PENGARUH AGENCY COST TERHADAP KEBIJAKAN DEVIDEN PADA PERUSAHAAN KELUARGA YANG GO PUBLIC DI BEI.
USULAN PENELITIAN
Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi
Universitas Pembangunan Nasional `VETERAN` Jawa Timur Untuk Menyusun Skripsi S-1 Jurusan Manajemen
Oleh:
RICKY RAMADIANSYAH P.
0212010146 / FE / EM
KEPADA
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL `VETERAN`
JAWA TIMUR
(2)
GO PUBLIC DI BEI
Yang diajukan
RICKY RAMADIANSYAH P.
0212010146 / FE / EM
telah disetujui untuk diseminarkan oleh :
Pembimbing Utama
Drs. Ec.Eko Purwanto,Msi Tanggal: ……….
Mengetahui
Ketua Jurusan Manajemen
Drs.Ec.Gendut Sukarno, Ms
(3)
GO PUBLIC DI BEI
Yang diajukan
RICKY RAMADIANSYAH P.
0212010146 / FE / EM
telah diseminarkan dan disetujui untuk menyusun skripsi oleh
Pembimbing Utama
Drs. Ec.Eko Purwanto,Msi Tanggal: ……….
Mengetahui
Ketua Jurusan Fakultas Ekonomi
Drs.Ec.Gendut Sukarno, Ms
(4)
GO PUBLIC DI BEI
Yang diajukan
RICKY RAMADIANSYAH P.
0212010146 / FE / EM
Telah disetujui untuk Ujian Lisan oleh
Pembimbing Utama
Drs. Ec.Eko Purwanto,Msi Tanggal: ……….
Mengetahui
Pembantu Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Jawa Timur
Drs. Ec. Syaiful Anwar, MSi
(5)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
Jurusan Manajemen
Oleh:
RICKY RAMADIANSYAH P.
0212010146 / FE / EM
KEPADA
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL `VETERAN` JAWA TIMUR
(6)
GO PUBLIC DI BEI
Disusun oleh:
RICKY RAMADIANSYAH P.
0212010146 / FE / EM
telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi
Universitas Pembangunan Nasional “VETERAN” Jawa Timur pada tanggal 31 Desember 2008.
Pembimbing Tim Penguji
Pembimbing Utama Ketua
Drs. Ec.Eko Purwanto,Msi Drs. Ec.Eko Purwanto,Msi
Sekretaris
Dra. Ec.Siti Aminah, MM
Anggota
Drs. Ec,Bowo Santoso, MM
Mengetahui Dekan Fakultas Ekonomi
(7)
Assalamualaikum Wr.Wb.
Dengan memanjatkan puji syukur kepada allah SWT, atas rahmat dan
hidayah-Nya yang diberikan kepada penyusun sehingga skripsi yang berjudul
“PENGARUH AGENCY COST TERHADAP KEBIJAKAN DIVIDEN PADA PERUSAHAAN KELUARGA YANG GO PUBLIC DI BEI ”
Penyusunan skrisi ini dimaksudkan untuk memenuhi satu syarat
penyelesaian Studi Pendidikan Strata Satu, Fakultas Ekonomi jurusan
Manajemen, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
Pada kesempatan ini penyusun ingin menyampaikan terima kasih kepada
semua pihak yang telah memberi bimbingan, petunjuk serta bantuan baik spirituil
maupun materiil, khususnya kepada :
1. Bapak DR. Ir. Tegung Sugiarto, MP selaku Rektor Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. Bapak DR. Dhani Ichsanudin Nur, MM, selaku Dekan Fakultas
Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
3. Bapak Drs. Ec. Gendut Sukarno, MS, selaku Ketua Jurusan Fakultas
Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
4. Bapak Drs.Ec. Eko Purwanto, MSi, selaku Dosen Pembimbing Utama
yang telah memberikan bimbingan skripsi sehingga peneliti bisa
(8)
6. Kepada kedua orang tuaku, kakak ku semua beserta Istri yang telah
memberikan dukungan baik moril ataupun material.
7. Berbagai pihak yang turut membantu dan menyediakan waktunya demi
terselesainya skripsi ini yang tidak dapat penyusun sebutkan satu
persatu.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa apa yang telah disusun dalam
skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat berharap saran
dan kritik membangun dari pembaca dan pihak lain.
Akhir kata, Penulis berharap agar skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak
yang membutuhkan.
Wassalamualaikum Wr.Wb
Surabaya, November 2008
(9)
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... iv
DAFTAR LAMPIRAN ... v
ABSTRAKSI ... vi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 5
1.3 Tujuan Penelitian ... 5
1.4 Manfaat Penelitian ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu ... 7
2.2 Landasan Teori... 10
2.2.1 Perusahaan Keluarga ... 10
2.2.2 Teori Keagenan ... 11
2.2.3. Agency Cost ... 12
2.2.3.1 . Insider Ownership ... 13
2.2.3.2. Free Cash Flow ... 14
2.2.3.3. Collaterizable Asset ... 15
2.2.4. Kebijakan Deviden ... 17
2.2.4.1. Berbagai Macam Kebijakan Deviden... 20
2.2.5. Pengaruh Agency Cost Terhadap Kebijakan Deviden... 21
2.2.5.1 Pengaruh Insider Ownership Terhadap Kebijakan Deviden ... 21
(10)
2.3 Kerangka Pikir ... 24
2.4 Hipotesis... 24
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Definisi Operasional Dan Pengukuran Variabel ... 25
3.2 Teknik Penentuan Sampel ... 27
3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 29
3.3.1 Jenis Data ... 29
3.3.2 Sumber Data ... 29
3.4 Teknik Analisis Dan Uji Hipotesis ... 30
3.4.1 Teknik Analisis ... 30
3.4.2 Uji Hipotesis ... 31
3.5 Uji Asumsi Klasik ... 32
3.5.1. Autokorelasi ... 32
3.5.2. Heteroskedastisitas ... 34
3.5.3. Multikolonearitas... 34
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Obyek Penelitian ... 36
4.1.1. Sejarah Singkat Pasar Modal Indonesia ... 36
4.1.2. Sejarah Singkat Bursa Efek Indonesia (BEI) ... 37
4.1.3. Visi dan Misi PT. Bursa Efek Indonesia... 40
4.1.4. Tujuan Penggabungan BES-BEJ Menjadi PT. Bursa Efek Indonesia... 41
4.1.5. Struktur Organisasi PT. Bursa Efek Indonesia ... 41
4.1.6. Sejarah PT. Gudang Garam Tbk . ... 44
(11)
4.2.4. Kebijakan Dividen (Y) ... 55
4.3. Uji Outlier dan Normalitas ... 55
4.4. Uji Asumsi Klasik ... 57
4.4.1. Uji Multikolonieritas ... 57
4.4.2. Autokorelasi ... 59
4.4.3. Heteroskedastisitas ... 60
4.5. Analisis dan Pengujian Hipotesis ... 61
4.5.1. Analisis Regresi Linier Berganda ... 61
4.5.2. Uji t ... 63
4.6. Pembahasan ... 65
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 69
5.2. Saran ... 69
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(12)
PT.BEI 2005-2007 ... 53
Tabel 4.2. Free Cash Flow Perusahaan Keluarga Yang Go Publik di PT.BEI 2005-2007 ... 54
Tabel 4.3. Collaterizable Asset Perusahaan Keluarga Yang Go Publik di PT.BEI 2005-2007 ... 54
Tabel 4.4. Kebijakan Dividen Perusahaan Keluarga Yang Go Publik di PT.BEI 2005-2007 ... 55
Tabel 4.5. Hasil Uji Normalitas ... 56
Tabel 4.6. Hasil Uji Outlier ... 57
Tabel 4.7. Hasil Uji Multikolonieritas Ke – 1 ... 57
Tabel 4.8. Hasil Uji Multikolonieritas Ke – 2 ... 58
(13)
1978, Basic Econometrics, Penerbit Erlangga ... 59
Gambar 4.2. Gambar Uji t Variabel Free Cash Flow (X2) ... 63
(14)
Collaterizable Asset dan Kebijakan Deviden Lampiran 2 : Hasil Uji Normalitas & Outlier
Lampiran 3 : Hasil Uji Asumsi Klasik
(15)
Lampiran 1 :
Data – Data
Insider Ownership,
Free Cash Flow, Collaterizable
Asset dan Kebijakan Deviden
(16)
Lampiran 2 :
(17)
Lampiran 3 :
(18)
Lampiran 4 :
Hasil Uji Regresi Linier
Berganda
(19)
Oleh :
RICKY RAMADIANSYAH P.
Abstraksi
Perekonomian di Indonesia saat ini sedang mengalami pertumbuhan yang baik setelah di landa krisis moneter pada tahun 1997, banyak perusahaan-perusahaan yang bermunculan kembali setelah krisis moneter baik perusahaan-perusahaan keluarga maupun perusahaan yang go public serta usaha-usaha kecil menengah yang membantu mendukung perbaikan ekonomi di Indonesia. Saat ini telah banyak perusahaan-perusahaan keluarga yang bermunculan, perusahaan keluarga tersebut memiliki ciri khusus di banding perusahaan-perusahaan lainnya. Perusahaan keluarga merupakan perusahaan yang dimana seluruh pemiliknya adalah keluarga yang secara turun-temurun memimpin suatu perusahaannya secara bergantian. Rata-rata perusahaan keluarga adalah insider ownership karena keluarga menjadi pemegang saham yang sekaligus menjadi pengelola perusahan, Para pemegang saham dan kreditor mengeluarkan agency cost atau biaya keagenan untuk mengawasi manajer dalam melaksanakan kebijakan deviden di dalam perusahaan karena para pemegang saham menginginkan keuntungan atau laba yang pasti dan selalu dibagikan. Atas dasar fenomena tersebut maka penelitian ini bermaksud untuk meneliti mengenai pengaruh agency cost terhadap kebijakan deviden pada perusahaan keluarga yang go public di BEI.
Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan keluarga yang go public dan masih terdaftar (listing) di Bursa Efek IOndonesia sebanyak 2 perusahaan. Dengan tehnik non random sampling yaitu teknik penentuan sampel dimana tidak semua individu atau elemen dalam populasi mendapat peluang yang sama untuk dapat diambil sebagai sampel. Data yang dipergunakan adalah data sekunder yaitu data yang berasal dari Bursa Efek Indonesia. Sedangkan analisis yang dipergunakan adalah analisis regresi linier berganda.
Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah didapatkan bahwa variabel
insider ownership tidak dikutkan dalam analisis regresi linier berganda karena
terkenan gejala multikolonieritas, variabel free cash flow berpengaruh signifikan negatif terhadap kebijakan deviden, variabel collaterizable asset tidak berpengaruh terhadap kebijakan deviden.
Keyword : Agency Cost, Insider Ownership, Free Cash Flow, Collaterizable Asset, dan Kebijakan Deviden.
(20)
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Perekonomian di Indonesia saat ini sedang mengalami pertumbuhan yang
baik setelah di landa krisis moneter pada tahun 1997, banyak
perusahaan-perusahaan yang bermunculan kembali setelah krisis moneter baik perusahaan-perusahaan
keluarga maupun perusahaan yang go public serta usaha-usaha kecil menengah
yang membantu mendukung perbaikan ekonomi di Indonesia. Saat ini telah
banyak perusahaan-perusahaan keluarga yang bermunculan, perusahaan keluarga
tersebut memiliki ciri khusus di banding perusahaan-perusahaan lainnya.
