Analisis Yuridis Terhadap Hubungan Kerja Antara Pengusaha Dan Pekerja Berdasarkan Perjanjian Kerja Secara Lisan (Studi Kasus: Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Medan Nomor:41/G/2009/PHI.Mdn)

(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP HUBUNGAN KERJA

ANTARA PENGUSAHA DAN PEKERJA BERDASARKAN

PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN

(STUDI KASUS: PUTUSAN PENGADILAN HUBUNGAN

INDUSTRIAL PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN

NOMOR:41/G/2009/PHI.Mdn)

TESIS

Oleh

SURYA ADINATA

087011108/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP HUBUNGAN KERJA

ANTARA PENGUSAHA DAN PEKERJA BERDASARKAN

PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN

(STUDI KASUS: PUTUSAN PENGADILAN HUBUNGAN

INDUSTRIAL PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN

NOMOR:41/G/2009/PHI.Mdn)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

SURYA ADINATA

087011108/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS TERHADAP HUBUNGAN KERJA ANTARA PENGUSAHA DAN PEKERJA BERDASARKAN PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN (STUDI KASUS : PUTUSAN PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PADA PENGHASILAN NEGERI MEDAN NOMOR : 41/6/2009/PHI.MEDAN)

Nama Mahasiswa : Surya Adinata

Nomor Pokok : 087011108

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum)

Pembimbing Pembimbing

(Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 30 September 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum Anggota : 1. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS 2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Dr. Faisal Akbar, SH, MS


(5)

ABSTRAK

Perjanjian Kerja secara lisan hanya diberlakukan terhadap perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) saja. Berbeda terhadap PKWTT yang perjanjian kerjanya dibuat secara tertulis yang mengharuskan kepada pengusaha untuk mencantumkan masa percobaan dalam surat perjanjian kerja, namun terhadap PKWTT yang dibuat secara lisan maka syarat masa percobaan harus diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan dan dicantumkan dalam surat pengangkatan. Hubungan kerja melalui perjanjian kerja secara lisan adalah hubungan kerja tanpa adanya penandatanganan surat perjanjian kerja, dikarenakan tidak ada perjanjian kerja yang ditandatangani maka hubungan kerja tersebut akan mangacu kepada peraturan ketenagakerjaan yang berlaku. Begitu halnya pengaturan hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha dalam perjanjian kerja secara lisan juga mengacu kepada peraturan ketenagakerjaan.

Peraturan ketenagakerjaan tidak membedakan pengaturan hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha dalam hal perjanjian kerja yang dibuat secara lisan maupun secara tertulis, yang membedakannya hanya bentuknya saja yaitu terhadap perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis ditandai dengan adanya perjanjian kerja antara kedua belah pihak yang dituangkan didalam suatu surat perjanjian namun terhadap perjanjian kerja secara lisan tidak dibuat surat perjanjian yang ditandatangani kedua belah pihak, cukup dengan pernyataan yang secara bersama disetujui oleh kedua belah pihak dan sebaiknya disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi.

Ketentuan Pasal 63 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 yang mewajibkan pengusaha membuat surat pengangkatan bagi pekerja yang perjanjian kerjanya dibuat secara lisan tidaklah efektif dan banyak pengusaha yang tidak menjalankannya bukan hanya karena tidak ada sanksi yang mengaturnya namun juga karena dengan tidak dibuatnya perjanjian kerja secara tertulis dan tidak adanya surat pengangkatan akan dapat menguntungkan pengusaha yaitu diantaranya tidak jelasnya kapan hubungan kerja kedua belah pihak dimulai.

Perjanjian kerja secara lisan dapat menyulitkan pekerja dalam hal pembuktian kebenaran dirinya sebagai pekerja yang telah bekerja pada pengusaha dalam proses Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja di Pengadilan Hubungan Industrial. Kelemahan perjanjian kerja yang dibuat secara lisan adalah apabila pekerja setelah melewati 3 (tiga) bulan masa percobaan namun pihak pengusaha tidak ada membuat surat pengangkatan.

Pembuktian perjanjian kerja secara lisan apabila tidak ada surat pengangkatan yang dibuat oleh pengusaha maka pihak pekerja harus terlebih dahulu membuktikan adanya hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha yakni berdasarkan Pasal 1 Angka (15) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dinyatakan bahwa hubungan kerja harus memenuhi 3 (tiga) unsur yakni adanya unsur pekerjaaan, adanya unsur perintah dan adanya unsur upah.


(6)

ABSTRACT

Oral Labor Agreement is applied only to the Uncertain Time Labor Agreement (PKWTT). This kind of agreement is different from a written labor agreement in which the employers should attach the trial period, inform their employees and attach their names in the letters of appointment. Work relationship through oral labor agreement does not have any signatures of both parties (employersand employees); therefore, this agreement should refer to the manpower regulation. The arrangement of the right and the responsibilty of employers and employees in the oral labor agreement should also refer to the manpower regulation. The manpower regulation does not differentiate the arrangement of the employers’ and the employees’ right and responsibility, both in the oral labor agreement and in the written labor agreement. Their difference is about the form : in the written labor agreement, there are signatures of both parties, while in the oral labor agreement, there is only a joint statement of both parties and witnessedby at least two witnesses.

Article 63, Paragraph 1, Act 13, 2003, which requires an employer to issue a letter of appointment for each employee in the oral labor agreement is not effective. Many employers apply this kind of agreement because they know that there is no sanction for it; moreover, they will get advantage by the absence of a written labor agreement and a letter of appoinment, since there is no certainty when the new employees begin working.

Oral labor agreement will cause the employees to be difficult to prove themselves as legal employees in the process of the Arbitration of Termination of Employment in Court of Industrial Relations. The weaknerss of oral labor agreement is that the employer does not issue a letter of appoinment although his workers have been working in his company for more than three months.

The employees who attempt to prove that there is a relationship between them and their employers should refer to Article 1, Paragraph 15, Act Number 13, 2003 which states that work relationship should fulfill three criteria: employment, instruction, and wages.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Hubungan Kerja Antara Pengusaha dan Pekerja Berdasarkan Perjanjian Kerja Secara Lisan (Studi Kasus : Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Medan Nomor: 41/G/2009/PHI.Mdn)”. Penulisan tesis ini merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) pada Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat

diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan

amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum, Bapak Dr.

Pendastaren Tarigan, SH, MS dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum,

selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Kemudian juga, kepada Dosen Penguji yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, dan Bapak Dr. Faisal Akbar, SH, MS, yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam


(8)

penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. DR. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA (K), selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 4. Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Studi Magister

Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis sampai kepada tingkat Magister Kenotariatan (M.Kn).

5. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.)

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara diantaranya Ibu Fatimah, SH, Kak Sari, Kak Winda, Kak Lisa, dan lain-lain yang selalu membantu kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.

6. Direktur dan Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan beserta Staf

dan Karyawan yang telah banyak membantu dalam hal pengambilan data dan informasi-informasi penting lainnya yang berkenaan dengan penulisan tesis ini.


(9)

7. Para sahabat juga rekan yang berbaik hati yang tidak disebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan dukungan kepada penulis selama masa pendidikan.

Sungguh rasanya suatu kebanggaan tersendiri dalam kesempatan ini penulis juga turut menghaturkan sembah sujud dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda Johan Brien, SE, SH, MM dan Ibunda Fida Yusri serta semua saudaraku yang telah memberikan doa dan perhatian yang cukup besar selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan studi pada Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Teristimewa penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada Istri tercinta Deaby Ayu Rahartika serta ananda tersayang Alya Azzahra Dinata dan Soraya Deya Dinata yang selama ini telah memberikan semangat.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.

Akhirnya Penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama kepada penulis dan para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariaan pada khususnya.

