Tuturan Orang Tua dan Anak dalam Acara Supernanny: Sebuah Kajian Tindak Tutur.

(1)

ii

TESIS

TUTURAN ORANG TUA DAN ANAK

DALAM ACARA

SUPERNANNY:

SEBUAH KAJIAN TINDAK TUTUR

ARIF RAHMAN HADI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

iii

TUTURAN ORANG TUA DAN ANAK DALAM ACARA SUPERNANNY:

SEBUAH KAJIAN TINDAK TUTUR

ARIF RAHMAN HADI NIM 1390161044

PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI LINGUISTIK

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2016


(3)

iv

TUTURAN ORANG TUA DAN ANAK DALAM ACARA SUPERNANNY:

SEBUAH KAJIAN TINDAK TUTUR

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Linguistik

Program Pascasarjana Universitas Udayana

ARIF RAHMAN HADI NIM 1390161044

PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI LINGUISTIK

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2016


(4)

v

LEMBAR PENGESAHAN

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 28 Januari 2016

Mengetahui

Ketua Program Studi Magister Linguistik Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Prof. Dr. Ida Bagus Putra Yadnya, M.A. NIP 195212251979031004

Direktur

Program Pascasarjana Universitas Udayana,

Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S(K). NIP 195902151985102001

Pembimbing II,

Dr. Ni Luh Nyoman Seri Malini, M. Hum. NIP 196905291999032001

Pembimbing I,

Prof. Dr. I Wayan Simpen, M. Hum. NIP 196012311985031028


(5)

vi

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI

Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 28 Januari 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,

Nomor: ……… Tanggal ………

Ketua : Prof. Dr. I Wayan Simpen, M. Hum. Anggota:

1. Dr. Ni Luh Nyoman Seri Malini, M. Hum.

2. Dr. I Putu Sutama, M. S.

3. Dr. Ni Made Suryati, M. Hum.


(6)

vii

PERNYATAAN KEASLIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Arif Rahman Hadi

NPM : 1390161044

Jurusan/ Program Studi : Program Studi Linguistik

Strata/ Program : S2/ Magister

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis ini benar-benar merupakan hasil karya sendiri, bebas dari peniruan terhadap karya orang lain, kutipan pendapat dan tulisan orang lain dirujuk sesuai dengan cara-cara penulisan karya ilmiah yang berlaku. Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ini, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 31 Januari 2016


(7)

viii

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Maha Lembut,

Kaya dan Maha Tinggi, berkat kasih dan sayang-Nya, penulis dapat menyelesaikan sebuah tesis dengan judul “Tuturan Orang Tua dan Anak dalam Acara Supernanny: Sebuah Kajian Tindak Tutur”. Karya ini ditulis untuk memenuhi persyaratan akademis dalam meraih gelar Magister Humaniora pada Program Magister Linguistik Universitas Udayana sesuai dengan rencana yang telah disusun sebelumnya.

Pada kesempatan ini, izinkanlah penulis menyampaikan terima kasih kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr.dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, yang telah memberikan kesempatan untuk menimba ilmu di Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Terima kasih pula penulis ucapkan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S(K), atas kesempatan yang diberikan pada penulis untuk menjadi salah satu bagian civitas akademika Universitas Udayana.

Penulis juga menghaturkan terima kasih kepada Ketua Program Studi Magister Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. Ida Bagus Putra Yadnya, M.A, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan. Penulis akhirnya bisa mengenyam pendidikan dan mendapatkan ilmu pengetahuan selama belajar di Universitas Udayana.

Rasa terima kasih juga penulis ucapkan kepada Prof. Dr. I Wayan Simpen, M.Hum, selaku dosen pembimbing pertama, yang telah memberikan banyak


(8)

ix

masukan, dorongan dan bimbingan dalam penulisan tesis ini. demikian pula kepada Dr. Ni Luh Nyoman Seri Malini, M.Hum, selaku dosen pembimbing kedua, yang dengan kesabaran dan ketelitian mengarahkan penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Terima kasih pula kepada pembimbing akademik (PA) dan seluruh staf pengajar atas segala ilmu, didikan, dan pengajarannya secara teori dan praktik sehingga penulis mendapatkan wawasan baru. Kepada semua staf administrasi dan staf perpustakaan S2 linguistik atas pelayanan dan kehangatan yang diberikan selama penulis menjadi mahasiswa di Program Studi Magister Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Kepada kedua orang tua penulis, ayahanda Johardi, Dt. Patiah Baringek, dan Ibunda Muzna Ibrahim, terima kasih atas doa dan dan dukungan yang diberikan kepada penulis secara moril dan materil. Abang Afdhal Wirahadi, kak Anne Dwi Idma, Aghniya Mikaila Affan, uda Iqbal Hasnul Hadi, akak Widia Sari, Ikhtarina Rahima Hadi, dan Alfi Syukrina Hadi, keluarga di Ladang Tibarau, Bandung, dan Jakarta yang tak henti-hentinya memberikan semangat dan kebahagian dalam melalui perjuangan.

Tidak lupa kepada teman-teman kelas Linguistik Murni Program Studi Magister Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana. Terima kasih penulis ucapkan atas saran, dukungan, dan pertemanan yang diberikan tulus dan iklas sehingga penulis selalu termotivasi untuk belajar bahkan menulis tesis ini. Yang terakhir, terima kasih kepada Nyoman Harry Purnama, Ismil Hamdany, Nisa‟ul Fithri Mardani Shihab, Arif Hidayat, Lutfi Pristiawan, Abdul Halim


(9)

x

Ahmad Hasan, Christian David Lontoh, Bayu Rahanatha, Tommy Karinda, Cok Istri Jayanthi Pemayun, Ni Putu Kalpikasari Wijayanti. Tidak lupa pula teman-teman kelas A sastra Inggris 2007 UNPAD, teman-teman-teman-teman KEB-Hana Indonesia, dan teman-teman lainnya yang tidak dapat sebutkan satu persatu. Terima kasih karena selalu setia berada di samping penulis dalam senang dan susah sehingga penulis tidak pernah merasakan kesepian jauh dari rumah selama berjuang di Program Studi Magister Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana. Semoga karya ini dapat menjadi nilai lebih bagi Program Studi Magister Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana. Penulis berharap tesis ini mampu menambah sederetan penelitian linguistik, khususnya dalam bidang pragmatik. Penulis menyadari bahwa penelitian ini jauh dari sempurna dan masih memiliki kelemahan dan kekurangan. Untuk itu, saran dan kritik yang membangun penulis harapkan guna melengkapi tulisan ini ke arah yang lebih baik.

Nusa Dua, Januari 2016


(10)

xi

ABSTRAK

Penelitian dengan judul “Tuturan Orang Tua dan Anak dalam Acara Supernanny: Sebuah Kajian Tindak Tutur” ini menganalisis tuturan yang muncul dalam komunikasi orang tua dan anak. Penelitian terhadap tuturan yang muncul dalam acara realitas ini dilandaskan pada teori pragmatik, terutama pada teori jenis tindak tutur (Levinson, 1983), fungsi tindak tutur (Searle, 1969), makna tindak tutur (Austin, 1962), prinsip kerja sama (Grice, 1975), dan prinsip kesantunan (Leech, 1989).

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan deskriptif-kualitatif secara pragmatis. Sumber data adalah data lisan dalam 17 episode pada musim kedua acara Supernanny. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi dan dokumentasi dengan analisis melalu cara reduksi data, menyusun data secara sistematis, pengklasifikasian data, dan melakukan analisis data. Penyajian hasil analisis dilakukan dengan menggunakan metode formal dan informal.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis tindak tutur yang muncul adalah (a) tindak tutur langsung dan (b) tindak tutur tidak langsung. Orang tua menggunakan kedua jenis tindak tutur secara merata karena kebutuhan orang tua untuk menyatakan maksud dari kedua jenis tindak tutur. Sementara itu, anak lebih cenderung menggunakan jenis tindak tutur langsung. Penggunaan tindak tutur langsung cenderung dipahami secara literal oleh anak.

Fungsi tindak tutur dalam acara realitas ini ditemukan fungsi (i) deklaratif adalah „memutuskan‟ dan „melarang‟, (ii) representatif adalah „menyatakan‟, „melaporkan‟, dan „memberi penilaian‟, (iii) komisif adalah fungsi untuk „berjanji‟, „mengancam‟, dan „menawarkan‟, (iv) direktif adalah fungsi untuk

„memerintah‟, „mengajak‟, dan „memohon‟, dan (v) ekspresif untuk

„mengucapkan terima kasih‟, „menyapa‟, „memuji‟, „meminta maaf‟, dan „ketidaksukaan‟. Orang tua lebih menunjukkan penggunaan fungsi yang lebih luas dibanding anak karena hirarki sosial yang ada. Fungsi ekspresif adalah fungsi yang paling sering digunakan yang mana orang tua lebih sering menggunakan fungsi ekspresif others centered karena peran sosial orang tua sebagai pendidik dan pengayom anak. Sementara anak-anak cenderung menggunakan self centered karena kebutuhan untuk menyampaikan perasaan.

Makna tindak tutur yang muncul adalah lokusi, ilokusi dan perlokusi. Sementara itu, untuk prinsip kerjasama ditemukan ketaatan dan pelanggaran terhadap maksim (a) kuantitas, (b) kualitas, (c) hubungan, dan (d) cara. Pada prinsip kesantunan terdapat ketaatan dan pelanggaran pada maksim (i) kebijaksanaan, (ii) kedermawanan, (iii) penghargaan, (iv) kerendahan hati, (v) kecocokan, dan (vi) simpati. Kedua prinsip ini muncul tanpa menunjukkan hubungan linear. Konteks situasi sangat memengaruhi ketaatan dan pelanggaran terhadap kedua prinsip ini, terutama hubungan orang tua dan anak serta aspek sosiokultural tampak lebih mendominasi ketaatan dan pelanggaran pada kedua prinsip ini.

Kata kunci: jenis tindak tutur, fungsi tindak tutur, makna tindak tutur, prinsip kerjasama, prinsip kesantunan


(11)

xii

ABSTRACT

The research entitled “Parents and Children Speech in Supernanny: An Analysis of Speech Acts” analyzed speeches occurred in the communication between parents and children on a reality show Supernanny. Analysis on the speeches in the reality show is based on pragmatics, especially speech acts types (Levinson, 1983), speech acts functions (Searle, 1969), speech acts meanings (Austin, 1962), cooperative principles (Grice, 1975), and politeness principles (Leech, 1989).

This research was conducted under pragmatics descriptive-qualitative approach. The source of the data was speeches that appeared in seventeen episodes from season two of Supernanny. All of the data were obtained through observation and documentation methods which were reduced, systematically constructed, and classified in order to undergo further analysis. Finally, the results were presented in formal and informal method.

The result of the analysis showed that speech acts types were (a) direct speech acts and (b) indirect speech acts. Parents used both types equally to deliver purposes in their speeches while children used direct speech acts dominantly. Direct speech acts were responded rather literally by children.

