KORELASI GAYA KEPEMIMPINAN DAN KECERDASAN EMOSIONAL KEPALA SEKOLAH DENGAN KEPUASAN KERJA GURU SMP DI KABUPATEN BATANG.

(1)

ARTIKEL TESIS

KORELASI GAYA KEPEMIMPINAN DAN

KECERDASAN EMOSIONAL KEPALA SEKOLAH

DENGAN KEPUASAN KERJA GURU SMP

DI KABUPATEN BATANG

Oleh

Bambang Sutiyono NIM 1103503008

PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN

2007


(2)

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke Sidang Panitia Ujian Tesis.

Semarang , Juli 2007

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Sri Mulyani Endang Susilowati Prof. Dr. Retno Sriningsih S. NIP. 130515750 NIP. 130431317


(3)

iii

PENGESAHAN KELULUSAN

Tesis ini telah dipertahankan di dalam Sidang Panitia Ujian Tesis Program Studi Manajemen Pendidikan Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang pada:

Hari :

Tanggal :

Panitia Ujian

Ketua Sekretaris

………... ……… NIP. NIP.

Penguji I Penguji II

………... ……… NIP. NIP

Penguji III

………. NIP.


(4)

iv

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis dalam tesis ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam tesis ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, Juli 2007


(5)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

Sebesar keikhlasannmu,

sebesar itu pula keberuntunganmu.

PERSEMBAHAN Untuk istriku tercinta, Anak-anakku tersayang, dan almamaterku.


(6)

vi PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang Maha Ilmu, Maha Pengasih lagi Maha penyayang yang telah melimpahkan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis dengan judul “Korelasi Gaya Kepemimpinan dan Kecerdasan Emosional Kepala Sekolah dengan Kepuasan Kerja Guru SMP di Kabupaten Batang” ini disusun untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan pada Universitas Negeri Semarang.

Dengan selesainya penulisan tesis ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Sri Mulyani Endang Susilowati dan Prof. Dr. Retno Sriningsih

Satmoko selaku pembimbing, yang telah memberikan petunjuk dan pengarahan sejak penyusunan proporsal hingga selesainya laporan tesis ini.

2. Direktur Program Pascasarjana UNNES, A. Maryanto, Ph.D beserta staf atas fasilitas pelayanan yang diberikan selama penelitian berlangsung.

3. Ketua Program Studi Manajemen Pendidikan dan para Dosen Manajemen Pendidikan, atas ilmu yang diberikan selama penulis menjadi mahasiswa. 4. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Batang, Priyodigdo, SH, MM, yang telah

memberikan ijin penelitian.

5. Kepala SMP Negeri di Kabupaten Batang yang telah memberikan ijin dan membantu kelancaran penelitian.


(7)

vii

6. Para guru SMP Negeri di Kabupaten Batang yang telah berkenan mengisi angket penelitian.

7. Semua fihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah membantu selama penelitian dan penulisan laporan tesis ini.

Semoga amal kebaikan yang diberikan memperoleh pahala dari Allah SWT.

Penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu manajemen pendidikan dan dapat dijadikan bahan referansi bagi peneliti lain yang akan mengembangkan penelitian lebih lanjut tentang Gaya Kepemimpian, Kecerdasan Emosioanl dan Kepuasan Kerja.

Batang , Juli 2007 Penulis


(8)

viii

SARI

Sutiyono, Bambang. 2007. Korelasi Gaya Kepemimpinan dan Kecerdasan Emosional Kepala Sekolah dengan Kepuasan Kerja Guru SMP di Kabupaten Batang.

Tesis. Program Studi Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang. Pembimbing: I. Prof. Dr. Sri Mulyani Endang Susilowati , II. Prof. Dr. Retno Sriningsih Satmoko.

Kata Kunci: Gaya Kepemimpinan, Kecerdasan Emosional Kepala Sekolah, Kepuasan Kerja Guru.


(9)

ix DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN KELULUSAN ... iii

PERNYATAAN ... i v MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

PRAKATA ... vi

SARI ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Identifikasi Masalah ... 8

1.3. Rumusan Masalah ... 9

1.4. Tujuan Penelitian ... 9

1.5. Manfaat Penelitian ... 10

1.6. Rumusan Anggapan Dasar ... 11

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGUJIAN HIPOTESIS ... 12


(10)

x

2.1.1 Teori Kepuasan Keja ... 12

2.1.2 Faktor – Faktor Kepuasan Kerja ... 18

2.2 Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah ... 24

2.2.1 Teori Kepemimpinan ... 24

2.2.2 Gaya Kepemimpinan ... 36

2.3 Kecerdasan Emosional ... 49

2.3.1 Emosi ... 49

2.3.2 Teori Kecerdasan Emosional ... 51

2.3.3 Unsur-unsur Pembangun EQ ... 52

2.4 Persepsi Guru ... 62

2.5 Kerangka Berfikir ... 63

2.5.1 Korelasi gaya kepemimpinan kepala sekolah dengan kepuasan kerja guru ... 63

2.5.2 Korelasi kecerdasan emosional kepala sekolah dengan kepuasan kerja guru ... 63

2.6 Hipotesis Penelitian ... 64

BAB III METODE PENELITIAN ... 66

3.1 Pendekatan Penelitian ... 66

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 66

3.3 Populasi dan Sampel ... 66

3.3.1 Populasi ... 66

3.3.2 Sampel ... 66

3.4 Variabel Penelitian ... 67


(11)

xi

3.6 Teknik Pengumpulan Data ... 70

3.6.1 Prosedur Pengumpulan Data ... 70

3.6.2 Penyusunan Instrumen Penelitian ... 71

3.6.3 Uji Coba Instrumen Penelitian ... 78

3.6.3.1 Uji Validitas Instrumen Penelitian ... 78

3.6.3.2 Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian ... 82

3.7 Teknik Analisa Data ... 88

3.7.1 Analisa Deskriptif ... 88

3.7.2 Uji Persyaratan ... 83

3.7.2.1 Uji Normalitas Data ... 84

3.7.2.2 Uji Homogentitas Data ... 84

3.7.2.3 Uji Linieritas ... 84

3.7.2.4 Uji Multikolonieritas ... 85

3.8 Uji Hipotesis ... 85

3.8.1 Uji Korelasi Parsial ... 85

3.8.1 Uji Korelasi Ganda ... 86

3.8.2 Uji Regresi Ganda ... 86

3.9 Batasan Penelitian ... 87

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 89

4.1 Diskripsi Data ... 89

4.1.1 Responden ... 89

4.1.2 Diskripsi setiap variabe penelitian ... 90


(12)

xii

4.1.2.2 Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah ... 91

4.1.2.3 Kecerdasan Emosional Kepala Sekolah ... 92

4.2 Uji Persyaratan Analisis ... 93

4.2.1 Uji Normalitas data ... 93

4.2.2 Uji Homogenitas ... 95

4.2.3 Uji Linieritas ... 96

4.2.4 Uji Multikolonieritas ... 96

4.3 Hasil Analisis Korelasi ... 97

4.3.1 Korelasi antara Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Dengan Kepuasan Kerja Guru ... 97

4.3.2 Korelasi antara Kecerdasan Emosional Kepala Sekolah Dengan Kepuasan Kerja Guru ... 98

4.3.3 Korelasi Ganda Gaya Kepemimpinan dan Kecerdasan Emosional Kepala Sekolah Dengan Kepuasan Kerja Guru ... 99

4.4 Pengijian Hipotesis ... 100

4.4.1 Korelasi Secara Simultan Gaya Kepemimpinan dan Kecerdasan Emosional Kepala Sekolah Dengan Kepuasan Kerja Guru ... 100

4.4.2 Korelasi Secara Parsial Gaya Kepemimpinan dan Kecerdasan Emosional Kepala Sekolah Dengan Kepuasan Kerja Guru ... 101

4.5 Pembahasan ... 102

4.5.1 Korelasi antara Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Dengan Kepuasan Kerja Guru ... 102

4.5.2 Korelasi antara Kecerdasan Emosional Kepala Sekolah Dengan Kepuasan Kerja Guru ... 105

4.5.3 Korelasi Ganda Gaya Kepemimpinan dan Kecerdasan Emosional Kepala Sekolah Dengan Kepuasan Kerja Guru ... 106


(13)

xiii

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 110

5.1 Simpulan ... 110

5.2 Saran-saran ... 110

5.3 Keterbatasan Penelitian ... 111


(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Dimensi Perilaku Tugas dan Indikatornya ... 40

