yaitu dengan pengeringan pada suhu antara 350 sampai 400 C.ᴼ

Faktor yang mempengaruhi variasi sifat adsorpsi zeolite antara lain imbangan Si : Al (bervariasi antara 1 sampai 5), tipe, konsentrasi dan letak kation dalam struktur zeolite alam. Dibidang peternakan, sifat adsorpsi zeolite dapat diaplikasikan misalnya pada pemurnian metan yang dihasilkan dalam pencernaan aerobik atau kotoran ternak.

2.3. Mekanisme kerja zeolite dalam tubuh ternak

Sehubungan dengan sifat-sifat fisik dan kimia yang dibahas dijelaskan pada bab terdahulu, berikut ini akan dibahas bagaimana aktivitas-aktivitas zeolite ini apabila diberikan kepada ternak, serta manfaat apa yang diperoleh. Mengingat adanya perbedaan prinsip metabolisme antara golongan ternak ruminansia dan non ruminansia, maka pembahasan diperinci kedalam dua golongan ini:

2.3.1. Ternak Ruminansia

Ternak ruminansia dewasa (misalnya sapi, kerbau, kambing, domba) terciri dengan perut gandanya, terdiri atas reticulum, rumen, omasum dan abomasum.

Perhatian akan difokuskan kepada rumen. Kecuali ukurannya yang sangat besar, yang menurut Church (1969) ukuran rumen merupakan media yang kompleks untuk terselenggaranya interaksi antara pakan, mikrobia dalam rumen dan si ternak, yang secara terperinci dibahas oleh Van Soest (1982). Disinilah terjadi proses metabolisme karbohidrat dan protein, yang oleh manusia dapat diatur


(16)

terutama melalui jenis dan cara-cara pemberian pakan, agar diperoleh hasil yang dikehendaki.

Untuk ruminansia, nitrogen (unsur pkok dalam protein) diberikan melalui pakan dalam bentuk protein dan dalam bentuk non protein. Tujuan akhir adalah tersedianya asam amino yang akan diserap dalam intestine, setelah melewati

reticulo-rumen.

Ada dua strategi yang utama dalam pemberian nitrogen (Chalupa, 1975). Pertama, nitrogen non protein (NNP) misalnya ures, yang menghasilkan amonia diharapkan dapat dimanfaatkan oleh mikrobia rumen untuk berkembang biak, sekaligus ke intestine dapat diserap dan dimanfaatkan untuk produksi daging, susu atau produk lain ternak ruminansia. Kedua, nitrogen dalam protein terutama dari bahan pakan sumber protein yang biasanya berharga mahal, harus

di-bypass-kan, langsung ke intestine untuk menyediakan asam amino. Apabila tidak

di-bypass-kan protein demikian akan mengalaim degradasi dalam rumen, dan

yang terjadi adalah produksi amonia, sama saja dengan yang terjadi dalam pemberian ure yang relatif sangat murah. Jadi, sebenarnya strategi tersebut tiada lain adalah memaksimumkan sintesis protein oleh mirobia dalam rumen dengan menggunakan amonia yang berasal dari HHP; sementara itu, bypass

protein juga harus dimaksimumkan.

Kemampuan zeolite dalam aktivitas pertukaran kationnya bukan tidak mungkin dapat mempengaruhi metabolisme bakteri rumen. Clinoptilolite, yang merupakan


(17)

salah satu pilihan dalam kemampuan pertukaran ionnya dengan merupakan dasar pemakaian zeolite pada ternak ruminansia, yaitu untuk mengurangi pengaruh keracunan dari yang tinggi dalam cairan rumen, terutama bila ruminansia diberi bahan pakan NNP misalnya urea dan biuret. Amonium yang terbentuk dari dekomposisi NNP oleh enzim urease akan segera ditukar dengan kation zeolite sehingga akan terikat pada struktur zeolite

selama beberapa jam sampai akhirnya dilepas kembali oleh aksi regeneratif yang masuk ke dalama rumen bersama saliva selama periode fermentasi setelah pemberian pakan. Penelitian-penelitian, baik in vitro maupun in vivo, menunjukkan bahwa zeolite mampu menyerap untuk kemudian melepaskan ion amonium dalam cairan rumen sebesar 15% (White dan Ohlrogge, 1974). Secara

gradual ion amonium dilepaskan dan memberi peluang kepada mikrobia rumen

menyintesis protein seluler dengan lebih baik. Hal ini dapat dikatakan bahwa zeolite merupakan reservoir amonia (Mumpton dan Fishman, 1977) dan memberikan peluang lebih besar untuk suplementasi NNP pada pakan. Hal inilah yang dijadikan oleh orang-orang Kanada untuk mendapatkan patent penggunaan zeolite dalam ransum ruminansia yang mengandung urea.

Kemampuan zeolit yang lain dalam rumen dikemukakan oleh Petersen (McCollum dan Galyean, 1983), yaitu bahwa bila zeolit diberikan ke dalam suasana asam, dapat melakukan pertukaran ion dengan ion hidrogen. Ini berarti bahwa zeolit bertindak sebagai buffer atau penyangga. Hal ini sangat penting


(18)

khususnya untuk ternak yang diberi konsentrat dalam porsi yang besar seperti penelitian yang dilakukan oleh McCollum dan Galyean (1983) untuk penggemukan sapi.

Penelitian-penelitian tentang larutan penyangga misalnya natrium bikarbonat untuk ternak ruminansia telah banyak dilakukan. Pada ternak perah, penelitian ini sangat bermanfaat mengingat variasi porsi konsentrat (yang mempengaruhi keasaman rumen) dapat mengakibatkan penyakit metabolisme disamping mengakibatkan variasi bikarbonat selanjutnya mempunyai pengaruh-pengaruh 1) terhadap lemak susu (Muller dan Kilmer, 1969), 2) meningkatkan konsumsi bahan kering dan produksi susu serta mengurangi jumlah sapi yang enggan makan (Kilmer dan Muller, 1981), bila ransum diubah dari yang porsi hijauannya tinggi menjadi ransum yang porsi konsentratnya tinggi, dan 3) kecernaan seratnya juga mengingkat (Rogers et al., 1982).

Dengan pertimbangan bahwa zeolit mempunyai peranan serupa, maka Jonhson et al. (1988), melakukan percobaan dengan ternak perah untuk membandingkan peranan antara natrium bikarbonat dengan zeolit atau gabungan keduanya. Galyean dan Chabot (1981) membandingkannya dengan natrium bentonit dan penyangga garam McDougall untuk sapi potong dengan ransum yang tinggi porsi hijauannya. Sebenarnya, penelitian-penelitian ini mengharapkan zeolit berperanan dalam penyerapan cairan atau liquid dilution rate. Dengan demikian, akan meningkatkan efisiensi fermentasi dalam rumen.

Seperti telah disebutkan di muka bahwa fermentasi dalam rumen sangat kompleks dengan interaksi antara jenis pakan yang masuk, perkembangan


(19)

mikrobia rumen dan ternak itu sendiri. Interaksi ini pun dapat diamati bila ditinjau dari segi metabolisme karbohidrat. Zeolit yang hadir dalam rumen karena sifat kimia dan fisiknya, dapat mempengaruhi pola produksi valatile fatty acids, dan tentunya akan berpengaruh pada produksi ternak. Sweeney et al. (1980) melaporkan bahwa nisbah asetat: propionat meningkat pada sapi perah dengan ransum yang diberi zeolit.

Demikianlah, zeolit pada ternak ruminansia dewasa yang rumennya telah berkembang, terlihat peranan utamanya dalam mempengaruhi proses fermentasi dalam rumen. Disamping peranan ini, peranan lain yang dapat diberikan pula oleh zeolit pada ternak ruminansia muda adalah dalam kaitannya dengan penyerapan molekul air yaitu dalam hal mengurangi terjadinya diarrhea atau tinja lembab, untuk selanjutnya meningkatkan pertumbuhan dengan meningkatnya nafsu makan, seperti dilaporkan oleh Kondo et al. Dari Jepang (Mumpton dan Fishman, 1977) pada pedet.