Perusahaan keluarga merupakan perusahaan yang dimana seluruh pemiliknya
adalah keluarga yang secara turun-temurun memimpin suatu perusahaannya
secara bergantian, menurut Anderson, Mansi dan Reeb (2002:4-5) kepemilikan
keluarga adalah kepemilikan perusahaan yang berbeda dari pemegang saham
lainnya, dimana anggota keluarga menjadi pemilik dari suatu perusahaan dan ada
dua aspek yaitu keluarga senang memiliki perusahaan yang bertahan dalam kurun
waktu yang lama dan perhatian keluarga untuk menjaga reputasi perusahaan.
Di Indonesia terdapat beberapa perusahaan keluarga yang sudah go public
seperti Lippo Enterprises (PT. Prima Alloy Steel Tbk) yang begerak di bidang
perbankan, real estate, otomotif, sekuritas, dan auransi. PT. Bakrie & Brothers
Tbk bergerak di bidang investasi, telekomunikasi, property. PT. Gudang Garam
(21)
PT. Astra International Tbk bergerak di bidang otomotif, Salim Group, PT.
Ciputra Development Tbk bergerak di bidang property. Perusahaan-perusahaan
tersebut bisa mempertahankan kepemilikan perusahaan keluarga dan jajaran
direksinya sampai saat ini. Dari struktur modal yang atau saham yang dimiliki
kebanyakan adalah milik keluarga, kecuali PT. Hanjaya Mandala Sampoerna yang
telah diakuisisi oleh PT. Philip Morris dan struktur kepemilikan modal bukan lagi
perusahaan keluarga.
Saham (stock) adalah bukti penyertaan modal di suatu perusahaan, atau
merupakan bukti kepemilikan atas suatu perusahan (M. Fachrudin dan Hadianto,
2001:330). Motivasi seorang menginvestasikan dana yang dimiliki pada saham
suatu perusahaan adalah untuk meningkatkan kemakmuran usaha melalui
perolehan dividen atau capital gain. Pemilik atau pemegang saham mempunyai
hak atas pendapatan dan kekayaan perusahaan (E. Tandelilin, 2003:18).
Pemegang saham juga mempunyai hak suara (voting rights) untuk memilih
direktur ataupun manajemen perusahaan dalam rapat umum pemegang saham
(RUPS).
Pemegang saham dalam realitasnya ada yang mengendalikan sendiri usaha
yang dimiliki, tetapi ada pula yang mempercayakan kepada seorang manajer atau
pengelola yang lazim disebut agent. Pemegang saham yang mengendalikan
sendiri perusahaan akan dapat memenuhi segala kebutuhan dan keinginannya
melalui kinerja yang dihasilkan sendiri. Sebaliknya, apabila pemegang saham
mempercayakan usaha kepada manajer (agent) maka akan melahirkan masalah,
(22)
Permasalahan agent dipicu oleh tingkat kepentingan antara pemegang saham dan
manajer yang berbeda. Manajer cenderung menginvestasikan kembali sebagian
besar keuntungan yang diperoleh agar perusahaan terus mengalami pertumbuhan
yang lebih tinggi. Semakin banyak keuntungan yang diinvestasikan kembali
(reinvestasi), maka akan tersisa sedikit keuntungan yang dibagiakn kepada
pemegang saham dalam bentuk dividen. Hal ini sangat bertolak belakang dengan
keinginan pemegang saham yang senantiasa menghendaki mendapatkan dividen
yang tinggi. Perbedaan keinginan tersebut dapat menyebabkan timbulnya konflik
antara manajer (agent) dan pemegang saham. Konflik tersebut dalam realitasnya
melahirkan sejumlah biaya, yang lazim di sebut biaya keagenan atau agency cost.
Weston J. Fred dan E.F. Brgiham( 1990:21), meyebutkan bahwa agency cost
adalah biaya yang berhubungan dengan monitoring tindakan manajer untuk
menyatakan bahwa tindakan manajer konsisten dengan persetujuan kontrak antara
manajer, pemegang saham dan kreditor.
PT. Hanjaya Mandala Sampoerna atau PT. HM Sampoerna adalah
perusahaan keluarga yang berdiri sejak tahun 1913 silam, perusahaan ini dikelola
secara turun temurun oleh keluarga Sampoerna dari generasi ke generasi. Akan
tetapi pada tahun 2005 PT. HM Sampoerna atau keluarga Sampoerna melepas
40% sahamnya kepada Philip Morris yang notabene adalah pesaing PT. HM.
Sampoerna. Padahal dalam posisi dewan komisaris dan dewan direksi dijabat oleh
keluarga Sampoerna, apakah terjadi konflik antara dewan komisaris dan dewan
direksi sehingga menyebabkan dewan komisaris memutuskan untuk menjual
(23)
terjadinya akuisisi oleh PT. Philip Morris, PT. HM Sampoerna telah membukukan
laba sebesar Rp. 9 Triliun.
Pada awalnya, agency problem terjadi karena manajer memiliki saham
kurang dari 100%. Dalam realitasnya agency cost juga dipengaruhi oleh insider
ownership dan dispersion of ownership (Demsey dan Laber, 1993 dalam Jessica
H., 2002:180). Rata-rata perusahaan keluarga adalah insider ownership karena
keluarga menjadi pemegang saham yang sekaligus menjadi pengelola perusahan,
semakin besar insider ownership maka akan semakin kecil konflik kepentingan
antara pemegang saham dan pihak mnajemen. Karena pemegang saham akan
bertindak lebih hati-hati dalam menanggung konsekuensi yang mungkin akan
terjadi. Para pemegang saham dan kreditor mengeluarkan agency cost atau biaya
keagenan untuk mengawasi manajer dalam melaksanakan kebijakan deviden di
dalam perusahaan karena para pemegang saham menginginkan keuntungan atau
laba yang pasti dan selalu dibagikan. Para pemegang saham berinvestasi untuk
bisa mendapatkan keuntungan dari perusahaan yang ia beri investasi berupa
deviden baik itu berupa deviden kas atau deviden asset.
Perusahaan yang memiliki free cash flow dalam jumlah yang memadai
akan lebih baik dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk deviden untuk
menghindari agency problem. Hal ini dimaksudkan agar free cash flow yang ada
tidak digunakan untuk sesuatu atau proyek-proyek yang tidak menguntungkan
dengan demikian ketersediaan uang dapat dipakai untuk kemakmuran pemegang
(24)
Collaterizable asset atau ketersediaan asset dalam jumlah uang yang besar
yang digunakan untuk menjamin pinjaman kreditur, akan dapat mengurangi
konflik antara pemegang saham. Hal ini membuat pihak manajemen lebih leluasa
dalam membagi dividen kepada pemegang saham. Apabila pemegang saham
mendapatkan dividen, maka agency problem dapat diminaimalisir. Sehingga dapat
dikatakan collaterizable asset mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dividen.
Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, peneliti ingin mengangkat
penelitian yang berjudul “Pengaruh Agency Cost Terhadap Kebijakan Dividen
Pada Perusahaan Keluarga Yang Go Public Di BEJ”
1.2.Perumusan Masalah
Apakah variabel agency cost dengan insider ownership berpengaruh
signifikan terhadap variabel kebijakan dividen pada perusahaan keluarga ?
Apakah variabel agency cost dengan free cash flow berpengaruh signifikan
terhadap variabel kebijakan dividen pada perusahaan keluarga ?
Apakah variabel agency cost dengan collaterizable asset berpengaruh
signifikan terhadap variabel kebijakan dividen pada perusahaan keluarga ?
1.3.Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis atau membuktikan pengaruh variabel agency cost
(25)
1.4.Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti, yaitu mencoba menerapkan ilmu pengetahuan yang selama ini
diperoleh dari bangku perkuliahan ke dalam masalah praktis.
2. Bagi pihak lain, yaitu memberikan informasi kepada beberapa pihak yang
terkait seperti Manajemen Perusahaan Keluarga, Pemegang Saham
Perusahaan Keluarga, Kreditor serta pihak lainnya yang membutuhkan hasil
penelitian ini.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai landasan teori dan
(26)
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Penelitian Terdahulu
Penelitian-penelitian terdahulu yang digunakan sebagai acuan antara lain :
1. Achmad Maqsudi dan Rini Muliani Ambon (2004)
Judul :
“Pengaruh Agency Cost Terhadap Kebijakan Dividen Perusahaan-Perusahaan
Go Public Di PT.Bursa Efek Jakarta”
Permasalahan :
a. Apakah variabel agency cost yang meliputi insider ownership, dispersion
of ownership, free cash flow dan collaterizable asset secara simultan dan
secara parsial berpengaruh terhadap variabel dividend pay-out ratio pada
perusahaan-perusahaan go public Di PT.Bursa Efek Jakarta.
b. Manakah diantara variabel-variabel agency cost yang berpengaruh
dominan terhadap dividend pay-out ratio pada perusahaan-perusahaan go
public Di PT.Bursa Efek Jakarta.
Hipotesis :
a. Diduga variabel agency cost yang meliputi insider ownership, dispersion
of ownership, free cash flow dan collaterizable asset secara simultan dan
secara parsial berpengaruh terhadap variabel dividend pay-out ratio.
b. Diduga diantara keempat variabel mana yang berpengaruh dominan
(27)
Kesimpulan :
• Secara parsial, varaibel-variabel agency cost tidak signifikan
mempengaruhi dividend pay-out ratio. Dengan kata lain, besar kecilnya
DPR tidak secara nyata dipengaruhi oleh variabel-variabel agency cost
secara parsial. Ini menunjukkan bahwa masalah keagenan di Indonesia
tidak bisa diselesaikan melalui mekanisme pembayaran dividen.
• Secara simultan, variabel-variabel agency cost mempunyai pengaruh
(21,6%) signifikan terhadap DPR. Ini menunjukkan 21,6% perubahan
dividend pay-out ratio mampu dijelaskan oleh variabel agency cost secara
simultan, sedangkan sisanya sebesar 78,4% dijelaskan oleh faktor-faktor
lain di luar model analisis.
• Insider ownership mempunyai pengaruh dominan terhadap DPR. Ini
menunjukkan bahwa pemegang saham yang terlibat mengelola perusahaan
memberikan konstribusi yang relatif besar terhadap DPR.
2. Holydia Lestari (2004)
Judul :
“Pengaruh Kebijakan Utang, Kebijakan Dividen, Risiko dan Profitabilitas
Perusahaan Terhadap Set Kesempatan Investasi”
Permasalahan :
a. Apakah kebijakan utang perusahaan yang tingkat pertumbuhannya tinggi
berhubungan negatif dengan set kesempatan investasi?
b. Apakah kebijakan dividen perusahaan yang tingkat pertumbuhan tinggi
(28)
c. Apakah risiko berhubungan negatif dengan set kesempatan investasi?
d. Apakah profitabilitas perusahaan berhubungan positif dengan set
kesempatan investasi?
Hipotesis :
H1 : Hubungan kebijakan utang dan set kesempatan investasi adalah negatif.
H2 : Hubungan kebijakan dividen dengan set kesempatan investasi adalah
negatif.
H3 : Hubungan antara risiko sistematik dengan set kesempatan investasi.
H4 : Hubungan antara profitabilitas dan set kesempatan investasi adalah
positif.
Kesimpulan :
Hubungan set kesempatan investasi dan kebijakan utang negatif, yang berarti
perusahaan yang bertumbuh lebih cenderung untuk memiliki debt to equity
ratio yang lebih kecil., hal ini sehubungan dengan upaya memperkecil
masalah underinvestment. Assets subtitusion dan riskier debt atau tingkat
utang yang mempertinggi risiko perusahaan diklaim bangkrut oleh
debtholders (Myers, 1977). Hubungan set kesempatan investasi dengan
kebijakan dividen (dalam hal ini diproksikan dengan dividend yields) negatif,
yang berarti perusahaan yang bertumbuh cenderung untuk membayar dividen
lebih kecil, karena laba akan diinvestasikan kembali untuk meningkatkan
pertumbuhan perusahaan (Gul, 1999). Hal ini tidak berlaku untuk dividend
(29)
investasi tidak signifikan, diduga telah terjadi salah pengklasifikasian (Sami,
dkk. 1999 dalam Fajrianti, 2000).