2. Dimensi Perilaku Hubungan dan Indikatornya ... 40

3. Skala Likert ... 71

4. Kisi-kisi angket penelitian ... 72

5. Rangkuman hasil uji reliabilitas angket penelitian………. 82

6. Uji Normalitas Data ………. 93

7. Uji Homogenitas ……… 95

8. Ringkasan Hasil Uji Linieritas………..…………. 96

9. Hasil Pengujian Multikolonieritas………..……….97

10.Anova Regresi XД dan XЕ terhadap Y………..……… 100


(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. EQ Menurut Rentang Usia ... 7

2. Hirarkhi Kebutuhan Abraham Maslow ... 13

3. Gaya Kepemimpinan Otokratik – Demokkratik ... 31

4. Model Kepemimpinan Fiedler ... 33

5. Empat Macam Pola Kecenderungan Perilaku Kepemimpinan ... 44

6. Gaya Kepemimpinan dan Kedewasaan Bawahan ... 47

7. Bagan Kerangka Berfikir ... 64

8. Hubungan variabel independen dan dependen ... 68

9. Korelasi Parsial dan Korelasi Ganda ... 86

10. Persentase Responden Menurut Jenius Kelamin ... 89

11. Persentase kepuasan kerja guru………... 90

12. Persentase Gaya Kepemimpinan kepala sekolah ... 91

13. Persentase Kecerdasan Emosional Kepala sekolah ... 92

14. Grafik Distribusi Data dan Kurva Normal Setiap Variabel... 95

15. Hubungan Gaya Kepemimpinan dengan Kepuasan Kerja Guru ... 98


(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Populasi dan Sampel Penelitian ... 116

2. Angket Penelitian ... 119

3. Hasil Ujicoba Validitas Instrumen ... 132

4. Hasil Analisis Reabilitas ... 138

5. Sebaran Data Hasil Penelitian ... 144

6. Hasil Perhitungan dan Analisis SPSS ... 153

7. Analisis Korelasi ... 164


(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Persoalan klise, tetapi krusial di bidang pendidikan di sekolah adalah upaya-upaya peningkatan mutu pendidikan. Upaya tersebut telah banyak di lakukan, tetapi masih sedikit yang dihasilkan. Salah satu kendala utama peningkatan mutu tersebut terletak pada proses pengelolaan sekolah dan pengelolaan pembelajaran yang tidak berkembang secara profesional.

Guru (pendidik) merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan (Anonim, 2003).

Proses mengajar di kelas tidak hanya merupakan proses mentransfer ilmu pengetahuan dan ketrampilan kepada siswa, lebih dari itu adalah proses memotivasi siswa untuk belajar. Dalam kerangka demikian maka penumbuhan minat siswa menjadi kegiatan kunci untuk mengantarkan siswa pada aktivitas belajar. Pendidikan Nasional bertujuan untuk mengembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (Anonim, 2003).

Kegiatan belajar mengajar sebagai sebuah proses yang di dalamnya berinteraksi masukan mentah (raw input), masukan instrumental (instrumental input) dan masukan lingkungan (environmental input) akan menghasilkan output


(18)

2

yang bermutu apabila dikelola oleh guru-guru yang prosfesional. Tilaar (1998:35) memberikan empat ciri utama guru yang profesional: (1) memiliki kepribadian yang matang dan berkembang (mature and developing personality), (2) mempunyai keterampilan membangkitkan minat peserta didik, (3) memiliki penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kuat, dan (4) sikap profesionalnya berkembang secara berkesinambungan.

Masih terkait dengan harapan yang digayutkan di pundak setiap guru, Surya (2002:15) sebagai Ketua Umum Pengurus Besar PGRI mengemukakan sembilan karakteristik citra guru yang diidealkan. Guru yang ideal hendaknya: (1) memiliki semangat juang yang tinggi disertai kualitas keimanan dan ketaqwaan yang mantap, (2) mampu mewujudkan dirinya dalam keterkaitan dan padanan dengan tuntutan lingkungan dan perkembangan iptek, (3) mampu belajar dan bekerja sama dengan profesi lain, (4) memiliki etos kerja yang kuat, (5) memiliki kejelasan dan kepastian pengembangan jenjang karir, (6) berjiwa profesional tinggi, (7) memiliki kesejahteraan lahir dan batin, material dan non material, (8) memiliki wawasan masa depan, dan (9) mampu melaksanakan fungsi dan peranannya secara terpadu.

Pada masa sekarang setiap sekolah seharusnya didukung oleh para guru yang kompeten dan memiliki jiwa kader yang senantiasa bergairah dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Sebaliknya, saat ini banyak kesan seakan akan guru semakin kehilangan kreativitas, kurang profesional dan memiliki penguasaan bahan yang relatif kurang memuaskan (Efendi 2000:5). Selanjutnya Efendi (2000:6) dalam penelitiannya menyimpulkan tiga hal penting: (1) guru


(19)

cenderung hanya memindahkan pengetahuan saja. Dimensi pengembangan kemampuan berfikir logis, kritis dan kreatif kurang diperhatikan, (2) guru enggan beralih dari model mengajar yang diyakininya tepat, meskipun tidak selamanya benar, (3) guru cenderung hanya memenuhi target minimal dari keseluruhan capaian yang diharapkan dalam proses belajar mengajar, sebatas siswa mampu menjawab tes dengan baik.

Noor (2004:25) mengatakan “Pendidikan itu bukan hanya amanat UUD 1945, tetapi juga amanat kemanusiaan. Guru adalah orang yang ditugasi mengurus pendidikan. Jika kualitas pendidikan masih belum memuaskan, ini dimungkinkan guru belum melaksanakan amanat tersebut dengan baik, atau melaksanakan tetapi mengatakan hanya inilah yang bisa dilaksanakan. Mereka sudah merasa puas dengan hasil yang dicapai saat ini. Juga karena merasa dirinya sudah bekerja keras. Sayangnya tak ada hasilnya “.

Guru melaksanakan kegiatan pembelajaran di kelas sangat dipengaruhi oleh kepuasan terpenuhinya kebutuhan yang dapat memotivasi untuk melaksanakan pekerjaannya. Tumbuhnya rasa kepuasan akan memunculkan motivasi dan kreativitas guru, sebagaimana diungkapkan Strauss dan Sayles dalam Handoko (1998:196) bahwa karyawan (termasuk di dalamnya guru) yang tidak memperoleh kepuasan kerja atau kepuasan kerjanya rendah cenderung bersemangat kerja rendah, pasif, merasa bosan terhadap pekerjaannya, sering absen dan melaksanakan kesibukan yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan yang harus dilakukan.


(20)

4

Biasanya orang akan merasa puas atas kerja yang telah atau sedang dijalankan apabila yang dikerjakan dianggap telah memenuhi harapannya, sesuai dengan tujuannya bekerja (Anoraga 2001:15).

Pengamatan awal peneliti tentang kondisi kerja guru SMP Negeri di Kabupaten Batang ditemukan: (1) kurang efektifnya pelaksannan kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) di tingkat sekolah, di tingkat Sub Rayon, maupun di tingkat Rayon (Kabupaten), (2) kurang tertibnya manajemen kegiatan pembelajaran di sekolah, (3) masih lemahnya kesadaran guru akan tugas dan kewajibannya, (4) hasil Ujian Nasional tahun 2006 Kabupaten Batang menduduki peringkat 33 dari Kabupaten/Kota yang ada di Propinsi Jawa Tengah.

Telah terjadi pula gejolak di beberapa SMP di Kabupaten Batang antara lain: (1) adanya pengaduan para guru pada beberapa SMP kepada Pengawas dan Kepala Dinas Pendidikan tentang kepala sekolahnya karena dianggap otoriter, memaksakan setiap kehendak pada guru dan karyawan, (2) adanya demo yang dilakukan para guru kepada kepala sekolahnya karena kurang baik dalam mengelola manajemen khususnya manajeman keuangan.

Hasil pengamatan awal ini dimungkinkan karena tidak terpenuhinya kepuasan kerja guru yang diakibatkan oleh faktor luar yakni yang berasal dari kepala sekolah berupa lemahnya gaya kepemimpinan dan kecerdasan emosional kepala sekolah.