Medan, September 2010 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama Lengkap : Surya Adinata

Tempat/Tanggal Lahir : Medan/22 Oktober 1979

Status : Menikah

Alamat : Jalan Sei Kera No.296 B Medan

II. ORANG TUA

Nama Ayah : Johan Brien Nama Ibu : Fida Yusri

III. PENDIDIKAN

- SD : Tahun 1986 s.d 1992 SD Negeri 060854 - SMP : Tahun 1992 s.d 1995

SMP Negeri 10 Medan - SMA : Tahun 1995 s.d 1998

SMA Kartika I Medan - Perguruan Tinggi/S1 : Tahun 1998 s.d 2003

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara - Perguruan Tinggi/S2 : Tahun 2008 s.d

Program Studi Magister Kenotariatan


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ...vii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah... 9

C. Tujuan Penelitian... 10

D. Manfaat Penelitian... 10

E. Keaslian Penelitian... 11

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 11

1. Kerangka Teori... 11

2. Konsepsi... 20

G. Metode Penelitian... 22

BAB II PENGATURAN HUKUM KETENAGAKERJAAN TERHADAP HUBUNGAN KERJA ANTARA PENGUSAHA DAN PEKERJA YANG DIDASARKAN PADA PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN ... 25

A. Pengaturan Hubungan Kerja... 25

1. Pembuatan Perjanjian Kerja... 28

2. Kewajiban Pekerja... 31

3. Kewajiban Pengusaha... 31

4. Berakhirnya Hubungan Kerja... 32

5. Cara Penyelesaian Perselisihan antara Pengusaha dan Pekerja.... 33

B. Pengaturan tentang Perjanjian Kerja... 38


(12)

2. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu... 49

3. Perjanjian Kerja secara Lisan... 50

4. Perjanjian Kerja secara Tertulis... 54

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM KETENAGAKERJAAN TERHADAP PEKERJA YANG HUBUNGAN KERJA DIDASARKAN PADA PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN... 56

A. Bentuk Perlindungan Hukum bagi Pekerja yang di PHK... 56

B. Konsep Pemutusan Hubungan Kerja... 62

C. Hak-Hak Bagi Pekerja... 67

1. Hak-Hak Pekerja yang diatur Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan... 67

2. Hak-Hak Pekerja yang diatur Undang-Undang Nomor 03 Tahun 1992 Tentang Jamsostek... 71

3. Hak-Hak Pekerja terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja.... 76

4. Hak-Hak Pekerja terhadap Upah... 80

D. Upaya Hukum Bagi Pekerja yang di PHK... 82

BAB IV STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN REG.NOMOR 41/G/2009/PHI.Mdn ANTARA HARIZON PANE, DKK MELAWAN PT RIVERA VILLAGE PERMAI ... 85

A. Kronologis Perkara atau tentang Duduknya Perkara... 85

B. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim/Tentang Hukumnya... 90

C. Analisis terhadap Fakta-Fakta dan Pertimbangan Hukum Majelis Hakim... 98

1. Tentang Status Hubungan Kerja para Penggugat... 98

2. Tentang Hak-Hak yang Wajib diterima oleh para Penggugat... 103

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN....105

A. KESIMPULAN... 105

B. SARAN... 106

DAFTAR PUSTAKA... 109


(13)

ABSTRAK

Perjanjian Kerja secara lisan hanya diberlakukan terhadap perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) saja. Berbeda terhadap PKWTT yang perjanjian kerjanya dibuat secara tertulis yang mengharuskan kepada pengusaha untuk mencantumkan masa percobaan dalam surat perjanjian kerja, namun terhadap PKWTT yang dibuat secara lisan maka syarat masa percobaan harus diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan dan dicantumkan dalam surat pengangkatan. Hubungan kerja melalui perjanjian kerja secara lisan adalah hubungan kerja tanpa adanya penandatanganan surat perjanjian kerja, dikarenakan tidak ada perjanjian kerja yang ditandatangani maka hubungan kerja tersebut akan mangacu kepada peraturan ketenagakerjaan yang berlaku. Begitu halnya pengaturan hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha dalam perjanjian kerja secara lisan juga mengacu kepada peraturan ketenagakerjaan.

Peraturan ketenagakerjaan tidak membedakan pengaturan hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha dalam hal perjanjian kerja yang dibuat secara lisan maupun secara tertulis, yang membedakannya hanya bentuknya saja yaitu terhadap perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis ditandai dengan adanya perjanjian kerja antara kedua belah pihak yang dituangkan didalam suatu surat perjanjian namun terhadap perjanjian kerja secara lisan tidak dibuat surat perjanjian yang ditandatangani kedua belah pihak, cukup dengan pernyataan yang secara bersama disetujui oleh kedua belah pihak dan sebaiknya disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi.

Ketentuan Pasal 63 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 yang mewajibkan pengusaha membuat surat pengangkatan bagi pekerja yang perjanjian kerjanya dibuat secara lisan tidaklah efektif dan banyak pengusaha yang tidak menjalankannya bukan hanya karena tidak ada sanksi yang mengaturnya namun juga karena dengan tidak dibuatnya perjanjian kerja secara tertulis dan tidak adanya surat pengangkatan akan dapat menguntungkan pengusaha yaitu diantaranya tidak jelasnya kapan hubungan kerja kedua belah pihak dimulai.

Perjanjian kerja secara lisan dapat menyulitkan pekerja dalam hal pembuktian kebenaran dirinya sebagai pekerja yang telah bekerja pada pengusaha dalam proses Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja di Pengadilan Hubungan Industrial. Kelemahan perjanjian kerja yang dibuat secara lisan adalah apabila pekerja setelah melewati 3 (tiga) bulan masa percobaan namun pihak pengusaha tidak ada membuat surat pengangkatan.

Pembuktian perjanjian kerja secara lisan apabila tidak ada surat pengangkatan yang dibuat oleh pengusaha maka pihak pekerja harus terlebih dahulu membuktikan adanya hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha yakni berdasarkan Pasal 1 Angka (15) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dinyatakan bahwa hubungan kerja harus memenuhi 3 (tiga) unsur yakni adanya unsur pekerjaaan, adanya unsur perintah dan adanya unsur upah.


(14)

ABSTRACT

Oral Labor Agreement is applied only to the Uncertain Time Labor Agreement (PKWTT). This kind of agreement is different from a written labor agreement in which the employers should attach the trial period, inform their employees and attach their names in the letters of appointment. Work relationship through oral labor agreement does not have any signatures of both parties (employersand employees); therefore, this agreement should refer to the manpower regulation. The arrangement of the right and the responsibilty of employers and employees in the oral labor agreement should also refer to the manpower regulation. The manpower regulation does not differentiate the arrangement of the employers’ and the employees’ right and responsibility, both in the oral labor agreement and in the written labor agreement. Their difference is about the form : in the written labor agreement, there are signatures of both parties, while in the oral labor agreement, there is only a joint statement of both parties and witnessedby at least two witnesses.

Article 63, Paragraph 1, Act 13, 2003, which requires an employer to issue a letter of appointment for each employee in the oral labor agreement is not effective. Many employers apply this kind of agreement because they know that there is no sanction for it; moreover, they will get advantage by the absence of a written labor agreement and a letter of appoinment, since there is no certainty when the new employees begin working.

Oral labor agreement will cause the employees to be difficult to prove themselves as legal employees in the process of the Arbitration of Termination of Employment in Court of Industrial Relations. The weaknerss of oral labor agreement is that the employer does not issue a letter of appoinment although his workers have been working in his company for more than three months.

The employees who attempt to prove that there is a relationship between them and their employers should refer to Article 1, Paragraph 15, Act Number 13, 2003 which states that work relationship should fulfill three criteria: employment, instruction, and wages.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap manusia selalu membutuhkan biaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk mendapatkan biaya hidup seseorang perlu bekerja. Bekerja dapat dilakukan secara mandiri atau bekerja kepada orang lain. Bekerja kepada orang lain dapat dilakukan dengan bekerja kepada negara yang selanjutnya disebut sebagai pegawai atau bekerja kepada orang lain (swasta) yang disebut sebagai pekerja atau buruh.

Pengertian pekerja berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pekerja atau buruh adalah seseorang yang bekerja kepada orang lain dengan mendapatkan upah.1 Sedangkan

definisi tenaga kerja berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyebutkan “Setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”.

Bertolak dari pengertian bahwa pekerja atau buruh adalah orang yang melakukan pekerjaan untuk orang lain (swasta) berarti sedikitnya harus ada dua pihak yang terlibat dalam hubungan kerja yaitu orang yang melakukan pekerjaan yang

1


(16)

disebut dengan pekerja atau buruh dan orang yang memberikan pekerjaan yang disebut dengan Pengusaha.

Pengertian pengusaha berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 butir (a) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri, dan selanjutnya pada Pasal 1 angka 5 butir (b) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa Pengusaha adalah ”orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya”.

Secara sosiologis, pekerja atau buruh memang merupakan pihak yang lebih lemah dibanding pihak pengusaha. Pekerja atau Buruh adalah orang yang tidak bebas dalam menentukan kehendaknya terhadap pengusaha, karena dalam suatu hubungan kerja pengusaha telah memberikan batasan-batasan yang harus diikuti oleh pihak pekerja atau buruh.2 Sangat sulit bagi pihak pekerja atau buruh untuk menentang, dan

bila mereka berkeras untuk menentang maka mereka akan kehilangan mata pencaharian. Bagi pengusaha, kehilangan seorang pekerja atau buruh bukan persoalan karena masih ada ribuan tenaga kerja yang mencari pekerjaan.