Sehubungan dengan pertukaran ion yang dapat dilakukan, zeolit ternyata juga berperanan dalam menanggulangi masalah keracunan mineral tertentu. Domba pada umumnya kurang tahan terhadap keracunan Cu. Walaupun domba pada padang pengembalaan tanpa suplementasi Cu, dilaporkan terjadi keracunan Cu karena kadar Cu dalam tanah atau rumput tinggi (Underwood, 1977). Clinoptilolit dicoba oleh Pond (1989) untuk domba. Data menunjukkan adanya pengaruh yang menguntungkan bahwa clinoptilolit meningkatkan pertambahan berat badan bila kadar protein cukup. Walaupun clinoptilolit dapat mencegah keracunan Cd, Pb dan amonia, namun pencegahan terhadap keracunan Cu


(20)

belum dapat dibuktikan dengan alasan nisbah antara Cu dan clinoptilolit yang tidak tepat dan juga karena adanya kompetisi ion Cu dengan ion-ion lain pada pakan dalam saluran pencernaan.

2.3.2 Ternak non ruminansia

Kalau pada ternak ruminansia perhatian mengenai peranan zeolit telah banyak difokuskan pada proses fermentasi dalam rumen dan peranan zeolit sebagai

reservoir nitrogen, sebenarnya pada ternak non ruminansia serupa, karena sifat

fisik dan kimia yang dimiliki oleh zeolit yaitu struktur kristal, kemampuan adsorpsi dan pertukaran ion. Dengan demikian dalam proses pencernaan pakan pada ternak non ruminansia, zeolit dapat berperan 1) memperlambat laju pakan dalam saluran pencernaan sehingga memberi peluang lebih besar untuk penyerapan zat-zat makanan; 2) penyerapan zat-zat antimetabolit yang menyebabkan gangguan proses pencernaan dan keracunan sehingga meningkatkan kesehatan atau mengurangi kejadian-kejadian timbulnya penyakit; 3) partikel zeolit mungkin juga dapat merangsang lapisan saluran pencernaan sehingga mengakibatkan ternak dapat membentuk antibody, dan selanjutnya dapat bertahan dan melawan masuknya penyakit.

Mumpton dan Fishman (1977) mengadakan review tentang penelitian-penelitian penggunaan zeoli dalam pakan ayam dan babi di Jepang sekitar tahun 1960-an. Pada umumnya apa yang dihasilkan pada penelitian-penelitian ini didasarkan atas mekanisme kerja zeolit seperti disebutkan diatas.


(21)

Baik pada ternak ruminansia maupun ternak non ruminansia, semua penelitian pada umumnya dilakukan dengan tujuan untuk: 1) mendapatkan gambaran bagaimana mekanisme zeolit melakukan perananya; 2) mengharapkan pengaruh yang menguntungkan terhadap penampilan produksi baik secara tidak langsung melalui pencegahan penyakit maupun langsung ke peningkatan produksi misalnya peningkatan kualita dan kuantita susu, pertambahan berat badan, prosuksi telur atau perbaikan efisiensi penggunaan pakan; 3) mendapatkan dosis zeolit yang tepat dalam ransum. Ternyata seperti dikemukakan pada bab berikutnya, hasilnya masih belum konsisten.

2.4. Hasil-hasil penelitian penggunaan zeolit

Berikut ini adalah tinjauan tentang hasil-hasil penelitian penggunaan zeolit dalam pakan ternak. Dari pustaka yang disajikan disini, terlihat bahwa walaupun beberapa penelitian bertujuan untuk membuktikan teori mekanisme bagaimana zeolit berperan dalam proses pencernaan pakan dan metabolismenya, tujuan akhir tentunya adalah ingin mengetahui manfaat zeolit dalam meningkatkan produksi dengan segala parameternya.

2.4.1. Unggas

Penelitian penggunaan zeolit terhadap penampilan puyuh Jepang (Coturnix coturnix japonika) telah dilakukan oleh Wijaya (1988) selama 4 empat minggu dengan penambahan sebanyak 0; 0,5; 1,0 dan 1,5% zeolit dalam ransum. Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa zeolit tidak nyata mempengaruhi pertambahan bobot badan, konversi ransum dan konsumsi air minum. Zeolit


(22)

hanya mempengaruhi konsumsi air minum pada minggu ke-6 secara nyata. Akan tetapi disebutkan pula bahwa secara biologis zeolit menunjukkan kecenderungan meningkatkan pertambahan bobot badan, meningkatkan konsumsi ransum, memperbaiki efisiensi penggunaan ransum dan meningkatkan konsumsi ransum, masing-masing 99,0 gram/ekor/minggu, 413,61 gram/ekor/minggu, 4,19 (gram ransum/gram bobot badan/minggu) dan 28,61 ml/ekor/hari untuk ransum tanpa pemberian zeolit dibandingkan dengan pemberian 1,5% zeolit dimana hasilnya masing-masing 101,23 gram/ekor/minggu, 412,96 gram/ekor/minggu, 4,12 (gram ransum/gram bobot badan/minggu) dan 33,76 ml/ekor/hari. Penelitian tentang pemberian zeolit dalam ransum puyuh belum banyak dilakukan meskipun di luar negeri sehingga tidak diperoleh data sebagai pembanding.

Penambahan zeolit dalam ransum komersial untuk meningkatkan produksi broiler telah dilakukan oleh Suijah (1990) untuk mengkaji kebenaran tentang perbaikan penampilan produksi ayam broiler dengan penambahan zeolit dalam ransumnya. Hasil pengamatan yang dilakukan adalah bahwa penambahan zeolit sampai dengan 4 persen dalam ransum tidak mempengaruhi rataan pertambahan berat badan, konsumsi ransum, konsumsi air minum, namun sangat nyata meningkatkan efisiensi penggunaan pakan serta meningkatkan “Income Over Feed Cost” dengan meningkatnya taraf zeolit dalam ransum. Efisiensi penggunaan makanan yang diperoleh dari masing-masing perlakuan pemberian zeolit ransum (0%,1%,2%,3% dan 4%) adalah 0,502; 0,513; 0,521; 0,530 dan 0,531 dengan perkataan lain ransum yang mengandung empat persen zeolit memiliki efisiensi penggunaan pakan 5,78% lebih baik dibandingkan


(23)

dengan kontrol. Penelitian ini didukung oleh Onagi dalam Mumpton dan Fishman (1977) yang melaporkan adanya kenaikan efisiensi penggunaan pakan sebesar 20% dibanding kontrol dengan penambahan 10% clinoptilolit dalam ransum.

2.4.2. Ruminansia

Penelitian pendahuluan tentang penggunaan zeolit untuk ruminansia kerbau dan domba telah dilakukan secara in vitro oleh Nainggolan (1989) untuk melihat pengaruh berbagai taraf zeoli terhadap produksi N-NH3, VFA, kecernaan bahan

kering dan kecernaan bahan organik (KBO), sehingga taraf optinum/maksimum zeolit untuk aktivitas mikroba rumen kerbau dan domba dapat ditentukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian zeolit berpengaruh sangat nyata terhadap produksi N-NH3 dan KBO serta berpengaruh nyata terhadap produksi

VFA dimana pemberian taraf zeolit duaa persen menghasilkan produksi VFA maksimum.

2.4.3. Babi

Pemberian mineral zeolit dalam ransum terhadap penampilan ternak babi lepas sapih telah diteliti oleh Sianturi (1988) dengan taraf pemberian 0%; 1,5%; 3%; 4,5% dan 6 %. Zeolit dalam ransum. Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa pengaruh perlakuan terhadap konsumsi ransum, pertambahan berat badan harian, konversi ransum, dan tebal lemak punggung tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, tetapi pemberian enam persen zeolit dalam ransum memberi nilai ekonomis yang paling tinggi.


(24)

Selanjutnya Sianturi (1988) menjelaskan bahwa pemberian zeolit enam persen dalam ransum dapat meningkatkan konsumsi ransum (18,04%), pertambahan berat badan harian (13,36%) dan pendapatan (7,40%) tetapi konversi ransum lebih jelek (2,74%) dan lemak punggung yang lebih tebal (7,69%) dibandingkan dengan ransum kontrol. Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan zeolit melebihi 6 persen dalam ransum masih dapat dilakukan sejauh masih dapat memberikan keuntungan yang lebih besar.

BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1. Lokasi penelitian


(25)

Penelitian ini dilakukan di Teaching Farm Fakultas Peternakan Universitas HKBP Nommensen Desa Simalingkar selama 4 minggu.

3.2. Bahan penelitian 3.2.1. Zeolite

Zeolite yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari PT Wonder yang merupakan produk dengan bahan dasar zeolite yang telah mengalami aktivasi sebelumnya. Melalui ayakan goyang dengan tangan “shaking screen”, zeofeed dibagi atas dua ukuran, yaitu ukuran partikel -28+48 mesh dan -48+60 mesh. Selanjutnya zeofeed diaktivasi ulang melalui alat disebut “exhauster” pada suhu 3500 C selama 3 jam.