Sekolah sebagai organisasi yang memiliki kepemimpinan yang baik akan mudah untuk meletakkan dasar kepercayaan terhadap anggota- anggotanya, dan mendorong cepat tercapainya tujuan organisasi. Pemimpin yang baik adalah yang


(21)

berkualitas. Danim (2004:65) menyatakan terdapat lima karakteristik pemimpin yang berkualitas, yaitu: (1) mempunyai tujuan yang jelas dan konsisten, (2) memiliki rencana yang baik dan dapat dijangkau, (3) selalu menginformasikan kemajuan perusahaan atau organisasi, (4) memperlakukan bawahan tidak seperti robot, (5) mampu membawa kemajuan organisasi.

Melembagakan budaya yang berpusat pada kepemimpinan merupakan tindakan yang terpenting dari kepemimpinan (Kotter 2001:55). Manajemen mengendalikan orang dengan mendorong mereka ke arah yang benar, kepemimpinan memotivasi dengan memenuhi kebutuhan dasar manusiawi (Kotter 2001:51).

Dalam hal diperlukan Intelegence Quotient (IQ) di tempat kerja, penelitian menunjukkan bahwa IQ dapat dipergunakan untuk memperkirakan keberhasilan dalam pekerjaan tertentu, sekitar 1–20% (rata-rata 6%). Di sisi lain, Emotional Quotient (EQ) ternyata 27–45% berperan langsung dalam keberhasilan pekerjaan, bergantung pada jenis pekerjaan yang diteliti (Stein dan Book 2002:34).

Dalam buku The Millionaire karya Thomas Stanley dalam Stein dan Book (2002:35) menyajikan beberapa faktor yang dianggap paling berperan dalam keberhasilan para multi-miliuner dari seluruh Amerika Serikat, lima faktor teratas adalah: (1) jujur pada semua orang, (2) menerapkan disiplin, (3) bergaul baik dengan orang lain, (4) memiliki suami/istri yang mendukung, dan (5) bekerja lebih giat dari kebanyakan orang. Kelima faktor tersebut merupakan


(22)

6

cerminan dari kecerdasan emosional. Kecerdasan kognitif atau IQ berada pada urutan ke-21 dari daftar tersebut dan hanya 20% responden yang memilihnya.

Perbedaan utama lainnya antara kecerdasan kognitif dan kecerdasan emosional adalah bahwa IQ sudah terpatok. IQ cenderung mencapai puncaknya pada usia 17 tahun, tetap konstan sepanjang masa dewasa dan menurun di usia tua. Sebaliknya nilai EQ tidak tetap, meningkat sedikit demi sedikit dari rata- rata 95,3 (pada usia di penghujung belasan tahun) hingga rata-rata 102,7 (tetap sampai usia 40–an). Ketika melampaui usia 50 tahun EQ menyusut sedikit hingga ke rata-rata 101,5. Hal ini berlaku baik untuk pria maupun wanita (Stein dan Book 2002:36).

Seseorang menjadi kepala sekolah memiliki usia diatas 30 tahun, korelasi hal ini dengan kecerdasan emosionalnya seharusnya seorang kepala sekolah memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Bukanlah suatu yang mengherankan apabila semakin tua, kita semakin bijaksana. Seperti ditunjukkan pada gambar 1.

Penelitian ini bukan merupakan replikasi atau penelitian yang sama, yang telah dilakukan sebelumnya. Namun demikian penelitian-penelitian sejenis yang mengungkapkan hubungan antara variabel: kepemimpinan kepala sekolah, kecerdasan emosional kepala sekolah, dan kepuasan kerja guru sudah pernah dilakukan.


(23)

95,3

96,8

101,5

100

101,8

102,7

SKOR EQ

104

102

100

98

96

94

92

90

16 – 19 20 – 29

EQ Rata rata

Rata-30 – 39 40 – 49 50 +

USIA Gambar 1 EQ Menurut Rentang Usia Sumber: Stein dan Book 2002:36

Beberapa hasil penelitian sebelumnya yang memiliki relevansi dengan gaya kepemimpinan kepala sekolah, kecerdasan emosional kepala sekolah, dan kepuasan kerja guru berhasil peneliti rangkum sebagai berikut:

1. Maryono (2003) dalam tesisnya yang berjudul “Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Iklim Sekolah Terhadap Kepuasan Kerja Guru Sekolah


(24)

8

Dasar Negeri di Kecamatan Gajah Mungkur Kota Semarang“. Hasil penelitiannya menunjukkan adanya pengaruh positif signifikan dari kepemimpinan kepala sekolah terhadap kepuasan kerja guru di Kecamatan Gajah Mungkur kota Semarang, sebesar 48,8% kepuasan kerja guru dapat dijelaskan oleh variabel kepemimpinan kepala sekolah.

2. Yusqon (2003) dalam tesisnya yang berjudul “Pengaruh Persepsi Perilaku Kepemimpinan Kepala Sekolah, Motivasi Kerja Guru Terhadap Kepuasan Kerja Guru SMK Swasta Bisnis dan Manajemen di Kota Tegal“. Menunjukkan ada pengaruh positif dan berarti perilaku kepemimpinan kepala sekolah terhadap kepuasan kerja guru sebesar 33,2%.

3. Ali (2005) dalam tesisnya yang berjudul “Persepsi Kepala Sekolah Dasar Tentang Pengaruh Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Kinerja Kepala Sekolah Dasar di Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak Tahun Pelajaran 2004/2005“. Secara parsial faktor kecerdasan emosional dan faktor kecerdasan spiritiual berpengaruh terhadap kinerja Kepala Sekolah Dasar di Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak. Besarnya pengaruh kecerdasan emosional adalah 30,4% dengan thitung 4,523 dengan taraf signifikansi 0,000, dan faktor kecerdasan spiritual 13,7 dengan thitung 2,732 dengan taraf signifikansi sebesar 0,009.

1.2Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:


(25)

1. Adanya indikasi ketidakpuasan kerja guru SMP di Kabupaten Batang yang ditandai dengan rendahnya semangat kerja, malas bekerja, tidak disiplin waktu, banyak tuntutan tambahan insentif diluar gaji.

2. Adanya perilaku kepemimpinan kepala sekolah SMP di Kabupaten Batang yang otoriter dan kurang dapat mengendalikan diri dalam menghadapi situasi yang perlu penanganan dengan bijaksana dan berdampak timbulnya ketidakpuasan kerja guru.

3. Kemungkinan terdapat korelasi antara kepuasan kerja guru dengan gaya kepemimpinan dan kecerdasan emosional kepala sekolah.

1.3Rumusan Masalah

Dari identifikasi masalah yang telah dipaparkan, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Seberapa besar korelasi gaya kepemimpinan kepala sekolah dengan kepuasan kerja guru SMP Negeri di Kabupaten Batang?

2. Seberapa besar korelasi kecerdasan emosional kepala sekolah dengan kepuasan kerja guru SMP di Kabupaten Batang?

3. Seberapa besar korelasi gaya kepemimpinan dan kecerdasan emosional kepala sekolah dengan kepuasan kerja guru SMP di Kabupaten Batang?

1.4Tujuan Penelitian

Untuk menjawab permasalahan yang dirumuskan, maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah:


(26)

10

1. Mengetahui seberapa besar korelasi gaya kepemimpinan kepala sekolah dengan kepuasan kerja guru SMP Negeri di Kabupaten Batang?

2. Mengetahui seberapa besar korelasi kecerdasan emosional kepala sekolah dengan kepuasan kerja guru SMP Negeri di Kabupaten Batang?

3. Mengetahui seberapa besar korelasi gaya kepemimpinan dan kecerdasan emosional kepala sekolah dengan kepuasan kerja guru SMP di Kabupaten Batang?

1.5Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat teoritik dan praktis sebagai berikut:

1.5.1 Manfaat Teoritik

Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai:

1. Materi kajian yang dapat memperkaya, memperluas dan memperdalam konsep maupun teori gaya kepemimpinan, kecerdasan emosional, dan korelasinya dengan kepuasan kerja.

2. Materi rujukan teoritis untuk penelitian sejenis dalam lingkup yang lebih luas dan mendalam.

1.5.2 Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan:

1. Sebagai landasan bagi peneliti sejenis pada waktu yang akan datang, khususnya yang berkaitan dengan kepuasan kerja guru.