Berdasarkan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh dibuat berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah berbeda dengan pengertian perjanjian kerja (arbeidsovereenkomst)

2


(17)

pada Pasal 1601a Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dinyatakan bahwa perjanjian dengan mana pihak yang satu, si buruh, mengikatkan dirinya untuk di bawah perintahnya pihak yang lain si majikan, untuk sesuatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.

Secara umum perjanjian dapat diartikan sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Suatu perjanjian dapat dilakukan terhadap apa saja yang disepakati sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan norma yang berlaku.

Bentuk perjanjian kerja tidak dimintakan dalam bentuk tertentu, jadi dapat dilakukan secara lisan yaitu dengan surat pengangkatan oleh pengusaha, maupun secara tertulis yaitu dengan adanya surat perjanjian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak yakni antara Pekerja dan Pengusaha. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan turut memberikan peluang adanya ketidakwajiban pengusaha untuk membuat perjanjian kerja perorangan secara tertulis, dengan alasan kondisi masyarakat yang beragam yang memungkinkan perjanjian kerja secara lisan.3

Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan, bahwa “Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau

3Akibat Hukum Perjanjian Lisan

, diakses dari http://www.koran- radar.com/berita/read/5088/2010/Repot-Jika-Tidak-Pegang-Perjanjian-Kerja-Tertulis, terakhir diakses tanggal 12 April 2010.


(18)

lisan”. Perjanjian Kerja pada prinsipnya dapat dibuat secara tertulis dan lisan dengan syarat harus terpenuhinya syarat-syarat keabsahan perjanjian kerja sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwasannya syarat sahnya perjanjian kerja dibuat atas dasar :

a. Kesepakatan kedua belah pihak

b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum

c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan

d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kesepakatan diartikan sebagai bentuk persetujuan para pihak atas apa yang diperjanjikan dan hal-hal yang termuat dalam perjanjian. Apabila perjanjian itu dibuat dalam bentuk tertulis seperti kontrak, maka tentunya dinyatakan dalam draft kontrak tersebut. Namun apabila dibuat secara lisan, maka cukup dengan pernyataan yang secara bersama disetujui oleh kedua belah pihak dan sebaiknya disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi.

Hubungan kerja melalui perjanjian kerja tertulis ditandai dengan adanya penandatanganan perjanjian kerja yang mengatur tentang syarat kerja serta hak dan kewajiban para pihak. Sedangkan hubungan kerja melalui perjanjian kerja lisan adalah hubungan kerja tanpa adanya penandatanganan perjanjian kerja. Karena tidak


(19)

ada perjanjian kerja yang ditandatangani, maka hubungan kerja tersebut akan mangacu kepada peraturan ketenagakerjaan yang berlaku.4

Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja atau buruh yang didasarkan pada perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa “Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”, sehingga dengan demikian apabila terpenuhinya ketiga unsur tersebut maka jelas terdapat hubungan kerja baik yang dibuat dalam bentuk perjanjian kerja secara tertulis maupun secara lisan.

Meskipun Undang-Undang Ketenagakerjaan menyatakan perjanjian kerja bisa dibuat secara lisan namun praktiknya buruh berada dalam posisi yang sangat sulit jika tidak memiliki kontrak kerja tertulis. Perusahaan bisa dengan sepihak memutuskan hubungan kerja dengan berbagai alasan.5

Hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh idealnya merupakan hubungan yang saling menguntungkan dikedua belah pihak namun seringkali posisi pekerja/buruh tidak seimbang dengan posisi pengusaha.

Dalam realita sekarang ini terdapat praktik-praktik yang dilakukan oleh

pengusaha dalam memperkerjakan pekerja/buruh dengan memperkerjakan

pekerja/buruh tanpa adanya perjanjian tertulis, walaupun dibenarkan oleh

4

Sehat Damanik, Op.Cit, hlm. 5. 5

Radar Online, Repot jika tidak pegang perjanjian kerja tertulis, Jakarta 08 Desember 2009,


(20)

Undang Ketenagakerjaan namun implikasinya perlindungan terhadap pekerja/buruh menjadi lemah, hal ini dapat dilihat dari beberapa indikasi yang diantaranya adalah pekerja/buruh tidak berhak atas sejumlah tunjangan seperti tunjangan jamsostek, tunjangan lembur kerja, tunjangan cuti kerja dan apabila terjadi perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja dikemudian hari terhadap pekerja/buruh oleh pengusaha maka pekerja/buruh tersebut sangat rentan untuk tidak menerima uang pesangon, dan atau uang penghargaan masa kerja yang disesuaikan dengan masa kerja serta uang penggantian hak, hal ini dikarenakan sulitnya pihak pekerja/buruh untuk dapat membuktikan adanya hubungan kerja diantara pekerja/buruh dengan pengusaha. Selama pelaksanaan hubungan kerja tidak tertutup kemungkinan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja baik yang dilakukan atas inisiatif pengusaha atau atas inisiatif pekerja.

Lemahnya posisi pekerja/buruh yang diperjanjikan kerja secara lisan disebabkan karena alasan, yaitu pertama, ketidaktahuan dari salah satu atau masing-masing pihak pekerja/buruh dan pengusaha. Kedua, karena kekosongan hukum.

Ketiga, adanya itikad buruk dari pengusaha dan ketidaktahuan pekerja/buruh.

Menurut Eggy Sudjana secara umum penyebab lemahnya kondisi pekerja/buruh di Indonesia diantaranya yakni:6

1. Lemahnya posisi tawar tenaga kerja berhadapan dengan pemilik perusahaan atau industri karena keahlian dan tingkat pendidikan yang rendah.

6

Eggy Sudjana, Nasib Dan Perjuangan Buruh di Indonesia, makalah disampaikan pada diskusi publik Nasib dan Perjuangan Buruh di Indonesia yang diselenggarakan Pusat Kajian Ketenagakerjaan Majelis Nasional KAHMI Center, Jakarta 24 Juni 2005, Hal 2-3


(21)

2. Kebijakan pemerintah yang kurang responsif dan akomodatif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat.

Secara sosiologis buruh adalah orang atau kelompok yang tidak bebas sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup lain daripada tenaganya saja, ia terpaksa untuk bekerja pada orang lain dan majikan inilah pada dasarnya menentukan syarat-syarat kerja itu7.

Perlindungan hukum dari kekuasaan majikan terlaksana apabila peraturan perundang-undangan dalam bidang perburuhan yang mengharuskan atau memaksa majikan bertindak seperti dalam perundang-undangan tersebut benar-benar dilaksanakan semua pihak karena keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja, tetapi diukur secara sosiologis dan filosofis .8

Ditinjau dari aspek perlindungan hukum dari berbagai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan maka diatur perlindungan sejak sebelum adanya hubungan kerja, selama dalam hubungan kerja dan setelah hubungan kerja berakhir. Perlindungan terhadap pekerja sebelum bekerja maksudnya bahwa pekerja mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pekerjaan tanpa adanya diskriminasi. Perlindungan pekerja dalam hubungan kerja maksudnya bahwa pekerja harus diberikan upah yang layak berdasarkan upah minimum yang ditetapkan pemerintah dan diikutsertakan dalam program jamsostek dan pekerja dilindungi hak-hak

7

A.s. Finawati, Buruh Di Indonesia:Dilemahkan Dan Ditindas dalam Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan (Jakarta: Djambatan, 2003),hlm 8, diakses dari http//www.pemantauankeadilan.com/detil/detil.php?id=168&tipe=opini pada tanggal 12 April 2010

8

Zainal Asikin, Dasar-dasar hukum perburuhan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hlm.5.


(22)

normatifnya seperti hak cuti, hak beribadah pada saat waktu bekerja, hak mendapatkan upah lembur dan hak mendapatkan perlindungan keselamatan dan keamanan dalam melakukan pekerjaan. Bentuk perlindungan setelah hubungan kerja maksudnya bahwa adanya kewajiban pengusaha untuk membayar pesangon apabila pekerja di PHK secara sepihak dan kewajiban pengusaha untuk mengikutsertakan pekerja dalam program jaminan hari tua atau program pensiun pekerja.