Five functions of speech acts appeared were (i) declarative for „deciding‟ and „forbidding‟, (ii) representative for „stating‟, „reporting‟, and „giving assessment‟, (iii) commisive for „promising‟, „threatening‟, and „offering‟, (iv) directive for „commanding‟, „inviting‟ and „requesting‟, and (v) expressive for „thanking‟, „greeting‟, „praising‟, and „disliking‟. Parents used wide range of function to express rather than children due to the social hierarchy. Expressive was the most used function where parents used others centered to nurture their children as their social role. Meanwhile, children used self centered functions to express their emotional feelings.

Locutionary, illocutionary, and perlocutionary were the meaning appeared in the reality show. Furthermore, complying and flouting cooperative principle appeared from (a) quantity, (b) quality, (c) relation, and (d) manner maxim. On the other hand, there were complying and flouting in (i) tact, (ii) generosity , (iii) approbatin, (iv) modesty, (v) agreement, (vi) sympathy maxim. It was showed that the flouting of cooperative principle was not linear with complying politeness principle. The context had stronger boundaries with the complying and flouting of both principles. Context, especially parent-child relationship, and socio-cultural aspects, dominantly affected the principles.

Keywords: types of speech acts, functions of speech acts, meanings of speech act, cooperative principle and politeness principle.


(12)

xiii

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... ii

PERSYARATAN GELAS MAGISTER ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... v

PERNYATAAN KEASLIAN ... vi

UCAPAN TERIMA KASIH ... vii

ABSTRAK ... x

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR BAGAN ... xv

DAFTAR SINGKATAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.3.1 Tujuan Umum ... 9

1.3.2 Tujuan Khusus ... 10

1.4 Manfaat Penelitian ... 11

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 11

1.4.2 Manfaat Praktis ... 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN ... 12

2.1 Kajian Pustaka ... 11

2.2 Konsep ... 20

2.2.1 Pragmatik ... 20

2.2.2 Tindak Tutur ... 21

2.2.3 Prinsip Kerjasama ... 22

2.2.4 Prinsip Kesantunan ... 23

2.2.5 Acara Realitas ... 23

2.3 Landasan Teori ... 24

2.3.1 Teori Tindak Tutur ... 24

2.3.1.1Jenis Tindak Tutur... 25

2.3.1.2Fungsi Tindak Tutur ... 27

2.3.1.3Makna Tindak Tutur ... 30

2.3.2 Teori Prinsip Kerjasama ... 33

2.3.3 Teori Prinsip Kesantunan ... 36


(13)

xiv

BAB III METODE PENELITIAN ... 43

3.1 Pendekatan Penelitian ... 43

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 43

3.2.1Jenis Data ... 43

3.2.2Sumber Data ... 44

3.3 Instrumen Penelitian... 45

3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 46

3.5 Metode dan Teknik Analisis Data ... 47

3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis ... 48

BAB IV JENIS, FUNGSI, DAN MAKNA TINDAK TUTUR DALAM SUPERNANNY ... 50

4.1 Jenis Tindak Tutur... 51

4.1.1 Tindak Tutur Langsung ... 52

4.1.2 Tindak Tutur Tidak Langsung ... 54

4.2 Fungsi Tindak Tutur ... 57

4.2.1 Fungsi Deklaratif ... 57

4.2.2 Fungsi Representatif... 60

4.2.3 Fungsi Komisif ... 64

4.2.4 Fungsi Direktif ... 70

4.2.5 Fungsi Ekspresif ... 74

4.3 Makna Tindak Tutur ... 85

4.3.1 Makna Lokusi ... 86

4.3.2 Makna Ilokusi ... 88

4.3.3 Makna Perlokusi ... 93

BAB V PRINSIP KERJASAMA DAN PRINSIP KESANTUNAN DALAM SUPERNANNY ... 98

5.1 Prinsip Kerjasama ... 99

5.1.1 Maksim Kuantitas ... 99

5.1.2 Maksim Kualitas ... 102

5.1.3 Maksim Hubungan ... 107

5.1.4 Maksim Cara ... 111

5.2 Prinsip Kesantunan ... 116

5.2.1 Maksim Kebijaksanaan ... 117

5.2.2 Maksim Kedermawanan ... 122

5.2.3 Maksim Penghargaan ... 126

5.2.4 Maksim Kerendahan Hati ... 129

5.2.5 Maksim Kecocokan ... 133

5.2.6 Maksim Simpati ... 136

5.3 Hubungan Prinsip Kerja Sama dan Prinsip Kesantunan dalam Supernanny ... 141


(14)

xv

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 149

6.1 Simpulan ... 149

6.2 Saran ... 154

DAFTAR PUSTAKA ... 156


(15)

xvi

DAFTAR BAGAN


(16)

xvii

DAFTAR SINGKATAN

S : Supernanny

M : Musim


(17)

(18)

(19)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Dunia pertelevisian merupakan dunia yang sangat cepat berkembang. Perkembangan dunia pertelevisian ditandai dengan banyaknya jenis acara yang ditayangkan selama dua puluh empat jam sehari dan tujuh hari dalam seminggu. Salah satu contoh program yang menarik penonton adalah acara realitas. Acara realitas merupakan salah satu bentuk acara yang akhir-akhir ini sering dan banyak ditayangkan di televisi. Beragam acara realitas mengambil dan menampilkan kisah hidup seseorang yang kemudian diangkat menjadi tontonan di layar kaca. Di satu sisi, rasa penasaran penonton dipupuk dari kisah-kisah yang dekat dengan kehidupan penonton. Alur cerita dan setting kejadian yang ditayangkan selalu mendatangkan rasa penasaran penontonnya. Di sisi yang lain, cerita yang diangkat dalam acara realitas sering kali menangkap dilema dan kejadian tidak terduga. Kedua hal tersebut disatukan dalam sebuah program dengan konsep semua pelaku yang muncul dalam serial mengatakan, melakukan, dan menyampaikan sesuatu tanpa adanya panduan dari sutradara.

Jika dilihat dari perkembangannya, acara realitas merupakan jenis acara yang sudah lama muncul dan menjadi program favorit dalam dunia pertelevisian. Di Amerika sendiri, acara realitas diawali dengan penayangan acara komedi yang mempunyai konsep „mengerjai orang‟ bertajuk Candid Camera (1948). Orang-orang yang dikerjai ini akan menunjukkan tanggapan baik berupa kekesalan maupun rasa geli akibat humor yang muncul. Acara ini merupakan acara


(20)

2

hiburan yang mengangkat kejadian yang muncul dalam siatuasi tertentu dan terekam oleh kamera tersembunyi. Seiring dengan berkembangnya teknologi dan kecanggihan dalam dunia pertelevisian, serta berkembangnya dinamika hidup manusia, acara realitas pun ikut berubah. Pada era 90-an dunia pertelevisian barat mulai diramaikan oleh acara realitas yang mengangkat kisah dramatis dari tokoh-tokoh yang terekam di dalamnya. Big Brother (2000) adalah salah satu dari banyak acara realitas yang sangat sukses dan paling banyak diperbincangkan kala itu. Kisah realitas yang diangkat adalah kisah manusia dari beragam latar belakang dikarantina dalam sebuah rumah besar. Acara realitas ini menjadi sangat terkenal karena belum pernah ada acara seperti ini dalam sejarah pertelevisian dunia Barat.

Di Indonesia, acara realitas pada awalnya hanya berupa acara dengan konsep kuis dan kompetisi. Kuis Berpacu Dalam Melodi (1952) merupakan salah satu acara kuis lawas yang tayang perdana di Televisi Republik Indonesia (TVRI), sebagai pionir acara realitas berjenis kuis di Indonesia. Perubahan dan penambahan saluran televisi di Indonesia membuat acara realitas baru mulai bermunculan dan menjadi acara yang banyak ditunggu oleh penonton lokal. Perkembangan ini pulalah yang menjadi pintu gerbang masuknya acara realitas asing ke Indonesia.

Salah satu acara realitas asing yang cukup berbeda dan sempat ditayangkan di Indonesia adalah Supernanny. Acara ini muncul perdana pada tahun 2004 di Inggris dan menjadi acara yang sangat diminati di negaranya. Acara ini menjadi terkenal semenjak penayangan perdana, sehingga turut disiarkan hingga ke


(21)

3

delapan belas negara termasuk Indonesia, pada tahun 2006. Konsep yang diambil oleh acara ini adalah rekaman kehidupan keluarga yang difokuskan pada komunikasi orang tua dan anak. Jika membicarakan komunikasi orang tua dan anak, maka penggunaan bahasa saat bertutur menjadi hal yang sangat disoroti dalam acara ini.

Komunikasi orang tua dan anak merupakan sebuah proses komunikasi yang sangat erat kaitannya dengan konteks situasi tutur. Orang tua sering kali berujar kepada anak-anak mereka dalam konteks tertentu. Ujaran dengan fungsi menyuruh, memuji, melarang, dan beragam fungsi ujaran lainnya dituturkan sesuai dengan kebutuhan komunikasi orang tua dan anak. Kebutuhan komunikasi ini tidak bisa dilepaskan dari situasi tutur yang mendorong ujaran antara orang tua dan anak untuk muncul. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa karena konteks situasi ini pulalah, anak akhirnya mampu memahami maksud yang disampaikan orang tua melalui tuturannya.

Penjabaran di atas memberikan gambaran bahwa ujaran yang dituturkan oleh orang tua dan anak adalah alat perantara untuk saling memahami satu sama lain. Di satu sisi, anak dalam usia tertentu semestinya mengerti alasan orang tua mengujarkan sesuatu baik dari sisi bentuk, makna, dan konteks ujaran tersebut. Di sisi yang lain, orang tua mengujarkan sesuatu kepada anak mereka bukan hanya karena mereka ingin melafalkan sesuatu. Para orang tua mempunyai maksud tertentu dalam ujaran yang diharapkan mampu dimengerti oleh anak-anak mereka. Ujaran yang dituturkan oleh orang tua layaknya sebuah tindakan fisik yang diwakili oleh ujaran yang di tuturkan kepada anak-anak mereka.


(22)

4

Dalam linguistik, pragmatik adalah ilmu yang menelaah bahasa tidak hanya dengan melihat struktur dan makna ujaran, tetapi juga keterkaitan ujaran dengan aspek eksternal bahasa, yaitu saat ujaran muncul dan digunakan dalam konteks situasi tertentu (Wijana, 1996:1). Dalam ilmu pragmatik, ujaran mempunyai kemampuan untuk mewakili bahkan untuk „melakukan‟ tindakan. Kemampuan ujaran untuk mewakili sebuah tindakan dikenal dengan istilah tindak tutur.

Esensi tindak tutur pada dasarnya terletak pada „tindakan‟ yang direpresentasikan oleh ujaran. Ketika orang tua mengatakan “tutup pintunya” kepada anak mereka, ujaran ini bukan hanya sekedar rentetan kata yang didengarkan oleh lawan tutur. Ujaran ini memiliki sebuah daya yang mendorong lawan tutur layaknya tindakan yang dilakukan oleh orang tua kepada anak-anak. Namun, tindakan ini bukanlah sebuah kegiatan fisik, melainkan daya yang muncul dari rangkaian ujaran atau melalui kata-kata. Tindakan ini pada akhirnya akan memberikan efek kepada pendengarnya sehingga si pendengar atau lawan tutur tersebut bergerak untuk menutup pintu.