2. Sebagai reverensi bagi guru, kepala sekolah dan Dinas Pendidikan kabupaten Batang.


(27)

1.6 Rumusan Anggapan Dasar

Beberapa anggapan dasar yang perlu diungkapkan dalam penelitian ini adalah:

1. Bahwa gaya kepemimpinan dan kecerdasan emosional kepala sekolah merupakan faktor dominan dalam meningkatkan rasa kepuasan kerja guru. 2. Bahwa kepuasan kerja guru dapat tercermin pada waktu guru melaksanakan

tugasnya dan ketika melakukan sosialisasi dengan lingkungan sekolahnya. 3. Guru dengan rasa kepuasan kerja tinggi dalam melaksanakan tugasnya

memberikan motivasi untuk meningkatkan profesionalitas kerjanya sehingga berperan dalam meningkatkan kualitas hasil belajar siswa.

4. Guru sebagai responden dalam penelitian ini dianggap mampu memberikan jawaban sesuai kenyataan mengenai apa yang ditanyakan peneliti melalui instrumen penelitian, sehingga jawaban dari responden tersebut dianggap sebagai informasi mendekati benar.


(28)

12 BAB II

KAJIAN TEORI DAN PENGUJIAN HIPOTESIS

2.1 Kepuasan Kerja

2.1.1 Teori Kepuasan Kerja

Seseorang bekerja tujuan utamanya untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhannya, selain itu juga untuk memperoleh kepuasan kerja. Umumnya orang akan merasa puas atas kerja yang telah atau sedang dilakukan apabila apa yang dikerjakan tersebut dianggap telah memenuhi harapannya, sesuai dengan tujuan ia bekerja.

Menurut Mc. Clelland seperti dikutip Roy and Chair (1995:35) menyatakan bahwa kebutuhan yang diperoleh dari kebudayaan dibagi menjadi tiga, yaitu: kebutuhan berprestasi (Needs for achievement), kebutuhan berkuasa (Needs for power), dan kebutuhan berafiliasi (Needs for affiliation). Jika seseorang mempunyai kenginan sangat kuat akan kebutuhan, maka dampaknya orang tersebut akan memiliki motivasi yang mengarah ke pemuasan kebutuhannya.

Menurut Maslow dalam Davis dan Newstrom (1996:55) setiap manusia terdapat suatu hirarkhi yang terdiri dari lima kebutuhan. Pemenuhan kelima kebutuhan tersebut dilakukan secara bertahap dari yang paling rendah physiological needs sampai pada kebutuhan yang paling tinggi the needs of self actualization. Hirarkhi kebutuhan menurut Maslow digambarkan seperti gambar 2.


(29)

Self Actualization

Esteem

Social Affiliation Safety

Physiological needs

Gambar 2 Hirarkhi Kebutuhan Abraham Maslow Sumber: Davis dan Newstrom 1996:5

1. Kebutuhan fisiologis (Physiological needs)

Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan fisik manusia yang paling dasar. Kebutuhan ini masih merupakan kebutuhan yang bersifat jasmani atau kebendaan, berupa makanan (pangan), pakaian (sandang), dan perumahan (papan). Dalam arti sebenarnya kebutuhan fisiologis, misalnya: gaji, honorarium, insentif khusus, tunjangan kesejahteraan, kebutuhan perumahan, pakaian dan sebagainya. Terpenuhinya kebutuhan ini menumbuhkan rasa kepuasan diri seseorang.

2. Kebutuhan akan keselamatan (Safety needs)

Kebutuhan akan keselamatan, meliputi: keamanan, perlindungan, kemantapan, bebas dari ketakutan dan kecemasan, ketertiban, perlindungan


(30)

14

hukum, kebijakan, administrasi dan sebagainya. Kebutuhan akan rasa aman tiap-tiap individu berbeda tergantung pada kadar kebutuhannya.

3. Kebutuhan akan rasa memiliki dan rasa cinta (Social Affiliation needs) Kebutuhan pada tingkatan ini menyangkut pemilikan dan keterlibatan sosial. Contoh nyata antara lain: keinginan untuk maju, hubungan harmonis sesama teman dan atasan, diterima dalam kelompok, rasa memiliki, afiliasi, interaksi dan cinta.

4. Kebutuhan akan harga diri (Esteem needs)

Tingkatan kebutuhan ini, merupakan kebutuhan akan penghargaan diri dan penghargaan dari orang lain. Kebutuhan ini dapat dikelompokkan menjadi dua, pertama: keinginan akan kekuatan, kemampuan diri, kemerdekaan, keteguhan hati, harga diri dan kebebasan. Kedua: hasrat akan nama baik, gengsi, status, ketenaran, pengakuan, perhatian, martabat, penghargaan dan penerimaan masyarakat.

5. Kebutuhan akan perwujudan diri (The needs of Self Actualization)

Kebutuhan akan perwujudan diri mengacu pada keinginan untuk pemenuhan diri (self fulfillment) dan prestasi. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan tingkat tertingi dan mempunyai prioritas terendah. Kecenderungan ini dapat diungkapkan sebagai keinginan untuk makin menjadi istimewa, dengan menjadi apa saja menurut kemampuannya, misalnya menjadi guru yang profesional, berprestasi dan favorit.

Pendapat lain dikemukakan oleh Clayton Alderfer dalam Siagian (1995:290) dengan teori “ERG” yaitu Existensi, Reletedness, dan Grow. Secara lebih mendalam teori ini menjelaskan bahwa:


(31)

1. Makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu makin besar pula keinginan untuk memuaskannya.

2. Kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin besar apabila kebutuhan yang “lebih rendah” telah terpuaskan.

3. Sebaliknya semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk memuaskan kebutuhan yang lebih mendasar

As’ad (1985:104) menjelaskan bahwa kepuasan kerja berhubungan erat dengan sikap dari karyawan terhadap pekerjaannya sendiri, situasi kerja, kerjasama dengan pimpinan dan kerjasama antar karyawan.

Kepuasan kerja menurut Davis dan Newstrom (1996:105) adalah seperangkat perasaan pegawai tentang menyenangkan atau tidaknya pekerjaan mereka. Dengan demikian kepuasan kerja dapat ditunjukkan melalui sikap seseorang terhadap pekerjaan yang ditekuninya.

Kepuasan kerja (job satisfaction) adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan bagaimana para karyawan memandang pekerjaan mereka (Handoko 1998:193).

Anoraga (2001:82) menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan suatu sikap yang positif yang menyangkut penyesuaian diri yang sehat dari para karyawan terhadap kondisi dan situasi kerja, termasuk di dalamnya masalah upah, kondisi sosial, kondisi fisik dan kondisi psikologis.


(32)

16

Vroom dalam Danim (2004:10) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai orientasi sikap individu untuk berperan dalam pekerjaan yang sedang ditekuninya.

Kenyataan menunjukkan, bahwa orang mau bekerja bukan hanya mencari dan mendapatkan upah saja (unsur ekonomis), akan tetapi dengan bekerja mengharapkan akan mendapatkan kepuasan kerja. Kepuasan kerja merupakan kombinasi aspek psikologis, sosiologis dan aspek lingkungan. Kombinasi yang serasi ketiga hal tersebut menggiring seseorang dalam mencapai kepuasan kerja.

Seiring dengan perkembangan teknologi dalam era industrialisasi, kepuasan kerja telah menjadi wacana tersendiri. Beberapa teori tentang kepuasan kerja dikemukakan oleh As’ad (1985:105) meliputi:

1. Discrepancy theory atau Expectancy theory

Discrepancy theory atau teori ketidaksesuaian dipelopori oleh Porter. Menurut Porter mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan (As’ad 1985:105)

Menurut teori ini, kepuasan kerja dapat dirumuskan bahwa apabila yang didapat ternyata lebih besar dari yang diinginkan, maka orang akan menjadi lebih puas, meskipun ada ketidaksesuaian tetapi merupakan ketidaksesuaian positif. Sebaliknya makin jauh kenyataan yang dirasakan itu dibawah standar minimum sehingga menjadi ketidaksesuaian negatif, maka makin besar pula ketidaksesuaian karyawan terhadap pekerjaan.


(33)

Vroom dalam Kusnadi (1999:349) menyatakan bahwa kepuasan terhadap suatu pekerjaan merupakan fungsi dari (1) harapan dan (2) nilai hasil yang diterima.

2. Equity theory

Equity theory atau teori keadilan, pertama-tama dikemukakan oleh Zalesnik dikembangkan oleh Adam (Winardi 2000:463). Prinsip dari teori ini bahwa puas atau tidak puas seseorang bergantung pada keadilan (equity) atas suatu situasi. Teori ini menekankan pada persoalan apakah seseorang beranggapan bahwa ia diperlakukan adil, dibandingkan dengan perlakuan dengan orang lain yang berada dalam situasi yang sama seperti orang itu (Winardi 2000:463).