Sehubungan dengan hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja yang didasarkan pada perjanjian kerja secara lisan, pada tanggal 06 Mei 2009 Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan telah menerima pendaftaran gugatan dengan Register Nomor:140/Pen.K/09/PHI-Mdn antara Harizon Pane, dkk sebagai Penggugat melawan PT. Rivera Village Permai berkedudukan di Medan sebagai Tergugat yang mana duduk perkaranya adalah bahwa pada tanggal 03 Nopember 2008 Harizon Pane, dkk telah diberhentikan oleh pihak PT.Rivera Village Permai tanpa diberikan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja. Pihak perusahaan tidak memberikan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja kepada Harizon Pane, dkk beralasan bahwa Harizon Pane, dkk bukan merupakan karyawan perusahaan dan tidak pernah terdaftar sebagai karyawan dalam perusahaan padahal mereka sudah bekerja masing-masing selama 6 s.d 10 tahun di perusahaan tersebut.

Gugatan yang diajukan Harizon Pane, dkk telah diputus oleh Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 22 Juli 2009 dengan registrasi perkara Nomor : 41/G/2009/PHI Mdn yang mengabulkan sebagian


(23)

tuntutan para pekerja khususnya mengenai hubungan kerja yang didasarkan pada perjanjian kerja secara lisan. Pada pertimbangan hukumnya majelis hakim berpendapat bahwa hubungan kerja antara Harizon Pane, dkk sebagai Penggugat dan PT. Rivera Village Permai sebagai Tergugat merupakan hubungan kerja yang didasarkan pada perjanjian kerja yakni adanya unsur pekerjaan, perintah dan upah yang mana perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis maupun lisan sehingga para penggugat berhak mendapatkan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja serta uang penggantian hak.

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka peneliti tertarik memilih judul Analisis yuridis terhadap hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja berdasarkan perjanjian kerja secara lisan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka penelitian ini akan membahas sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan hak dan kewajiban antara pengusaha dan pekerja yang didasarkan pada perjanjian kerja secara lisan?

2. Bagaimana perlindungan hukum ketenagakerjaan terhadap pekerja yang

hubungan kerja didasarkan pada perjanjian kerja secara lisan?

3. Apakah putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan


(24)

pekerja yang didasarkan pada perjanjian kerja secara lisan sudah sesuai dengan hukum ketenagakerjaan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan hukum ketenagakerjaan terhadap

hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja yang didasarkan pada perjanjian kerja secara lisan.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum ketenagakerjaan

terhadap pekerja yang hubungan kerja didasarkan pada perjanjian kerja secara lisan.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan Nomor: 41/G/2009/PHI.Mdn mengenai hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja yang didasarkan pada perjanjian kerja secara lisan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis, yaitu:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi pengembangan hukum ketenagakerjaan/perburuhan dan dapat bermanfaat untuk


(25)

perkembangan ilmu pengetahuan hukum bidang keperdataan khususnya hukum ketenagakerjaan.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemerintah dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja agar dapat menjamin hubungan kerja yang seimbang dalam pengaturan hak dan kewajiban pihak pekerja/buruh dan pengusaha, sehingga pada akhirnya pekerja/buruh serta pengusaha dapat saling merasakan ketentraman.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran yang telah dilakukan di Perpustakaan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara terhadap hasil-hasil penelitian yang ada, ternyata belum ada yang melakukan penelitian mengenai “Analisis yuridis terhadap hubungan kerja antara Pengusaha dan Pekerja berdasarkan perjanjian kerja secara lisan.(Studi Kasus: Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan Nomor: 41/G/2009/PHI.Mdn), oleh karena itu penelitian yang

dilakukan dalam penulisan tesis ini adalah asli sehingga dapat

dipertanggungjawabkan secara akademis berdasarkan nilai-nilai objektivitas dan kejujuran.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Untuk mendalami perjanjian kerja secara lisan sudah seharusnya didasarkan kepada teori, penelitian-penelitian, undang-undang ataupun ketentuan-ketentuan yang


(26)

saling berkaitan. Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.9

Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.10

Dalam penelitian ini teori perjanjian sangat relevan untuk ditinjau dari hukum perdata, sebab menurut ketetapan undang-undang hukum perdata semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu, suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.11

Perjanjian diistilahkan dalam Bahasa Inggris dengan contract, dalam Bahasa Belanda dengan verbintenis atau perikatan juga dengan overenkomst atau perjanjian. Kata kontrak lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian yang tertulis dibandingkan dengan kata perjanjian.12 Kata perjanjian juga sering dikaitkan dengan

perjanjian kerja sama yang dimaksudkan adanya hubungan timbal balik antara satu pihak dengan pihak yang lainnya.

9

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarata: Universitas Indonesia Press, 1986), hlm. 122.

10

Made Wirantha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, (Yogyakarta: 2006), hlm. 6.

11

R. Subekti dan R. Tjitrosudibiyo, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek, terjemahan, cetakan 8, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1996), hlm. 338.

12


(27)

Perjanjian kerja yang dalam Bahasa Belanda disebut arbeidsoverenkoms, mempunyai beberapa pengertian, Pasal 1601a KUHPerdata memberikan pengertian sebagai berikut : Perjanjian kerja ialah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu yaitu buruh mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain yaitu majikan dengan upah selama waktu tertentu.

Selain pengertian tersebut diatas, Imam Soepomo berpendapat bahwa “perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu (buruh), mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lain yakni membayar upah”.13

Profesor Subekti memberikan pengertian perjanjian kerja sebagai berikut: Perjanjian antara seorang “buruh” dengan seorang “majikan”, perjanjian yang ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu “hubungan diperatas” (dienstverhouding), yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan ) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh yang lain.14

Pengertian perjanjian kerja menurut KUHPerdata seperti tersebut diatas dapat dilihat bahwa ciri khas perjanjian kerja adalah dibawah perintah pihak lain yang menunjukan bahwa hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah hubungan bawahan dengan atasan. Pengusaha sebagai pihak yang lebih tinggi secara sosial ekonomi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi untuk memberikan perintah dan

13

Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 36.

15 Abdul Achmad Budiono, Hukum Perburuhan di Indonesia, ( Jakarta: Rajawali Pres, 1997), hlm. 21.

14


(28)

pekerjaan tertentu. Adanya wewenang perintah inilah yang membedakan antara perjanjian kerja dengan perjanjian lainnya.

Dalam hubungan antara pekerja dengan pengusaha bukanlah seperti hubungan antara pembeli dan penjual, atau seperti hubungan antara dokter dengan pasien, ataupun pengacara dengan kliennya. Hal yang membedakan salah satunya adalah posisi tawar yang tidak sama diantara pekerja dan pengusaha. Secara yurisis pekerja/buruh memang bebas. Sebagaimana prinsip negara kita bahwa tidak seorangpun boleh diperbudak, namun secara sosiologis pekerja/buruh adalah tidak bebas. Ketergantungan pekerja/buruh terhadap pengusaha, apalagi kondisi pekerja/buruh dewasa ini belum pada taraf pekerja/buruh yang menguasai ketrampilan dan pengetahuan keilmuan melainkan hanya mengandalkan tenaganya. Jika hubungan antara pekerja dengan pengusaha tidak diatur maka kekuasaan yang tidak terbatas dari pengusaha dapat mendatangkan ketimpangan sosial yang besar terhadap pekerja/buruh, sehingga pekerja/buruh harus dilindungi melalui hukum yaitu hukum perburuhan.15

Hukum adalah fenomena sosial yang penting. Tak ada kelompok sosial yang bisa berlangsung tanpa hukum dalam arti luas. Hukum memiliki dua cita-cita kembar yaitu keadilan dan ketertiban. Ada masyarakat yang lebih mementingkan segi keadilannya ada pula yang memilih segi ketertibannya, perdebatan untuk menentukan

15


(29)

mana pilihan terbaik tak akan pernah selesai, sama halnya perdebatan menentukan dimana titik tengahnya.16

Kehadiran hukum dalam masyarakat diantaranya adalah untuk

mengintegrasikan dan mengkordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa menimbulkan konflik (conflict of interest). Melalui hukum, konflik itu bisa ditekan sekecil-kecilnya. Pengorganisasian kepentingan-kepentingan itu dilakukan dengan membatasi dan melindungi kepentingan-kepentingan tersebut.

Hukum dalam pengertiannya yang utama adalah suatu aturan yamg dicita-citakan dan diwujudkan dalam Undang-Undang, namun sebelumnya perlu ditegaskan bahwa hukum memiliki dua pengertian yang perlu dipahami yaitu:17

1. Hukum dalam arti keadilan. Maka disini hukum menandakan peraturan yang

adil tentang kehidupan masyarakat sebagaimana yang dicita-citakan.