3.2.2. Ternak

27 ekor babi hasil persilangan dengan rataan berat badan ± 35 kg digunakan sebagai ternak percobaan dan setiap kombinasi perlakuan digunakan 3 ekor babi (2 ekor jantan kastrasi dan satu ekor betina) sebagai ulangan.

3.2.3. Ransum

Sebagai bahan penyusun ransum terdiri dari : jagung kuning, dedak kasar, dedak halus, bungkil kedelai, bungkil kelapa, minyak nabati, tepung tulang dan premix. Ransum yang menjadi perlakuan disusun berdasarkan pedoman NRC (1979) yaitu berdasarkan kebutuhan protein dan energi sesuai dengan berat badan. Persentase pemakaian zeolite dalam ransum dilakukan dengan subsitusi dedak kasar, sementara porsi bahan makanan lain dalam porsi yang tetap. Pada tabel 1 disarikan susunan ransum percobaan selama penelitian.


(26)

3.2.4. Peralatan

Penelitian ini menggunakan kandang setengah terbuka dengan lantai dan dinding kandang terbuat dari semen berukuran 2 meter persegi. Penempatan ternak dalam kandang dibuat secara individual dengan 27 petakan kandang.

3.3. Metode penelitian

3.3.1. Rancangan penelitian

Penelitian ini dibuat secara faktorial 2 x 2 x 2 dengan rancangan acak lengkap (Steel dan Torrie, 1980). Faktor pertama ialah taraf zeolite dalam ransum (4,5% dan 9%), faktor kedua adalah ukuran partikel zeolite (partikel kasar -28+48 mesh dan partikel halus -48+60 mesh), dan faktor ketiga ialah aktivasi pemanasan (pemanasan ulang dan tanpa pemanasan). Setiap kombinasi perlakuan ada tiga ekor ternak sebagai ulangan, dan sebagai pembanding tanpa perlakuan diberikan ransum kontrol. Dengan demikian hanya ternak yang menerima perlakuan yang diuji keragamannya dan ransum kontrol hanya sebagai pembanding.

3.3.2. Prosedur percobaan 3.3.2.1. Ukuran partikel zeolite

Ukuran partikel zeofeed yang diambil dari pabrik tidak diketahui ukurannya. Melalui ayakan goyang dengan tangan, ukuran partikel zeolite dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu 1) partikel kasar ukuran -28+48 mesh, dan 2) partikel halus ukuran -48+60 mesh).


(27)

3.3.2.2. Aktivasi zeolite

Pemanasan ulang zeolite dilakukan dalam oven pada suhu 300oC selama 2,5

jam kemudian zeolite dimasukkan ke dalam kantong kedap udara, dan zeolite tanpa pemanasan disimpan dalam plastik. Kemudian dari tiap ukuran dibagi dua bagian, yaitu 1) kelompok yang dipanaskan (aktivasi ulang), dan 2) kelompok tanpa dipanaskan.

3.3.2.3. Penyusunan ransum

Penyusunan bahan pakan dimulai dari persentase bahan terkecil sampai terbesar. Tahap pertama, bahan berbentuk halus (dedak halus, bungkil kelapa, tepung tulang, tepung ikan dan premix-D), ditimbang dan dicampur hingga tercampur merata. Kemudian zeolite disatukan dan diaduk sampai merata. Tahap kedua, bahan berbentuk kasar (jagung kuning, bungkil kedelai dan dedak kasar), dicampur dan diaduk sampai merata. Tahap ketiga, disatukan bahan halus dan kasar kemudian diaduk dengan tangan sampai kelihatan menyatu dan merata. Penyusunan ransum dilakukan sekali seminggu, dan setiap kali penyusunan diambil 100 gram untuk dianalisa secara laboratorium.

3.3.2.4. Penempatan ternak

Semua ternak dipelihara dalam kandang secara individual. Untuk menjaga kebersihan dan kesehaatan ternak, setiap minggu sekali ternak dimandikan. Ransum dan air minum diberikan secara ad libitum. Untuk menghilangkan pengaruh ransum sebelumnya dilakukan masa penyesuaian selama seminggu.


(28)

3.3.2.5. Koleksi feses

Untuk menentukan kecernaan bahan kering dan bahan organik (protein, lemak, serat kasr, beta-n, energi dan abu) digunakan metode koleksi feses menurut pedoman Cramton dan Harris (1969) dengan perhitungan sebagai berikut:

KACBK = x 100%

KCBO = x 100

KCBK = Koefisien cerna bahan kering BKK = Bahan Kering Konsumsi BKF = Bahan Kering Dalam Feses KCBO = Koefisien Cerna Bahan Organik KBO = Konsumsi Bahan Organik BOF = Bahan Organik Dalam Feses

Feses dikumpulkan pada setiap kandang, dan disimpan di dalam kantong plastik. Koleksi feses dilakukan setiap minggu sampai minggu keempat. Setiap pengumpulan feses dikeringkan dibawah sinar matahari sampai betul-betul kering dan diambil 100 gram untuk dianalisa di laboratorium. Sampel yang telah terkumpul dikompositkan kemudian diambil 100 gram untuk dianalisis di laboratorium secara proksimat. Medode analisa proksimat adalah menurut pedoman A.O.A.C (1975).


(29)

3.4. Analisa data

Data hasil percobaan dianalisa menurut pedoman steel dan Torrie (1980), sedangkan interpretasi data menurut Little (1981). Model matematis yang digunakan adalah sebagai berikut :

Y(i j k)l = M + Ti + Uj + TUij + Ak + TAik + UAjk + TUAijk + E (ijk)l

i = 1, 2 (taraf zeolite)

j = 1, 2 (ukuran partikel zeolite) k = 1, 2 (aktivasi pemanasan)

l = 1, 2, 3 (ulangan setiap perlakuan)

Yijk = pengaruh taraf ke-i, partikel zeolit ke-j dan aktivasi ke-k

M = rataan umum

Ti = pegaruh taraf zeolite ke-i

Uj = pengaruh partikel zeolite ke-j

TUij = interaksi taraf zeolite ke-i ukuran partikel zeolite ke-j

Ak = aktivitasi pemanasan ke-k

TAik = interaksi taraf ke-i aktivasi ke-k

UAjk = interaksi ukuran zeolite ke-j dengan aktivasi ke-k


(30)

Tabel 1. Susunan ransum selama 4 minggu penelitian

Bahan Perlakuan

kontrol L1P1A1 L1P1A2 L1P2A1 L1P2A2 L2P1A1 L2P1A2 L2P2A1 L2P2A2 Jagung 58 58 58 58 58 58 58 58 58 Dedak

kasar

9 4,5 4,5 4,5 4,5 − − − − Dedak

Halus

2 2 2 2 2 2 2 2 2

Tepung ikan

11 11 11 11 11 11 11 11 11 Bungkil

kedelai

11 11 11 11 11 11 11 11 11 Bungkil

Kelapa

3 3 3 3 3 3 3 3 3

Minyak Nabati

5 5 5 5 5 5 5 5 5

Tepung TULANG

0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 Premix-D 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 Zeolit − 4,5 4,5 4,5 4,5 9 9 9 9

Keterangan :

Kontrol : ransum normal + 4,5 % zeolit

L1P1A1 : ransum normal + 4,5 % zeolit partikel halus 65 mesh aktivasi pabrik L1P1A2 : ransum normal + 4,5 % zeolit Partikel halus 65 mesh aktivasi ulang L1P2A1 : ransum normal + 4,5 % zeolit partikel kasar 55 mesh aktivasi pabrik L1P2A2 :ransum normal + 4,5% zeolit partikel kasar 55 mesh aktivasi ulang L2P1A1 : ransum normal +9,0% zeolit partikel halus 65 mesh aktivasi pabrik L2P1A2 : ransum normal + 9,0% zeolit partikel halus 65 mesh aktivasi ulang L2P2A1 : ransum normal + 9,0% zeolit partikel kasar 55 mesh aktivasi pabrik L2P2A2 : ransum normal + 9,0% zeolit partikel kasar 55 mesh aktivasi ulang


(31)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.Kecernaan Bahan Kering

Pada Tabel 2 disajikan data koefisien cerna bahwa kering ransum selama 10 minggu percobaan. bila diamati data kecernaan bahan kering pemberian 4,5% zeolit dalam ransum kencernaan bahan kering meningkat dari 79,2 menjadi 80,7%, namun dengan pemberian zeolit 9,0% ternyata kecernaan bahan kering menurun dari 75,2 menjadi 76,6% dibandingkan pemberian ransum kontrol. Hal ini mungkin pada taraf pemberian 4,5% lingkungan