As’ad (1985:107) menyatakan teori keadilan ini artinya setiap karyawan akan membandingkan rasio input hasil dirinya dengan rasio input hasil orang lain. Bila perbandingan itu dianggap cukup adil, maka karyawan akan merasa puas, bila perbandingan itu tidak seimbang tetapi menguntungkan bisa menimbulkan kepuasan bisa pula tidak. Bila perbandingan itu tidak seimbang akan menimbulkan ketidakpuasan.

Handoko (2000:267) mengatakan bahwa orang akan selalu cenderung membandingkan antara (1) masukan-masukan yang mereka berikan kepada pekerjaannya dalam bentuk pendidikan, pengalaman, latihan dan usaha dengan (2) hasil-hasil (penghargaan-penghargaan) yang mereka terima, seperti juga mereka membandingkan balas jasa yang diterima karyawan lain dengan yang diterima oleh dirinya untuk pekerjaan yang sama.


(34)

18

3. Two Factor theory

Teori ini dikembangkan oleh Frederick Herzberg dalam Handoko (2000:259) menyebutkan bahwa kepuasan kerja terdiri dari dua faktor, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik sebagai penyebab kepuasan kerja (job satisfaction) dan faktor ekstrinsik sebagi penyebab ketidakpuasan (job dissatisfaction). Faktor penyebab kepuasan mempunyai pengaruh pendorong bagi prestasi atau semangat kerja, sedang faktor penyebab ketidakpuasan kerja mempunyai pengaruh negatif (penghambat).

Siagian (2001:164) menyatakan bahwa yang menarik dari penelitian Herzberg adalah seseorang merasa puas dengan pekerjaannya didasarkan pada faktor-faktor yang sifatnya intrinsik, seperti: keberhasilan mencapai sesuatu, pengakuan yang diperoleh, sifat pekerjaan yang dilakukan, rasa tanggung jawab, kemajuan dalam karier dan pertumbuhan profesional dan intelektual yang dialami seseorang. Sedangkan para pekerja yang merasa tidak puas dengan pekerjaannya pada umumnya dikaitkan dengan faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik seperti: kebijaksanaan organisasi, pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan, supervisi para manajer, hubungan interpersonal dan kondisi kerja.

Faktor – Faktor Kepuasan Kerja

Banyak faktor dapat mempengaruhi kepuasan kerja guru. Faktor-faktor itu sendiri dalam peranannya memberikan kepuasan kerja kepada guru sangat tergantung pada kondisi pribadi masing-masing guru.

Guru dapat dianggap sebagai karyawan dari pemerintah, Anoraga (2001:85-86) menyatakan faktor pertama yang dianggap paling penting dalam memenuhi


(35)

kepuasan kerja adalah “Job Security“. Pekerjaan yang dipegang karyawan itu merupakan pekerjaan yang aman dan tetap, bukan pekerjaan atau jabatan atau tugas yang mudah digeser-geser, diungkit, diganti dan lain sebagainya. Adanya kemungkinan bahwa karyawan dapat dirumahkan, diberhentikan, digeser, merupakan faktor pertama yang mengurangi ketenangan dan kegairahan kerja seorang karyawan. Faktor kedua, yang dianggap penting oleh karyawan pada umumnya adalah kemungkinan atau kesempatan untuk mendapatkan kemajuan (Opportunities for advancement ). Faktor ketiga, kondisi kerja yang menyenangkan, suasana lingkungan kerja yang harmonis, tidak tegang merupakan syarat bagi timbulnya gairah. Faktor keempat adalah rekan sekerja yang baik (good working companion). Hubungan sosial yang ada diantara karyawan merupakan faktor yang cukup penting untuk dapat menimbulkan kepuasan kerja.

Dari hasil penelitian ternyata gaji atau pendapatan menempati urutan kelima atau keenam, bukan faktor pertama yang dipandang penting oleh karyawan.

Harold E. Burt dalam Anoraga (2000:82) menyatakan faktor-faktor yang ikut menentukan kepuasan kerja adalah:

1. Faktor hubungan antar karyawan, antara lain:

a. Hubungan langsung antara manajer dengan karyawan. b. Faktor psikis dan kondisi kerja.

c. Hubungan sosial diantara karyawan. d. Sugesti dari teman sekerja.


(36)

20

2. Faktor-faktor individual, yaitu berhubungan dengan: sikap, umur, dan jenis kelamin.

3. Faktor-faktor luar, yaitu yang berhubungan dengan: keadaan keluarga karyawan, rekreasi, dan pendidikan.

Flippo (1984:116–117) menyampaikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja kayawan, berdasarkan berbagai keinginan karyawan, yaitu:

1. Upah (salary).

2. Keterjaminan pekerjaan (security of job).

3. Teman sekerja yang menyenangkan (ongenial associate).

4. Penghargaan atas pekerjaan yang dilakukan (credit for work done). 5. Pekerjaan yang berarti (a meaningful job).

6. Kesempatan untuk maju (opportunities to advance). 7. Kondisi kerja yang nyaman, aman dan menarik.

8. Kepemimpinan yang mampu dan adil (competent and fair leadership).

9. Perintah dan pengarahan yang masuk akal (reasonable orders and directions).

10.Organisasi yang relevan dari segi sosial (a socially relevant organization). Davis dan Newstrom (1996:110–111) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja dengan mengidentifikasikan individu dan organisasi yang meliputi:

1. Usia Karyawan

Semakin tua usia karyawan, mereka cenderung lebih puas dengan pekerjaannya, sebaliknya para karyawan yang lebih muda cenderung kurang


(37)

puas karena berbagai pengharapan yang lebih tinggi, kurang penyesuaian dan berbagai sebab lain.

2. Tingkat pekerjaan

Orang-orang dengan tingkat pekerjaan lebih tinggi cenderung merasa lebih puas dengan pekerjaan mereka. Sebab biasanya mereka memperoleh gaji dan kondisi kerja lebih baik, dan pekerjaan yang dilakukan memberi peluang untuk menggunakan kemampuan mereka sepenuhnya, sehingga mereka memiliki alasan yang baik untuk merasa lebih puas.

3. Ukuran organisasi

Ukuran organisasi seringkali berlawanan dengan kepuasan kerja. Pada saat organisasi semakin besar terdapat kecenderungan menurunnya kepuasan kerja pegawai, hal ini disebabkan lingkungan organisasi besar kehilangan unsur keakraban pribadi, persahabatan, dan kerja tim kelompok kecil yang penting bagi kepuasan orang banyak.

Sedangkan menurut Mangkunegoro (2000:120), ada dua faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu:

1. Faktor pegawai, yaitu kecerdasan (IQ), kecakapan khusus, umur, jenis kelamin, kondisi fisik, pendidikan, pengalaman kerja, kepribadian, emosi, cara berfikir, persepsi dan sikap kerja.

2. Faktor pekerjaan, yaitu jenis pekerjaan, stuktur organisasi, pangkat (golongan), kedudukan, mutu pengawasan, jaminan finansial, kesempatan promosi jabatan, interaksi sosial dan hubungan kerja.


(38)

22

Kepuasan kerja seseorang juga ditentukan oleh karekateristik kepribadiannya, Hurlock dalam Yusuf (2001:130-131) menyatakan bahwa salah satu ciri kepribadian yang sehat adalah memiliki falsafah hidup. Seseorang akan mengarahkan hidupnya berdasarkan falsafah hidup yang berakar pada agama. Kepuasan dari bekerja apabila telah dipenuhi kewajiban yang harus dilaksanakan

dan menerima hak-hak atas kinerjanya, serta menerimanya dengan ikhlas. Kepuasan kerja sifatnya sangat pribadi dan sulit diukur, karena pada

masing-masing subyek berbeda standar atau ukurannya. Danim (2004:10) menyatakan dalam kepuasan kerja mengandung aspek fisik, psikologis, lingkungan kerja, interaksi antar-personel, perilaku pemimpin, dan kebijakan administrasi dan organisasi.

Kepuasan terhadap pekerjaan mewarnai sikap individu untuk melakukan sejumlah tugas dan sangat erat kaitannya dengan penampilan kerja. Vroom dalam Danim (2004:10) menyatakan makin tinggi kepuasan kerja seseorang, penampilannya makin baik, dan sebaliknya makin rendah kepuasan kerja seseorang, panampilannya makin kurang memuaskan.