Hubungan set kesempatan investasi tidak signifikan walaupun memiliki tanda
yang sama dengan prediksi. Hal ini diduga varaibel risiko secara relatif sangat
tergantung pada variabel lain dalam model (Booth, 1981; Conine, 1983 dalam
AlNajjar dan Belkaoui, 1999). Terdapat hubungan positif antara set
kesempatan investasi dengan profitabilitas, yang mendukung teori sinyal yaitu
profitabilitas perusahaan merupakan sinyal pertumbuhan perusahaan di masa
datang.
2.2. Landasan Teori
2.2.1. Perusahaan Keluarga
Perusahaan keluarga adalah perusahaan yang dikendalikan oleh keluarga
dari periode ke periode baik dari segi manajemen dan kepemilikan saham.
Anderson dkk (2002) mengatakan bahwa perusahaan yang dikendalikan oleh
keluarga mempunyai struktur yang menyebabkan berkurangnya konflik agensi
antara pemegang saham dan kreditur, dimana kreditur menganggap kepemilikan
keluarga lebih melindungi kepentingan kreditur. Anderson & Reeb (2002)
menunjukkan bahwa pemegang saham minoritas justru diuntungkan dari adanya
kepemilikan keluarga. Hasil penelitian Arifin (2003) menunjukkan bahwa
perusahaan publik di Indonesia yang dikendalikan keluarga atau negara atau
institusi keuangan masalah agensinya lebih baik jika dibandingkan perusahaan
(30)
perusahaan yang dikendalikan keluarga, masalah agensinya lebih kecil karena
berkurangnya konflik antara principal dan agent. Jika kepemilikan keluarga lebih
efisien, maka pada perusahaan dengan kepemilikan keluarga yang tinggi
pengelolaan laba yang oportunis dapat dibatasi. Tetapi pengendalian yang lebih
efisien dalam kepemilikan keluarga tersebut besar kemungkinan tidak berlaku di
perusahaan konglomerasi – seperti yang banyak terdapat di Indonesia. Untuk
perusahaan konglomerasi, biasanya sebagian besar kekayaan pemilik tidak berada
di satu perusahaan, tetapi tersebar di berbagai perusahaan. Jika hanya sedikit
kekayaan pemilik yang berada di perusahaan yang go public, maka walaupun
perusahaan go public tersebut dikendalikan keluarga, tetapi pengelolaan laba yang
oportunistik mungkin justru tinggi. Kemungkinannya karena perusahaan yang go
public tersebut hanya dijadikan sebagai sarana untuk mengumpulkan dana dari
masyarakat untuk digunakan oleh kelompok perusahaannya. Hal ini terbukti dari
hasil penelitian Kim & Yi (2005) yang menemukan bahwa besaran pengelolaan
laba lebih tinggi untuk perusahaan yang mempunyai kelompok afiliasi dibanding
yang tidak mempunyai kelompok afiliasi. Berarti perusahaan dengan kelompok
usaha afiliasi memberikan pemegang saham pengendali lebih banyak insentif dan
kesempatan untuk melakukan pengelolaan laba.
2.2.2. Teori Keagenan
Teori keagenan pertama kali dikembangkan pada tahun 1932 oleh Profesor
AA. Bele dan Gardine Means di New York (Francis, Jack Clark, 1993:477). Teori
(31)
oelh Francis Jack Clark (1993:480), “Agency Theory Analyzes Principal Agency
Relationship”
Francis (1993:480) mendefinisikan teori keagenan sebagai berikut : the
theory difines the stockholders of a corporation as the principel and the executive
hired to manage the business as the share owners, ‘agents’. Maksudnya agency
theory adalah membahas hubungan antara pemegang saham perusahaan sebagai
pemilik (principal) dengan eksekutif yang direkrut untuk mengendalikan bisnis,
yang disebut dengan agen. Dalam konteks manajemen keuangan hubungan agen
yang utama adalah antara pemegang saham dan manajer serta antara manajer dan
pemberi kredit.
Penunjukan agen sebagai pihak pengelola dan pengambil keputusan bagi
perusahaan dimaksudkan agar manager mampu memaksimalkan kemakmuran
pemilik atau pemegang saham. Namun dalam realitasnya banyak terjadi ágency
problem”, yaitu konflik kepentingan antara manajer dan pemegang saham.
(Madura, 2000:645).
2.2.3. Agency Cost
Agency cost terjadi karena ada konflik kepentingan antara pemilik atau
pemegang saham (principal) dengan manajemen (agency) atau manajer dan
pemegang saham seringkali tidak memperoleh informasi yang sama tentang
perusahaan. Pemegang saham ingin agar kemakmurannya dapat terjamin ketika
pemegang saham mengangkat seorang manajer (agency) untuk memimpin
(32)
dengan manajer. Manajer ingin agar dividen tidak dibagi secara penuh untuk
dijadikan modal tambahan untuk produksi tahun selanjutnya atau rencana yang
lain seperti ekspansi perusahaan, sedangkan pemegang saham ingin agar dividen
dibagikan seluruhnya sesuai dengan investasi yang telah ia tanamkan ke dalam
perusahaan. Konflik antara manajer dan pemegang saham tidak sedikit
mengeluarkan biaya yang lazim desebut “agency cost”.
Mollah et.al. (2000:3), menjelaskan, “agency cost is nothing but an
implicit manager and shareholder.” Maksudnya agency cost adalah biaya implisit
yang biasanya muncul karena adanya konflik antar manajer dan pemegang saham.
Selain itu, Weston dan Brigham (1990:21), agency cost adalah biaya yang
berhubungan dengan monitoring tindakan manajer untuk meyakinkan
bahwatindakan manajer konsisten dengan persetujuan kontrak antara manajer,
pemegang saham dan kreditor.
2.2.3.1. Insider Ownership (Kepemilikan Orang Dalam)
Menurut pandangan teori Keagenan (Akhige dan Madura dalam jurnal
Sabur Mollah, 2000 : 8), yang menyebutkan bahwa perusahaan membayar jumlah
deviden yang lebih tinggi sebagai sarana untuk mengawasi dan mengikat apabila
orang dalam memiliki saham biasadalam prosentase yang lebih rendah atau
dengan kata lain jumlah saham biasa lebih banyak dimiliki oleh orang luar untuk
mengurangi biaya keagenan (perantara). Hal ini diasumsikan bahwa jika
prosentase saham biasa lebih banyak dimiliki oleh orang dalam yang menerapkan
bahwa terdapat sedikit pengaruh dari orang luar dan dalam kasus seperti ini
(33)
jalan meningkatkan gaji direkturm meningkatkan gaji dan bonus karyaman dan
lain-lain) dibandingkan dengan membayararkan deviden. Rasio saham yang
dipegang oleh orang dalam ini diperhitungkan sebagai perkiraan atas kepemilikan
orang dalam untuk meningkatkan biaya keagenan yanh nantinya akan
meningkatkan konflik antara manajer dengan pemegang saham. Untuk kasus
seperti ini dicetuskan hipotesis yang menunjukkan adanya hubungan negatif
antara kepemilikan orang dalam dengan ratio deviden pay-out, karena semakin
tinggi tingkat kepemilikan orang dalam maka akan memicu permasalahan
keagenan menjadi menurun, dengan demikian pembayaran deviden juga semakin
rendah.
Variabel ini diukur dengan rumus :
Inside =
r YangBereda TotalSaham
tu isDanDirek ikiKomisar
mYangDimil JumlahSaha
(Sumber : Maqsudi dan Ambon, 2004 : 9)
2.2.3.2. Free Cash Flow (Aliran Kas Bebas)
Hipotesis yang dikemukakan oleh jensen et.al (1986) dalam jurnal Sabur
Mollah (2000 : 9), tentang aliran kas bebas adalan bahwa perusahaan yang
memiliki peluang pertumbuhan lebih tinggi akan memiliki aliran kas bebas yang
lebih randah. Dengan demikian, hal ini mengharuskan pembayaran deviden yang
lebih randah untuk mengurangi biaya keagenan atas aliran kas bebas. Hipotesis
Jensen terkait dengan aliran kas bebas ini didukung oleh Rozeff (1982), Jensen
(34)
diperhitungkan sebagai perkiraan atas aliran kas bebas. Hal ini menunjukkan
adanya hipotesis yang mengindikasikan adanya hubungan positif antara aliran kas
bebas dengan ratio deviden pay-out karena perusahaan memiliki aliran kas bebas
lebih banyak, maka jumlah deviden pun akan lebih baik untuk dibagikan kepada
pemegang saham atau membayarkan hutang, dan ini akan mengurangi biaya
keagenan.
Variabel tersebut diukur dengan rumus :
FCF =
a TotalAktiv
su BebanPenyu dividen
ak SetelahPaj
LabaBersih − + tan
(Sumber : Maqsudi dan Ambon, 2004 : 9)
2.2.3.3. Collaterizable Asset (Aktiva Yang Digunakan)
Collaterizable Asset atau ketersediaan aset dalam jumlah yang besar yang
digunakan untuk menjamin pinjaman kreditur, akan dapat mengurangi konflik
antara pemegang saham dan pemegang obligasi (Mollah et.al. 2000 : 10). Ratio
atas aktiva tetap bersih terhadap aktiva total diperhitungkan sebagai perkiraan atas
aktiva yang bisa diagunkan untuk meningkatkan biaya keagenan terhadap
permasalahan antara manajer dengan pemegang saham. Collaterizable asset
memiliki hubungan negatif dengan ageny cost. Semakin tinggi aktiva tetap yang
menjamin pinjaman kreditur, makan semakin rendah konflik antara pemegan
saham dan kreditur. Rendahnya konflik antara kreditur dan pemegan saham
disebabkan olek kreditur yang tidak merasa terjadi pengalihan kekayaan kepada
pemegang saham ketika perusahaan memiliki aset tetap yang dijadikan sebagai
jaminan, sehingga kreditur tidak khawatir ketika manajer atas perintah pemegang
(35)
yang tinggi. Titman (1988) sebagaimana dikutip oleh Mollah et.al.(2000)
menyatakan bahwa jika perusahaan memiliki Collaterizable asset yang cukup
tinggi dapat mengurangi konflik antara pemegang saham dengan kreditur karena
aset tersebut dapat digunakan sebagai jaminan atas pinjaman. “ ... firm that hold
more collaterizable asset have fewer agency problem between their bondholders
and stockholders because these asset may seveas a colleteral against borrowing”.
Collaterizable asset akan berhubungan positif dengan deviden pay-out
raito yang dibayarkan oleh perusahaan. Semakin banyak Collaterizable asset
yang dimiliki oleh perusahaan maka semakin banyak deviden yang akan
dibayarkan perusahaan , dan sebaliknya bila semakin sedikit Collaterizable asset
yang dimiliki oleh perusahaan makan akan semakin sedikit deviden yang
dibayarkan oleh perusahaan karena kreditur melakukan pembatasan atas
pembayaran yang dilakukan perusahaan. Pembatasan deviden tersebut merupakan
salah satu bentuk hambatan yang dilakukan oleh kreditru untuk mengurangi
pengalihan kekayaan kepada pemegang saham. Mollah et.al.(2000). Menyatakan
bahwa terdapat hubungn positif antara collaterizable asset dengan deviden pay out
ratio.