2. Hukum dalam arti Undang-Undang atau lex/wet. Kaidah-kaidah yang

mewajibkan itu dipandang sebagai sarana untuk mewujudkan aturan yang adil tersebut.

Hukum bertujuan menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan dengan tercapainya ketertiban dalam masyrakat yang diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi dalam mencapai tujuannya. Hukum berfungsi membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat,

16

AL Andang L Binawan, Hukum di Pusat Pasar : Keadilan sosial yang memudar dalam Keadilan Sosial Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia, Editor AL Andang L Binawan & A Presetyantoko, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2004), hlm. 75.

17


(30)

membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.18

Dalam literatur dikenal beberapa teori tentang tujuan hukum. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.

Menurut teori etis (etische theori), hukum hanya semata-mata bertujuan mewujudkan keadilan. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh filsuf yunani, Aristoteles, dalam karyanya Eticha Nicomachea dan Retorika, yang menyatakan bahwa hukum mempunyai tugas yang suci, yaitu memberi kepada setiap orang sesuatu yang ia berhak menerimanya. 19

Hukum ketenagakerjaan merupakan hukum yang dibentuk untuk mengadakan keadilan dalam hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Secara sosial ekonomi posisi pengusaha dan pekerja/buruh sangat bertolak belakang. Hal ini menyebabkan hubungan antara keduanya diatur oleh hukum, yaitu hukum yang adil.

Keadilan yang merupakan tujuan dasar dalam pembentukan dan pelaksanaan hukum bahkan yang menjadi tujuan hidup bernegara tidak akan dicapai dengan

menyerahkan sistem ekonomi semata-mata pada mekanisme pasar.20

18

E.Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia,(Jakarta: 1966), hlm. 31. 19

Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, ( Bandung: Alumni, 1985), hlm. 23.

20

Bustanul Arifin dan Didik J.Rachbini, Ekonomi Politik Kebijakan Publik, (Jakarta: PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001), hlm. 57.


(31)

Hubungan kerja adalah merupakan suatu hubungan yang timbul antara pekerja dan pengusaha setelah diadakan perjanjian sebelumnya oleh pihak yang bersangkutan. Pekerja menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada pengusaha dengan menerima upah dan sebaliknya pengusaha menyatakan pula kesanggupannya untuk memperkerjakan pekerja dengan membayar upah. Dengan demikian hubungan kerja yang terjadi antara pekerja dan pengusaha adalah merupakan bentuk perjanjian kerja yang pada dasarnya memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Didalam hubungan kerja terdapat tiga unsur yaitu :21

a. Ada Pekerjaan

Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (objek perjanjian) dan pekerjaan itu haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja/buruh. Secara umum yang dimaksud dengan pekerjaan adalah segala perbuatan yang harus dilakukan oleh pekerja/buruh untuk kepentingan pengusaha sesuai isi perjanjian kerja.

b. Ada Upah

Unsur kedua yang harus ada dalam setiap hubungan kerja adalah adanya upah. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang atau bentuk lain sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi

21

Aruan, SH,M.Hum, Direktorat PPHI Depnakertrans RI, Dalam Melindungi Pekerja Menurut UU No.13 Tahun 2003 Dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Menuju Terciptanya Kepastian Hukum, Sumber : Informasi Hukum Vol 1 Tahun VI, 2004


(32)

pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah dilakukan. Dengan demikian intinya upah merupakan imbalan prestasi yang dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh atas pekerjaan yang telah dilakukan oleh pekerja/buruh.

c. Ada Perintah

Perintah merupakan unsur yang paling khas dari hubungan kerja maksudnya bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja/buruh berada dibawah perintah pengusaha.

Dalam praktek unsur perintah ini misalnya dalam perusahaan yang mempunyai banyak pekerja/buruh yaitu adanya peraturan tata tertib yang harus dipatuhi oleh pekerja/buruh.

Dengan dipenuhinya ketiga unsur tersebut diatas,jelaslah ada hubungan kerja baik yang dibuat dalam bentuk perjanjian kerja tertulis maupun lisan.

Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada prinsipnya telah memberikan defenisi normatif mengenai perjanjian kerja. Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mendefenisikan perjanjian kerja sebagai perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak, Atas pengertian tersebut, maka dapat dijelaskan beberapa unsur penting perjanjian kerja sebagai berikut:

a. Adanya perbuatan hukum/peristiwa hukum berupa perjanjian kerja

b. Adanya subjek atau pelaku yakni pekerja/buruh dan pengusaha/pemberi kerja yang masing-masing membawa kepentingan.


(33)

c. Memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak

Peristiwa hukum perjanjian merupakan tindakan yang dilakukan oleh pekerja/buruh dan pengusaha/pemberi kerja untuk saling mengikatkan diri dalam suatu hubungan yang bersifat normatif atau saling mengikat. Dalam berbagai teori ilmu hukum perikatan, perjanjian merupakan bentuk dari perikatan dimana 2 (dua) pihak mengikatkan diri untuk berbuat, memberikan sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu yang dituangkan dalam suatu perjanjian baik secara lisan maupun secara tertulis. Perjanjian selalu menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pelaku yang terlibat di dalamnya. Konsekuensi dari tidak terpenuhinya hak dan kewajiban tersebut dapat berupa batal atau kebatalan terhadap perjanjian tersebut dan bahkan memungkinkan menimbulkan konsekuensi penggantian kerugian atas segala bentuk kerugian yang timbul akibat tidak terpenuhinya prestasi yang diperjanjikan.

Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hubungan kerja baru dapat timbul setelah pekerja/buruh dan pengusaha/pemberi kerja mengikatkan diri dalam suatu perjanjian kerja. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 50 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan, bahwa “hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh”. Dengan demikian tidak ada keterkaitan apapun yang menyangkut pekerjaan antara pekerja/buruh dan pengusaha tertentu apabila sebelumnya tidak ada perjanjian yang mengikat keduanya.


(34)

2. Konsepsi

Menghindari kesalahpahaman dalam penafsiran tulisan ini, berikut dijelaskan defenisi operasional dari istilah-istilah yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu :

1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesdudah masa kerja.22

2. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.23

3. Pekerja/buruh adalah orang-orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.24

4. Pengusaha ialah :25

a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan

suatu perusahaan milik sendiri.

b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya.

c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesiamewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yangberkedudukan di luar wilayah Indonesia.

22

Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 23

Pasal 1 angka (2) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 24

Pasal 1 angka (3) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 25


(35)

5. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.26

6. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.27

7. Bentuk Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan28

8. Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.29

9. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.30

10.Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan.31

11.Surat pengangkatan sekurang kurangnya memuat keterangan:

a. nama dan alamat pekerja/buruh; b. tanggal mulai bekerja;

c. jenis pekerjaan; dan d. besarnya upah.32

26

Pasal 1 angka (14) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 27

Pasal 1 angka (15) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 28

Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 29

Pasal 56 ayat (1)Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 30

Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 31

Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 32


(36)

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian yang berbasis kepada yuridis normatif, yaitu penelitian tentang asas-asas hukum, kaedah hukum, dan sistematika hukum, serta mengkaji ketentuan perundang-undangan, putusan pengadilan dan bahan hukum lainnya. Sebagai suatu penelitian yuridis normatif, maka penelitian ini berbasis analisis terhadap norma hukum, baik hukum dalam aturan perundang-undangan maupun dalam putusan pengadilan.

Logika keilmuan dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.33

Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analisis. Bersifat deskriptif maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat bagaimana menjawab permasalahan.

2. Bahan Penelitian

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi kepustakaan (library research).

33

Jhonny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publising, 2006), hlm. 57.


(37)

Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

1. Bahan Hukum Primer yaitu Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan dan peraturan-peraturan yang terkait dengan objek penelitian.

2. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan-bahan yang dapat memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti putusan pengadilan, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, pendapat pakar hukum yang erat kaitannya dengan permasalahan penelitian.

3. Bahan Hukum Tertier yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya penunjang untuk dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti jurnal hukum, jurnal ilmiah, kamus umum dan kamus hukum, surat kabar, internet, serta makalah-makalah yang berkaitan dengan objek penelitian.

3. Tehnik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan meliputi tehnik pengumpulan data secara studi kepustakaan (library research), sebagai suatu teknis pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur atau studi dokumen dengan cara meneliti sumber bacaan yang berhubungan dengan topik dalam tesis ini, seperti buku-buku hukum, majalah hukum, artikel-artikel, peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan yang ada kaitannya dengan penelitian, pendapat para sarjana dan bahan-bahan lainnya.