Banyak hal yang mempengaruhi kepuasan kerja seorang guru, dari kajian teori yang dipaparkan, penelitian ini akan mencari korelasinya dengan kepemimpinan kepala sekolah. Sesuai pendapat dari: (1) Flippo (1984:116–117) Kepemimpinan yang mampu dan adil dapat mempengaruhi kepuasan kerja guru, (2) Harold E. Burt dalam Anoraga (2000:82) yang menyatakan faktor yang ikut menentukan kepuasan kerja antara lain hubungan langsung antara manajer


(39)

dengan karyawan, sebagai manajer adalah kepala sekolah dan sebagai karyawan adalah guru.

Seorang kepala sekolah dituntut untuk menjadi seorang pemimpin (leader) yang ideal, salah satu ciri pemimpin yang ideal menurut Danim (2004:61) adalah memiliki kestabilan emosi. Kestabilan emosi dimaknai lebih luas sebagai kecerdasan emosi. Sejalan dengan Danim, Terry dalam bukunya “Principles of Manajement” menuliskan salah satu dari sepuluh sifat pemimpin yang unggul adalah Stabilitas Emosi (Kartono 2001:41). Lebih lanjut Terry menyatakan pemimpin yang baik itu memiliki emosi yang stabil, artinya dia tidak mudah marah, tersinggung perasaan, dan tidak meledak-ledak secara emosional. Ia menghormati martabat orang lain, toleransi terhadap kelemahan orang lain dan bisa memaafkan kesalahan-kesalahan yang tidak terlalu prinsip

Terry dalam Winardi (2000:60-61) menyampaikan faktor-faktor yang berhubungan dengan kepemimpinan antara lain dikemukakan bahwa gaya kepemimpinan dan situasi serta kondisi yang berlaku mempengaruhi hasil-hasil yang akan dicapai. Gaya kepemimpinan yang sama, tidak akan sama efektif dalam semua situasi. Jarang ditemukan individu-individu menonjol sebagai pemimpin dalam setiap situasi.

Berdasarkan konsep-konsep mengenai kepuasan kerja dan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yang telah diuraikan di atas, maka indikator-indikator kepuasan kerja guru dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Kepuasan terhadap suasana lingkungan kerja meliputi: (1) mempunyai rasa senang dan memiliki pada tempat kerja, (2) kepuasan terhadap kondisi kerja


(40)

24

yang nyaman dan menyenangkan, (3) sarana prasarana sekolah yang memadai, (4) kerjasama dengan rekan kerja, (5) menjalin hubungan persaudaraan dengan rekan kerja maupun pimpinan

2. Kepuasan terhadap pekerjaannya meliputi: (1) kepuasan terhadap bidang tugasnya, (2) bertanggungjawab atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya, (3) puas terhadap honor yang diterima.

3. Kepuasan terhadap kepemimpinan kepala sekolah meliputi: (1) menghargai dan melaksanakan keputusan kepala sekolah, (2) memperoleh pengakuan dari kepala sekolah atas kerja yang dilakukan, (3) puas terhadap perilaku kepala sekolah, (4) menerima evaluasi dari kepala sekolah atas kerja yang dilakukan. 4. Kepuasan terhadap penghargaan prestasi kerja meliputi: (1) puas terhadap

prestasi siswa yang meningkat, (2) puas terhadap mutu sekolah, (3) puas terhadap kemajuan kemampuan diri yang dicapai, (4) puas terhadap karier yang meningkat.

5. Kepuasan terhadap iklim organisasi meliputi: (1) mematuhi kebijakan administrasi sekolah, (2) melaksanakan tata tertib guru, (3) berperan aktif dalam mendukung keberhasilan organisasi.

2.2 Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah 2.2.1 Teori Kepemimpinan

Definisi kepemimpinan sebagaimana dikemukakan oleh Weshler dan Massarik dalam Wahjosumidjo (2003:17) “……....Leadership is interpersonal


(41)

influence exercised in a situation, and directed, throught the communication process, toward the attainment of a specifield goal or goals……….”

Kepemimpinan menurut Koontz, et.al, dalam Wahjosumidjo (2003:103) menyatakan “………Leadership is generally defined simply as influence, the art or process of influencing people so that they will strive willingly toward the achievement of group goals……….”

Totosiswanto dan Atmodiwirio (1991:5) menyampaikan pendapat beberapa ahli tentang kepemimpinan, yaitu:

1. Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi pihak lain berbuat sesuai dengan kehendak orang itu, meskipun pihak lain itu tidak menghendakinya (BP-7).

2. Kepemimpinan adalah suatu kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang-orang agar bekerjasama menuju kepada suatu tujuan tertentu yang mereka inginkan bersama (Sondang Siagian).

3. Kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi aktivitas kelompok dalam rangka pemuasan dan pencapaian tujuan (Stogdill).

4. Kepemimpinan adalah kegiatan dalam mempengaruhi orang lain untuk bekerja keras dengan penuh kemauan untuk tujuan kelompok (George Terry). 5. Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan-kegiatan seseorang

atau kelompok dalam usaha mencapai tujuan dalam suatu situasi tertentu (Kenneth Blanchard).

Beberapa definisi kepemimpian oleh para ahli yang lain disarikan Danim (2004:55), yaitu:


(42)

26

1. Kepemimpinan adalah suatu proses dimana pimpinan dilukiskan akan memberi perintah atau pengaruh, bimbingan atau proses mempengaruhi pekerjaan orang lain dalam memilih dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan (D.E Mc. Farland).

2. Kepemimpinan adalah seni mengkoordinasi dan memberi arah kepada individu atau kelompok untuk mencapai tujuan yang diinginkan (J.M Pfiffner).

3. Kepemimpinan adalah kemampuan mengambil inisiatif dalam situasi sosial untuk menciptakan bentuk dan prosedur baru, merancang dan mengatur perbuatan dan dengan berbuat begitu membangkitkan kerjasama ke arah tercapainya tujuan (Oteng Sutisna).

Menurut Timpe (1991:58) kepemimpinan adalah proses pengaruh sosial di mana manajer mencari keikutsertaan sukarela dari bawahan dalam usaha mencapai tujuan organisasi. Hal senada dikemukakan oleh Keating (1986:9) bahwa kepemimpinan merupakan suatu proses dengan berbagai cara mempengaruhi orang atau sekelompok orang untuk mencapai suatu tujuan bersama. Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas seseorang atau kelompok orang untuk mecapai tujuan dalam situasi tertentu (Hersey dkk. 1992:99). Sedangkan Danim (2004:56) menyatakan kepemimpinan adalah setiap tindakan yang dilakukan individu atau kelompok untuk mengkoordinasi dan memberi arah kepada individu atau kelompok lainnya yang tergabung dalam wadah tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Dari definisi umum tentang kepemimpinan yang berbeda-beda tersebut mengandung kesamaan asumsi yang bersifat umum, yaitu:


(43)

1. Di dalam satu fenomena kelompok melibatkan interaksi antara dua orang atau lebih.

2. Melibatkan proses mempengaruhi, dimana pengaruh yang disengaja (intentional influence) yang digunakan oleh pimpinan terhadap bawahan.

3. Adanya suatu kehendak dan tujuan yang akan dicapai.

Kepemimpinan dalam organisasi pendidikan oleh Sutisna (1983:276) dirumuskan sebagai kemampuan seseorang untuk mengambil inisiatif dalam situasi-situasi sosial untuk merangsang dan mengorganisasi tindakan-tindakan, dan dengan begitu membangkitkan kerjasama yang efektif ke arah pencapaian tujuan-tujuan pendidikan.

Depdiknas (2000:10) menegaskan bahwa kepemimpinan kepala sekolah adalah cara atau usaha kepala sekolah dalam mempengaruhi, mendorong, membimbing, mengarahkan, dan menggerakkan guru, staf, siswa, orang tua siswa, dan fihak lain yang terkait, untuk bekerja atau berperan serta guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Konsep tradisional tentang kepemimpinan menempatkan intuitif dan kecakapan praktis dianggap cukup bagi seseorang untuk memegang posisi pemimpin, sedangkan pemikiran tentang kepemimpinan modern berangkat dari konsep bahwa kepemimpinan adalah suatu seni (leadership is an art). Pemimpin professional adalah seorang “seniman“ dalam memimpin.

Teori-teori kepemimpinan lahir dari berbagai penelitian dengan sudut pandang atau pendekatan sesuai dengan tujuan dari penelitian. Beberapa teori yang mendasari penelitian ini meliputi teori sifat, pendekatan perilaku


(44)

28

(behavior), model kontinum otokratik-demokratik, teori situasional dan model kontingensi.