Lebih jauh lagi, jika dikaitkan dengan komunikasi antara orang tua dan anak, ujaran yang dituturkan oleh orang tua tidak selamanya merupakan ujaran yang bersifat langsung. Keberadaan konteks situasi sangat memengaruhi penutur untuk menyatakan maksudnya secara langsung dalam tuturannya atau melalui bentuk yang tidak langsung (Wijana, 1996: 29). Ada kalanya orang tua, sebagai penutur, tidak langsung menuturkan maksudnya melalui kalimat yang dilontarkan. Petutur, yang dalam konteks situasi tutur ini adalah anak, didorong untuk memahami konteks kemunculan tuturan tersebut dan menangkap maksud tuturan orang tua.


(23)

5

Sebagai contoh adalah seorang ibu berkata “tong sampah di dapur sudah penuh”. Dilihat dari jenis tuturannya, maka tuturan ini digolongkan sebagai bentuk tuturan deklaratif. Jenis tuturan dengan bentuk deklaratif umumnya merupakan tuturan yang bersifat informatif bagi pendengarnya.

Jika pemahaman akan tindak tutur hanya terbatas pada jenis atau bentuk tuturan saja, tanpa memperhatikan konteks yang akan mempengaruhi maksud tuturan, maka sebuah tuturan tidak akan mampu secara sempurna menyampaikan maksudnya. Contoh tuturan yang tertulis pada paragraf di atas memang memberikan informasi kepada lawan tutur bahwa tong sampah yang berada di dapur sudah penuh. Maksud secara tidak langsung dari pernyataan tersebut adalah sebuah instruksi. Petutur, dalam konteks situasi ujaran tersebut, merupakan orang yang selalu berkewajiban untuk membuang sampah dari dapur. Oleh karena itu, petutur semestinya bertindak untuk membuang sampah yang ada di dapur. Dengan demikian, ujaran yang mempunyai jenis ujaran tak langsung dapat dipahami bukan hanya dari bentuk ujaran tetapi dari fungsi dan maknanya. Suardana (2013) menulis bahwa pada kenyataanya, tindak tutur tidak langsung mempunyai makna implisit. Petutur perlu memahami fungsi yang tidak muncul secara eksplisit dalam tuturan.

Keberhasilan dalam memahami tindak tutur baik secara eksplisit maupun

implisit mampu menghilangkan hambatan komunikasi yang akan bisa dicapai oleh penutur dan petutur (Suardana, 2013: 35). Pemahaman tindak tutur didorong oleh pemahaman interlokutor terhadap konteks sosial dan psikologis yang mengikat mereka. Kedua konteks ini akan mampu menjadi pendorong bagi


(24)

6

interlokutor untuk menuturkan ujaran yang sesuai baik dari sisi jenis, fungsi dan maknanya. Orang tua maupun anak-anak selalu berharap bahwa dalam setiap penuturan mereka mampu dipahami sepenuhnya oleh lawan bicara mereka. Untuk itu, secara tidak sadar orang tua dan anak akan memilih menggunakan tindak tutur tertentu yang mampu mewakili tindakan yang ingin mereka lakukan.

Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa tindak tutur memegang peran penting dalam proses komunikasi situasi tertentu. Namun, penelaahan mengenai tindak tutur bukanlah hal yang sederhana. Tindak tutur juga berkaitan dengan kerjasama dan kesantunan yang terjalin antara penutur dan petutur. Wierzbicka (1999) memberikan penjelasan bahwa setiap penutur mempunyai cara yang khas dalam mengujarkan sesuatu. Kekhasan penuturan tergantung pada nilai-nilai yang dianut penutur dan sejauh mana penutur memahami konteks tuturan. Dalam konteks situasi tuturan antara orang tua dan anak, kerjasama dan kesantunan adalah salah satu aspek yang akan muncul. Kerjasama dan kesantunan antara orang tua dan anak tidak hanya terbatas pada kerjasama dalam bentuk sikap dan fisik tetapi juga dalam ujaran. Ketika orang tua dan anak mengujarkan sesuatu, mereka menuturkan sesuatu dalam jumlah dan kadar tertentu. Kerjasama dalam memberikan informasi akan bertautan dengan kesantunan yang muncul.

Penjelasan di atas memaparkan mengenai pentingnya penelaahan tindak tutur dalam situasi tutur tertentu, tidak terkecuali dalam komunikasi orang tua dan anak. Tidak jarang orang tua mengujarkan berbagai macam hal seperti perintah kepada anak mereka. Sayangnya, ujaran ini hanya mendapatkan tanggapan yang berujung kepada ketidakpatuhan. Tidak jarang pula anak-anak memberikan tanggapan yang


(25)

7

bertujuan untuk melawan tuturan orang tua. Akibat dari keadaan ini, tidak sedikit orang tua pada akhirnya hanya bisa marah. Apapun yang mereka sampaikan tidak dipatuhi oleh anak. Lebih buruk lagi, tidak jarang anak-anak menjadi individu yang berani memberikan tanggapan yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh orang tua seperti umpatan dan kelakuan kasar. Hal ini merupakan pelanggaran buruk terhadap tindak tutur, prinsip kerjasama bahkan kesantunan. Dalam acara realitas Supernanny, permasalahan yang sering kali muncul adalah anak-anak yang tidak mau menuruti orang tuanya. Tidak jarang pula dari tayangan acara ini diperlihatkan anak-anak dengan berani memukul orang tuanya meskipun orang tuanya tersebut sudah melarang bahkan menyuruh mereka untuk berhenti. Acara realitas ini ingin menujukkan bahwa penggunaan bahasa atau tuturan yang tepat sangatlah penting. Tuturan yang diujarkan sesuai dengan konteksnya merupakan alat yang tepat dan efektif untuk membuat anak-anak mampu mendengarkan ujaran orang tuanya dengan baik.

Melihat bahwa ujaran yang dituturkan oleh orang tua erat kaitannya dengan aspek situasi dan tindak tutur, maka teori tindak tutur cocok untuk menelaah ujaran-ujaran yang muncul dalam acara realitas Supernanny. Menurut Saeed (2000: 203), tindak tutur menunjukkan bahwa tuturan merupakan bagian dari penggunaan bahasa yang sarat dengan tujuan menyampaikan gagasan sosial. Dengan demikian perlu digarisbawahi bahwa penuturan sebuah ujaran akan mampu memberikan efek tindak tutur jika penutur dan petutur sama-sama memahami aspek sosial yang terjalin di antara mereka. Melalui aspek sosial


(26)

8

tersebut, hambatan dalam menangkap gagasan dari sebuah tuturan tidak perlu muncul.

Acara realitas Supernanny merupakan gambaran yang baik dari penggunaan tuturan yang sesuai dengan konteks situasi tutur serta teknik penggunaan ujaran yang tepat dalam komunikasi antara orang tua dan anak. Dengan mempertimbangkan keterkaitan fakta yang terjadi pada acara realitas Supernanny dengan teori tindak tutur dalam pragmatik, peneliti mempunyai pandangan bahwa serial realitas Supernanny layak untuk diangkat sebagai objek penelitian tindak tutur.

1.2Rumusan Masalah

Pada bagian latar belakang telah dijelaskan bahwa komunikasi orang tua dan anak menggunakan tuturan-tuturan yang dipengaruhi oleh konteks situasi tuturan. Tindak tutur memegang peranan penting dalam pemahaman penutur dan petutur terhadap ujaran yang muncul. Dengan adanya tindak tutur, maksud yang disampaikan oleh penutur akan bisa ditangkap dengan baik oleh petutur. Kerjasama dan kesantunan penutur menjadi aspek penting lainnya karena situasi tutur tertentu akan menentukan maksim kerjasama dan kesantunan dalam tuturan. Merujuk penjelasan tersebut, masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.


(27)

9

1) Apa sajakah jenis tindak tutur yang muncul dalam serial realitas Supernanny?

2) Apa sajakah fungsi tindak tutur yang muncul dalam serial realitas Supernanny?

3) Apa sajakah makna tindak tutur yang muncul dalam serial realitas Supernanny?

4) Bagaimanakah hubungan prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan dalam

acara realitas Supernanny?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan penelitian yang telah dirumuskan di atas, tujuan penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Kedua tujuan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menemukan, menelaah, menganalisis, dan menjelaskan tuturan yang muncul dalam serial realitas Supernanny dari segi tindak tutur. Tuturan yang muncul dalam serial ini merupakan tuturan yang sarat dengan situasi tutur. Secara khusus, tuturan yang sarat dengan konteks situasi tutur tersebut akan ditelaah dari sisi jenis, fungsi, dan makna tindak tutur serta prinsip kerjasama dan kesantunan. Kekhususan tuturan tersebut dapat dipaparkan dalam tujuan khusus penelitian ini.


(28)

10

1.3.2 Tujuan Khusus

Penelitian ini mempunyai tujuan untuk menelaah tuturan yang muncul dalam serial realitas Supernanny melalui teori tindak tutur, teori pinsip kerjasama, dan kesantunan. Secara khusus, penelitian ini bertujuan sebagai berikut.

1. Menjelaskan jenis tindak tutur berdasarkan hubungan dari bentuk ujaran dengan maksud penutur melalui ujaran yang dituturkan. Hubungan dari bentuk dan maksud ini bisa saja berkesesuaian melalui bentuk dan maksud yang muncul dalam bentuk yang sama atau bentuk dan maksud mempunyai bentuk yang berbeda.

2. Menganalisis fungsi tindak tutur yang muncul dalam acara realitas Supernanny. Analisis ini dimaksudkan untuk melihat fungsi-fungsi tindak tutur melalui berbagai konstruksi tuturan. Melalui analisis ini akan terlihat fungsi yang muncul melalui tuturan dalam serial tersebut.

3. Memaparkan makna tindak tutur yang muncul melalui tuturan dalam serial

Supernanny. Makna yang akan dijelaskan meliputi lokusi, ilokusi, dan perlokusi dari ujaran yang muncul dalam serial tersebut.

4. Menelaah penggunaan maksim-maksim yang berkaitan dengan prinsip

kerjasama dan prinsip kesantunan dalam acara realita Supernanny. Melalui penelaahan ini akan ditemukan maksim apa saja yang digunakan dalam percakapan serta keterkaitan prinsip kerjasama terhadap prinsip kesantunan.


(29)

11

1.4Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat, baik secara teoretis maupun secara praktis. Kedua manfaat tersebut akan dijabarkan dalam penjelasan berikut.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan dalam model kajian pragmatik terutama dalam hal pengaplikasian teori tindak tutur, prinsip kerjasama, dan kesantunan. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai tindak tutur, prinsip kerjasama, dan kesantunan dalam konteks situasi yang spesifik, yaitu komunikasi orang tua dan anak.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan dan sumbangan pemikiran dalam hal penggunaan bahasa yang tepat dalam komunkasi antara orang tua dan anak dari sudut pandang linguistik. Dalam penelitian ini dibahas mengenai jenis, fungsi, dan makna tindak tutur untuk menjelaskan daya yang dikandung oleh tuturan. Disamping itu, prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan turut menjadi masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Dengan demikian, pembaca penelitian ini bisa memahami dinamika dalam komunikasi orang tua dan anak.