Variabel ini diukur dengan rumus sebagai berikut :
Collas =
TotalAsset Bersih AssetTetap
(Sumber : Maqsudi dan Ambon, 2004 : 9)
(36)
2.2.4. Kebijakan Dividen
Dividen merupakan aliran kas yang dibayarkan kepada para pemegang
saham atau “equity investors”. Setiap perusahaan selalu menginginkan adanya
pertumbuhan bagi perusahaan tersebut di satu pihak dan juga dapat membayarkan
dividen kepadapemegang saham di lain pihak, tetapi kedua tujuan tersebut saling
bertentangan. Maka dari itu diperlukan kebijakan dividen agar perusahaan dapat
memperkirakan keuntungan atau laba yang diperoleh akan digunakan untuk
pertumbuhan perusahaan atau pembayaran dividen kepada para pemegang saham.
Ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen suatu
perusahaan antara lain (Riyanto, 1995:265-268):
1. Posisi likuiditas perusahaan
Posisi kas atau likuiditas dari suatu perusahaan merupakan faktor yang penting
yang harus dipertimbangkan sebelum mengambil keputusan untuk
menerapkan besarnya dividen yang akan dibayarkan kepadapara pemegang
saham. Oleh karena dividen merupakan “cash outflow” , maka makin kuatnya
posisi likuiditas perusahaan, berarti semakin besar kemampuan untuk
membayar dividen.
Suatu perusahaan yang sedang tumbuh dan rendabel, mungkin tidak begitu
kuat posisis likuiditasnya karena sebagaian besar dananya tertanam dalam
aktiva tetap dan modal kerja dengan dmeikian kemampuannya untuk
membayar cash dividen pun sangat terbatas. Dengan sendirinya likuiditas
suatu perusahaan ditentukan oleh keputusan-keputusan di bidang investasi dan
(37)
2. Kebutuhan dana untuk membayar hutang
Apabila suatu perusahaan akan memperoleh utang baru atau menjual obligasi
baru untuk membiayai perluasan perusahaan, sebelumnya harus sudah
direncanakan bagaimana caranya untuk membayar kembali utang tersebut.
Utang dapat dilunasi padahari jatuhnya dengan mengganti utang tersebut
dengan utang baru (refunding of debt). Atau alternatif lain ialah perusahaan
harus menyediakan dana sendiri yang berasal dari keuntungan untuk melunasi
utang tersebut.
Apabila perusahaan menetapkan bahwa pelunasan utang nya akan diambil dari
laba ditahan, berarti perusahaan menahan sebian besar dari pendapatannya
untuk keperluan tersebut. Yang ini berarti bahwa hanya sebagian kecil saja
dari pendapatan atau earning yang dapat dibayarkan sebagai dividen. Dengan
kata lain perusahaan harus menetapkan dividen payout ratio yang rendah.kita
sering melihat adanya klausul atau syarat yang bersifat “protective” dalam
pinjaman obligasi atau bentuk pinjaman lainnya yang mengandung
pembatasan tentang pembayaran dividen. Ristriksi tersebut dimaksudkan
untuk menjaga kemampuan perusahaan tersebut untuk tetap dapat membayar
angsuran maupun bunganya. Apabila ada klausul semacam itu dengan
sendirinya akan berpengaruh terhadap besarnya “dividend payout ratio”nya.
3. Tingkat pertumbuhan perusahaan
Makin cepat tingkat pertumbuhan suatu perusahaan, makin besar kebutuhan
akan dana untuk membiayai pertumbuhan perusahaan tersebut. makin besar
(38)
perusahaan tersebut biasanya lebih senang untuk menahan “earning”nya
daripada dibayarkan sebagai dividen kepada pemegang saham dengan
mengingat batasan-batasan biaya. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa
semakin cepat tingkat pertumbuhan perusahaan makin besar dana yang
dibutuhkan. Makin besar kesempatan untuk memperoleh keuntungan, makin
besar bagian dari pendapatan yang ditahan dalam perusahaan, yang berarti
semakin rendah “dividend payout ratio”nya.
Apabila perusahaan telah “well established”, di mana kebutuhan dananya
dapat dipenuhi dengan dana yang berasal dari pasar modal atau sumber dana
ekstern lainnya, maka keadaannya adalah berbeda. Dalam hal ini yang
demikian dapat menetapkan “dividend payout ratio” yang tinggi.
4. Pengawasan terhadap perusahaan
Variabel penting lainnya adalah “control” atau pengawasan terhadap
perusahaan. Ada perusahaan yang mempunyai kebijakan hanya membiayai
ekspansinya dengan dana yang berasal dari sumber intern. Kebijakan tersebut
dijalankan atas dasar pertimbangan bahwa kalau ekspansi dibiayai dengan
dana yang berasal dari hasil penjualan saham baru akan melemahkan
“control” dari kelompok dominan di dalam perusahaan. Demikian pula kalau
membiayai ekspansi dengan utang akan memperbesar risiko finansialnya.
mempercayakan pada pembelanjaan intern dalam rangka usaha untuk
mempertahankan “control” terhadap perusahaan, berarti mengurangi
(39)
Di dalam perusahaan keluarga kebijakan deviden yang diterapkan adalah
untuk pertumbuhan perusahaan, ini dikarenakan di dalam perusahaan keluarga
dewan direksi maupun dewan komisaris adalah keluarga. Pada perusahaan
keluarga lebih diprioritaskan tentang bagaimana cara perusahaan tersebut untuk
selalu bertahan dan berjalan selama mungkin. Sehingga di dalam perusahaan
keluarga kebijakan dividen yang dilaksanakan adalah untuk pertumbuhan
perusahaan (Anderson, Mansi dan Reeb, 2002:4-5).
2.2.4.1. Berbagai Macam Kebijakan Dividen
Ada macam-macam kebijakan dividen yang dilakukan oleh perusahaan
yaitu antara lain (Riyanto, 1995:269-272):
1. Kebijakan dividen yang stabil.
Banyak perusahaan yang menjalankan dividen yang stabil, artinya jumlah
dividen per lembar yang dibayarkan setiap tahunnya relatif tetap sama selama
jangka waktu tertentu meskipun pendapatan per lembar saham per tahunnya
berfluktuasi. Dividen yang stabil ini dipertahankan untuk beberapa tahun, dan
kemudian apabila ternyata pendapatan perusahaan meningkat dan kenaikan
pendapatan tersebut nampak mantap dan relatif permanen, baru besarnya
dividen per lembar saham dinaikkan. Dan dividen yang sudah dinaikkan ini
akan dipertahankan untuk jangka waktu yang relatif panjang.
2. Kebijakan dividen dengan penetapan jumlah dividen minimal plus jumlah
(40)
Kebijakan ini menetapkan jumlah Rupiah minimal per lembar saham setiap
tahunnya. Dalam keadaan keuangan yang lebih baik perusahaan akan
membayarkan dividen ekstra di atas jumlah minimal tersebut. bagi modal ada
kepastian akan menerima jumlah dividen yang minimal setiap tahunnya
meskipun keadaan keuangan perusahaan agak memburuk. Tetapi dilain pihak
kalau keadaan keuangan perusahaan baik maka pemodal akan menerima
dividen minimal tersbut ditambah dengan dividen tambahan. Kalu keadaan
keuangan memburuk lagi maka yang dibayarkan hanya dividen yang minimal
saja.
3. Kebijakan dividen dengan penetapan divident payout ratio yang konstan.
Perusahaan yang menjalankan kebijakan ini menetapkan dividen payout ratio
yang konstan. Ini berarti jumlah dividen perlembar saham yang dibayarkan
setiap tahunnya akan berfluktuasi sesuai dengan perkembangan keuntungan
neto yang diperolehnya setiap tahun.
4. Kebijakan dividen yang fleksibel.
Penetapan dividen yang besarnya setiap tahun disesuaikan dengan posisi
finansial dan kebijakan finansial dari perusahaan yang bersangkutan.
2.2.5. Pengaruh Agency Cost Terhadap Kebijakan Dividen
2.2.5.1 Pengaruh Insider Ownership terhadap Deviden Payout Ratio
Rozzef (1982) dalam taswan menyatakan bahwa pembayaran deviden
adalan bagian dari monotoring perusahaan. Dalam kondisi demikian perusahaan
(41)
proporsi saham yang lebih rendah. Rozzef (1982) dan Esterbook (1984) dalam
taswan juga menyatakan bahwa pembayaran deviden kepada pemegan saham
akan mengurangi sumber0sumber dana yang akan dikendalikan oleh manajer
sehingga mengurangi kekuasaan manajer dan membuat pembayaran deviden
mirip dengan monitoring capital market yang terjadi bila perusahaan memperoleh
modal baru.
Insider Ownership akan berhubungan negatif dengan deviden payout ratio.
Semakin tinggi prosentase insider ownership maka semakin rendah deviden yang
dibayarkan oleh perusahaan. Jensen dan Meekling (1992) sebagaimana dikutip
oleh Mollah et.al (2000) menyatakan bahwa jika tingkat kepemilikan insider
ownership semakin besar, maka manajer tidak akan membayar deviden yang
besar, melainkan akan menimgkatkan gajinya.
Jensen (1986) menyatakan bahwa salah satu masalah antara manajer dan
pemegang saham yaitu pemegang saham lebih menyukai pembayaran dividen
daripada diinvestasikan lagi sementara manajer sebaliknya. Perusahaan dengan
tingkat pertumbuhan yang rendah lebih cenderung untuk membayar dividen lebih
besar, agar dapat mengalihkan sumber dana perusahaan agat tidak ditanamkan
dalam proyek dengan net present value yang negatif (Jensen, 1986). Hal ini juga
akan memperkecil agency cost yang berkaitan dengan aliran kas bebas.
2.2.5.2. Pengaruh Free Cash Flow terhadap Deviden payout Ratio
Jensen (1986) dalam Mollah (2000) memberikan hipotesisnya dimana free
(42)
deviden atau membayarkan hutang untuk mengurangi kemubgkinan penggunaan
free cash flow pada proyek yang memiliki Net Present Value Negative maupun
kemungkinan digunakan untuk konsusi pribadi.
Free Cash Flow mempunyai hunbungan positif dan berpengaruh dengan
Deviden Payout Ratio. Ini menunjukkan bahwa apabila jumlah Free Cash Flow
yang dimiliki perusahaan meningkat. Hal ini dapat terjadi karena dalam jumlah
yang besar digunakan secara efisien dalam bentuk pemberian deviden kepada
pemegang saham (Sabur Mollah,2000 : 12).
2.2.5.3 Pengaruh Collaterizable Assets terhadap Deviden Payout Ratio.
Collaterizable asset atau ketersediaan asset dalam jumlah uang yang besar
yang digunakan untuk menjamin pinjaman kreditur, akan dapat mengurangi
konflik antara pemegang saham. Hal ini membuat pihak manajemen lebih leluasa
dalam membagi dividen kepada pemegang saham. Apabila pemegang saham
mendapatkan dividen, maka agency problem dapat diminaimalisir. Sehingga dapat
dikatakan collaterizable asset mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dividen.
Collaterizable asset mempunyai hubungan positif terhadap deviden payout
ratio. Ini menunjukkan bahwa semakin banyak Collaterizable asset yang dimiliki
oleh perusahaan maka semakin banyak deviden yang dibayarkan oleh perusahaan.