Teori sifat (pendekatan sifat) oleh Totosiswanto dan Atmodiwirio (1991:9) dinyatakan bahwa seorang pemimpin itu dikenal melalui sifat-sifat atau karakteristik pribadinya. Dengan demikian secara umum keberhasilan seorang pemimpin ditentukan oleh sifat-sifat jasmani dan rohaninya.

Marbun (1980:46) menyatakan bahwa sifat-sifat pribadi seseorang merupakan persyaratan khusus bagi seseorang pemimpin, masih banyak dijumpai sebagai suatu ukuran tentang bagaimana sebaiknya pemimpin itu.

Berdasarkan pendekatan pada sifat-sifat kepemimpinan, para ahli telah meneliti dan mengemukakan pendapatnya mengenai sifat-sifat manakah yang diperlukan seorang pemimpin agar berhasil dalam kepemimpinannya. Keith Davis dalam Thoha (1992:280) merumuskan empat sifat umum yang nampaknya mempengaruhi tehadap keberhasilam kepemimpinan organisasi, yaitu: (1) kecerdasan, pemimpin mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang dipimpin, (2) kedewasaan dan keluasan hubungan sosial, pemimpin cenderung menjadi matang dan mempunyai emosi yang stabil, serta mempunyai perhatian yang luas terhadap aktivitas sosial. Mempunyai keinginan untuk dihargai dan menghargai, (3) motivasi diri dan dorongan berprestasi, para pemimpin secara relatif mempunyai dorongan motivasi yang kuat untuk berprestasi. Mereka bekerja berusaha mendapatkan penghargaan yang intrinsik dibandingkan ekstrinsik, dan (4) sikap-sikap hubungan kemanusiaan, pemimpin-pemimpin yang


(45)

berhasil mau mengakui harga diri dan kehormatan para pengikutnya, dan mampu berpihak kepadanya.

Ordway Tead dalam Kartono (2001:37) mengemukakan 10 sifat seorang pemimpin, yaitu: (1) energi jasmaniah dan mental, (2) kesadaran akan tujuan dan arah, (3) antusiasme, (4) keramahan dan kecintaan, (5) integritas, (6) penguasaan teknis, (7) ketegasan dalam pengambilan keputusan, (8) kecerdasan, (9) keterampilan mengajar, dan (10) kepercayaan.

Rodman L. Drake dalam Timpe (1991:4-8) menyatakan pemimpin organisasi yang ulung idealnya memiliki suatu kombinasi dari kebanyakan sifat berikut:

1. Kemampuan untuk memusatkan perhatian. 2. Penekanan pada nilai yang sederhana. 3. Selalu bergaul dengan orang.

4. Menghindari profesionalisme tiruan. 5. Mengelola perubahan.

6. Mampu memilih orang.

7. Hindari “mengerjakan semua sendiri“. 8. Mampu menghadapai kegagalan.

Sifat kepemimpinan pendidikan yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantoro dalam Totosiswanto dan Atmodiwirio (1991:13) yang masih tetap relevan sampai saat ini, yaitu bahwa seorang pemimpin itu harus:

1. Ing ngarso sung tulodo, yang berarti bahwa seorang pemimpin harus mampu

menjadikan dirinya pola anutan dan ikutan orang-orang yang dipimpinnya lewat sikap dan tindakannya.


(46)

30

mampu membangkitkan semangat berswakarya dan berkreasi pada orang-orang yang dibimbingnya.

3. Tut wuri handayani, yang berarti bahwa seorang pemimpin harus mampu

mendorong orang-orang yang diasuhnya agar berani berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab.

Pendekatan perilaku (behavior) bermaksud mengidentifikasikan perilaku-perilaku pribadi yang berhubungan dengan kepemimpinan efektif. Pendekatan sifat dan perilaku mempunyai anggapan bahwa seorang individu yang memiliki sifat-sifat tertentu atau memperagakan perilaku-perilaku tertentu akan muncul sebagai pemimpin dalam situasi kelompok apapun dimana ia berada (Handoko 1999:43).

Greene dalam Thoha (1992:283) menyatakan ketika para bawahan tidak melaksanakan pekerjaan secara baik, maka pemimpin cenderung menekankan pada struktur pengambilan inisiatif (perilaku tugas). Tetapi ketika para bawahan dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik, maka pemimpin menaikkan penekanannya pada pemberian perhatian (perilaku tata hubungan). Hal ini sejalan dengan teori kelompok yang beranggapan bahwa supaya kelompok bisa mencapai tujuan-tujuannya, maka harus terdapat suatu pertukaran positif diantara pemimpin dan pengikut-pengikutnya, terutama dimensi perilaku tugas dan perilaku tata hubungan.

Model kontinum otokratik-demokratik oleh Siagian (1999:130)

dinyatakan bahwa andai di dunia ini hanya terdapat dua model kepemimpinan, yaitu otokratik di satu fihak dan demokratik di fihak lain maka pendekatan yang


(47)

diperlukan untuk menganalisis efektifitas kepemimpinan barangkali cukup dengan pendekatan keperilakuan saja.

Ternyata pada model kepemimpinan otokratik di satu fihak dan demokratik di lain fihak tidak selalu berlaku ekstrim, sehingga perlu diperhatikan berbagai gaya dan perilaku lain karena kedua kutub tersebut lebih tepat dipandang sebagai permulaan dan akhir suatu kontinuum yang didalamnya terdapat berbagai gaya dan perilaku kepemimpinan. Gaya dan perilaku tertentu bukan hanya dikaitkan dengan situasi dan kondisi yang dihadapai, akan tetapi juga dengan fungsi kepemimpinan tertentu yang harus diselenggarakan.

Dikaitkan dengan pengambilan keputusan, kontinum dimaksud dapat digambarkan sebagaimana gambar 3.

Gambar 3 Gaya Kepemimpinan Otokratik-Demokratik Sumber : Siagian 1999:131

Gaya Otokratik

Gaya Demokratik

Beritahu Penyajian Penyajian Kebebasan ide masalah bawahan bertindak Jual Penyajian Keputusan

keputusan oleh sementara bawahan

Penggunaan wewenang

Oleh pimpinan

Tingkat partisipasi bawahan


(48)

32

Teori situasional dan model kontingensi, teori situasional yang dikembangkan oleh Hersey dkk. (1992:124) cukup menarik untuk didalami karena paling sedikit tiga alasan, yaitu: penggunaannya yang meluas, daya tariknya secara intuitif dan karena tampaknya didukung oleh pengalaman di dunia kenyataan.

Teori ini menekankan bahwa efektifitas kepemimpinan seseorang tergantung pada dua hal, yaitu: pemilihan gaya kepemimpinan yang tepat untuk menghadapi situasi tertentu dan tingkat kematangan jiwa (kedewasaan) bawahan yang dipimpin. Dua dimensi kepemimpinan yang digunakan dalam teori ini adalah perilaku seorang pemimpin yang berkaitan dengan tugas kepemimpinannya dan hubungan atasan-bawahan. Tergantung pada orientasi tugas kepemimpinan dan sifat hubungan atasan-bawahan yang digunakan menimbulkan gaya kepemimpinan.

Model kepemimpinan kontingensi Fiedler dalam Miftah Thoha (1992:284) berisi tentang hubungan antara gaya kepemimpinan dengan situasi yang menyenangkan, kombinasi antara situasi yang menyenangkan dan gaya kepemimpinan akan menentukan efektifitas kerja. Pada situasi yang sangat menyenangkan dan sangat tidak menyenangkan, maka gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas adalah sangat efektif. Ketika situasinya di tengah-tengah atau moderat antara menyenangkan dan tidak menyenangkan, maka gaya kepemimpinan yang menekankan pada hubungan kemanusiaan atau yang lunak sangat efektif. Model kepemimpinan Fiedler digambarkan seperti gambar 4.


(49)

Gaya

Kepemimpinan Berorientasi Tugas

Hubungan Kemanusian

Sangat tidak menyenang kan

Sangat menyenang

kan Tidak

menyenang kan

Menyenang kan

Gambar 4 Model Kepemimpinan Fiedler Sumber : Miftah Thoha, 1992 : 285

Berbagai macam pendekatan atau teori kepemimpinan menimbulkan berbagai gaya kepemimpinan. Dalam hubungannya dengan kepemimpinan pendidikan, ketiga macam pendekatan yaitu pendekatan sifat, pendekatan perilaku, dan pendekatan situasional, semuanya sangat diperlukan. Ketiganya merupakan variabel pokok yang dapat mempengaruhi keberhasilan kepemimpinan pendidikan.