(30)

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Tindak tutur merupakan kajian yang banyak dibahas akhir-akhir ini. Penelaahan tindak tutur dari berbagai bentuk teks dan wacana telah muncul dalam berbagai penelitian. Salah satu peneliti yang mengangkat tindak tutur adalah Elfiando (2000) yang berjudul “Pasambahan Mananti Marapulai di Kota Madya Solok: Sebuah Kajian Tindak Tutur. Penelitian dengan metode kualitatif tersebut membahas tentang kajian tindak tutur dengan memanfaatkan korpus data dari pasambahan mananti marapulai (meminang perempuan) yang mengambil lokasi penelitian di Kota Madya Solok. Penelitian ini menunjukkan bahwa komponen tindak tutur yang muncul adalah tindak lokusional, makna tindak ilokusional, dan makna tindak perlokusional. Selain itu, penelitian tersebut juga menunjukkan penggunaan jenis tindak tutur yaitu tindak tutur langsung dan tidak langsung, literal dan tidak literal dalam data.

Penelitian yang dilakukan oleh Elfiando memberikan masukan pada penelitian ini, yakni tata cara penerapan teori yang dipakai dalam menganalisis makna tindak tutur, serta pendeskripsian data yang dianalisis melalui teknik analisis kualitatif. Secara umum, penelitian Elfiando menggunakan teori yang sama dengan penelitian tentang Supernanny ini. Penggunaan teori tindak tutur untuk melihat jenis dan makna tindak tutur merupakan kesamaan dari kedua penelitian tersebut. Meskipun begitu, penelitian ini mencakupi aspek yang lebih


(31)

13

luas. Fungsi tindak tutur ditelaah secara lebih mendalam dengan melihat fungsi ujaran baik sebagai deklaratif, asertif, komisif, direktif, dan ekspresif.

Peneliti lain yang cukup berkaitan dengan tuturan antara orang tua dan anak adalah De Geer dan Tulviste (2002). Artikel dengan judul “Behaviour Regulation in The Family Context in Estonia and Sweden” ini memaparkan jenis tuturan yang muncul dari orang tua dengan latar belakang kebudayaan tertentu yaitu orang Swedia, Estonia, dan orang Estonia di Swedia. Penelitian ini menelaah data dari interaksi antara orang tua dan anak pada waktu makan siang yang membuat orang tua harus mengujarkan sebuah bentuk direktif kepada anak mereka.

Ujaran-ujaran yang dituturkan oleh orang tua ketika situasi tersebut dianalisis dengan menggunakan teori pragmatik, dengan menitikberatkan pada studi sosialisasi pragmatik melalui metode kualitatif dan kuantitatif. Penelitian ini menunjukkan bahwa situasi tutur tertentu akan sangat memengaruhi tuturan atau ujaran yang dituturkan oleh orang tua. Bentuk, makna, dan fungsi tuturan akan berbeda dari orang tua yang mempunyai latar belakang budaya Estonia dan Swedia.

Tulisan tersebut merupakan tulisan yang mengangkat telaah tuturan orang tua dan anak layaknya pada penelitian ini. Meskipun begitu, pada artikel tersebut, fokus penelitian hanyalah pada penggunaan fungsi direktif melalui jenis tindak tutur langsung dan tidak langsung pada konteks makan siang keluarga dengan latar belakang budaya tertentu. Sedangkan dalam penelitian ini, komunikasi orang tua dan anak yang diangkat tidak hanya melihat fungsi direktif saja tetapi juga tindak tutur lainnya. Penelitian ini juga menelaah fungsi dan makna tindak tutur


(32)

14

serta prinsip kerjasama dan kesantunan yang muncul dalam komunikasi orang tua dan anak.

Almos (2008) menulis tesis dengan judul “Pantang dalam Bahasa Minangkabau”. Tulisan ini merupakan sebuah analisis wacana terhadap ujaran yang mengandung pantang. Dalam penelitian tersebut, tuturan yang berkaitan dengan pantang dianalisis dengan menggunakan teori tindak tutur untuk menganalisis fungsi tuturan yang menggunakan kata pantang. Analisis fungsi pantang dalam bahasa Minangkabau tersebut menemukan tindak ilokusi yang muncul adalah asertif, direktif, komisif, ekspresif dan deklaratif. Tindak ilokusional asertif pantang dalam bahasa Minangkabau berfungsi untuk menyatakan, mengeluh, memberitahukan, menyarankan. Sementara itu, ditemukan tindak ilokusional direktif yang berfungsi memerintah, menanyakan, dan menasihatkan. Untuk tindak ilokusional komisif, fungsi yang muncul dari telaah penelitian tersebut hanyalah untuk bersumpah. Sedangkan tindak ilokusional ekspresif yang muncul mempunyai fungsi untuk menyalahkan dan memuji. Tindak ilokusional deklaratif yang ditemukan hanyalah fungsi untuk memecat.

Penelitian Almos (2008) dan penelitian ini sama-sama menggunakan teori tindak tutur untuk mendapatkan fungsi tuturan. Perbedaan yang mencolok adalah penggunaan teori pendukung. Pada penelitian Almos, tidak digunakan teori prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan layaknya penelitian mengenai Supernanny ini.


(33)

15

Simpen (2008) menulis disertasi dengan judul “Kesantunan Berbahasa pada Penutur Bahasa Kambera di Sumba Timur”. Penelitian ini menitikberatkan pada kesantunan tuturan yang muncul dalam Bahasa Kambera. Teori yang digunakan adalah teori linguistik kebudayaan dan sosiopragmatik. Sementara itu, pendekatan kualitatif, metode observasi, dan wawancara aktif adalah metode dan teknik yang digunakan dalam pengumpulan data. Melalui penelitian ini ditemukan kemunculan dua jenis tindak tutur yaitu tindak tutur langsung dan tidak langsung. Sementara itu, ditemukan pula fungsi dan komponen makna tindak tutur. Fokus penelitian ini adalah kesantunan dalam tuturan penutur bahasa Kambera, sehingga penerapan teori prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan menjadi hal yang penting. Dalam penelitian terhadap bahasa Kambera ini, ditemukan empat maksim prinsip kerjasama dan enam maksim prinsip kesantunan.

Penelitian Simpen (2008) dan penelitian ini sama-sama menggunakan metode kulaitatif dalam mengumpulkan dan menganalisis data. Penelitian Simpen menggunakan teori linguistik kebudayaan dan sosiopragmatik sebagai teori utama. Sedangkan dalam penelitian ini, fokus penelitian adalah pada penelitian pragmatik, yang didukung oleh penggunaan teori prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan.

Penelitian lain yang juga menelaah tindak tutur adalah penelitian yang dituliskan oleh Wulantari (2009) yang berjudul “Tindak Tutur dalam Kumpulan Naskah Drama Nyunnyan-Nyunnyen”. Penelaahan tindak tutur dalam penelitian ini adalah dengan melihat ujaran yang dituturkan oleh tokoh drama. Tesis ini menjelaskan telaah ujaran yang dilontarkan oleh tokoh drama melalui teori tindak


(34)

16

tutur untuk melihat tindak lokusi, ilokusi dan perlokusi. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa tindak ilokusi yang muncul adalah deklaratif, asertif, komisif, direktif dan ekspresif. Kelima fungsi tindak tutur muncul melalui delapan jenis tindak tutur yaitu tindak tutur langsung, tindak tutur tak langsung, tindak tutur lateral, tindak tutur tak lateral. Sementara empat jenis lainnya merupakan gabungan dari jenis sebelumnya yaitu tindak tutur langsung lateral, tindak tutur langsung tidak lateral, tindak tutur tak langsung lateral, dan tindak tutur tak langsung tidak lateral.

Penelitian Wulantari (2009) dan penelitian ini sama-sama menggunakan metode kualitatif dan teori tindak tutur untuk menganalisis data. Perbedaannya adalah penelitian ini menambahkan teori pendukung yaitu teori prinsip kerjasama dan kesantunan untuk menelaah ujaran. Sementara itu, Wulantari menggunakan teori etnografi komunikasi untuk mendukung analisis penelitiannya.

Penelitian lain yang mengangkat fenomena tindak tutur dalam komunikasi adalah Andriyani (2010) yang berjudul “Tuturan Wisatawan Jepang dalam Berkomunikasi dengan „GRO Staf” di Lingkungan PT HIS Tour & Travel Bali: Kajian Pragmatik”. Data yang menjadi objek penelitian adalah tuturan yang dilontarkan oleh wisatawan Jepang saat berkomunikasi dengan petugas penyedia jasa travel. Penelitian ini, memperlihatkan dalam situasi tertentu, penutur dengan latar belakang tertentu akan menuturkan ujaran yang sesuai dengan kedua konteks yang ada. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tuturan yang diujarkan oleh wisatawan berupa ujaran deklaratif, imperatif dan interogatif dengan makna lokusi, ilokusi dan perlokusi. Jenis tindak tutur langsung dan tidak langsung


(35)

17

merupakan jenis tindak tutur yang digunakan oleh penutur. Lebih jauh lagi, penelitian ini menelaah fungsi tindak tutur yang muncul dengan frekuensi paling tinggi.

Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa fungsi ekspresif dan fungsi direktif adalah fungsi yang paling dominan muncul dalam tuturan wisatawan. Selain penelaahan tindak tutur, penelaahan prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan juga digunakan dalam penelitain ini. Prinsip kerjasama yang paling mendominasi adalah maksim kualitas dan maksim cara. Kedua maksim ini lebih cenderung digunakan karena faktor latar belakang penutur dan aspek situasi yang mendorong penutur untuk menggunakan kedua maksim ini muncul lebih sering. Sementara itu, untuk prinsip kesantunan, maksim yang paling dominan muncul dalam analisis adalah maksim kesederhanaan, maksim kemurahan hati, dan maksim simpati. Penelitian tersebut menggunakan metode dan teori yang nyaris sama, yaitu metode kualitatif dan teori tindak tutur yang didukung oleh teori prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan. Meskipun begitu, Penelitian Andriyani (2010) belum menelaah hubungan yang muncul dari kedua teori pendukung yang telah disebutkan sebelumnya. Penelitian tindak tutur dalam Supernanny ini menelaah keterkaitan tersebut.

Penelitian lain adalah penelitian Suardana (2013) dengan judul “Tindak Tutur dalam Film Komedi Ace Ventura: When Nature Calls”. Penelitian ini merupakan penelitian yang menelaah tindak tutur ujaran berbahasa Inggris dalam genre film komedi. Tujuannya untuk menunjukkan jenis, fungsi, dan makna tindak tutur dari


(36)

18

ujaran yang dituturkan tokoh serta memperlihatkan implikatur percakapan yang muncul dalam jenis film komedi tersebut.