Tabel 2. Rataan koefisien cerna bahan kering


(32)

4,5% 9,0%

Halus Kasar Halus Kasar

Ula-ngan

kontrol APb AUc AP AU AP AU AP AU

1 80,50 82,78 80,11 78,33 82,61 75,03 78,73 75,52 74,60

2 79,11 78,70 79,45 79,70 82,39 79,70 75,58 76,87 79,98

3 79,09 78,84 80,33 82,04 82,59 78,74 72,57 75,28 75,95

Rata

rata 79,57 80,11 80,02 79,94 82,53 77,82 75,63 75,89 76,85

Keterangan : aTaraf zeolite berpengaruh sangat nyata (P<0,01) bAP = Aktifitas pabrik

CAU = Aktivasi ulang

koefisien keragaman = 3,66%

mikrobial lebih stabil melakukan fermentasi di saluran pencernaan (White dan Ohlrogge, 1974); tetapi pada taraf pemberian 9,0% diduga tidak sebanding ransum yang dikonsumsi dengan mineral-mineral tak tercerna yang berasal dari bantuan zeolit (Sweeney dan Cervantes, 1984).

Kecernaan bahan kering sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dengan pemberian 4,5% zeolit dari pada taraf pemberian 9,0% (80,70 VS 76,60%). Keadaan ini mungkin berkaitan dengan mineral-mineral yang sulit dicerna yang lebih banyak ditemukan dengan taraf pemberian zeolit yang lebih tinggi dalam ransum. Hasil yang mirip dilaporkan Aritonang dan Silalahi (1990) bahwa pemberian 6,0% zeolit dalam ransum babi kecernaan bahan kering nyata berbeda lebih rendah dibandingkan taraf pemberian yang lebih rendah yaitu 3,0%, meskipun tidak nyata berbeda dengan taraf pemberian 1,5 dan 4,5%. Tsitsishvili et al (1984) juga menemukan bahwa penggunaan 5,0 dan 8,0% clinoptiloit dalam ransum babi kecernaan bahan kering tidak berbeda nyata, tetapi kecernaan bahan kering cenderung lebih tinggi dengan pemberian 8,0%.


(33)

Ukuran partikel zeolit baik partikel kasar maupun partikel halus, dan aktivasi pemanasan zeolit baik aktivasi pabrik maupun aktivasi ulang tidak berpengaruh nyata terhadap kecernaan bahan kering, tetapi memberikan koefisien cerna yang sama masing-masing sebesar 78,4% baik partikel halus maupun kasar; demikian pula aktivasi zeolit masing-masing menghasilkan koefisien sebesar 78,8% baik aktivasi pabrik maupun aktivasi ulang. Hal ini mungkin dapat dihubungkan dengan konsumsi ransum yang tidak berbeda nyata, tetapi dengan pemberian zeolit partikel kemungkinan partikel bahan makanan lebih banyak tercerna; sedangkan zeolit yang diaktivasi ulang aktivitas zeolit dalam proses pertukaran kation dan penyerapan bahan kering kemungkinan lebih tinggi dibandingkan yang diaktivasi pabrik.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian zeolit taraf 4.5% partikel kasar yang diaktivasi ulang kecernaan bahan kering lebih tinggi, sedangkan pemberian taraf 9,0% partikel halus yang diaktivasi pabrik kecernaan bahan organik lebih rendah dibandingkan perlakuan zeolit lainnya dalam ransum.

4.2. Kecernaan bahan organik

Pada tabel 3 disuguhkan rataan kecernaan bahan organik selama 10 minggu percobaan. Bila diamati data koefisien cerna bahan organik terlihat bahwa koefisien cerna bahan organik ransum secara umum meningkat dari 83,7 menjadi 86,3% untuk taraf zeolit 4,5%, dan meningkat dari 83,7 menjadi 85,4% untuk taraf zeolit 9,0% dibandingkan pemberian ransum kontrol. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Torri (1977) untuk ayam dan babi menurut Mumpton


(34)

dan Fishman (1977) disebabkan penurunan kadar air bagi pertumbuhan mikrobial yang terlihat pada feses.

Tabel 3. Koefisien cerna bahan organik

Z e o l i t

4,5% 9,0%

Halus Kasar Halus Kasar

Ula-ngan

kontrol APa AUb AP AU AP AU AP AU

1 84,47 87,87 85,47 84,41 88,19 84,50 86,38 85,88 83,47 2 85,05 86,02 85,09 85,04 86,88 86,33 84,24 85,49 87,29 3 81,63 85,38 85,91 85,91 87,58 86,30 84,34 85,07 85,99 Rata

rata 83,72 86,42 85,49 85,65 87,55 85,71 84,98 85,48 85,58

Keterangan : aAP = Aktifitas pabrik bAU = Aktivasi ulang

koefisien keragaman = 1,45%

Analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian zeolit baik taraf 4,5 maupun 9,0% dalam ransum tidak berpengaruh nyata terhadap kecernaan bahan organik, meskipun kecernaan bahan organik meskipun kecernaan bahan organik sedikit berbeda lebih tinggi dengan pemberian 4,5% (86,3 vs 85,4%). Hal yang serupa dilaporkan Tsitsishvili et al (1984). Dalam pemberian 8,0% klinoptilolit tidak nyata berbeda dengan taraf 5,0%, namun kecernaan bahan organik cenderung lebih tinggi pada taraf pemberian 8,0%. Hal ini mungkin pada taraf pemberian yang lebih rendah (4,5%), waktu kontak antara zeolit dan larutan tidak cukup untuk pertukaran kation yang sempurna, maka perlu penambahan jumlah zeolit.

Kecernaan bahan organik tidak nyata dipengaruhi oleh ukuran partikel zeolit baik pertikel kasar (85,7 vs 86,1%). Keadaan ini mungkin berhubungan dengan luas


(35)

menampung zeolit partikel kasar yang lebih cepat berhubungan dengan bahan-bahan makanan atau jumlah Al yang lebih sedikit terdapat dalam kerangka. Sedangkan aktivasi pemanasan zeolit baik aktivitas pabrik maupun aktivasi ulang tidak memberikan pengaruh nyata, tetapi menghasilkan koefisien cerna yang serupa masing-masing sebesar 85,9% terhadap kecernaan bahan organik. Keadaan ini menunjukkan bahwa aktivasi ulang zeolit tidak mempengaruhi sifat-sifat zeolit terutama dalam pertukan ion maupun penyerapan. Hal ini mungkin aktivasi ulang yang dilakukan dalam percobaan ini tidak mendukung terbentuknya ronggo-rongga yang mikro-porous yang diharapkan sangat aktif dalam proses penyerapan maupun pertukaran ion.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kecernaan bahan organik lebih tinggi pada pemberian zeolit taraf 4,5% partikel kasar baik aktivasi pabrik maupun diaktivasi ulang, sedangkan kecernaan bahan organik lebih rendah pada pemberian zeolit taraf 9,0% berpartikel halus baik yang diaktivasi ulang maupun diaktivasi pabrik dibandingkan perlakuan zeolit lainnya dalam ransum.

4.3. Kecernaan protein

Pada tabel 4 disarikan rataan kecernaan protein ransum selama 10 minggu. Jika dilihat data koefisien cerna protein dalam penelitian ini ternyata kecernaan protein secara menyeluruh meningkat dari 82,4 menjadi 85,7% untuk taraf


(36)

pemberian 4,5% zeolit dan meningkat dari 82,4 menjadi 84,8% untuk taraf pemberian 9,0% zeolit dibandingkan pemberian ransum kontrol.

Tabel 4. Koefisien cerna protein kasar

Z e o l i t

4,5% 9,0%

Halus Kasar Halus Kasar

Ula-ngan

kontrol AP AU AP AU AP AU AP AU 1 85,13 88,44 86,26 82,82 88,06 83,60 85,44 85,47 81,71 2 84,73 84,15 85,73 84,73 87,42 85,93 83,97 90,49 85,49 3 84,25 85,68 84,05 84,25 87,31 82,00 83,63 85,73 84,06 Rata

rata 82,43 86,09 85,35 83,93 87,60 83,84 84,35 87,23 83,75

koefisien keragaman = 3,66%

Keadaan ini menunjukkan bahwa pemberian zeolit dalam ransum meningkatkan efisiensi konversi nitrogen bahan makanan menjadi protein hewani (Nestorov, 1984). Hal ini disebabkan kehadiran zeolit dalam ransum dapat melakukan manipulasi kecernaan protein sehingga kadar NH3 di saluran pencernaan berada

pada batas yang normal sehingga memacu laju pertumbuhan dan meningkatkan efisiensi pengggunaan makanan (Tsitsishvili et al, 1984).