Dan demikian sebaliknya bila semakin sedikit Collaterizable asset yang dimilki
perusahaan maka semakin sedikit pula deviden yang akan dibayarkan oleh
perusahaan. Pembatasan tersebut merupakan salah satu bentuk hambatan yang
dilakukan oleh kreditur untuk mengurangi penhalihan kekayaan kepada
(43)
2.3. Kerangka Pikir
PENGARUH AGENCY COST TERHADAP KEBIJAKAN DEVIDEN PADA PERUSAHAAN KELUARGA YANG GO PUBLIC DI BEI
Kebijakan Deviden (Y)
Analisis Regresi Berganda
Collaterizable Asset (X3)
Tidak Ada Pengaruh Insider Ownership (X1) Free Cash Flow (X2)
Ada Pengaruh Landasan teori :
• Jensen & Meeling (1976), mendefinisikan biaya keagenan sebagai jumlah pengeluaran untuk pengawasan yang dilakukan oleh pemegang saham, pengeluaran karena penggunaan hutang oleh agen serta pengeluaran karena residual lost yaitu pengeluaran biaya oleh pemegang saham eksternal untuk mempengaruhi keputusan manajer dalam memaksimalkan kemakmuran pemegang saham.
• Menurut Bambang Riyanto (1995:226) deviden payout ratio adalah presentase dari pendapatan yang akan dibayarkan kepada pemegang saham yang akan menambah kekayaan pemegang saham
2.4. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
Diduga variabel agency cost dengan insider ownership berpengaruh signifikan
terhadap variabel kebijakan dividen pada perusahaan keluarga.
Diduga variabel agency cost dengan free cash flow berpengaruh signifikan
terhadap variabel kebijakan dividen pada perusahaan keluarga.
Diduga variabel agency cost dengan collaterizable asset berpengaruh
(44)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Definisi Operasional pada penyusunan skripsi ini berisi penjelasan yang berkaitan dengan penelitian tentang Pengaruh Agency Cost Terhadap Kebijakan Dividen Pada Perusahaan Keluarga Di Surabaya. Hal-hal yang menjadi pokok bahasan dalam bab ini adalah tentang penjelasan variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini, termasuk di dalamnya yaitu pengukuran variabel, teknik penentuan sampel, teknik pengumpulan data, serta teknik analisis dan uji hipotesis.
Variabel-variabel yang dipakai dalam penelitian ini terdiri dari variabel tak bebas dan variabel bebas. Selanjutnya akan didefinisikan menjadi X1, X2, X3 yang nantinya disebut sebagai variabel bebas atau biasa disebut sebagai
independent variabel atau variable-variabel yang mempengaruhi, serta Y sebagai variabel terikat atau biasa disebut dependent variable atau variabel yang dipengaruhi. Variabel tak bebas yang digunakan termasuk didalamnya yaitu kebijakan dividen (Y) yang diukur dengan rasio dividend pay-out ratio (DPR). Sedangkan yang termasuk variabel bebas yaitu agency cost yang diukur dari tiga komponen indikatornya yaitu insider ownership (X1), free cash flow (X2), dan
(45)
rasio. Untuk memperjelas arti variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini, definisi masing-masing variabel akan diuraikan sebagai berikut :
1. Kebijakan Dividen (Y)
Kebijakan yang diambil perusahaan agar dapat memperkirakan keuntungan atau laba yang diperoleh akan digunakan untuk pertumbuhan perusahaan atau pembayaran dividen kepada para pemegang saham (Riyanto, 1995). Kebijakan dividen diukur dengan menggunakan rasio keuangan DPR (Dividend Pay-out Ratio) dengan rumus sebagai berikut :
DPR =
aham PerlembarS Laba
aham PerlembarS Dividend
(Sumber : Maqsudi dan Ambon, 2004 : 9)
2. Insider Ownership (X1)
Insider ownership adalah pemilik yang sekaligus menjadi pengelola perusahaan. Semakin besar insider ownership, maka akan semakin kecil konflik antara pemegang saham dan pihak manajemen. Variabel ini diukur dengan rumus :
Inside =
r YangBereda TotalSaham
tu isDanDirek ikiKomisar
mYangDimil JumlahSaha
(Sumber : Maqsudi dan Ambon, 2004 : 9)
(46)
3. Free Cash Flow (X2)
Free cash flow jumlah uang tunai yang tersedia untuk dibagikan kepada investor, termasuk para pemegang saham dan kreditor. Laba bersih setelah pajak dividen + beban penyusutan. FCF = Total Aktiva. Variabel tersebut diukur dengan rumus :
FCF =
a TotalAktiv
su BebanPenyu dividen
ak SetelahPaj
LabaBersih − + tan
(Sumber : Maqsudi dan Ambon, 2004 : 9)
4. Collaterizable Asset (X3)
Collaterizable asset adalah besarnya aktiva tetap bersih yang menjadi jaminan. Variabel ini diukur dengan rumus sebagai berikut :
Collas =
TotalAsset Bersih AssetTetap
(Sumber : Maqsudi dan Ambon, 2004 : 9)
3.2 Teknik Penentuan Sampel
a. Populasi
Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi
(47)
yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan keluarga yang Go Public di BEI.
b. Sampel
Sampel penelitian adalah bagian dari jumlah keseluruhan populasi yang menjadi obyek sesungguhnya dari suatu penelitian. Teknik yang digunakan untuk menentukan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling yaitu berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu.
Sampel yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah berdasarkan kriteria sebagai berikut
1. Perusahaan keluarga yang mengeluarkan laporan keuangan lengkap dan sesuai dengan variabel yang diteliti secara periodik per 31 Desember pada tiap tahunnya selama periode tahun 2005-2007.
2. Perusahaan keluarga yang mempunyai laba positif selama periode penelitian dan mengeluarkan deviden.
3. Perusahaan keluarga yang tidak melakukan merger maupun akuisisi selama periode penelitian.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Bursa Efek Iindonesia, dari perusahaan keluarga yang go public di BEI yang terdaftar, terdapat 2 perusahaan keluarga yang memenuhi kriteria tersebut di atas, antara lain :
No. Nama perusahaan
1. PT. Bakrie & Brothers, Tbk. 2. PT. Gudang Garam, Tbk.
(48)
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data studi pustaka dan studi lapangan. Dimana study pustaka merupakan sumber data teoritis yang diambil untuk landasan teori. Sedangkan studi lapangan adalah pengambilan data sekunder yang selanjutnya digunakan dalam penelitian ini.
3.3.1 Jenis Data
Prosedur pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data sekunder. Data tersebut meliputi data-data yang diperoleh dengan cara mempelajari serta mencatat dari dokumen perusahaan, buku-buku literatur, serta penelitian terdahulu yang berhubungan dengan penelitian yang sedang diteliti untuk memahami permasalahan yang ada dan mendapatkan alternatif pemecahannya.
3.3.2 Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Bursa Efek Indonesia (BEI) berupa company profile dan data laporan keuangan per 31 Desember dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2007.
(49)
3.4 Teknik Analisis dan Uji Hipotesis 3.4.1 Teknik Analisis
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu menitikberatkan pada pengujian hipotesis, data yang dianalisis, sifatnya terukur dan kesimpulan yang dihasilkan merupakan generalisasi. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis regresi linier berganda (multiple regression analiysis) yang merupakan analisis yang berkaitan dengan studi ketergantungan satu variabel (yang disebut variabel tidak bebas) dengan dua atau lebih variabel lainnya (yang disebut variabel bebas). Alat analisis ini digunakan karena sesuai dengan kondisi yang akan diuji, yaitu untuk mengetahui pengaruh variabel terikat (X) dan variabel bebas (Y). Persamaaan regresi linier berganda tersebut adalah sebagai berikut :
i
e X X
X
Y =β0 +β1 1 +β2 2 +β3 3 + ... (Anonim, 2003 : L-20)
Keterangan :
Y = Kebijakan Dividen.
βo = Konstanta
X1 = Insider Ownership
X2 = Free Cash Flow
X3 = Collaterizable Asset β1 – β3 = Koefisien Regresi
(50)
3.4.2 Uji Hipotesis
Uji statistik dalam penelitian ini adalah Uji t yaitu uji hipotesis yang
digunakan untuk mengetahui hubungan regresi secara terpisah, pengaruh dari masing-masing variabel bebas atau variabel independen (Insider Ownership,
Free Cash Flow, Collaterizable Asset) terhadap variabel terikat atau variabel dependen (DPR). Pengujian dilakukan untuk melihat arti dari masing-masing variabel bebas secara parsial (terpisah) terhadap variabel tidak bebasnya dengan persamaan sebagai berikut :
T
) ( 1
1 β β Se hit =
Dimana :
1
β = Koefisien Determinasi
Se = Standart error Dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Ho : β1 =β2 =0 (tidak ada pengaruh nyata) b. Ho : β1 =β2≠0 (ada pengaruh nyata)
Dasar pengambilan keputrusan pada hasil uji hipotesis adalah sebagai berikut:
a. Jika t > t , maka Ho ditolak dan Hi diterima, artinya ada pengaruh antara variabel bebas terhadap variabel terikat secara parsial.
(51)
b. Jika t < t , maka Ho diterima dan Hi ditolal, artinya tidak ada
pengaruh antara variabel bebas terhadap variabel terikat secara parsial.
hit tabel
3.5 Uji Asumsi Klasik
Sebelum dilakukan uji hipotesis penelitian ini, variabel-variabel yang akan digunakan dalam analisis diuji terlebih dahulu dengan menggunakan pengujian regresi asumsi klasik untuk memperoleh model penelitian yang valid dan dapat digunakan untuk melakukan estimasi. Pengujian terhadap penyimpangan asumsi klasik dalam penelitian ini terdiri dari uji autokorelasi dan uji heteroskedastisitas.
3.5.1 Autokorelasi
Dapat didefinisikan sebagai korelasi antara data observasi yang diurut berdasarkan urut waktu tertentu (data time series) [Gujarati 1991 : 201]. Jadi dalam model regresi linier diasumsikan tidak terdapat gejala autokorelasi. Artinya nilai residual (Y observasi – Y prediksi) pada waktu ke-t tidak boleh ada hubungan dengan nilai residual periode sebelumnya.
Untuk mengetahui ada tidaknya gejala autokorelasi maka perlu dilihat tabel waston dengan jumlah variabel bebas (k) dan jumlah data (n) sehingga diketahui DL dan DU maka dapat diperoleh distribusi daerah keputusan ada atau
(52)
Distribusi daerah keputusan Autokorelasi
Menolak Ho Daerah keragu- Daerah keragu- Menolak Ho
Bukti auto raguan raguan bukti auto
Korelasi korelasi
Positif negatif
Menerima Ho atau Ho kedua-duanya
0 DL DU 2 4-DU 4-DL 4
Mekanisme tes Durbin-Watson adalah sebagai berikut, dengan mengasumsikan bahwa asumsi yang mendasari tes dipenuhi :
a. Untuk ukuran sampel tertentu dan banyaknya variabel tertentu yang dapat menjelaskan nilai kritis dl dan du.
b. Jika hipotesis Ho adalah bahwa tidak ada serial korelasi positif, maka jika d < dl : menolak Ho
d > du : tidak menolak Ho
dl ≤ d ≤ du : pengujian tidak meyakinkan
c. Jika hipotesis nol Ho adalah bahwa tidak ada serial korelasi negatif, maka jika d > 4 – dl : menolak Ho
d < 4 – du : tidak menolak Ho
(53)
d. Jika Ho adalah dua-ujung, yaitu bahwa tidak ada serial autokorelasi baik positif ataupun negatif, maka jika
d < dl : menolak Ho d > 4 - dl : menolak Ho du ≤ d ≤ 4 - du : tidak menolak Ho
dl ≤ d ≤ 4 - du
atau pengujian tidak meyakinkan 4 - du ≤ d ≤ 4 - dl
3.5.2 Heteroskedastisitas
Uji heterokedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi tidak terjadi keidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lainnya. Salah satu cara untuk mendeteksi ada atau tidak adanya heterokedastisitas adalah dengan menggunakan uji rank spearman yaitu dengan membandingkan antara residu dengan seluruh variabel bebas.