Hasil analisis yang didapatkan dari penelitian ini adalah jenis tindak tutur yang didapatkan adalah tindak tutur langung dan tindak tutur tidak langsung. Sementara itu untuk fungsi tindak tutur yang muncul adalah fungsi deklaratif, representatif, komisif, direktif, dan ekspresif. Makna yang muncul dari tuturan-tuturan dalam film tersebut muncul dalam bentuk makna lokusi, ilokusi dan perlokusi. Lokusi adalah makna yang cukup jarang muncul sementara ilokusi adalah makna yang paling sering muncul. Dari sisi implikatur percakapan, muncul empat prinsip kerjasama yaitu maksim kuantitas, kualitas, cara, dan hubungan. Dari keempat maksim ini maksim kualitas adalah maksim yang paling sering dilanggar. Hal ini disebabkan oleh kepentingan film dengan genre komedi untuk membuat penontonnya tertawa. Pelanggaran maksim kualitas akan membuat lawan tutur menjadi tidak mendapatkan informasi yang dibutuhkannya karena tanggapan yang diberikan tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya.

Dalam penelitian tersebut, penggunaan teori tindak tutur didukung oleh teori prinsip kerjasama yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap penelaahan implikatur film komedi. Untuk itulah, dalam penelitian ini teori pendukung lainnya yaitu teori prinsip kesantunan diaplikasikan dalam dalam menganalisis data yang sangat berbeda dengan penelitian Suardana (2013).

Penelitian lainnya adalah artikel Carretero (2015) yang berjudul “An Analysis of Expressive Speech Acts in Online Task-Oriented Interaction by University Students”. Penelitian ini memfokuskan penelaahannya pada tindak tutur ekspresif


(37)

19

yang muncul dari percakapan atau interaksi mahasiswa dalam menggunakan media online untuk mendiskusikan topik tertentu. Korpus data yang diambil adalah percakapan yang berkenaan dengan penulisan makalah untuk seminar. Dari percakapan ini peneliti menelaah dinamika penggunaan tindak tutur ekspresif dalam konteks percakapan tanpa tatap muka. Faktor-faktor layaknya usia, ras, pendidikan, dan waktu percakapan digunakan sebagai konteks sosial untuk menelaah jenis dan jumlah tindak tutur ekspresif yang digunakan. Dalam penelitian ini ditunjukkan bahwa tindak tutur ekspresif mempunyai dua jenis yaitu tindak tutur ekspresif yang berpusat pada diri sendiri (self-oriented) dan yang berpusat pada orang lain (others-oriented). Hasil penelitian dijabarkan dalam bentuk kualitatif dan kuantitatif. Melalui penelitian ini dipaparkan bahwa tindak tutur ekpresif mengucapkan berterima kasih, permintaan maaf, menyapa dan memuji merupakan bentuk tindak tututr eksprsif yang paling banyak digunakan.

Informasi penting yang didapatkan dari penelitian ini adalah bentuk dan penggunaan tindak tutur ekspresif dalam data berupa percakapan tertulis melalui media online. Meskipun artikel dari Carretero (2015) sama-sama menelaah tuturan dari sudut pandang pragmatik dengan menggunakan metode kualitaf, tetapi penelitian Carretero (2015) hanya memfokuskan penelaahan pada fungsi ekspresif tindak tutur saja. Hal inilah yang membedakan tulisan tersebut dengan penelitian ini. Selain objek penelitian yang berbeda, dalam penelitian ini, acara realitas Supernanny ditelaah dengan melihat jenis, fungsi dan makna yang lebih luas.


(38)

20

2.2 Konsep

Konsep yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah (1) pragmatik, (2)

tindak tutur, (3) prinsip kerjasama, (4) prinsip kesantunan dan (5) acara realitas.

2.2.1 Pragmatik

Pragmatik merupakaan ilmu yang menelaah pemaknaan penggunaan bahasa berdasarkan konteksnya. Hal ini selaras dengan pernyataan Yule (1996) yang menyatakan bahwa pragmatik adalah studi makna secara kontekstual. Dari pengertian ini dapat dikatakan bahwa pragmatik tidak hanya menelaah bahasa dari susunan bahasa itu sendiri tetapi juga faktor eksternal yang memengaruhinya. Faktor eksternal yang memengaruhi bahasa inilah yang dikenal dengan istilah konteks. Seperti telah disinggung sebelumnya, sebagai faktor eksternal yang memengaruhi bahasa, konteks tidak muncul hanya dalam bentuk fisik saja. Untuk itu, Leech (1983) mengonsepkan lima aspek situasi tutur sebagai berikut.

1. Penutur dan petutur merupakan bagian konteks situasi tutur yang berkaitan dengan aspek-aspek yang secara fisik dan non-fisik memengaruhi mereka. Aspek tersebut antara lain usia, latar belakang sosial ekonomi dan budaya, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan aspek lainnya yang mampu memengaruhi bentuk ujaran yang mereka tuturkan.

2. Konteks tuturan merupakan pengetahuan antara penutur dan petutur terhadap latar belakang penuturan sesuatu. Melalui konteks, penutur akan menuturkan ujaran yang bisa dipahami oleh lawan tuturnya. Sebagai hasilnya, petutur


(39)

21

akan memberikan tanggapan yang tepat sesuai dengan maksud penutur dan konteks tuturan tersebut.

3. Tujuan tuturan adalah maksud yang ingin disampaikan oleh penutur. Pada dasarnya setiap ujaran yang dituturkan oleh penutur mempunyai tujuan yang ingin disampaikan kepada lawan tutur. Penutur bisa saja menuturkan bermacam-macam tuturan untuk tujuan yang sama, atau mempunyai maksud yang berbeda dalam bentuk ujaran yang sama.

4. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau sebuah tindak tutur. Pragmatik menelaah bahasa dengan cakupan yang lebih luas dari sekedar tata urutan kata dan pemaknaan internal bahasa. Melalui tindak tutur, penutur bertindak dengan bentuk ujaran yang mampu memengaruhi lawan tuturnya.

5. Ujaran atau tuturan merupakan produk dari tindakan verbal. Hal ini dikarenakan dari sudat pandang pragmatik, ujaran bukan saja sebuah bentuk konkret dari susunan gramatikal sebuah bahasa. Pragmatik memandang ujaran sebagai bentuk nyata dari tindakan yang muncul dengan bentuk berupa tindakan verbal dalam konteks situasi tertentu.

2.2.2 Tindak Tutur

Austin (1962) menjelaskan tindak tutur sebagai ujaran atau tuturan yang muncul dalam sebuah peristiwa tutur dan memiliki kekuatan atau daya terhadap lawan tuturnya. Austin ini menyiratkan bahwa ujaran yang dituturkan seseorang dalam situasi tutur tertentu mempunyai kekuatan layaknya sebuah tindakan. Tindak tutur muncul dikarenakan oleh sebuah ujaran pada kenyataanya tidak


(40)

22

hanya menjadi sebuah peristiwa verbal, tetapi juga merupakan representasi tindakan fisik. Dari sisi kelangsungan maksudnya tindak tutur dibedakan menjadoi tindak tutur langsung dan tidak langsung (Levinson, 1983). Dari segi fungsi, tindak tutur dibedakan menjadi deklaratif, representatif, komisif, direktif, dan ekspresif. Sementara itu, tindak tutur dapat dibedakan menjadi tiga makna yaitu lokusi (tindak tutur yang maknanya hanya terikat dari bentuk ujaran) ilokusi (tindak tutur yang memberikan daya pada tuturan sehingga maksud atau tujuan tuturan bisa sampai kepada lawan tutur) dan perlokusi (tindak tutur yang menunjukkan efek terhadap lawan tutur) (Austin, 1962).

2.2.3 Prinsip Kerjasama

Prinsip kerjasama merupakan prinsip yang mengatur percakapan antara penutur dan petutur di dalam peristiwa komunikasi (Suardana, 2013: 30). Pada dasarnya, dalam sebuah percakapan penutur dan petutur akan bertukar informasi dalam jumlah dan cara tertentu. Grice (1975) menciptakan konsep prinsip kerjasama percakapan untuk melihat interlokutor dalam percakapan melakukan sesuatu kerjasama dalam berkomunikasi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsep prinsip kerjasama merupakan sebuah konvensi tersirat yang diciptakan oleh interlokutor dalam memberikan informasi tertentu dengan cara, jumlah, dan konteks yang tertentu pula.


(41)

23

2.2.4 Prinsip Kesantunan

Prinsip kesantunan adalah prinsip yang mengatur tuturan dari sisi nilai sopan-santun yang berlaku dalam penuturan (Leech, 1983). Prinsip ini sangat berhubungan dengan keterkaitan seorang penutur dengan lawan tuturnya. Prinsip kesantunan dalam pragmatik merupakan jawaban bahwa bentuk ujaran yang dituturkan oleh seseorang tidak hanya berkaitan dengan prinsip kerjasama. Ada kalanya penuturan sebuah ujaran berkaitan dengan tingkat kesopanan yang ingin disampaikan penutur melalui ujarannya. Penuturan sesuatu berkaitan tidak hanya dengan diri sendiri (self) tetapi juga orang lain (others).

2.2.5 Acara Realitas

Acara realitas atau yang lebih terkenal dengan istilah reality show adalah jenis tayangan yang menampilkan aktivitas nyata dari pembawa acara dan berbagai aspek pendukungnya (talent, objek, lokasi, situasi, dramatika) (Set, 2008: 185; Arumbayuardi 2010: 20). Acara realitas merupakan jenis acara yang mempunyai konsep adegan dimana tokoh yang berpartispasi dalam acara tersebut bertindak dan berkata tanpa skenario yang menuntun mereka. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memadankan realitas dengan padanan kenyataan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa meskipun pengambilan gambar dilakukan dengan teknik tertentu, acara ini merupakan acara yang menggambarkan keadaan nyata dari sebuah peristiwa. Dengan memperhatikan pengertian ini, acara realitas menunjukkan adegan yang nyata atau tidak dibuat-buat.


(42)

24

2.3 Landasan Teori

Landasan teori merupakan langkah untuk merangkai kerangka berpikir melalui teori yang akan saling mendukung dalam analisis data. Landasan teori akan menjadi tuntunan dalam penelahaan objek lingual sehingga penelitian dapat digambarkan secara komprehensif. Dalam penelitian ini teori yang digunakan adalah teori pragmatik. Yule (1996: 3) memberikan pengertian bahwa pragmatik adalah ilmu yang menelaah kemampuan ujaran untuk mengomunikasikan sesuatu melebihi dari apa yang diujarkan secara gramatikal oleh seorang penutur. Untuk itulah, dalam ilmu pragmatik, ujaran dianggap mempunyai sebuah daya yang mampu membuat seseorang (lawan tutur) memberikan efek layaknya mendapatkan sebuah tindak fisik. Dalam penelitian ini, teori pragmatik yang digunakan mancakup teori (1) tindak tutur, (2) prinsip kerjasama dan (3) prinsip kesantunan.