Analisis statistik menunjukkan bahwa pemperian zeolit dalam ransum baik taraf 4,5 dan 9,0% tidak berpengaruh nyata terhadap kecernaan protein, tetapi kecernaan protein cenderung lebih tinggi dengan taraf pemberian 4,5% (85,7 Vs

84,8%). Hasil percobaan ini sejalan dengan penelitian Tsitsishvili et al (1984) yang menunjukkan bahwa kecernaan protein tidak nyata dipengaruhi oleh taraf pemberian 5,0 dan 8,0% klinoptilolit dalam ransum babi , tetapi kecernaan protein cenderung lebih tinggi pada taraf pemberian 8,0%; akan tetapi, penelitian


(37)

Aritonang dan Silalahi (1990) kecernaan protein berbeda nyata lebih rendah bila pemberian zeolit dilakukan pada taraf 6,0% dibandingkan taraf pemberian 1,5, 3,0 dan 4,5%. Keadaan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan kondisi percobaan.

Analisa statistik menunjukkan bahwa ukuran partikel zeolit baik partikel l kasar maupun partikel halus tidak nyta berpengaruh terhadap kecernaan protein, tetapi kecernaan protein lebih tinggi pada pemberian zeolit partikel kasar (86,6 vs

84,9%). Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan nyata konsumsi protein yang lebih rendah pada pemberian zeolit partikel kasar. Disamping itu, secara teoritis bahwa NH4+ harus berkompetisi dengan kation lain (Na+ dan Ca++) yang

ada di dalam larutan untuk dapat terikat pada sturktur zeolit (Breck, 1974).

Secara statistik kecernaan protein tidak nyata berbeda baik yang diaktivasi pabrik maupun diaktivasi ualang karena masing-masing sebesar 85,3%. Hal ini mungkin karena kadar NH3 disaluran pencernaan masih berada pada batas yang

normal. Keadaan ini didukung juga tidak nyata perbedaan konsumsi protein diantara perlakuan sehingga di perkirakan tidak berlangsung deaminasi protein di saluran pencernaan.

Dari hasil penelitian ini diungkapkan bahwa pemberian zeolit taraf 4,5% partikel kasar baik yang diaktivasi pabrik maupun diaktivasi ulang kecernaan protein lebih tinggi, sedangkan pemberian zeolit taraf 9,0%, partikel halus baik yang diaktivasi pabrik maupun diaktivasi ulang mengakibatkan kecernaan protein lebih rendah dibandingkan perlakuan zeolit lainnya dalam ransum.


(38)

4.4. Kecernaan lemak

Pada Tabel 5 disuguhkan data koenfensien cerna lemak selama 10 minggu percobaan. Bila diperhatikan data koefisien cerna lemak (tabel 11) terlihat bahwa kecernaan lemak secara menyeluruh lebih tinggi atau meningkat dari 81,4 menjadi 85,7% untuk taraf pemberian 4,5%, dan meningkat dari 81,4 menjadi 86,1% untuk taraf pemberian zeolit 9,0% dibandingkan dengan ransum kontrol. Hasil penelitian ini bertentangan dengan laporan Tsitsishvili et al (1984) bahwa kecernaan lemak cenderung menurun pada taraf pemberian 5,0% klinoptilolit.

Tabel 5. Koefisien cerna lemak

Z e o l i t a

4,5% 9,0%

Halus Kasar Halus Kasar

Ula-ngan kontrol AP

b AUc AP AU AP AU AP AU

1 78,11 84,65 85,61 78,28 88,60 94,59 83,05 92,32 74,43

2 83,00 87,67 84,15 78,67 88,99 88,35 85,72 92,73 81,77

3 82,93 87,02 87,00 87,46 89,96 91,16 85,94 82,55 80,00

Rata

rata 81,35 86,45 85,59 83,93 87,60 91,37 84,91 89,20 83,75

Keterangan : aInteraksi taraf dengan aktivasi ulang (P<0,01) bAP = Aktifitas pabrik

CAU = Aktivasi ulang

koefisien keragaman = 3,73%

Analisa statistik menunjukkan bahwa kecernaan lemak tidak nyata dipengaruhi oleh taraf pemberian zeolit baik 4,5 maupun 9,0%, tetapi kecernaan lemak lebih tinggi pada taraf pemberian 4,5% (86,1 vs 85,7%). Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan yang nyata (P<0,05) terhadap konsumsi lemak pada taraf pemberian zeolit 4,5% (131 VS 121 9/ekor/hari). Dengan demikian pemberian zeolit dari taraf 4,5% hingga 9% tidak mempengaruhi terhadap kecernaan lemak.


(39)

Hasil penelitian ini bertentangan dengan laporan Aritonang dan Silalahi (1990) bahwa penggunaan 6,0% zeolit dalam ransum kecernaan lemak nyata lebih rendah dari pada taraf pemberian 1,5 dan 3,0%, tetapi tidak nyata berbeda dibandingkan dengan taraf pemberian 4,5%.

Analisa statistik menunjukkan bahwa aktivasi zeolit baik diaktivasi pabrik maupun aktivasi ulang tidak berpengeruh nyata terhadap kecernaan lemak, tetapi kecernaan lemak lebih rendah dengan melakukan aktivasi ulang (84,6 vs

87,1%). Ditemukan interaksi yang sangat nyata (P<0,01) antara taraf pemberian dengan aktivasi ualang zeolit yang menunjukkan bahwa kecernaan lemak berbeda nyata lebih tinggi dengan aktivasi pabrik dari pada aktivasi aktivasi ulang pada taraf pemberian zeolit 9,0% (90 vs 82%), tetapi kecernaan lemak tidak berbeda nyata tetap lebih tinggi dengan aktivasi ulang dibandingkan aktivasi pabrik pada taraf pemberian 4,5% (87 vs84%). Kecernaan lemak berbeda nyata lebih rendah bila dilakukan aktivasi ulang pada taraf pemberian 9,0% untuk aktivasi pabrik (84 vs 90%). Sedangkan kecernaan lemaak tidak berbeda nyata pada pemberian zeolit taraf 9,0% yang diaktivasi ulang dengan taraf pemberian 4,55 yang diaktivasi pabrik (82 vs 84%). Demikian pula kecernaan lemak pada pemberian zeolit taraf 9,0% aktivasi pabrik dengan taraf pemberian 4,5% yang diaktivasi ulang (87 vs 90%). Hal ini secara grafis dapat dilihat pada Gambar 1.

Dari hasil penelitian dapat diungkapkan bahwa pemberian zeolit taraf 9,0% partikel halus yang diaktivasi pabrik kecernaan lemak lebih tinggi, sedangkan


(40)

pemberian zeolit taraf 9,0% partikel halus yang diaktivasi pabrik kecernaan lemak lebih tinggi, sedangkan pemberian zeolit taraf 4,5% partikel kasar yang diaktivasi ulang kecernaan lemak lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan zeolit lainnya dalam ransum. lebih tinggi bila diberikan pada taraf 8,0% dibandingkan pemberian ransum kontrol. Penelitian Aritonang dan Silalahi (1990) melaporkan bahwa kecernaan lemak nyata lebih rendah dengan pemberian 4,5 dan 6,0% dibandingkan taraf pemberian 1,5 dan 3,0 zeolit dalam ransum babi. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan spesies zeolit atau komposisi ransum yang digunakan dalam percobaan.

%

89,5 AP:Y=92-1,11x

88,0

86,5 Aktivasi pabrik

85,0 Aktivasi ulang

83.5

82,0 AU=Y=78+1,33

4,5 9,0

taraf zeolite (%)

Gambar 1. Grafik interaksi taraf dengan aktivasi terhadap kecernaan lemak


(41)

Pada tabel 6 dapat dilihat data kecernaan serat kasar selama 10 minggu percobaan. Bila diperhatikan data koefisien cerna serat kasar (tabel 12) bahwa kecernaan lemak secara umum meningkat dari 81,4 menjadi 67,4%.