Menurut Singgih Santoso (2002 : 301) deteksi adanya heterokedastisitas adalah :
a. Nilai probabilitas > 0,05 berarti bebas dari heterokedastisitas. b. Nilai probabilitas < 0,05 berarti terkena heterokedastisitas.
3.5.3. Multikolinearitas
Salah satu asumsi model linear klasik adalah tidak adanya multikolinearitas diantara variable-variabel bebas. Multikolinearitas itu
(54)
terjadi bila ada korelasi diantara variable-variabel bebas. Gejala multikolinearitas yang cukup tinggi dapat menyebabkan standar error dari koefisien regresi masing-masing variable bebas menjadi sangat tinggi.
Identifikasi statistik ada atau tidaknya gejala multikolinearitas dapat dilihat pada nilai Variance Inflation Factor (VIF) masing-masing variable bebas. VIF yang lebih dari 5 menunjukkan bahwa variabel bebas mengalami gejala multikolinearitas. Hal ini berarti variabel bebas dengan nilai VIF lebih dari 5 berkorelasi dengan variable bebas lain. Sehingga tidak dibutuhkan dalam model regresi karena sudah terwakili oleh variabel bebas lain, sehingga tidak dibutuhkan dalam model regresi karena sudah terwakili oleh variabel bebas lain dalam model regesi. Selain itu, ukuran sampel yang kurang banyak dapat menimbulkan gejala multikolinearitas sehingga memperbesar ukuran sampel merupakan cara lain untuk menanggulangi gejala multikolinearitas, selain menghilangkan salah satu variabel bebas yang berkorelasi.
(55)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Deskripsi Obyek Penelitian
4.1.1. Sejarah Singkat Pasar Modal Indonesia
Sejarah pasar modal di Indonesia mengungkapkan bahwa di Indonesia pernah dibentuk suatu Perserikatan Perdagangan Uang dan Efek yaitu pada tanggal 11 Januari 1925 atau tiga belas tahun setelah dibentuknya perserikatan yang sama di kota Jakarta (1912). Kemudian pada tahun 1927 dibentuk bursa-bursa efek di tiga kota besar di Indonesia yaitu di Jakarta, Semarang, Surabaya.
Pada masa revolusi kemerdekaan kegiatan perdagangan di bursa-bursa efek tersebut praktis terhenti karena situasi politik saat itu. Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tepatnya tahun 1951, pemerintah memberlakukan Undang-Undang Darurat No. 13 Tahun 1951 yang kemudian disahkan sebagai Undang-Undang. Yaitu Undang-Undang No. 15 Tahun 1952 tentang Bursa Efek.
Pasar modal di Indonesia dari tahun 1977 sampai tahun 1987 kurang memberikan hasil seperti yang diharapkan meskipun pemerintah telah memberikan fasilitas kepada perusahaan-perusahaan yang menarik dana dari pasar modal. Tersendat-sendatnya perkembangan pasar modal selama ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain mengenai prosedur emisi saham dan obligasi yang terlalu ketat. Adanya batasan fluktuasi harga saham dan saham campur tangan pemerintah dalam penetapan harga saham pada pasar perdana.
(56)
Untuk mengatasi permasalahan yang menghambat perkembangan pasar modal tersebut di atas, pemerintah mengeluarkan serangkaian deregulasi yang berkaitan dengan perkembangan pasar modal yaitu Paket Kebijakan Desember 1987 (Pakto 1988), Paket Kebijakan Desember 1988 (Pakdes 1988).
4.1.2. Sejarah Singkat Bursa Efek Indonesia (BEI)
Sejarah Singkat PT. Bursa Efek Indonesia
Pada tanggal 9 Mei 2006, ketua Bapepam & LK DR Fuad Rahmany mengundang direksi BES-BEJ dan menyampaikan pandangannya bahwa proses merger BES-BEJ sebagaimana telah dicanangkan sebelumnya tetap berlangsung. Pada kesempatan rapat-rapat di Bapepam & LK pada tanggal 1 Juni, 2 Juni 2006, 21 September 2006 telah dibahas berbagai isu penting mengenai persiapan penggabungan BES-BEJ. Pada akhir November 2006, kajian merger BES baru selesai dan akhirnya diterima direksi BES.
Pada tanggal 6 Desember 2006, BES menyelenggarakan RUPSLB dengan agenda rapat meminta persetujuan atas Rancangan Kerja Anggaran Tahunan (RKAT). Dalam putusan pemberian persetujuan prinsip kepada direksi diminta agar penggabungan memperhatikan 3 hal yakni bahwa kepentingan karyawan tidak boleh dirugikan, penyelesaian UBH, dan kepentingan pemegang saham harus optimal.
Proses merger dilakukan lebih intens dengan diadakannya pertemuan reguler di Bapepam & LK yang dimulai pada tanggal 14 Desember 2006 untuk membahas persetujuan prinsip penggabungan BES-BEJ. Dalam pertemuan pada
(57)
tanggal 20 Desember 2006 dihadiri direksi BES-BEJ dan telah dibahas beberapa isu penting terkait dengan rencana merger serta pembentukan tim kecil dan disepakati masing-masing bursa akan menunjuk 2 orang anggota direksi.
Setelah melalui beberapa pertemuan, pada awal bulan Juni 2007, tim merger BES mulai menyusun paper yang diawali sebuah paper yang berjudul Pokok-Pokok Pikiran Penggabungan BES-BEJ. Paer pertama berisi tentang pemikiran dan pandangan Tim Merger BES antara lain visi dan misi bursa hasil penggabungan, risiko penggabungan dan sinergi yang akan dihasilkan dari penggabungan BES-BEJ serta organisasi bursa hasil penggabungan di masa datang.
Selanjutnya, Tim Merger BES menyelesaikan ke-6 paper lainnya, yang meliputi Paper kedua tentang Perdagangan, Paper ketiga tentang Emiten tercatat di BES, Paper keempat tentang Pemegang Saham dan Anggota Bursa, Paper kelima tentang Teknologi Informasi, Paper keenam tentang Sumber Daya Manusia di BES, dan Paper ketujuh tentang Kerangka Usulan Merger. Setelah penyusunan masing-masing paper selesai, Tim Merger BES menyampaikan paper tersebut kepada Konsultan Hukum Hadinoto Putranto, Konsultan Keuangan Ernst & Young dan Konsultan Sumber Daya Manusia Daya Dimensi Indonesia untuk dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam penyusunan rancangan penggabungan BES-BEJ.
Pada tanggal 30 Agustus 2007, diselenggarakan pertemuan koordinasi antara BES-BEJ dengan ketiga konsultan (HPP, E&Y, dan DDI). Pertemuan ini merupakan pertemuan penentu untuk memastikan kesiapan keseluruh materi
(58)
Rancangan Penggabungan. Pada kesempatan tersebut BES kembali menyampaikan usulan mengenai nama bursa hasil penggabungan dengan nama Bursa Indonesia atau “Indonesian Exchange” dan tidak memutuskan untuk tidak membuat logo dalam bentuk gambar akan tetapi dalam bentuk tulisan “INDONEX”.
Pada tanggal 3 September 2007, diadakan pertemuan rapat pleno yang dipimpin langsung oleh ketua Bapepam Dr. Fuad Rahmany, dihadiri oleh seluruh Karo yang ada di Bapepam (Karo TLE Bapepam & LK, Karo Standard Akuntansi, Karo Pemeriksaan Penyelidikan, Karo Perundang-undangan dan Bantuan Hukum, Karo Kepatuhan Internal, Karo Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Riil, Karo Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Jasa, Sekretaris Bapepam, Direksi BES yang diwakili 4 orang, Direksi BEJ yang diwakili 4 orang, Konsultang Penggabungan yang hadir adalah HHP, E&Y, dan DDI yang dalam pertemuan ini menghasilkan suatu keputusan bahwa RUPS untuk pengajuan Rancangan Penggabungan dan Akte Penggabungan diselenggarakan pada tanggal 30 Oktober 2007 dan disepakati bersama bahwa penggabungan BES dan BEJ akan efektif pada tanggal 30 November 2007.
Tanggal 6 September 2007, Rancangan Penggabungan dan Akta Penggabungan harus sudah final dan mendapat persetujuan dari Bapepam paling lambat tanggal 7 September 2007 dan Rancangan Penggabungan ini harus diumumkan selambat-lambatnya tanggal 11 September 2007 atau 45 (empat puluh lima hari) sebelum RUPS (Berdasarkan Undang-Undang Perseroan Terbatas yang terbaru).
(59)
Tanggal 6 September 2007, Presiden Republik Indonesia Dr. Susilo Bambang Yodhoyono menetapkan nama bursa hasil penggabungan dengan Bursa Efek Indonesia serta pada tanggal 30 November 2007 penggabungan BES dan BEJ akan mulai efektif.
4.1.3. Visi dan Misi PT. Bursa Efek Indonesia
a. Visi
Visi Bursa Efek Indonesia tidak terlepas dari latar belakang dilakukannya penggabungan BES-BEJ sebagaimana ditungkan dalam Master Plan Pasar Modal 2005-2009 yaitu adanya suatu keinginan untuk memiliki suatu Bursa yang kuat, bernilai, kredibel, kompetitif dan berdaya saing global. Bertitik tolak pada keinginan tersebut, maka visi Bursa Efek Indonesia dapat dinyatakan:
”To be a Strong, Valuable, Credible, and World Wide Competitive Bourse”. b. Misi
Dalam usaha mencapai visi tersebut, Bursa Efek Indonesia perlu menetapkan misi yang harus diemban setidaknya mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Untuk mampu mengembangkan pertumbuhan emiten dan perdagangan saham, percepatan pengembangan instrumen baru di bursa, percepatan pengembangan deviratif yang sudah dimulai oleh BES-BEJ, percepatan perdagangan obligasi baik melalui bursa maupun melalui Centralized Trading Platform (CTP) yang sudah dikembangkan oleh BES.
(60)
2. Untuk mendukung penyedian berbagai instrumen pasar modal (Ditunjang dengan tersedianya infrastruktur perdagangan, pengawsan, pelaporan, dan informasi yang mudah diakses oleh masyarakat).
3. Untuk meningkatkan kemudahan akses perdagangan dan informasi bagi masyarakat (Bursa perlu menjaga stabilitas sistem perdagangan, sistem jaringan yang memenuhi standar keamanan dan kenyamanan dalam melakukan transaksi).
4. Untuk meningkatkan perlindungan investor (Bursa melakukan pengawasan secara reguler atas terpenuhinya ketentuan para pelaku, sehingga perdagangan berjalan secara terartur, wajar, dan efisien).
5. Untuk selalu menjaga integritas pasar.
6. Untuk selalu mengadakan pemantauan secara terus menerus dan menindak secara tegas setiap pelaku pelanggaran atas ketentuan Bursa baik yang dilakukan oleh emiten, anggota bursa maupun pelaku perdagangan termasuk manipulasi dan insider trading.
4.1.4. Tujuan Penggabungan BES-BEJ Menjadi PT. Bursa Efek Indonesia
Dalam Master Plan Pasar Modal Indonesia 2005-2009 disebutkan bahwa tujuan dari penggabungan antara BES-BEJ adalah untuk terciptanya efisiensi pasar modal Indonesia.