2.3.1 Teori Tindak Tutur

Levinson (1983: 27) menyatakan bahwa salah satu bagian yang sangat penting dalam pragmatik adalah tindak tutur. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa dalam konteks situasi tutur, tindak tutur menjadi penentu tujuan tuturan yang diujarkan oleh seseroang. Tindak tutur merupakan makna sebuah ujaran dipandang dari kemampuannya untuk menjadi salah satu bagian dari interaksi sosial (Saeed, 2000: 203). Pemaparan ini menggambarkan bahwa tindak tutur merupakan bagian penting dari kajian pragmatik yang melihat ujaran tidak hanya dari urutan ujaran secara tata bahasa tetapi juga keterkaitannya dengan aspek luar


(43)

25

bahasa. Finch (65: 2003) menyebutkan bahwa jika tindakan mampu mewakili pembicaraan, maka tuturan dapat mewakili tindakan. Fromkin (2003: 215) menyebutkan bahwa pada dasarnya semua ujaran yang dituturkan oleh manusia adalah sebuah tindak tutur. Sesuai dengan penjelasan ini, Levinson (1983: 236) memilah tindak tutur berdasarkan jenis, fungsi, maknanya. Ketiga bagian dalam tindak tutur ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

2.3.1.1 Jenis Tindak Tutur

Levinson (1983: 263) menulis bahwa seseorang tidak selamanya mengujarkan maksudnya secara langsung dalam bentuk ujaran yang dituturkan. Maksud tersebut bisa saja berbeda dengan bentuk ujaran yang dilontarkan oleh penutur. Untuk itu, berdasarkan langsung atau tidaknya maksud yang muncul melalui sebuah ujaran, Levinson membedakan tindak tutur menjadi dua yaitu tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung.

1. Tindak Tutur Langsung (Direct Speech Act)

Secara umum, ujaran atau kalimat dapat dibedakan menjadi tiga yaitu ujaran deklaratif, imperatif, dan interogatif (Wijana, 1996: 30). Berdasarkan ketiga jenis kalimat ini, kalimat dengan modus deklaratif mempunyai maksud untuk memberitahukan berita atau informasi. Kalimat imperatif merupakan modus kalimat yang berguna untuk memerintah, menyuruh, memohon atau mengajak. Kalimat interogatif adalah kalimat dengan modus untuk menanyakan sebuah informasi. Dengan memperhatikan modus dari jenis kalimat, tindak tutur langsung


(44)

26

adalah jenis tindak tutur yang maknanya secara eksplisit muncul bersamaan dengan modus kalimat yang dituturkan. Contoh tindak tutur langsung dapat dituliskan sebagai berikut.

a) Guru: Tutup pintunya!

Murid: Baik bu. (menutup pintu)

Pada contoh (a) ujaran yang dituturkan oleh guru adalah tindak tutur langsung. Ujaran yang dituturkan guru merupakan ujaran dengan bentuk kalimat imperatif. Kalimat ini mempunyai maksud memerintah siswa untuk menutup pintu. Guru yang menuturkan ujaran ini secara langsung menyampaikan maksudnya dalam bentuk ujaran yang diujarkannya. Kesesuaian bentuk, modus kalimat, dan maksud penuturan dalam contoh (a) merupakan contoh dari tindak tutur langsung.

2. Tindak Tutur Tidak Langsung

Tindak tutur tidak langsung adalah tindak tutur yang maksud ujarannya tidak muncul langsung dalam bentuk ujarannya. Tindak tutur tidak langsung mempunyai maksud implisit sehingga pemaknaan ujaran akan sangat bergantung pada konteks penuturan. Daya dari tindak tutur tidak muncul secara literal dalam bentuk ujaran (Levinson, 1983: 263). Penutur akan didorong untuk memahami konteks penuturan sehingga maksud tuturan penutur tidak berhenti pada bentuk ujaran yang dituturkan. Contoh tindak tutur tidak langsung akan dituliskan sebagai berikut.


(45)

27

b) Ibu: Apakah kamu sudah mengerjakan PR-mu?

Anak: Belum Ma.

Kalimat yang diujarkan oleh orang tua adalah kalimat tanya. Dengan demikian modus dari kalimat tersebut adalah menanyakan informasi yang berkaitan dengan pekerjaan rumah. Meskipun begitu, maksud yang ingin dituturkan oleh orang tua adalah memberi perintah kepada anaknya untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Dengan demikian, fungsi dan maksud kalimat muncul secara tidak langsung dalam ujaran orang tua pada contoh di atas. Untuk itulah, ujaran orang tua yang muncul pada contoh (b) adalah tindak tutur tidak langsung.

2.3.1.2 Fungsi Tindak Tutur

Fungsi dalam tindak tutur muncul melalui maksud yang muncul dari tuturan. Fungsi tindak tutur dirancang oleh Searle (Levinson, 1983: 240) yang ingin mengambarkan bahwa tindak tutur tidak hanya melihat makna dari bentuk ujaran penutur tetapi juga pada intensi penutur terhadap ujaran yang dituturkan. Fungsi tindak tutur terdiri dari lima jenis yaitu deklaratif, representatif, komisif, direktif, dan ekpresif (Yule, 1996: 53 - 54). Berikut penjelasan mengenai fungsi tindak tutur.

1. Deklaratif

Deklaratif adalah tindak tutur yang mengandung maksud deklarasi atau pemberitahuan yang mampu merubah dunia. Yule (1996: 53) menjelaskan bahwa


(46)

28

melalui bentuk deklaratif, penutur merubah dunia melalui perkataan. Leech (1983: 165) menambahkan maksud-maksud yang tergolong ke dalam deklaratif yaitu memutuskan, membatalkan, melarang, memberi maaf, menunda, menginterpretasikan, menggeneralisasikan, membebaskan, membuktikan, dan menerka. Salah satu contoh ujaran yang menggunakan fungsi deklaratif memutuskan adalah seorang pendeta yang berkata I hereby declare you husband and wife.

2. Representatif

Representatif (asertif) yaitu ujaran yang menunjukkan kepercayaan penuturnya seperti statements of fact, assertions, conclusions, and descriptions. Leech (1983: 164) menyatakan bahwa maksud yang tergolong ke dalam maksud

representatif adalah menyatakan pendapat, melaporkan, menunjukkan,

menyebutkan, memberi penilaian, mengklasifikasikan, mendeskripsikan,

mendefinisikan, membandingkan, mengontraskan, menyimpulkan, menjelaskan, dan memberi contoh. Ujaran „it was a warm Sunday‟ merupakan contoh fungsi representatif memberikan pendapat.

3. Komisif

Komisif yaitu ujaran yang menunjukkan kesungguhan penutur terhadap ujarannya dan akan melakukannya dalam tindakan berikutnya. Dengan demikian, dalam penuturan fungsi komisif, penutur menyatakan maksud untuk memberikan tindakan atau ujaran lanjutan berkaitan dengan apa yang dituturkan sebelumnya.


(47)

29

Maksud yang dikandung dalam fungsi komisif adalah berjanji, bersumpah, mengancam, menawarkan, mengakui. Ujaran „I will be back‟ merupakan ujaran yang mengandung maksud komisif berjanji.

4. Direktif

Direktif yaitu ujaran yang menginginkan petutur untuk melakukan tindakan atas apa yang dituturkan penutur seperti memerintah, menyuruh, bertanya, memohon, menuntut, menyarankan, menantang, meminta, mengundang (Leech 1983: 164). Ujaran seperti “Do not make a noise while I am sleeping!” merupakan ujaran yang mengandung fungsi direktif. Melalui ujaran tersebut, penutur menyampaikan perintah yang harus dituruti oleh lawan tutur, yaitu untuk diam selama penutur tidur.

5. Ekspresif

Tindak tutur ekspresif merupakan ujaran yang mempunyai fungsi untuk menunjukkan perasaan penutur. Tindak tutur ini menggambarkan keadaan psikologis penutur baik saat penutur tersebut merasa senang, sakit, suka, bahagia, sedih, dan sebagainya (Cutting, 2002: 17). Fungsi ekspresif bisa saja diakibatkan oleh tindakan penutur maupun petutur. Namun ujaran yang dilontarkan penutur merupakan pengalaman pribadinya. Leech (1983: 164) menyebutkan bahwa ujaran yang mempunyai maksud memuji, mengucapkan terima kasih, mengkritik, mengeluh, memperingati, berargumentasi, memberi saran atau nasihat, dan berbelasungkawa tergolong ke dalam fungsi ekpresif. Salah satu contoh ujaran


(48)

30

yang merupakan ilokusi ekspresif adalah ujaran „Thank you so much for the help‟ yang mempunyai maksud berterima kasih.

2.3.1.3 Makna Tindak Tutur

Terdapat tiga pembagian makna tindak tutur bedasarkan Austin (Cutting, 2002: 16) yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Ketiga komponen ini mempunyai ciri khas tersendiri yang akan dijelaskan sebagai berikut.

1. Makna Lokusi (Locutionary Act)

Lokusi adalah „what is said‟ (Cutting, 2002: 16) atau dengan kata lain ujaran yang diucapkan oleh penutur, baik bentuknya itu pernyataan, pertanyaan, maupun perintah. Sementara Levinson (1983: 236) menjelaskan bahwa lokusi adalah “the utterance of a sentence with determinate sense and reference.” Pengertian yang bisa didapatkan dari penjelasan Levinson ini adalah setiap ujaran yang mengandung makna ilokusi mempunyai rujukan langsung dalam bentuk ujarannya. Ujaran tersebut bisa saja berbentuk imperatif, deklaratif, atau pun interogatif. Untuk melihat makna lokusi, ujaran-ujaran ini dilihat struktur dan bentuknya secara sintaktis maknanya secara semantis.

Makna lokusi dapat diperlihatkan melalui contoh ujaran “Saya tidak punya uang.” Dalam contoh ini, dapat diperhatikan bahwa ujaran yang dituturkan merupakan sebuah kalimat deklaratif. Kalimat dengan bentuk deklaratif mempunyai modus untuk memberikan informasi kepada lawan tutur. Dengan demikian, makna lokusi dari contoh tuturan tersebut adalah penutur tidak


(49)

31

memiliki uang sebagaimana yang ia lontarkan dalam ujarannya. Perlu diperhatikan bahwa makna lokusi seperti ini hanya akan bisa didapatkan jika tuturan dari penutur sesuai dengan konteks yang muncul. Penutur menuturkan ujaran tidak memiliki uang sebagai informasi kepada lawan tuturnya bahwa dia tidak memiliki uang.

2. Makna Ilokusi (Ilocutionary Act)

Austin menjelaskan ilokusi sebagai „the act of saying something‟ (Cutting, 2002: 16) atau tindakan yang muncul melalui sebuah ujaran. Searle pun menjelaskan bahwa tindak ilokusi adalah apa yang ingin dicapai oleh penuturnya pada waktu menuturkan sesuatu baik maksud yang merupakan tindakan menyatakan berjanji, meminta maaf, mengancam, dan sebagainya (Nadar, 2009:14). Pengertian ini menunjukkan, tindak ilokusi tidak bisa hanya dimaknai melalui bentuk ujaran saja. Tindak ilokusi semestinya menyingkap makna yang muncul secara eksplisit dalam ujaran serta makna yang secara implisit turut serta dalam ujaran tersebut.