Tabel 6. Koefisien cerna serat kasar

Z e o l i t

4,5% 9,0%

Halus Kasar Halus Kasar

Ula-ngan kontrol AP

a PUb AP PU AP PU AP PU

1 20,14 62,22 43,41 54,58 63,81 53,31 86,68 77,57 56,79 2 65,30 65,16 50,13 61,07 60,74 81,15 79,43 58,71 74,93 3 52,13 52,79 50,41 73,21 67,77 59,25 55,21 58,02 67,45 Rata

rata 45,86 60,06 85,59 62,96 87,60 64,57 73,77 89,20 66,36

Keterangan : aAP = Aktifitas pabrik bAU = Aktivasi ulang

koefisien keragaman = 17,52%

Analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian zeolit dalam ransum baik taraf 4,5 maupun 9,0% tidak berpengaruh nyata terhadap kecernaan serat kasar, tetapi kecernaan serat kasar cenderung sekitar 12,76% lebih tinggi dengan taraf pemberian 9,0% (67,7 vs 58,8%). Keadaan ini didukung oleh adanya perbedaan yang nyata (P<0,05) terhadap konsumsi serat kasar yang lebih rendah pada taraf pemberian 9,0% zeolit dalam ransum. Secara teoritis serat kasar mempengaruhi tinggi rendahnya koefisien cerna suatu ransum. Semakin tinggi kadar serat kasar yang dikonsumsi, maka koefisien cerna ransum tersebut akan menurun.

Secara statistik ukuran partikel zeolit dalam ransum baik partikel halus maupun partikel kasar tidak berpengaruh nyata terhadap kecernaan serat kasar, tetapi kecernaan serat kasar lebih tinggi dengan pemberian zeolit partikel kasar (64,6


(42)

tetapi lebih banyak dikonsumsi oleh babi yang memperoleh pemberian zeolit partikel kasar. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa Semakin tinggi kadar serat kasar yang dikonsumsi, maka koefisien cerna ransum tersebut akan menurun dan sebaliknya (Rogers et al, 1982).

Aktivasi zeolit baik diaktivasi pabrik maupun diaktivsi ulang tidak berpengaruh nyata terhadap kecernaan serat kasar karena sama-sama menghasilkan koefisien yang sama masing-masing sebesar 63,1%. Hal ini menunjukkan bahwa aktivasi pemanasan zeolit tidak berkaitan langsung dengan kecernaan serat kasar dalam ransum. Hal ini mungkin disebabkan oleh aktivasi zeolit terutama adalah terhadap pertukaran kation dan penyerapan zat-zat organik dalam suatu larutan.

Dari hasil penelitian ini dapat diungkapkan bahwa pemberian zeolit taraf 9,0% partikel kasar baik yang diaktivasi pabrik maupun diaktivasi ulang kecernaan serat kasar lebih tinggi, sedangkan pemberian zeolit taraf 4,5% Partikel halus baik yang diaktivasi pabrik maupun diaktivasi ulang kecernaan serat kasar vlebih rendah dibandingkan perlakuan zeolit lainnya dalam ransum.

4.6. Kecernaan abu

Pada tabel 7 ditampilkan rataan koefisien cerna abu selama 10 percobaan. Bila diamati data koefisien cerna abu dalam percobaan ini bahwa kecernaan abu secara umum menurun dari 44,0 menjadi 38,2% untuk taraf pemberian 4,5 %


(43)

,dan menurun dari 44,0 % menjadi 27,7 % untuk taraf pemberian 9,0 % zeolit dalam ransum di bandingkan pemberian ransum kontrol.

Tabel 7. Koefisien cerna abu

Z e o l i t a, b

4,5% 9,0%

Halus Kasar Halus Kasar

Ula-ngan kontrol AP

c PUd AP PU AP PU AP PU

1 49,29 42,72 53,37 31,17 40,17 22,00 36,53 17,77 21,83 2 32,40 21,13 36,51 36,15 48,23 42,63 27,83 22,03 36,56 3 50,21 27,38 36,82 39,88 44,61 36,38 31,26 20,74 16,67 Rata

rata

43,97 30,41 42,23 35,73 44,33 33,67 31,87 20,18 25,02

Keterangan : a taraf berbeda sangat nyata (P<0,01)

b interaksi taraf dengan ukuran partikel (P<0,01) cAP = Aktifitas pabrik

dAU = Aktivasi ulang

koefisien keragaman = 30,77%

Hasil ini menunjukan bahwa semakin tinggi taraf pemberian zeolit dalam ransum, maka semakin menurun kecernaan abu dalam ransum. Hal ini mungkin di sebabkan oleh semakin meningkatnya mineral-mineral tak tercerna dalam ransum yang berasal dari zeolit. Seperti di ketahui bahwa kandungan zeolit sebagian besar adalah abu (Vest dan shutze, 1984). Kenyataan ini terbukti bila di tinjau komposisi proksimat ransum percobaan (tabel 3) bahwa kandungan abu sekitar 37,44% lebih tinggi dengan pemberian 4,5 % zeolit, dan sebesar 53,06 % lebih tinggi oleh pemberian 9,0% zeolit di bandingkan pemberian ransum kontrol. Analisis statistik menunjukkan bahwa taraf pemberian zeolit dalam ransum sangat nyata berbeda (P<0,01) kecernaan abu lebih rendah 27,49 % untuk taraf pemberian 9,0 % zeolit di bandingkan taraf 4,5 % (27,7 vs 38,2 %). Hal ini di


(44)

dukung oleh adanya perbedaan yang nyata (P<0,1) konsumsi abu lebih tinggi sekitar 21,29 %pada pemberian 9,0% di bandingkan taraf pemberian 4,5%. Ukuran partikel zeolit secara statistik baik partikel halus maupun partikel kasar tidak nyata mempengaruhi perbedaan kecernaan abu , tetapi kecernaan abu pada pemberian zeolit partike halus (34,6% vs 31,3%). Keadaan ini mungkin di sebabkan oleh luas permukaan zeolit partikel kasar yang lebih besar sehingga lebih sukar tercerna oleh selaput usus selama berada di saluran pencernaan. Demikian pula aktivasi zeolit baik aktivasi pabrik maupun aktivasi ulang tidak menunjukan perbedaan secara statitik , tetapi kecernaan abu lebih tinggi bila di lakukan aktivasi ulang (35,9% vs 30,0%). Hal ini mungkin berhubungan dengan pernyataan Tsitsishvili (1998) bahwa dengan memanaskan zeolit berlangsung dehidrasi air dan terbentuknya rongga-rongga yang mikro- porous yang sangat aktif, sementara itu permukaan zeolit lebih bersih dari senyawa-senyawa pengotor (husaini, 1990).

Di temukan interaksi yang nyata (p<0,05 ) antara taraf dengan ukuran partikel yang menunjukkan bahwa pemberian kecernaan abu nyata berbeda lebih rendah padataraf pemberian 9,0 % berpartikel kasar baik di bandingkan dengan zeolit partikel halus dan kasar pada taraf pemberian 4,5% maupun zeolit partikel halus taraf pemberian 9,0% yang tidak menunjukkan perbedaan diantara perlakuan (23

vs36 dan vs 40 dan vs 32%) . Hal ini secara grafis dapat dilihat pada Gambar 2. %


(45)

U2: Y= 57 - 3,78x 40

36 32 28 24

20 U1: Y = 40 – 0,89X

Aktivasi pabrik Aktivasi ulang

4,5 9,0

Taraf zeolit (%)

Gambar 2. Grafik interaksi taraf dengan partikel zeolit terhadap kecernaan Abu

Dari hasil penelitian ini dapat di simpulkan bahwa pemberian zeolit taraf 4,5% partikel halus yang diaktivasi ulang kecernaan abu lebih tinggi , sedangkan pemberian zeolit taraf 9,0% partikel kasar yang diaktivasi pabrik kecernaan abu lebih rendah dibandingkan perlakuan zeolit lainnya dalam ransum.

4.7. Koefisien cerna energi

Pada tabel 8 disuguhkan rataan koefisien cerna energi selama 10 minggu percobaan. Bila disimak data koefisien cerna energi dalam percobaan ini tampak bahwa keefisienan energi meningkat dari 55,0% menjadi 59,7% untuk taraf pemberian 4,5%, dan meningkat dari 55,0% menjadi 63 ,7% untuk taraf pemberian 9,0% dibandingkan pemberian ransum kontrol . keadaan ini mendukung pernyataan vest dan shutze (1984) yang mengamati hasil percobaan (Quinsberry, 1968; Harms dan Damron ,1973; Hooge et al , 1978; Onagi, 1966)


(46)

bahwa penambahan bahan- bahan inert dalam hal ini bahan inert dalam ransum ternak diperoleh perbaikan keefisienan kalori.