4.1.5. Struktur Organisasi PT. Bursa Efek Indonesia
Struktur organisasi di PT. Bursa Efek Indonesia mengalami masa transisi dari penggabungan BES dan BEJ, serta penentuan masa kerja dewan komisaris
(61)
dan direksi Bursa menjadi perdebatan yang hangat. Dalam rapat pleno yang diadakan pada tanggal 3 September 2007, Ketua Bapepam Dr. Fuad Rahmany mengusulkan mengenai masa kerja dewan komisaris diusulkan sampai dengan tutupnya RUPS Tahunan 2008, dan untuk masa kerja direksi sampai dengan tutupnya RUPS Tahunan 2009. usulan ini secara aklamasi disetujui oleh semua peserta rapat pleno.
Sesuai dengan anggaran dasar perusahaan, bahwa kekuasaan tertinggi terletak pada Rapat Umum Pemegang Saham (2008). Di dalam struktur organisasi PT. Bursa Efek Indonesia terdapat 7 orang dewan komisaris yang terdiri dari 1 orang komisaris utama dan 6 orang komisaris, terdapat 7 orang dewan direksi yang terdiri dari 1 orang direktur utama dan 6 orang direktur yang satu direktur dapat membawahi lebih dari 9 direktorat, terdapat 9 direktorat yang membawahi masing-masing divisi, terdapat 20 orang kepala divisi / kepala satuan, dan 1 orang Specialist Setingkat Kepala Divisi yaitu Chief Economist.
Pembagian dewan direksi : 1. Direktur Utama
2. Direktur Pengawasan yang membawahi Direktorat Pengawasan. 3. Direktur Pencatatan yang membawahi Direktorat Pencatatan.
4. Direktur Perdagangan Saham, Penelitian dan Pengembangan Usaha yang membawahi Direktorat Perdagangan Saham.
5. Direktur Perdagangan Fixed Income dan Derivatif, Keanggotaan dan Partisipan yang membawahi Direktorat Fixed Income dan Derivatif, Keanggotaan dan Partisipan.
(62)
6. Direktur Administrasi yang membawahi Direktorat Administrasi.
7. Direktur Teknologi Informasi yang membawahi Direktorat Teknologi Informasi.
Pembagian Direktorat yang membawahi masing-masing divisi: 1. Direktorat Utama
a. Sekretaris Perusahaan b. Satuan Pemeriksaan Internal c. Satuan Manajemen Resiko 2. Direktorat Pengawasan
a. Divisi Pengawasan Transaksi b. Divisi Hukum
c. Satuan Pemeriksa Anggota Bursa dan Partisipan 3. Direktorat Pencatatan
a. Divisi Pencatatan Sektor Riil (Saham + Derivatif) b. Divisi Pencatatan Sektor Jasa (Saham + Derivatif) c. Divisi Pencatatan Surat Utang.
4. Direktorat Perdagangan Saham a. Divisi Perdagangan Saham
b. Divisi Perdagangan Informasi Pasar
(2 Divisi diatas dikepalai oleh 1 orang Kepala Bagian) 5. Direktorat Keanggotaan dan Partisipan
a. Divisi Keanggotaan b. Divisi Partisipan
(63)
(2 Divisi diatas dikepalai oleh 1 orang Kepala Bagian) 6. Direktorat Fixed Income & Derivatif
a. Divisi Perdagangan Fixed Income b. Divisi Pelaporan Fixed Income
(2 Divisi diatas dikepalai oleh 1 orang Kepala Bagian 7. Direktorat Penelitian dan Pengembangan Usaha
a. Divisi Pengembangan Produk b. Divisi Perencanaan Pemsaran 8. Direktorat Administrasi
a. Divisi Keuangan b. Divisi Umum
c. Divisi Sumber Daya Manusia (SDM) 9. Direktorat Teknologi Informasi
a. Divisi Operasi Teknologi Informasi
b. Divisi Pengembangan Solusi Bisnis Teknologi Informasi 10. Specialist Setingkat Kepala Divisi yaitu Chief Economist.
4.1.6. Sejarah PT. Gudang Garam Tbk
Perseroan yang semula bernama PT Perusahaan Rokok Tjap “Gudang Garam” Kediri (PT Gudang Garam), didirikan dengan akta Suroso SH, wakil notaris sementara di Kediri, tanggal 30 Juni 1971 No. 10, diubah dengan akte notaries yang sama tanggal 13 Oktober 1971 No.13; akte-kate ini disetujui oleh Menteri Kehakiman dengan No. J.A 5/197/7 tanggal 17 Nopember 1971,
(64)
didaftarkan di Pengadilan Negeri Kediri dengan 31/1971 dan No. 32/1971 tanggal 26 Nopember 1971, dan diumumkan dalam tambahan No. 586 pada Berita Negara No. 104 tanggal 28 Desember 1971. Anggaran Dasar Perseroan telah mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan terakhir dalam rangka penyesuaian dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dilakukan dengan akte Wachis Hasyim SH, notaries di Surabaya, tanggal 19 Juni 1997 No. 58, yang antara lain merubah nama Perseroan menjadi PT Perusahaan Rokok Tjap Gudang Garam Tbk (disingkat PT Gudang Garam Tbk); akte ini disetujui oleh Menteri Kehakiman dengan No.C2.1873 HT.01.04.Th.98 tanggal 19 Maret 1998, didaftarkar dengan No. TDP 13111300014 pada Kantor Pendaftaran Perusahaan Kotamadya Kediri, agenda No. 17/BH.13.11/VI/1998 tanggal 4 Juni 1998, dan diumumkan dalam tambahan No. 4426 pada Berita Negara No. 62 tanggal 4 Agustus 1998.
Sesuai dengan pasal 3 Anggaran Dasarnya, Perseroan bergerak di bidang industri rokok dan yang terkait dengan industri rokok. Perseroan merupakan kelanjutan dari perusahaan perorangan yang didirikan tahun 1958. Pada tahun 1969 berubah status menjadi Firma dan pada tahun 1971 menjadi Perseroan Terbatas. Operasi komersial dimulai tahun 1958.
Perseroan berdomisili di Indonesia dengan Kantor Pusat di Jl. Semampir II/I, Kediri, Jawa Timur, Kantor Perwakilan Jakarta di Jl. Jenderal A. Yani 79, dan Kantor Perwakilan Surabaya di Jl. Pengenal 7-15, Surabaya, Jawa Timur. Dengan izin Menteri Keuangan No. SI-126/SHM/KMK.10/1990 tanggal 17 Juli 1990, Perseroan telah melakukan penawaran umum kepada masyarakat melalui pasar
(65)
modal sejumlah 57.807.800 saham dengan nominal Rp 1.000 (rupiah penuh) per saham. Dengan surat PT Bursa Efek Surabaya No. 372/D-129/BES/VIII/90 tanggal 21 Agustus 1990 telah disetujui untuk dicatatkan di Bursa Efek Surabaya sebanyak 96.204.400 saham Perseroan sejak 27 Agustus 1990. Dengan surat PT Bursa Efek Jakarta No. S-204/BEJ/VI/92 tanggal 24 Juni 1992 telah disetujui untuk dicatatkan di Bursa Efek Jakarta sejumlah saham yang sama. Dengan surat PT Bursa Efek Surabaya No.48/EMT/LIST/BES/V/94 tanggal 26 Mei 1994 dan surat PT Bursa Efek Jakarta No. S-359?BEJ.I.1/1994 tanggal 27 Mei 1994 telah dicatatkan lagi sejumlah 384.817.600 saham Perseroan di kedua Bursa tersebut sehingga seluruh saham Perseroan yang beredar saat itu telah dicatatkan, yaitu 481.022.000 saham. Dalam tahun 1996 telah dilakukan pemecahan nilai nominal saham (‘stock split’) dari Rp 1.000 (rupiah penuh) menjadi Rp 500 (rupiah penuh) per saham dan pengeluaran satu sham bonus untuk setiap saham yang beredar sehingga jumlah saham beredar bertambah dari 481.022.000 menjadi 1.924.088.000. Dengan surat PT Bursa Efek Jakarta No. S-039/BEJ.I.2/0596 tanggal 24 Mei 1996 dan surat PT Bursa Efek Surabaya No. 31/EMT/LIST/BES/V/96 tanggal 27 Mei 1996 seluruh saham Perseroan yang beredar , yaitu sebanyak 1.924.088.000 saham, telah dicatatkan di kedua Bursa tersebut.
4.1.7. Sejarah PT. Bakrie & Brothers Tbk
PT. Bakrie & Brothers Tbk didirikan berdasarkan Akta No. 55 Tanggal 13 Maret 1951 dari Notaris Sie Khwan Djioe dengan nama “N.V. Bakrie &
(66)
Brothers”. Akta pendirian tersebut telah mendapatkan persetujuan dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia melalui Surat Keputusan No. J.A.8/81/6 tanggal 25 Agustus 1951. Anggaran Dasar perusahaan rtelah mengalami beberapa kali perubahan, antara lain berdasarkan Akta Notaris nO. 64 tanggal 9 Juli 1997 oleh Agus Madjid S.H., mengenai perubahan seluruh isi Anggaran Dasar Perusahaan untuk menyesuaikan dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1995 tentang “Perseroan Terbatas”, termasuk perubahan nama perusahaan dari PT. Bakrie & Brothers menjadi PT. Bakrie & Brothers Tbk. Perubahan Anggaran Dasar tersebut disetujui oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia melalui Surat Keputusan No. C2-7940.HT.01.04.TH.97 tanggal 14 Agustus 1997dan telah diumumkan dalam Lembar Berita Negara No. 82 tanggal 14 Oktober 1997.
Pada tanggal 24 Januari 2001, perusahaan telah mengadakan Rapta Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang menyetujui adanya peningkatan modal serta perubahan modal yang ditempatkan dan disetor oleh perusahaan. Perubahan tersebut telah dilaksankan sesuai dengan peraturan No. IX.D.4., Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) No. Kep 44/PM/1998 tanggal 14 Agustus 1998, tentang Penambahan Modal Tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu. Sehubungan dengan perusahaan tersebut, Anggaran Dasar Perusahaan telah diubah berdasarkan Akta No. 154 tanggal 31 Agustus 2001 dari Notaris Agus Madjid S.H., mengenai perubahan modal yang ditempatkan dan disetor oleh perusahaan. Perubahan Anggaran Dasar tersebut telah disahkan oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (sebelumnya
(67)
Menteri Kehakiman) Republik Indonesia melalui Surat Keputusan No. 09904. HT.01.04.Th.2001 tanggal 4 Oktober 2001.
Sesuai dengan pasal 3 Anggaran Dasar Perusahaan, ruang lingkup kegiatan Perusahaan meliputi perdagangan umum, industri, terutama pipa baja, bahan bangunan dan bahan konstruksi lainnya, perangkat dan sistem komunikasi, barang elektronik dan elektri, serta penyertan modal pada perusahaan lain.
Perusahaan berdomisili di Jakarta, dengan kantor pusat berlokasi di Wisma Bakrie, lantai 4, Jalan H.R. Rasuna Said Kav. B-1, Jakarta Selatan. Perusahaan beroperasi secara komersial mulai tahun 1951.
Pada tanggal 28 Agustus 1989, perusahaan melakukan penawaran umum saham perdana kepada masyarakat atas sejumlah saham perusahaan sebanyak 2.850.000 saham dengan nilai nominal Rp. 1000 per saham. Seluruh saham perusahaan tersebut dicatatkan pada Bursa Efek Jakarta (BEJ). Pada tanggal 9 Maret 1990, perusahaan kembali melakukan pencatatan atas saham-saham pendiri perusahaan dalam bentuk company listing di BEJ dan BES. Saham-saham yang dicatatkan dalam company listing ini merupakan saham-saham yang telah ditempatkan dan disetor penuh oleh para pendiri perusahaan sebesar 16.150.000 saham biasa atas nama yang terdiri dari 7.600.000 saham yang belum dicatatkan dalam bursa dan 8.550.000 yang telah dicatatkan dalam bursa dengan nilai nominal Rp. 1000 per saham. Dengan dicatatnya saham-saham ini, maka jumlah saham perusahaan yang tercatat di bursa seluruhnya menjadi sebanyak 19.000.000 saham.