Makna ilokusi dapat diperhatikan dalam ujaran seperti “Tong sampahnya sudah penuh.” Jika ujaran ini dilihat dari sisi lokusinya maka ujaran ini hanya akan mempunyai bentuk deklaratif dengan modus memberi informasi kepada lawan tutur bahwa tong sampah yang dimaksudkan telah penuh. Jika pemaknaan secara kontekstual yang spesifik dilekatkan pada ujaran ini, maka makna ini mempunyai tindak ilokusi. Jika tuturan ini dilontarkan oleh majikan kepada pembantunya, maka ujaran ini menjadi perintah kepada pembantu untuk


(50)

32

mengosongkan tong sampah. Dengan demikian makna ilokusi adalah makna yang mampu memberikan daya kepada lawan tutur untuk melakukan sesuatu sesuai dengan sebuah penuturan yang muncul.

3. Makna Perlokusi (Perlocutionary act)

Levinson (1983: 236) menyebutkan bahwa tindak perlokusi adalah efek yang muncul pada pendengar terhadap ujaran yang didengarkan. Dengan demikian, makna yang muncul dari tuturan tidak hanya berhenti pada maksud apa yang yang disampaikan penutur melalui ujarannya tetapi juga kemampuan maksud tersebut ditanggapi oleh petutur. Efek yang muncul bisa saja sesuai dengan harapan penutur bisa saja tidak. Untuk itu, Austin (Cutting, 2002: 17) menyebutkan bahwa daya perlokusi sebagai perlocutionary effect karena makna tuturan dilihat dari tanggapan petutur terhadap sebuah ujaran.

Sebagai contoh adalah ujaran “Kebakaran!” Jika tuturan ini disampaikan oleh orang yang ingin meminta tolong untuk memadamkan api, maka efek perlokusi yang muncul dari ujaran ini bisa saja menjadi perlokusi yang sesuai dengan maksud penutur dan berlawanan. Petutur bisa saja bergegas membantu penutur untuk memadamkan api akibat kebakaran. Akan tetapi, tidak tertutup kemungkinan bahwa melalui ujaran meminta tolong yang dituturkan penutur, petutur memberikan efek yang berbeda. Petutur bisa saja memberikan efek perlokusi berupa lari ketakutan karena merasa takut akan menjadi korban kebakaran.


(51)

33

Efek perlokusi dapat dikatakan sebagai bentuk nyata dorongan tuturan kepada petutur sehingga memberikan efek. Kemungkinan akan adanya efek yang tidak berkesesuaian dengan maksud dari penutur bisa saja muncul. Hal ini kembali kepada konteks situasi tutur yang melekat dari ujaran yang muncul dalam peristiwa tutur.

2.3.2 Teori Prinsip Kerjasama

Prinsip kerjasama merupakan teori gagasan dari Grice (1975). Dalam teori ini, terdapat empat aspek prinsip kerjasama yang semestinya dipenuhi oleh penutur kepada petutur dan sebaliknya dalam hal informasi yang diberikan. Ada kalanya penutur tidak memberikan informasi yang sesuai baik dari jumlah maupun dari sisi lain sehingga muncul implikatur percakapan. Implikatur adalah informasi yang kemungkinan disiratkan oleh penutur sehingga informasi ini tidak muncul dalam bentuk ujaran. Teori prinsip kerjasama ini juga turut disampaikan oleh Leech (1983) dimana ia menjelaskan empat maksim percakapan dalam prinsip kerjasama.

1. Maksim Kuantitas (Maxim of Quantity)

Maksim ini menghendaki penutur untuk memberikan informasi dengan jumlah yang tepat. Informasi yang diberikan oleh penutur diharapkan cukup dan memadai sebagaimana dibutuhkan oleh petutur. Wijana (1996: 46) menjelaskan bahwa jumlah informasi yang diberikan semestinya tidak kurang ataupun lebih


(52)

34

dari apa yang diharapkan sehingga truth value dari tuturan tersebut terjaga. Perhatikan contoh berikut.

a) Ibu: Kamu makan apa?

Anak: Saya makan apel.

Contoh ujaran yang dituturkan oleh anak adalah ujaran yang memenuhi maksim kuantitas. Informasi yang diberikan merupakan informasi yang tepat dan sesuai dengan apa yang diminta oleh ibu. Jika informasi yang diberikan anak berlebihan, seperti menjawab dengan “saya makan apel yang ibu beli karena lapar sekali” maka tuturan anak bisa dikatakan melanggar maksim kuantitas. Hal ini dikarenakan informasi yang disediakan anak melebihi kebutuhan informasi yang diminta ibu.

2. Maksim Kualitas (Maxim of Quality)

Maksim kualitas mendorong penutur untuk menuturkan sesuatu yang benar. Kebenaran yang dimaksudkan adalah kebenaran yang sesuai dengan fakta dan bukti-bukti yang mampu mendukung kebenaran tersebut. Contoh maksim kualitas akan diberikan sebagai berikut.

b) Guru: Berapa dua dikali tiga? Siswa: Empat Pak.

Dari tuturan di atas dapat dilihat bahwa siswa telah melanggar maksim kualitas. Secara fakta, jika tiga dikalikan dengan dua, maka hasil yang akan didapatkan adalah enam. Namun siswa memberikan jawaban empat yang secara fakta adalah sebuah informasi yang salah. Jika siswa ingin memberikan informasi


(53)

35

yang benar secara maksim kualitas, maka jawaban yang akan diberikan adalah enam.

3. Maksim Hubungan (Maxim of Relevance)

Maksim relevansi merupakan maksim yang menunjukkan bahwa tuturan seseorang semestinya berkaitan dengan tuturan yang sebelumnya. Keterkaitan ini menunjukkan bahwa jawaban yang diberikan kepada penutur merupakan sebuah kerjasama untuk memberikan kontribusi yang sesuai dengan percakapan yang terjadi. Untuk menggambarkan maksim ini perhatikan contoh berikut.

c) Andi: Apakah ayah sudah pergi?

Ani: Motornya tidak ada.

Jika diperhatikan, Ani telah melanggar maksim hubungan karena jawaban yang diberikan berkenaan dengan kendaraan ayah, bukan kegiatan ayah. Secara literal, pertanyaan Andi tidak mempunyai keterkaitan dengan kendaraan yang biasanya digunakan ayah untuk pergi. Meskipun begitu, jika dilihat dari maksud ujaran, maka dapat dikatakan bahwa Ani masih melakukan prinsip kerjasama dengan Andi. Kenyataan bahwa ayah pergi selalu menggunakan motornya memberikan implikasi bahwa ayah sudah pergi. Hal inilah yang diungkapkan Grice (1975) bahwa prinsip kerjasama tidak hanya bisa dilihat dari bentuk ujaran tetapi juga dari maksud dan hal yang terkait dengan ujaran tersebut.


(54)

36

4. Maksim Cara (Maxim of Manner)

Maksim cara mengharuskan penutur untuk menyampaikan informasi dengan cara yang tepat, tidak bertele-tele, berurutan, dan jauh dari keambiguan. Maksim cara lebih menggarisbawahi tentang tata cara penyediaan informasi. Dengan demikian dapat dikatakan maksim cara akan sangat dipengaruhi oleh maksim-maksim yang sudah ada sebelumnya. Berikut adalah contoh ujaran yang yang mengandung maksim cara.

d) Ayah: ibu sedang masak apa?

Ibu: Ibu sih masih belum mau makan batu atau pasir, jadinya ibu malam ini masak sayur dan ikan saja.

Dari tuturan yang disampaikan oleh ibu, terlihat bahwa jumlah informasi yang diberikan oleh ibu sangat berlebihan. Bahkan ibu memberikan jawaban yang tidak langsung menjawab ayah. Ibu menjelaskan terlebih dahulu bahwa dia tidak mempunyai keinginan untuk memakan pasir dan batu. Tata cara ibu untuk menjawab pertanyaan merupakan cara yang tidak ringkas. Melihat keadaan ini maka ujaran tersebut adalah ujaran yang melanggar maksim cara.

2.3.3 Prinsip Kesantunan Leech

Prinsip kesantunan merupakan bagian dari konsep retorika interpersonal yang muncul dalam ujaran. Jika prinsip kerjasama fokus pada informasi dituturkan kepada lawan tutur, maka prinsip kesantunan terfokus pada tuturan sebagai bentuk etiket penutur kepada lawan tutur dalam mengujarkan sesuatu. Prinsip kesantunan dirancang oleh Leech untuk menjelaskan bahwa ada kalanya penuturan sesuatu


(55)

37

tidak hanya terikat pada fungsi dan maknanya saja. Hal ini kembali lagi kepada faktor konteks situasi yang mengikat tuturan yang muncul dalam peristiwa tutur tertentu. Pengaruh interpersonal yang melekat pada interlokutor akan menjadi penentu penggunaan prinsip kesantunan. Terdapat enam maksim yang masuk ke dalam prinsip kesantunan sebagaimana ditulis oleh Leech (1983).

1. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)

Maksim ini menggariskan bahwa penuturan sesuatu difokuskan untuk meminimalkan kerugian orang lain dan memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Wijana (1996: 56) menyatakan bahwa dalam maksim kebijaksanaan semakin panjang sebuah tuturan maka semakin sopan pula tuturan tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tuturan “saya mohon anda berkenan untuk datang ke rumah saya” akan jauh lebih santun dibandingkan dengan ujaran “datang ke rumah saya!”

2. Maksim Kemurahan Hati (Generosity Maxim)

Maksim kemurahan hati atau maksim kedermawanan (Wijana, 1996: 57) mewajibkan setiap peserta ujaran untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri dan meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri. Tuturan “anda harus meminjami saya uang” adalah tuturan yang tidak mengikuti kaidah maksim kedermawanan. Penutur mendapatkan keuntungan akibat tuturan tersebut sementara petutur mendapatkan kerugian.


(56)

38

3. Maksim Penghargaan (Approbatin Maxim)

Maksim penghargaan atau maksim penerimaan biasanya muncul dalam bentuk kalimat ekspresif. Kalimat dengan fungsi ekspresif diharapkan mampu memenuhi maksim penghargaan dimana peserta penuturan berujar untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak homat kepada orang lain. Penutur yang mengujarkan “Suaramu bagus sekali” merupakan penutur yang memenuhi maksim penghargaan karena ujarannya bermaksud untuk memuji suara lawan tutur. Sebagai balasannnya, tuturan yang akan mengikuti maksim penghargaan adalah ujaran seperti “Suara saya tidak sebagus itu.” Tuturan yang muncul dengan mempertimbangkan maksim penerimaan akan selalu memberikan masukan positif kepada lawan bicara.

4. Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim)

Maksim kerendahan hati (Wijana 1996: 58) merupakan maksim yang mengharuskan peserta dalam sebuah peristiwa tutur mengujarkan ujaran yang memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa homat pada diri sendiri. Tuturan “Bantuan anda sangat berarti bagi saya” merupakan tuturan yang bermaksud untuk memberikan pujian atau rasa hormat kepada lawan tutur. Ujaran berupa “Bantuan saya tidak ada apa-apanya” merupakan balasan yang sesuai dengan maksim kerendahan hati karena penutur meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.