(38)

4. Analisis Data

Keseluruhan data diorganisasikan dan diurutkan kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema seperti yang disarankan oleh data yang dianalisa secara kualitatif.34Data dari hasil penelitian dianalisis secara kualitatif,

artinya data-data yang ada dianalisis secara mendalam, holistik dan komprehensif.

34

Lexy J.Moleong, MetodologiPenelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 103.


(39)

BAB II

PENGATURAN HUKUM KETENAGAKERJAAN TERHADAP HUBUNGAN KERJA ANTARA PENGUSAHA DAN PEKERJA YANG DIDASARKAN

PADA PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN

A. Pengaturan tentang Hubungan Kerja

Pada dasarnya hubungan kerja adalah hubungan antara pekerja dan pengusaha yang terjadi setelah diadakan perjanjian antara pekerja dengan pengusaha, di mana pekerja menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada pengusaha dengan menerima upah dan di mana pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah. Perjanjian yang sedemikian itu disebut perjanjian kerja. Dari pengertian tersebut jelaslah bahwa hubungan kerja sebagai bentuk hubungan hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha.

Menurut Hartono Widodo dan Judiantoro, hubungan kerja adalah kegiatan-kegiatan pengerahan tenaga/jasa seseorang secara teratur demi kepentingan orang lain yang memerintahnya (pengusaha/majikan) sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati.35

35

Judiantoro Hartono, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hlm. 10.


(40)

Selanjutnya Tjepi F. Aloewir, mengemukakan bahwa pengertian hubungan kerja adalah hubungan yang terjalin antara pengusaha dan pekerja yang timbul dari perjanjian yang diadakan untuk jangka waktu tertentu maupun tidak tertentu.36

Hubungan kerja merupakan hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang terjadi setelah adanya perjanjian kerja. Dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Dengan demikian jelaslah bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja.

Hubungan kerja adalah merupakan suatu hubungan yang timbul antara pekerja dan pengusaha setelah diadakan perjanjian sebelumnya oleh pihak yang bersangkutan. Pekerja menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada pengusaha dengan menerima upah dan sebaliknya pengusaha menyatakan pula kesanggupannya untuk memperkerjakan pekerja dengan membayar upah. Dengan demikian hubungan kerja yang terjadi antara pekerja dan pengusaha adalah merupakan bentuk perjanjian kerja yang pada dasarnya memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Unsur-unsur yang ada dalam suatu hubungan kerja yaitu:37

1. Adanya unsur work atau pekerjaan

Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (obyek perjanjian), pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja, hanya

36

Tjepi F. Aloewic, Naskah Akademis Tentang Pemutusan Hubungan Kerja dan Penyelesaian Perselisihan Industrial, Cetakan ke-11, (Jakarta: BPHN, 1996), hlm. 32.

37


(41)

dengan seizin pengusaha dapat menyuruh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1603a yang berbunyi:

“Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanya dengan seizin majikan ia dapat menyuruh orang ketiga menggantikannya”.

Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena bersangkutan dengan ketrampilan atau keahliannya, maka menurut hukum jika pekerja meninggal dunia maka perjanjian kerja tersebut putus demi hukum. 2. Adanya unsur perintah

Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha adalah pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan. Di sinilah perbedaan hubungan kerja dengan hubungan lainnya, misalnya hubungan antara dokter dengan pasien, pengacara dengan klien. Hubungan tersebut merupakan hubungan kerja karena dokter, pengacara tidak tunduk pada perintah pasien atau klien. 3. Adanya upah

Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja (perjanjian kerja), bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama seorang pekerja bekerja pada pengusaha adalah untuk memperoleh upah. Sehingga jika tidak ada unsur upah, maka suatu hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja. Seperti seorang narapidana yang diharuskan untuk melakukan pekerjaan tertentu, seorang mahasiswa perhotelan yang sedang melakukan praktik lapangan di hotel.


(42)

Yang hendak ditunjuk oleh perkataan waktu tertentu atau zekere tijd sebagai unsur yang harus ada dalam perjanjian kerja adalah bahwa hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja tidak berlangsung terus-menerus atau abadi. Jadi bukan waktu tertentu yang dikaitkan dengan lamanya hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja. Waktu tertentu tersebut dapat ditetapkan dalam perjanjian kerja, dapat pula tidak ditetapkan. Di samping itu, waktu tertentu tersebut, meskipun tidak ditetapkan dalam perjanjian kerja mungkin pula didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau kebiasaan.

Hubungan kerja pada dasarnya meliputi hal-hal mengenai pembuatan perjanjian kerja, kewajiban pekerja, kewajiban pengusaha dan berakhirnya hubungan kerja.

1. Pembuatan Perjanjian Kerja.

Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

mendefenisikan perjanjian kerja adalah Perjanjian antara pekerja dengan pengusaha/pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Menurut Undang-undang ini perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis maupun lisan. Perjanjian kerja yang dibuat dalam bentuk tertulis diwajibkan terhadap perjanjian kerja waktu tertentu saja38, sedangkan

perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat dibuat secara lisan maupun tertulis.

38


(43)

Apabila perjanjian kerja dibuat secara tertulis, maka harus memuat sebagai berikut:

a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;

b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh; c. jabatan atau jenis pekerjaan;

d. tempat pekerjaan;

e. besarnya upah dan cara pembayarannya;

f. syarat -syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh

g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.39

Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.40 Perjanjian kerja

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang kurangnya rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha masing-masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.41

Ketentuan Undang-Undang ketenagakerjaan mengatur perjanjian kerja yang dibuat secara lisan, terhadap perjanjian kerja secara lisan maka pengusaha

39

Pasal 54 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 40

Pasal 54 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 41


(44)

wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan yang sekurang-kurangnya memuat keterangan:

a. nama dan alamat pekerja/buruh; b. tanggal mulai bekerja;

c. jenis pekerjaan; dan d. besarnya upah.42

Selain hal-hal diatas terdapat juga beberapa hal lainnya yang perlu diatur dalam suatu perjanjian kerja:43

a. Macam pekerjaan

b. Cara-cara pelaksanaannya

c. Waktu atau jam kerja

d. Tempat kerja

e. Besarnya imbalan kerja, macam-macamnya serta cara pembayarannya

f. Fasilitas-fasilitas yang disediakan perusahaan bagi pekerja/buruh/pegawai

g. Biaya kesehatan/pengobatan bagi buruh/pegawai/pekerja

h. Tunjangan-tunjangan tertentu i. Perihal cuti

j. Perihal ijin meninggalkan pekerjaan k. Perihal hari libur

l. Perihal jaminan hidup dan masa depan pekerja

42

Pasal 63 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 43

A. Ridwan Halim, Hukum Perburuhan Dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1990), hlm. 23.


(45)

m. Perihal pakaian kerja

n. Perihal jaminan perlindungan kerja

o. Perihal penyelesaiaan masalah-masalah kerja p. Perihal uang pesangon dan uang jasa

q. Berbagai masalah yang dianggap perlu

2. Kewajiban Pekerja

Dalam suatu hubungan kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan itu wajib dilakukan sendiri oleh pekerja/buruh. Secara umum yang dimaksud dengan pekerjaan adalah segala perbuatan yang harus dilakukan oleh pekerja/buruh untuk kepentingan pengusaha sesuai isi perjanjian kerja. Pekerja/buruh yang baik adalah buruh yang menjalankan kewajiban-kewajibannya dengan baik, yang dalam hal ini kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan segala sesuatu yang dalam keadaan yang sama, seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan44. Pekerja harus mentaati peraturan

perusahaan yang menurut undang-undang ketenagakerjaan peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan45.

3. Kewajiban Pengusaha

Pengusaha berkewajiban memberikan upah terhadap pekerja. Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh untuk sesuatu

44

Pasal 1603d KUHPerdata 45


(46)

pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan atau peraturan perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan buruh termasuk tunjangan baik untuk buruh sendiri

maupun keluarganya46 Yang dimaksud dengan imbalan termasuk juga sebutan

honorarium yang diberikan oleh pengusaha kepada buruh secara teratur dan terus-menerus.

Pengusaha juga berkewajiban untuk memberitahukan dan menjelaskan isi peraturan perusahaan yang berlaku diperusahaan. Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat:

a. Hak dan kewajiban pengusaha b. Syarat kerja

c. Tata tertib perusahaan

d. Jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.

Peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan peraturan undangan yang berlaku apabila bertentangan dengan peraturan undangan yang berlaku maka yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan. Jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui setelah masa berlakunya habis.