Analisis statistik menunjukkan bahwa taraf pemberian zeolit dalam ransum sangat nyata berbeda (P<0,01) keefisienan enrgi lebih tinggi pada pemberian 9,0%dibandingkan taraf pemberian 4,5% (63,7 vs 59,7%). Hal ini mungkin karna meningkatnya kandungan abu dalam ransum aliran di gesta disepanjang saluran pencernaan lebih lambat sehingga yang pada gilirannya enrgi yang diperlukan untuk proses pencernaan dan penyerapan zat-zat makanan diperbaiki.

Tabel 8. Koefisien cerna energi

Z e o l i t a

4,5% 9,0%

Halus Kasar Halus Kasar

Ula-ngan kontrol AP

b AUc AP AU AP AU AP AU

1 50,60 53,80 53,37 61,57 61,49 66,19 62,02 61,51 61,83 2 59,55 55,85 53,33 59,07 59,07 63,17 62,68 60,68 63,28 3 55,42 69,54 60,41 65,09 63,74 70,08 62,98 64,96 64,95 Rata

rata 55,01 59,79 55,70 62,08 61,43 66,48 62,56 62,39 63,35

Keterangan : aTaraf zeolit sangat berbeda nyata (P<0,01) bAP = Aktifitas pabrik

CAU = Aktivasi ulang

koefisien keragaman = 5,12%

Ukuran partikel zeolit baik partikel kasar maupun halus secara statistik tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata terhadap keefisienan energi, tetapi keefisienan energi lebih baik bila diberikan zeolit partikel kasar (62,3 vs 61,1%). Hal ini mungkin di sebabkan oleh luas permukaan zeolit partikel kasar yang lebih cepat melakukan kontak dan lebih banyak bahan makanan yang tertahan yang akhirnya bahan makanan akan terurai menjadi partikel-partikel yang lebih kecil.


(47)

Keadaan ini mungkin berhubungan dengan keefisienan penggunaan energi dalam proses pencernaan maupun proses penyerapan.

Aktivasi zeolit baik aktivasi pabrik maupun aktivasi ulang tidak berpengaruh nyata terhadap keefisienan energi, tetapi dengan melakukan aktivasi ulang zeolit keefisienan energi lebih rendah dibandingkan aktivasi pabrik (62,7 vs 60,8 %). Hal ini mungkin berhubungan dengan sifat-sifat dasar zeolit diana terjadi perubahan struktur sehingga aktivitas zeolit dalam pertukaran kation dan penyerapan menurun.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian zeolit taraf 9,0 % partikel kasar aktivasi pabrik keefisienan energi lebih tinggi, sedangkan pemberian zeolit taraf 4,5% partikel halus yang diaktivasi ulang keefisienan energi lebih rendah dibandingkan perlakuan zeolit lainnya dalam ransum.

BAB V


(48)

5.1. Kesimpulan

1. Taraf pemberian zeolite berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap koefisien cerna bahan kering, abu, beta-n dan energi.

2. Ukuran partikel dan aktivasi pemanasan ulang zeolite ternyata tidak berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap koefisien bahan kering, bahan organik , protein kasar, lemak, serat kasar, abu, beta-n dan energi.

3. Adanya indikasi menunjukkan terjadi interaksi taraf dengan ukuran partikel zeolite terhadap koefisien cerna abu (P>0,05); dan antara taraf dengan aktivasi pemanasan ulang zeolite terhadap koefisien cerna lemak (P>0.01).

4. Terjadi interaksi antara taraf, ukuran dan aktivasi zeolite terhadap protein kasar dan lemak (P>0,01).

Saran

1. Pemanasan ulang zeolit tidak perlu dilakukan jika pemanasan pabrik sudah dilakukan karena ada kemungkinan terjadi kerusakan struktur fisik zeolit.

2. Mengingat potensi zeolite di bidang peternakan cukup besar namun masih banyak hal-hal yang belum diketahui maka perlu dilakukan penelitian-penelitian lebih lanjut dengan kondisi bahan zeolite yang berbeda, untuk mengetahui aras zeolite yang tepat, ukuran partikel zeolite yang sesuai dengan jenis ternaknya serta apakah aktivasi pemanasan ulang masih dibutuhkan.


(49)

(50)

(51)

DAFTAR PUSTAKA

Ames, L.L., JR. 1967. Zeolite removal of ammonium ions from agricultural waste - waters. Proc. 13th Pasific Northwert Indust. Waste Conf. Washington State Univ.: 135-52.

Anonim, 1990. Menyongsong Seminar Zeolit . Bulletin PPSKI. No.30. Tahun IV, Juli-Agustus.

A.O.A.C. 1975. Official Methods of Analysis. Ed. Association of Official Analytical Chemists. Washington, D.C.: 122-31.

Breck, D.W. 1974. Zeolite Molecular Sieves. Wiley, New York.

Chalupa, W.1975. Rumen bypass and protection of proteins and amino acids. J. Dairy Sci. 30:215.

Church, D.C. 1969. Digestive Physiology and Nutrition of Ruminants. Vol.1. Metropolitan Printing Co., Portland, Oregon.

Crampton, E.W. and L.E. Harris. 1969. Applied Animal Nutrition. 2th ed. W.H.

Freeman and Company. San Francisco and London: 105-32.

Dryer, A. 1988. An Introduction to Zeolite Molecular Sieces. Jhin Wiley & Sons Ltd., Chichester.

Galyean, M.L. and R.C. Chabot. 1981. Effects of sodium bentonite, buffer salts, cement kiln dust and clinoptilolite on rumen characteristics of beef steers fed a high roughage diet. J. Anim. Sci. 52:1197.

Hawkins, D.B. 1984. Occurance and availability of natural zeolites. In:

Zeo-Agriculture: Use of Natural Zeolites in Agriculture and Aquaculture, ed.,

W.G. Pond and F.A. Mumpton. Wesview Press. Colorado: 55-63.

Johnson, M.A., T.F. Sweeney and L.D. Muller. 1988. Effects of feeding synthetic zeolite A and Sodium bicarbonate on milk production nutrient digestion, and rate of digesta passage in dairy cows. J. Dairy Sci. 71:946.

Kilmer, L.H.,, L.D. Muller and T.J. Snyder. 1981. Addition of sodium bicarbonate to rations of post-partum dairy cows: physiologycal and metabolic effects. J. Dairy Sci. 64:2357.

Little, T.M. 1981. Statistics: A Tool for the horticulturalscientist, Proceed. Symp. Hort. Sci. 16 (5): 637-40.

McCollum and M.L. Galyean. 1983. Effects of Clinoptilolite on rumen fermentation, digestion and feedlot performance in beef steers fed high concentrate diets. J. Anim. Sci. 56:517.

Mumpton, F.A. 1984. Natural zeolites. In: Zeo Agriculture: Use of Natural Zeolites in Agriculture and Aguaculture, ed., W.G. Pond and F.A. Mumpton. Westivew Press. Coloradeo.: 33-43.

Mumpton, F.A. and F.H. Fishman. 1977. The application of natural zeolite in animal science and aquaculture. J. Anim. Sci. 45: 1188-203.

Muller, L.D. and L.H. Kilmer. 1979. Sodium bicarbonate in dairy nutrition. Na’1 Feed Ingred. Assoc., Des Moines, IA.


(52)

Nainggolan, T.P. 1989. Uji Fermentabilitas ransum dengan penambahan zeolit pada level yang berbeda secara in vitro. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan IPB.

NRC. 1979. Nutrient Requirements of Domestic Animals. No. 2. Nutrient Requriements of Swine. Ed. . National Academy of Sciences-National Research Council. Washington, DC.:23.

Pond, W.G. 1989. Effects of dietary protein level and clinoptilolite on the weight gain and liver mineral response of growing lambs to copper supplementation. J. Anim. Sci. 67:2772.

Rogers, J.A, C.L. Davis and J.H. Clark. 1979. Alteration of rumen fermentation in steers by increasing rumen fluid dilution rate with mineral salts. J. Dairy Sci. 59: 1536.

Sianturi, N. 1988. Pengaruh pemberian mineral zeolit dalam ransum terhadap penampilan ternak babi lepas sapih. Karya Ilmiah, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian, Bogor.

Sweeney, T.F. and A. Cervantes. 1984. Effect of dietary clinoptilolite on digestion and rumen fermentation in steers. In: Zeo Agriculture: Use of Natural Zeolites in Agriculture and Aquaculture, ed., W.G. Pond and F.A. Mumpton. Wesview Press. Colorado: 177-81.