(57)

39

5. Maksim Kecocokan (Agreement Maxim)

Maksim kecocokan mengharuskan partisipan dalam persitiwa tutur untuk memaksimalkan pemufakatan dan kecocokan antara mereka dan meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka. Wijana (1996: 60) mengutarakan bahwa dalam maksim kecocokan partisipan tuturan tidak harus senantiasa sepenuhnya setuju dengan pendapat lawan tuturnya. Jika seorang penutur melontarkan “saya tidak suka jeruk” maka jawaban berupa “saya juga, hanya suka yang manis saja” merupakan ujaran yang memenuhi maksim pemufakatan. Secara parsial, lawan tutur setuju dengan ujaran sebelumnya. Untuk itulah, ujaran yang masih menunjukkan bahwa penutur berusaha untuk setuju dengan lawan tuturnya dapat digolongkan ujaran yang sesuai dengan maksim kecocokan.

6. Maksim Simpati (Sympathy Maxim)

Maksim simpati mendorong penutur dan lawan tutur dalam sebuah persitiwa tutur untuk mengujarkan tuturan yang memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan rasa antipati (Wijana 1996: 60). Jika salah satu partisipan dalam percakapan mendapatkan kesuksesan makna lawan tutur semestinya memberikan ucapan selamat. Sebaliknya, jika lawan tutur mengalami kesusahan atau musibah, maka penutur semestinya mengucapkan perasaan sedih atau rasa belasungkawa. Untuk itu ujaran “selamat atas kelahiran putra pertamamu Jono” merupakan ujaran yang mengikuti maksim simpati untuk pengalaman baik yang dialami oleh lawan tutur.


(58)

40

2.4 Model Penelitian

Tindak Tutur Tuturan Orang Tua dan

Pendekatan deskriptif-kualitatif Supernanny

Pragmatik

Teori Tindak Tutur Austin (1962), Searle (1975), dan Levinson

(1983)

Teori Prinsip Kerjasama Grice (1975) Teori Prinsip Kesantunan Leech (1983)

Temuan Penelitian Analisis Data Jenis

Tindak Tutur

Maksim dan Hubungan Prinsip Makna

Tindak Tutur Fungsi


(1)

Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi non partisipasi. Peneliti hanya memperhatikan dan mengambil data tanpa ikut serta dalam kegiatan bertutur.

3.2.2 Sumber Data

Sumber data yang dipilih dalam penelitian ini adalah tuturan orang tua dan anak dalam acara realita Supernanny. Acara ini merupakan program pengasuhan anak yang pertama kali ditayangkan di Inggris pada tahun 2004. Semenjak penayangan perdananya, acara ini menarik perhatian pemirsa di negara asalnya. Acara ini menarik hingga 3,1 juta penonton dengan 14% share audience dalam bentuk rujukan dan perbincangan. Situs-situs internet yang berkaitan dengan ulasan acara televisi layaknya situs www.imdb.com dan www.commonsensemedia.org mencantumkan ulasan yang baik mengenai acara ini. Tidak mengherankan, kesuksesan acara ini akhirnya membuat program ini turut ditayangkan dan bahkan diadaptasi di delapan belas negara.

Pada tahun 2006, Metro TV menayangkan musim kedua dari acara realitas ini. Acara Supernanny ini ditayangkan tanpa merubah konsep ataupun konten. Meskipun begitu, ada beberapa bagian sensor yaitu sensor dalam bentuk ucapan yang tidak layak. Dengan mempertimbangkan bahwa tidak ada perbedaan yang sangat besar dari penayangan acara asli dengan penayangan yang muncul di televisi local, maka penulis memlih musim kedua Supernanny sebagai sumber data dalam penelitian ini.


(2)

Acara ini mempunyai konsep pengasuhan anak-anak. Orang tua yang mempunyai masalah dalam berkomunikasi dengan anak mereka meminta tolong ahli pengasuhan anak, Jo Frost untuk membantu mereka. Acara ini menampilkan orang tua yang kesulitan berbicara dengan anak-anak mereka mendapatkan bantuan dan arahan dari ahli pengasuhan. Secara format, dalam acara ini muncul seorang pengasuh bernama Jo. Kedatangan Jo Frost ke berbagai keluarga didasarkan pada permintaan orang tua untuk mendapatkan pertolongan. Teknik yang digunakan Jo adalah memberikan masukan dan arahan kepada orang tua tentang cara berbicara kepada anak-anak. Berkat keberhasilan teknik pengasuhan tersebut, acara ini bertahan selama delapan tahun dengan rating yang mengesankan.

3.3 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan instrumen yang dapat membantu proses penayangan dan analisis data. Untuk instrumen pengumpulan data, serial realitas Supernanny diunduh dari www.youtube.com menggunakan www.keepvid.com. Acara yang telah berhasil diunduh ini ditayangkan di komputer dengan menggunakan media pemutar video yaitu VLC Video Player. Dari penayangan ini, percakapan yang muncul antara orang tua dan anak ditranskripsi dari hasil menayangkan dan mendengar percakapan acara yang sudah diunduh. Proses transkripsi dilakukan secara manual dengan mendengarkan percakapan menggunakan headset yang kemudian ditulis di lembar transkripsi tanpa menggunakan bantuan alat transkripsi. Alat tulis,


(3)

lembar transkripsi dan lembar verifikasi menjadi instrumen yang membantu peneliti dalam menganalisis data. Instrumen penting lainnya dalam penelitian ini adalah kemampuan kognitif peneliti sebagai human instrument untuk memilah, memilih, dan menelaah data. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan teori yang sudah ada untuk menemukan tindak tutur, prinsip kerjasama, dan prinsip kesantunan.

3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode observasi dan dokumentasi. Sosiowati (2013: 129) menulis bahwa melalui metode dokumentasi data yang berkaitan dengan penelitian, kemudian dianalisis berdasarkan rumusan masalah yang sudah ditentukan. Metode ini serupa dengan metode simak yang dituliskan oleh Sudaryanto (1993: 133). Sudaryanto memaparkan bahwa dalam metode simak, peneliti menyimak penggunaan bahasa yang diteliti. Berdasarkan hal ini, penyimakan dilakukan pada ujaran-ujaran yang muncul dari orang tua dan anak dalam acara realitas Supernanny. Melalui penyimakan ini, peneliti akan memperhatikan aspek konteks yang mendukung munculnya ujaran-ujaran tersebut.

Sementara itu, untuk teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik catat. Teknik ini digunakan sesuai dengan metode yang digunakan dalam metode pengumpulan data. Mahsun (2007: 243) menjelaskan bahwa teknik catat dilakukan dengan menuliskan apa yang didapatkan dari data atau informan yang menjadi objek penelitian. Melalui teknik ini, data yang telah dikumpulkan


(4)

diidentifikasi, disusun, dan dikelompokkan untuk tahap analisis lebih lanjut. Secara sistematis dan konkret teknik pengumpulan data adalah sebagai berikut.

1. Menentukan episode dari serial Supernanny yang diteliti.

2. Melakukan pemutaran episode yang telah ditentukan melalui media yang tersedia. Data yang terkumpul akan ditandai dengan judul acara, penanda musim penayangan, episode, dan nomor urutan tuturan seperti (SM2E01/180-189).

3. Melakukan penulisan transkripsi percakapan dari sumber data yang sudah diputar.

4. Melakukan transliterasi pada data yang terkait berdasarkan hasil transkripsi percakapan yang telah didapatkan.

5. Memahami dan mengumpulkan data yang sesuai dengan rumusan masalah. 6. Mengelompokkan data berdasarkan jenis, fungsi dan makna tindak tutur.

Pengelompokkan data juga dilakukan berdasarkan maksim-maksim prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan.

7. Memberikan catatan dan penandaan pada kelompok data yang sudah dipilah. 8. Melakukan proses verifikasi dan interpretasi data lalu dijadikan bahan

penelitian.

3.5 Metode dan Teknik Analisis Data

Sebuah penelitian sudah semestinya mempunyai alur yang sistematis. Untuk itu, langkah-langkah yang sesuai dengan analisis tindak tutur yang muncul dalam acara realita Supernanny sangat diperlukan. Pendekatan yang digunakan dalam


(5)

penelitian ini adalah pendekatan deskriptif-kualitatif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini berkaitan dengan rumusan masalah dan landasan teori yang sudah dituliskan sebelumnya. Sosiowati (2013: 131) menulis bahwa metode kualitatif sangat sesuai digunakan untuk penelitian dengan pendekatan kualitatif. Hal ini dikarenakan dengan metode analisis kualitatif, parameter tindak tutur, prinsip kerjasama dan kesantunan dapat ditentukan dalam bentuk penjabaran data melalui teori yang ada.

Teknik yang digunakan dalam analisis data dapat dijabarkan sebagai berikut. 1. Analisis unit ujaran yang dituturkan oleh orang tua dan anak untuk

memperoleh jenis (Levinson, 1983), fungsi (Searle, 1975) dan makna (Austin, 1962) tindak tutur.

2. Menentukan dan menganalisis maksim-maksim prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan yang muncul melalui ujaran orang tua dan anak. Analisis empat maksim prinsip kerjasama menggunakan teori prinsip kerjasama Grice (1975). Sementara itu, enam maksim dalam teori prinsip kesantunan Leech (1983) digunakan untuk menelaah prinsip kesantunan dalam data. Kedua teori ini dikaitkan untuk melihat hubungan prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan.

3.6 Metode danTeknik Penyajian Hasil Analisis

Dalam penyajian analasis data terdapat dua metode yaitu metode formal dan informal (Sudaryanto, 1993: 144). Metode formal merupakan penyajian hasil analisis data melalui penggunaan lambang, tabel, diagram atau tanda. Sebaliknya,


(6)

penggunaan metode informal adalah penyajian hasil analisis data melalui penjelasan secara naratif. Penggunaan untaian kata, klausa, dan kalimat akan menjadi bentuk dari penyajian naratif. Penjelasan secara informal ini diharapkan mampu menjabarkan keterkaitan antara data dan teori sehingga dapat dijelaskan temuan antara kedua hal tersebut. Melalui metode ini, pengolahan data akan mampu direpresentasikan secara baik.

Secara konkret, teknik penyajian hasil analisis data dari penelitian ini dapat dituliskan sebagai berikut.

1. Data yang telah didapatkan dianalisis dengan menggunakan teori yang telah ada.

2. Menafsirkan dan membandingkan data yang ditemukan dengan pola yang ditunjukkan oleh teori dan kajian pustaka. Penafsiran dan pembandingan ini dilakukan dengan menjabarkan aspek-aspek dari data yang mampu bahkan tidak mampu dijawab oleh teori. Sesuai dengan metodenya, penjelasan akan dilakukan secara inormal dengan menggunakan penjelasan naratif sesuai dengan analisis.

3. Menyimpulkan hasil analisis dengan memerhatikan keterkaitan teori dan data yang ada. Kesimpulan yang ditarik merupakan hasil dari pengamatan dan interpretasi data yang telah dianalisis.