4. Berakhirnya Hubungan Kerja

Hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja berakhir disebabkan oleh:

46


(47)

a. Pekerja meninggal dunia

b. Jangka waktu perjanjian kerja berakhir

c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau

d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan kerja, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

5. Cara Penyelesaian Perselisihan antara pengusaha dan pekerja

Ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur mekanisme

penyelesaian perselisihan antara pengusaha dan pekerja antara lain sebagai berikut:

a. Perundingan Bipartit

Perundingan Bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan Perselisihan Hubungan Industrial.47 Kedua belah pihak diharapkan dapat mencapai

kesepakatan dalam penyelesaian masalah mereka sebagai langkah awal dalam penyelesaian perselisihan. Ketentuan mengenai upaya bipartit diatur pada Pasal 136 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan yang dinyatakan bahwa penyelesaian

47

Pasal 1 angka (10) Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial


(48)

perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh secara musyawarah untuk mufakat.Apabila tercapai kesepakatan maka para pihak membuat Perjanjian Bersama yang mereka tandatangani dan kemudian Perjanjian Bersama ini didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial di wilayah oleh para pihak ditempat Perjanjian Bersama dilakukan. Perlunya

mendaftarkan perjanjian bersama bertujuan untuk menghindari

kemungkinan salah satu pihak ingkar. Bila hal ini terjadi maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi. Apabila gagal dicapai kesepakatan maka karyawan dan pengusaha mungkin harus menghadapi prosedur penyelesaian yang panjang melalui Perundingan Tripartit. b. Perundingan Tripartit

Undang-undang Ketenagakerjaan mengatur 3 (tiga) Lembaga

penyelesaian yang dapat dipilih oleh para pihak yaitu: - Penyelesaian melalui Mediasi

Mediasi48 merupakan upaya penyelesaian perselisihan kepentingan,

perselisihan hak, perselisihan PHK dan perselisihan antara serikat pekerja/buruh melalui seorang mediator (perantara). Dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

48

Pasal 1 butir (11) Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial


(49)

Hubungan Industrial disebutkan bahwa mediator merupakan pegawai instansi pemerintah yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan. Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang berada disetiap kantor instansi yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.49 Mediator berusaha mendamaikan

para pihak agar tercipta kesepakatan antar keduanya. Dalam hal tercipta kesepakatan para pihak membuat perjanjian bersama dengan disaksikan oleh mediator. Bila tidak dicapai kesepakatan maka mediator akan mengeluarkan anjuran tertulis kepada kedua belah pihak. Anjuran harus sudah dikeluarkan oleh meditor paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak mediator menerima pelimpahan penyelesaian atas perselisihan hubungan industrial. Atas anjuran tersebut para pihak harus sudah memberikan jawaban selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah anjuran diterima. Apabila para pihak menerima anjuran tersebut maka mediator harus membantu para pihak membuat perjanjian bersama dan didaftarakan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat. Sedangkan apabila para pihak atau salah satu pihak menolak isi anjuran maka para pihak yang menolak dapat mengajukan gugatan

49

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial


(50)

perselisihan kepengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri setempat.

- Penyelesaian melalui Konsiliasi.

Konsiliasi50 adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan

PHK, dan perselisihan antara serikat pekerja/buruh dalam suatu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.

Konsiliasi merupakan forum pilihan yang hanya dapat ditempuh apabila kedua belah pihak yang berselisih sepakat untuk mencari penyelesaian melalui forum ini.

Lembaga Konsiliasi dipimpin oleh konsiliator yang terdaftar pada kantor instansi yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan kabupaten/kota dan ditunjuk oleh para pihak. Seperti halnya mediator maka Konsiliator berusaha mendamaikan para pihak agar tercipta kesepakatan antar keduanya. Bila tidak dicapai kesepakatan, Konsiliator juga mengeluarkan produk berupa surat anjuran. Apabila para pihak menerima anjuran tersebut maka konsiliator harus membantu para pihak membuat perjanjian bersama dan didaftarakan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat untuk mendapatkan Akta bukti perjanjian bersama.Sedangkan apabila

50

Pasal 1 butir (13) Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial


(51)

para pihak atau salah satu pihak menolak isi anjuran maka para pihak yang menolak dapat mengajukan gugatan perselisihan kepengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri setempat.

- Penyelesaian melalui Arbitrase51

Lain dengan produk Mediasi dan Konsiliasi yang berupa anjuran dan tidak mengikat maka putusan arbitrase mengikat para pihak. Satu-satunya langkah bagi pihak yang menolak putusan tersebut ialah permohonan Pembatalan ke Mahkamah Agung. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial hanya meliputi perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyebutkan bahwa arbitrase merupakan penyelesaian suatu perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh hanya dalam satu perusahaan, diluar Pengadilan Hubungan Industrial, melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisiahan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.

c. Penyelesaian melalui Pengadilan Hubungan Industrial

51

Pasal 1 butir (15) Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial


(52)

Berdasarkan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyatakan bahwa Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum. Setiap perselisihan hubungan industrial tidak dapat langsung diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial dikarenakan perselisihan tersebut harus terlebih dahulu diselesaikan melalui cara bipartrit maupun tripartrit sehingga jika para pihak atau salah satu pihak tidak dapat menerima keputusan secara tripatrit maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial dan jika para pihak atau salah satu pihak tidak dapat menerima keputusan yang dihasilkan oleh Pengadilan Hubungan Industrial maka pihak yang berselisih dapat mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.

B. Pengaturan tentang Perjanjian Kerja

Perjanjian kerja menurut Pasal 1 butir 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak. Perjanjian kerja pada dasarnya harus memuat pula ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan hubungan kerja itu, yaitu hak dan kewajiban buruh serta hak dan kewajiban majikan.

Selanjutnya perihal pengertian perjanjian kerja, ada lagi pendapat Subekti beliau menyatakan bahwa perjanjian kerja adalah perjanjian antara seorang buruh dengan majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji


(53)

tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas (bahasa Belanda “dierstverhanding”) yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain (buruh).52

Perjanjian kerja yang didasarkan pada pengertian Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak disebutkan bentuk perjanjiannya tertulis atau lisan, demikian juga mengenai jangka waktunya ditentukan atau tidak sebagaimana sebelumnya diatur dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.53

Bagi perjanjian kerja waktu tidak tertentu tidak dimintakan bentuk yang tertentu. Jadi dapat dilakukan secara lisan, dengan surat pengangkatan oleh pihak pengusaha atau secara tertulis yaitu surat perjanjian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Undang-undang hanya menetapkan bahwa jika perjanjian diadakan secara tertulis maka biaya surat dan biaya tambahan lainnya harus dipikul oleh pengusaha. Apalagi perjanjian yang diadakan secara lisan, perjanjian yang dibuat tertulispun biasanya diadakan dengan singkat sekali, tidak memuat semua hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya, maka perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam pasl 1320 Kitab

52

Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Penerbit Alumni , Bandung, 1977), hlm. 33. 53


(54)

Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, syarat sahnya suatu perjanjian adalah :

a. Ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian

(consensus)

b. Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian (capacity) c. Ada suatu hal tertentu (a certain subject matter)

d. Ada suatu sebab yang halal (legal causa).54

Apabila dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur bahwa suatu perjanjian dinyatakan sah apabila memenuhi 4 (empat) syarat, maka begitu pula dalam ketentuan hukum ketenagakerjaan yang secara khusus diatur dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 bahwa suatu perjanjian kerja harus memenuhi adanya 4 (empat) persyaratan yakni sebagai berikut:

1. Kesepakatan kedua belah pihak.

Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang mengikatkan dirinya maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus setuju atau sepakat, setia-sekata mengenai hal-hal yang diperjanjkan. Apa yang dikehendaki pihak yang satu dikehendaki pihak yang lain. Pihak pekerja menerima pekerjaan yang ditawarkan dan pihak pengusaha menerima pekerja tersebut untuk dipekerjakan. Dalam hal ini tidak ada paksaan dari pihak manapun, tidak ada kekhilafan dan tidak ada penipuan (Pasal 1321, 1322, 1328

54

Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, (Bandung, Alumni, 1985), hlm. 53.