(68)
Sesuai dengan persetujuan RUPSLB tanggal 22 Nopember 1991 kembali perusahaan melakukan pencatatan atas sejumlah saham perusahaan melalui sistem
private placement. Perusahaan menawarkan 978.969 saham biasa atas nama yang memiliki nilai nominal sebesar Rp. 1000 per saham yang seluruhnya dicatatkan di BEJ pada tanggal 27 Nopember 1991, sehingga jumlah saham yang dicatatkan di bursa saat itu sebanyak 19.978.969 saham.
Dalamtahu yang sama, sesuai dengan persetujuan RUPSLB sebagaiman tercantum dalam Akta Notaris Amrul Partomoan Pohan, S.H. LLM No 39 Tanggal 13 Desember 1991, pada tanggal 10 januari 1992, perusahaan mencatatkan lagi sejumlah saham perusahaan di BEJ melalui mekanisme private placement. Perusahaan mencatatkan sebanyak 1031 saham biasa dengan nominal sebesar Rp. 1000 per saham, sehingga jumlah saham yang dicatatkan oleh perusahaan pada BEJ menjadi sebanyak 19.980.000 saham.
Selanjutnya, perusahaan melakukan Penawaran Umum Terbatas I (PUT I) pada tanggal 27 April 1993 dalam rangka akuisisi 52,5% saham PT. Bakrie Sumatera Plantations, Tbk. Dalam PUT I ini, perusahaan menerbitkan 1.080.00 saham biasa atas nama dengan nilai nominal sebesar Rp. 1000 per saham, yang memiliki hak yang sama dengan saham-saham yang telah diterbitkan sebelumnya. Saham biasa atas nama dalam PUT I ini ditawarkan dengan harga penawaran RP. 6000 per saham dan seluruhnya dicatatkan di BEJ pada tanggal 4 Juni. Jumlah seluruh saham perusahaan yang tercatat di bursa setelah PUT I ini menjadi 21.080.000 saham.
(69)
Berdasarkan persetujuan RUPSLB pada tanggal 19 April 1993, sebagaimana tertuang dalam Akta Notaris Amrul Partomoan Pohan S.H., LLM No. 32 tanggal 19 April 1993, perusahaan melakukan Penawaran Umum “Obligasi Bakrie & Brothers I Tahun 1993 Dengan Tingkat Bunga Tetap dan Mengambang”. Obligasi tersebut ditawarkan dengan nilai nominal Rp. 50.000.000 dan seluruhnya dicatatkan pada BEJ pada tanggal 27 September 1993.
Sesuai dengan persetujuan RUPSLB tanggal 24 April 1994, perusahaan melakukan pencatatan 31.950.000 saham dalam bentuk saham bonus di BEJ dan BES masing-masing pada tanggal 22 Juni 1994 dan 24 Juni 1994. Dengan pencatatan ini perusahaan memberikan hak kepada setiap pemilik 2 saham perusahaan untuk memperoleh 3 saham bonus. Saham-saham yang dicatatkan merupakan saham biasa atas nama dengan nilai nominal sebesar Rp. 1000 per saham. Dengan dicatatkannya saham-saham ini, maka jumlah saham perusahaan yang telah tercatat dalam bursa seluruhnya sebesar menjadi sebanyak 52.650.000 saham.
Sesuai dengan persetujuan RUPSLB tanggal 31 Mei 1994 perusahaan melalui mekanisme PUT II perusahaan menerbitkan 189.450.000 saham biasa atas nama dengan nilai nominal Rp. 1000 per saham, yang memiliki hak yang sama dengan saham-saham yang telah diterbitkan sebelumnya. Saham-saham tersebut dicatatkan di BEJ dan BES masing-masing pada tanggal 14 Juli 1994 dan tanggal 11 Juli 1994. Dengan diterbitkannya saham-saham tersebut, maka jumlah saham perusahaa yang tercatat di bursa menjadi sebanyak 242.190.000 saham.
(1)
ada data atau variabel yang bias. . Ini sesuai dengan kondisi yang terjadi pada PT. Bakrie & Brothers, Tbk dimana pada kedua perusahaan tersebut pemilik saham (keluarga) hanya menduduki jabatan sebagai komisaris atau bahkan tidak menduduki posisi apapun di dalam perusahaan baik sebagai komisaris ataupun sebagai direksi. Atau dengan kata lain para pemilik saham (keluarga) hanya sebagai investor atau hanya menanamkan saham pada perusahaan khususnya PT. Bakrie & Brothers, Tbk. Sedangkan pada PT. Gudang Garam, Tbk masih menunggu keputusan RUPSLB yang dimana untuk menentukan jajaran petinggi pada perusahaan ini sepeninggalnya pendiri generasi kedua dari PT. Gudang Garam, Tbk yaitu Rachman Halim sebagai presiden komisaris.
b. Variable Free Cash Flow memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap Kebijakan Deviden perusahaan keluarga yang go public di Bursa Efek Indonesia, ini bisa di liha dari tingkat signifikansi sebesar 0,070 yang lebih kecil dari 0,1 (10%). Hal ini berarti bahwa perusahaan atau pihak manajemen mempunyai sejumlah uang tunai untuk dibagikan kepada investor, termasuk para pemegang saham dan kreditor tetapi hanya dibagikan dan dibayarkan sesuai dengan kesepakatan bersama antara pihak manajemen dengan para investor. Pihak manajemen berhutang deviden kepada para investor karena uang tersebut akan digunakan untuk melakukan ekspansi atau pertumbuhan perusahaan. Akan tetapi perusahaan tetap menyediakan dana untuk membayar hutang-hutang kepada kreditor yang telah jatuh tempo serta membagikan deviden kepada para pemegang saham walau dalam bentuk hutang deviden
(2)
atau bisa digunakan untuk re-investasi perusahaan atau dapat dibayarkan dalam bentuk saham. Ini seperti terjadi pada PT. Bakrie & Brothers Tbk., dimana PT. Bakrie & Brothers Tbk. mempunyai hutang dividen kepada para pemegang sahamnya dikarenakan uang untuk pembayaran dividen digunakan perusahaan untuk membiayai kegiatan operasional perusahaan. Bila perusahaan mempunyai tingkat free cash flow yang baik maka perusahaan bisa menyediakan sejumlah uang tunai untuk kepentingan para pemegang saham dan kreditor, dan bila sebaliknya perusahaan akan mengalami kesulitan untuk memenuhi keinginan para pemegang saham untuk membagikan deviden sesuai dengan kesepakatan bersama dan membayar hutang kepada kreditor. Ini tentunya akan berakibat buruk perusahaan dalam menjalankan operasional perusahaan. Ini tidak sesuai dengan penelitian terdahulu Maqsudi dan Ambon (2004), secara parsial, varaibel free cash flow tidak signifikan mempengaruhi dividend pay-out ratio. Dengan kata lain, besar kecilnya DPR tidak secara nyata dipengaruhi oleh variabel free cash flow secara parsial. Ini menunjukkan bahwa masalah keagenan di Indonesia tidak bisa diselesaikan melalui mekanisme pembayaran dividen.
c. Variable Collaterizable Asset tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Kebijakan Deviden perusahaan keluarga yang go public di Bursa Efek Indonesia, ini bisa di lihat dari tingkat signifikansi sebesar 0,101 yang lebih besar dari syarat tingkat signifikansi yaitu 0,1 (10%). Hal ini berarti perusahaan atau pihak manajemen tidak menggunakan seluruh aktiva tetap sebagai jaminan kepada pihak kreditur dalam melakukan hutang. Perusahaan
(3)
hanya menjaminkan aset-aset tetap sesuai dengan nilai hutang perusahaan kepada kreditur dan para pemegang saham karena bila semua dijaminkan dan perusahaan tidak bisa membayar hutang maka aset-aset tetap tersebut disita atau dijual untuk bisa menutupi hutang kepada kreditur dan pemegang saham. Ini sesuai dengan penelitian terdahulu Achmad Maqsudi dan Rini Muliani Ambon (2004), secara parsial, varaibel collaterizable asset tidak signifikan mempengaruhi dividend pay-out ratio. Dengan kata lain, besar kecilnya DPR tidak secara nyata dipengaruhi oleh variabel collaterizable asset secara parsial. Ini menunjukkan bahwa masalah keagenan di Indonesia tidak bisa diselesaikan melalui mekanisme pembayaran dividen.
(4)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data yang telah dikemukakan di bab terdahulu, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Variabel Insider Ownership tidak diikutkan dalam analisis regresi linier berganda karena terkena gejala multikolonieritas.
2. Variable Free Cash Flow berpengaruh secara signifikan negatif terhdap Kebijakan Deviden
3. Variable Collaterizable Asset tidak pengaruh terhadap Kebijakan Deviden.
5.2. Saran
Adapun saran yang ingin disampaikan peneliti berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan adalah sebagai berikut :
a. Pihak manajemen perlu menyediakan sejumlah uang tunai sebagai dana cadangan sebagai antisipasi untuk keadaan yang mendesak seperti membayar hutang yang telah jatuh tempo atau yang lain.
b. Bagi peneliti yang berminat melakukan penelitian hal yang sama sebaiknya mengambil data-data pada periode yang lebih panjang serta melakukan penelitian tentang faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebijakan deviden seperti tipe industri dari perusahaan dan kebijakan keuangan.
(5)
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2003, Pedoman Penyusunan Usulan Penelitian dan Skripsi Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran Jawa Timur.
Ambon dan Masqudi, 2004. Pengaruh Agency Cost Terhadap Kebijakan Deviden Perusahaan – Perusahaan Go Public Di BEJ. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Vol.8.No.1.
Ahmad, Riahi-Belkaoui and Picur.2001. The Investment Oppurtinity set dependence Of Dividend Yield and Price Earnings Ratio. Mangerial Finance, Vol.27 No.3 65-71.
Bursa Efek Jakarta, Indonesian Capital Market Directory.2002.Jakarta
Duffie, G.1998. The Relationship Between Treasury Yields and Corporate Bond Yields Spreads. Journal Finance. 103. 2225-2241.
Francis,Jack Clark.1993. Management of Investment, 3” edition. McGraw-Hill, International Editions, Singapore.
Ghozali, Imam, 2002, Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, Edisi II Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Gujarati, Damodar, 1988, Ekonometrika Dasar, Penerbit Erlangga, Jakarta. Lestari, Holyda. 2004. PEngaruhKebijakan Utang, Kebijakan Dividen, Rsiko dan
Profitabilitas Perusahaan Terhadap Set Kesempatan Investasi. SNAVII. Denpasar.
Myers, S.1997. Determinants of Corporate Borrowing, Journal of Financial Economics 5, 75-146.
Reeb and Anderson, 2002, “Founding Family Ownership and The Agency Cost of Debt”. American Univesity, 4400 Massuchusets, DC. Rawls School of Bussines.
Santoso, Singgih, 2002, Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik, Penerbit Elex Media Komputindo, Jakarta.
Tendellin, Eduardus. 2001. Analisis Investasidan manajemen Portofolio, Edisi I,BPFE, Yogyakarta.
(6)
Jensen M, Meckling. 1976. Theory Of The Firm: Managerial Behaviour, Agency Cost and Ownership Structure, Journal of Financial Economics 3, 305-306.
Weston,J, dan Eugene F.Brigham. 1990. Essential of Management Finance, 11th Edition,Orlando: The Dryden Press.