Steel, R.G.D. and J.H. Torries. 1980. Principles and Prosedures of Statistic, Ed. 2

th Mc-Graw-Hill International Book Co. New Delhi.

Suijah, 1990. Penambahan zeolit dalam ransum komersial untuk meningkatkan produksi broiler dan mengurangi kadar amonia dan air feses. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan IPB.

Van Soest, P.J. 1982. Nutritional Ecology of the Ruminant.O&B Books, Inc., Corvallis, Oregon.

Weber, W. 1972. Physico-Chemical Process for Water Control. Wiley, New York. White, J. L and A.J Ohlrroge. 1974. Ion exchange materials to increase

consumption of non protein nitrogen in ruminants. Canadian Patent

93986, Jan. 2. 1974.

Wijaya, W. 1988. Pengaruh pemberian zeolite terhadap penampilan puyuh Jepang (Coturnix coturnix Japonica). Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan IPB.


(1)

Keadaan ini mungkin berhubungan dengan keefisienan penggunaan energi dalam proses pencernaan maupun proses penyerapan.

Aktivasi zeolit baik aktivasi pabrik maupun aktivasi ulang tidak berpengaruh nyata terhadap keefisienan energi, tetapi dengan melakukan aktivasi ulang zeolit keefisienan energi lebih rendah dibandingkan aktivasi pabrik (62,7 vs 60,8 %). Hal ini mungkin berhubungan dengan sifat-sifat dasar zeolit diana terjadi perubahan struktur sehingga aktivitas zeolit dalam pertukaran kation dan penyerapan menurun.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian zeolit taraf 9,0 % partikel kasar aktivasi pabrik keefisienan energi lebih tinggi, sedangkan pemberian zeolit taraf 4,5% partikel halus yang diaktivasi ulang keefisienan energi lebih rendah dibandingkan perlakuan zeolit lainnya dalam ransum.

BAB V


(2)

5.1. Kesimpulan

1. Taraf pemberian zeolite berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap koefisien cerna bahan kering, abu, beta-n dan energi.

2. Ukuran partikel dan aktivasi pemanasan ulang zeolite ternyata tidak berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap koefisien bahan kering, bahan organik , protein kasar, lemak, serat kasar, abu, beta-n dan energi.

3. Adanya indikasi menunjukkan terjadi interaksi taraf dengan ukuran partikel zeolite terhadap koefisien cerna abu (P>0,05); dan antara taraf dengan aktivasi pemanasan ulang zeolite terhadap koefisien cerna lemak (P>0.01).

4. Terjadi interaksi antara taraf, ukuran dan aktivasi zeolite terhadap protein kasar dan lemak (P>0,01).

Saran

1. Pemanasan ulang zeolit tidak perlu dilakukan jika pemanasan pabrik sudah dilakukan karena ada kemungkinan terjadi kerusakan struktur fisik zeolit.

2. Mengingat potensi zeolite di bidang peternakan cukup besar namun masih banyak hal-hal yang belum diketahui maka perlu dilakukan penelitian-penelitian lebih lanjut dengan kondisi bahan zeolite yang berbeda, untuk mengetahui aras zeolite yang tepat, ukuran partikel zeolite yang sesuai dengan jenis ternaknya serta apakah aktivasi pemanasan ulang masih dibutuhkan.


(3)

(4)

(5)

DAFTAR PUSTAKA

Ames, L.L., JR. 1967. Zeolite removal of ammonium ions from agricultural waste - waters. Proc. 13th Pasific Northwert Indust. Waste Conf. Washington State Univ.: 135-52.

Anonim, 1990. Menyongsong Seminar Zeolit . Bulletin PPSKI. No.30. Tahun IV, Juli-Agustus.

A.O.A.C. 1975. Official Methods of Analysis. Ed. Association of Official Analytical Chemists. Washington, D.C.: 122-31.

Breck, D.W. 1974. Zeolite Molecular Sieves. Wiley, New York.

Chalupa, W.1975. Rumen bypass and protection of proteins and amino acids. J. Dairy Sci. 30:215.

Church, D.C. 1969. Digestive Physiology and Nutrition of Ruminants. Vol.1. Metropolitan Printing Co., Portland, Oregon.

Crampton, E.W. and L.E. Harris. 1969. Applied Animal Nutrition. 2th ed. W.H.

Freeman and Company. San Francisco and London: 105-32.

Dryer, A. 1988. An Introduction to Zeolite Molecular Sieces. Jhin Wiley & Sons Ltd., Chichester.

Galyean, M.L. and R.C. Chabot. 1981. Effects of sodium bentonite, buffer salts, cement kiln dust and clinoptilolite on rumen characteristics of beef steers fed a high roughage diet. J. Anim. Sci. 52:1197.

Hawkins, D.B. 1984. Occurance and availability of natural zeolites. In: Zeo-Agriculture: Use of Natural Zeolites in Agriculture and Aquaculture, ed., W.G. Pond and F.A. Mumpton. Wesview Press. Colorado: 55-63.

Johnson, M.A., T.F. Sweeney and L.D. Muller. 1988. Effects of feeding synthetic zeolite A and Sodium bicarbonate on milk production nutrient digestion, and rate of digesta passage in dairy cows. J. Dairy Sci. 71:946.

Kilmer, L.H.,, L.D. Muller and T.J. Snyder. 1981. Addition of sodium bicarbonate to rations of post-partum dairy cows: physiologycal and metabolic effects. J. Dairy Sci. 64:2357.

Little, T.M. 1981. Statistics: A Tool for the horticulturalscientist, Proceed. Symp. Hort. Sci. 16 (5): 637-40.

McCollum and M.L. Galyean. 1983. Effects of Clinoptilolite on rumen fermentation, digestion and feedlot performance in beef steers fed high concentrate diets. J. Anim. Sci. 56:517.

Mumpton, F.A. 1984. Natural zeolites. In: Zeo Agriculture: Use of Natural Zeolites in Agriculture and Aguaculture, ed., W.G. Pond and F.A. Mumpton. Westivew Press. Coloradeo.: 33-43.

Mumpton, F.A. and F.H. Fishman. 1977. The application of natural zeolite in animal science and aquaculture. J. Anim. Sci. 45: 1188-203.

Muller, L.D. and L.H. Kilmer. 1979. Sodium bicarbonate in dairy nutrition. Na’1 Feed Ingred. Assoc., Des Moines, IA.


(6)

Nainggolan, T.P. 1989. Uji Fermentabilitas ransum dengan penambahan zeolit pada level yang berbeda secara in vitro. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan IPB.

NRC. 1979. Nutrient Requirements of Domestic Animals. No. 2. Nutrient Requriements of Swine. Ed. . National Academy of Sciences-National Research Council. Washington, DC.:23.

Pond, W.G. 1989. Effects of dietary protein level and clinoptilolite on the weight gain and liver mineral response of growing lambs to copper supplementation. J. Anim. Sci. 67:2772.

Rogers, J.A, C.L. Davis and J.H. Clark. 1979. Alteration of rumen fermentation in steers by increasing rumen fluid dilution rate with mineral salts. J. Dairy Sci. 59: 1536.

Sianturi, N. 1988. Pengaruh pemberian mineral zeolit dalam ransum terhadap penampilan ternak babi lepas sapih. Karya Ilmiah, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian, Bogor.

Sweeney, T.F. and A. Cervantes. 1984. Effect of dietary clinoptilolite on digestion and rumen fermentation in steers. In: Zeo Agriculture: Use of Natural Zeolites in Agriculture and Aquaculture, ed., W.G. Pond and F.A. Mumpton. Wesview Press. Colorado: 177-81.

Steel, R.G.D. and J.H. Torries. 1980. Principles and Prosedures of Statistic, Ed. 2

th Mc-Graw-Hill International Book Co. New Delhi.

Suijah, 1990. Penambahan zeolit dalam ransum komersial untuk meningkatkan produksi broiler dan mengurangi kadar amonia dan air feses. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan IPB.

Van Soest, P.J. 1982. Nutritional Ecology of the Ruminant.O&B Books, Inc., Corvallis, Oregon.

Weber, W. 1972. Physico-Chemical Process for Water Control. Wiley, New York. White, J. L and A.J Ohlrroge. 1974. Ion exchange materials to increase

consumption of non protein nitrogen in ruminants. Canadian Patent 93986, Jan. 2. 1974.

Wijaya, W. 1988. Pengaruh pemberian zeolite terhadap penampilan puyuh Jepang (Coturnix coturnix Japonica). Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan IPB.