(1)

1. Perjanjian kerja secara lisan sangat sulit dibuktikan di Pengadilan apabila Ketentuan Pasal 63 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 yang mewajibkan pengusaha/majikan membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang perjanjian kerjanya dibuat secara lisan tidak dilaksanakan, bukan hanya karena tidak ada sanksi yang mengaturnya juga karena dengan tidak dibuatnya perjanjian kerja secara tertulis dan surat pengangkatan akan dapat menguntungkan pengusaha/majikan yaitu diantaranya tidak jelasnya kapan hubungan kerja kedua belah pihak dimulai seperti perkara pemutusan hubungkan kerja antara Harizon pane, dkk (5 orang) dengan PT. Rivera Village Permai yang tidak mengakui Harizon Pane, dkk adalah pekerja/buruh yang bekerja di PT. Rivera Village Permai serta membantah masa kerja dan upah Harizon Pane, dkk akibat tidak adanya perjanjian kerja sehingga oleh karenanya guna melindungi pekerja maka diperlukan peranan pemerintah dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja Propinsi maupun Kabupaten/Kota sebagai pembuat kebijakan untuk segera mengatur sanksi terhadap pengusaha yang tidak membuat surat pengangkatan terhadap perjanjian kerja yang dibuat secara lisan.

2. Pembenaran Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengenai perjanjian kerja secara lisan akan membuat pekerja tidak mengetahui hak dan kewajibannya dalam menjalani hubungan kerja dengan pengusaha berupa syarat-syarat kerja sehingga pekerja tidak dapat menghindari sebuah larangan/tata tertib yang diberlakukan oleh pengusaha yang pada akhirnya dapat mengakibatkan pemutusan hubungan kerja dan bahkan akibat hukum yang timbul dari putusnya


(2)

hubungan kerjapun tidak dapat diketahui oleh pekerja tersebut maka oleh karenanya ditingkat perusahaan diperlukan peranan serikat pekerja/serikat buruh untuk wajib membuat perjanjian kerja bersama yang mengatur mengenai syarat-syarat kerja yang kemudian setiap pekerja dibuatkan perjanjian kerja perorangan sebagai turunan dari perjanjian kerja bersama tersebut.

3. Pengusaha hendaknya dalam melakukan Pemutusan hubungan kerja yang didasarkan pada perjanjian kerja secara lisan harus disesuaikan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia agar tidak akan ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU-BUKU

Achmad Budiono, Abdul, Hukum Perburuhan di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pres, 1997.

Arifin Bustanul, J.Rachbini, Didik, Ekonomi Politik Kebijakan Publik, Jakarta: PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001.

Asikin, Zainal, Dasar-dasar hukum perburuhan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993.

Aloewic, Tjepi F, Naskah Akademis Tentang Pemutusan Hubungan Kerja dan Penyelesaian Perselisihan Industrial, Cetakan ke-11, Jakarta: BPHN, 1996. Binawan, Al Andang L, Hukum di Pusat Pasar : Keadilan sosial yang memudar

dalam Keadilan Sosial Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia, Editor AL Andang L Binawan & A Presetyantoko, Jakarta: Penerbit Kompas, 2004.

Damanik, Sehat, Hukum Acara Perburuhan, Jakarta: Dss Publising, 2004.

Damanik, Sehat, Outsourcing & Perjanjian Kerja Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Jakarta: Dss Publising, 2007.

Darus Badrulzaman, Mariam, Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Bandung, Alumni, 1985.

Husni, Lalu, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

Husni, Lalu, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Pers, 2003.

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Yogjakarta: Kanisius, 1995.

Halim, A. Ridwan, Hukum Perburuhan Dalam Tanya Jawab, Jakarta: Ghalia Indonesia,1990.


(4)

Hartono, Judiantoro, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Jakarta: Rajawali Pers, 1992.

Ibrahim, Jhonny, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publising, 2006.

Moleong, Lexy J, MetodologiPenelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.

Kartasapoetra, G, Hukum Perburuhan di Indonesia Berdasarkan Pancasila, Jakarta: Sinar Grafindo, 1992.

Manulang, Sendjun H, Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2001.

Moleong, Lexy J, MetodologiPenelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.

Muljadi Kartini, Widjaya Gunawan, Perikatan yang lahir dari perjanjian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

Sastrohadiwiryo, Siswanto, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia, Pendekatan administratif dan Operasional, Jakarta: Bumi Aksara, Cet II, 2003.

Sekarwati, Supraba, Perancangan Kontra, Bandung: Iblam, 2001.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarata: Universitas Indonesia Press, 1986.

Soepomo, Imam, Hukum Perburuhan Bidang Kesehatan Kerja (Perlindungan Kerja), Jakarta: Pradnya Paramitha, 1981.

Soepomo, Imam, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: Djambatan, 1974. Soepomo, Imam, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: Djambatan, 1981. Soepomo, Imam, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: Djambatan, 1995.

Sri Wahyuni, Endang, Aspek Hukum Sertifikasi dan Keterkaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.


(5)

Subekti R, Tjitrosudibiyo R, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek, terjemahan, cetakan 8, Jakarta: Pradnya Paramita, 1996.

Subekti, R, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1996.

Suma’mur, Keselamatan Kerja Dan Pencegahan Kecelakaan, Jakarta: Gunung Agung, 1985.

Sunindhia Y.W, Widiyanti Ninik, Manajemen Tenaga Kerja, Jakarta:Bina Aksara, 1987.

Syaufii Syamsuddin, Mohd, Norma Perlindungan Dalam Hubungan Industrial, Jakarta: Sarana Bakti Persada, 2004.

Syahrani, Riduan, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Bandung: Alumni, 1985.

Utrecht, E, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Intermasa,1966.

Wirantha, Made, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, Yogyakarta: 2006.

II. Jurnal Ilmiah, Makalah, Surat Kabar

Aruan, SH, M.Hum, Direktorat PPHI Depnakertrans RI, Dalam Melindungi Pekerja Menurut UU No.13 Tahun 2003 Dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Menuju Terciptanya Kepastian Hukum, Sumber : Informasi Hukum Vol 1 Tahun VI, 2004.

Sudjana, Eggy, Nasib Dan Perjuangan Buruh di Indonesia, makalah disampaikan pada diskusi publik Nasib dan Perjuangan Buruh di Indonesia yang diselenggarakan Pusat Kajian Ketenagakerjaan Majelis Nasional KAHMI Center, Jakarta 24 Juni 2005.

III. Peraturan PerUndang-Undangan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial


(6)

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Jamsostek.

Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah

Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 100/MEN/VI/2004 Tentang Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

IV. Internet

,Akibat Hukum Perjanjian Lisan, diakses dari http://www.koran- radar.com/berita/read/5088/2010/Repot-Jika-Tidak-Pegang-Perjanjian-Kerja-Tertulis, terakhir diakses tanggal 12 April 2010.

Finawati, A.s., Buruh Di Indonesia:Dilemahkan Dan Ditindas dalam Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: Djambatan, 2003, diakses dari http//www.pemantauankeadilan.com/detil/detil.php?id=168&tipe=opini pada tanggal 12 April 2010.

Radar Online, Repot jika tidak pegang perjanjian kerja tertulis, diakses dari http://www.satuportal.net/node/2781, , terakhir diakses tanggal 12 April 2010.


Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Terhadap Wanprestasi Dalam Perjanjian Sewa Menyewa Kapal Tongkang (Studi Putusan Perdata Pengadilan Negeri Medan No. 503/PDT.G/2009/PN-Mdn)

8 222 87

Analisis Yuridis Pemberian Kuasa Blanko Pada Akta Perikatan Jual Beli (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 51/PDT.G/2009/PN.Mdn)

1 86 130

Analisis Yuridis Terhadap Pembatalan Akta Notaris (Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Medan)

24 189 131

Analisis Yuridis Mengenai Dualisme Kewenangan Mengadili Tindak Pidana Korupsi Antara Pengadilan Negeri Dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

0 65 109

Analisis Yuridis Terhadap Hubungan Kerja Antara Pengusaha Dan Pekerja Berdasarkan Perjanjian Kerja Secara Lisan (Studi Kasus: Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Medan Nomor:41/G/2009/PHI.Mdn)

2 53 126

Penyelesaian Perselisihan Antara Pekerja dengan Pengusaha di Luar Pengadilan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

1 45 149

Peranan Perjanjian Kerja Antara Pengusaha Dan Pekerja Pada Perusahaan Waralaba (Franchise) Di...

0 67 5

Peranan Pengadilan Hubungan Industrial dalam Memberikan Kepastian Hukum Terhadap Perkara Pemutusan Hubungan Kerja (Studi Terhadap Putusan Pemutusan Hubungan Kerja-Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan)

10 130 147

Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung Nomor 409 K/Pdt.Sus-Phi/2014 Terkait Pemutusan Hubungan Kerja Pengurus Serikat Pekerja Pada Perusahaan Manufaktur

3 119 104

PERAN HAKIM AD HOC PADA PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (Studi pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang)

0 17 49