Implikasi bagi perilaku pemimpin atau organisasi adalah: (1) perlu memperhatikan kebutuhan setiap individu sesuai dengan hak dan kewajibannya, (2) menciptakan iklim kerja yang menyenangkan, (3) memberikan kesempatan kepada karyawan untuk berprestasi dan aktualisasi diri, (4) mengadakan pengawasan terhadap perilaku siswa, (5) memberikan peluang besar bagi munculnya motivasi dan membuang jauh hal-hal yang bersifat negatif, (6) perlu


(50)

34

tampil secara profesional, dan (7) dapat membuat keputusan yang bermutu (Danim 2004:12).

Fred E. Fiedler dalam Wahjosumidjo (2003:20) menyatakan bahwa kepemimpinan dapat dikelompokkan ke dalam empat macam pendekatan, yaitu: 1. Pendekatan pengaruh kewibawaan (power influence approach).

2. Pendekatan sifat (trait approach).

3. Pendekatan perilaku (behavior approach). 4. Pendekatan situasional (situational approach).

Dari keempat model tersebut, penting kiranya untuk dikembangkan model “Kepemimpinan Situasi“. Model kepemimpinan situasi timbul karena model kepemimpinan sebelumnya tidak dapat memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan yang muncul dalam kepemimpinan.

Siagian (1999:129) menyatakan bahwa efektifitas kepemimpinan seseorang pada tingkat yang sangat dominan ditentukan oleh kemampuannya “membaca“ situasi yang dihadapi dan menyesuaikan gaya kepemimpinannya sedemikan rupa agar cocok dan mampu memenuhi tuntutan situasi yang dihadapi. Dua hal yang menjadi inti teori ini, yaitu pemilihan gaya kepemimpinan yang tepat untuk menghadapi situasi tertentu dan tingkat kematangan jiwa (kedewasaan) para bawahan yang dipimpin.

Wahjosumidjo (2003:30) menyampaikan bahwa model kepemimpinan situasi mengandung pokok-pokok pikiran:

1. Dimana pemimpin itu berada melaksanakan tugasnya dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional, yaitu: jenis pekerjaan, lingkungan organisasi, karakteristik


(51)

individu yang terlibat dalam organisasi.

2. Perilaku kepemimpinan yang paling efektif, ialah perilaku kepemimpinan yang disesuaikan dengan tingkat kematangan bawahan.

3. Pemimpin yang efektif ialah pemimpin yang selalu membantu bawahan dalam pengembangan dirinya dari tidak matang menjadi matang.

Terdapat tujuh tingkat proses pematangan, yaitu: a. Pasif menjadi aktif.

b. Tergantung menjadi tidak tergantung.

c. Mampu melakukan sedikit cara menjadi mampu melakukan banyak cara. d. Minat yang dangkal menjadi minat yang dalam.

e. Pandangan jangka pendek menjadi pandangan luas. f. Jabatan bawahan menjadi jabatan atas.

g. Kurang percaya diri menjadi percaya diri.

4. Perilaku kepemimpinan cenderung berbeda-beda dari satu situasi ke situasi lain. Oleh sebab itu dalam kepemimpinan situasi penting bagi setiap pemimpin untuk mengadakan diagnosa dengan baik terhadap situasi. Pemimpin yang baik menurut teori ini, adalah pemimpin yang mampu:

a. Mengubah-ubah perilakunya sesuai dengan situasi.

b. Memperlakukan bawahan sesuai dengan kematangan yang berbeda-beda. 5. Pola perilaku kepemimpinan berbeda-beda sesuai dengan situasi yang ada. 2.2.2 Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan adalah sesuatu yang mendasari sikap seseorang dalam memotivasi perilaku pada berbagai situasi interpersonal (Totosiswanto dan


(52)

36

Atmodiwiro 1991:6). Hersey dkk. (1992:150) mendefinisikan gaya kepemimpinan sebagai pola-pola perilaku konsisten yang mereka terapkan dalam bekerja dan melalui orang lain seperti yang dipersepsikan orang-orang itu. Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat.

Timpe (1991:134) menyatakan: “Gaya kepemimpinan Anda adalah kumpulan ciri yang Anda gunakan untuk mempengaruhi bawahan supaya sasaran organisasional dapat tercapai“.

Bill Woods dalam Timpe (1991:112) memperagakan tiga gaya kepemimpinan, yaitu:

1. Otokratis

Pemimpin otokratis membuat keputusan sendiri karena kekuasaan terpusatkan dalam diri satu orang. Ia memikul tanggung jawab dan wewenang penuh.

Pengawasan bersifat ketat, langsung, dan tepat. Keputusan dipaksakan dengan menggunakan imbalan dan kekhawatiran akan dihukum. Jika ada, maka komunikasi bersifat turun ke bawah. Bila wewenang dari pemimpin otokratis menjadi menekan, bawahan merasa takut dan tidak pasti.

Pemimpin otokratis dapat menjadi otokrat kebapak-bapakan. Bawahan ditangani dengan efektif dan dapat memperoleh jaminan dan kepuasan. Otokrat yang kebapakan dapat saja hanya memberikan perintah, memberikan pujian dan menuntut loyalitas bahkan dapat membuat bawahan merasa mereka sebenarnya ikut serta dalam membuat keputusan walaupun mereka mengerjakan apa yang dikehendaki atasan.


(53)

2. Demokratis

Pemimpin yang demokratis (partisipatif) berkonsultasi dengan kelompok mengenai masalah yang menarik perhatian. Komunikasi berjalan dengan lancar, saran dibuat kedua arah, baik pujian maupun kritik digunakan. Beberapa tanggung jawab membuat keputusan masih tetap ada pada pemimpin. Bawahan ikut serta dalam penetapan sasaran dan pemecahan masalah. Keikutsertaan ini mendorong komitmen anggota pada keputusan akhir.

Pemimpin yang demokraris menciptakan situasi dimana individu dapat belajar, mampu memantau formula sendiri, memperkenankan bawahan untuk menetapkan sasaran yang menantang, menyediakan kesempatan untuk meningkatkan metode kerja dan pertumbuhan pekerjaan serta mengakui pencapaian dan membantu pegawai belajar dari kesalahan.

3. Kendali Bebas

Pemimpin penganut kendali bebas memberi kekuasaan kepada bawahan. Kelompok dapat mengembangkan sasarannya sendiri dan memecahkan masalahnya sendiri. Pengarahan tidak ada atau hanya sedikit. Gaya ini biasanya digunakan efektif untuk kelompok profesional yang termotivasi tinggi.

Dalam aspek produktivitas dan kepuasan kelompok maka gaya kepemimpinan terbaik adalah gaya demokratris. Dalam penelitian gaya kepemimpinan demokratis diatas gaya kepemimpinan otoriter, yang pernah dipercaya secara luas sebagai gaya kepemimpinan paling efektif.

Penekanan baru pada gaya demokratis memberi semangat kepada para manajer untuk mempelajari kembali gaya-gaya kepemimpinan mereka. Sebagai


(54)

38

hasilnya banyak diantara mereka mengubah gaya dari otoriter menjadi demokratis dan memperoleh hasil yang lebih baik.

Di akhir tahun 1930-an R. Tannenbaum dan W. Schmidt dalam Timpe (1991:131) menggambarkan gaya kepemimpinan sepanjang suatu kesatuan rangkaian, didasarkan pada derajat kekuasaan dan pengaruh masih dipertahankan oleh atasan. Sepanjang rangkaian kesatuan itu mereka mengidentifikasikan empat gaya kepemimpinan dasar, yaitu: “Mengatakan“, “Menjual“, “Konsultasi“, dan “Bergabung “.

“Mengatakan“ adalah gaya kepemimpinan otoriter, dan “Bergabung“ adalah gaya kepemimpinan demokratis. Kepemimpinan demokrartis memiliki banyak warna pengertian berbeda berdasarkan pada derajat pembagian bersama kekuasaan dan pengaruh antara atasan dan bawahan.

Tetapi yang lebih penting, mereka menghilangkan dugaan bahwa gaya demokratis adalah pendekatan kepemimpinan terbaik dalam semua kelompok dalam semua situasi. Mereka lebih menyarankan suatu bauran semua gaya kepemimpinan, mulai dari “mengatakan“ ke “menjual“, “konsultasi“ dan “bergabung” mungkin adalah yang terbaik. Untuk menentukan mana yang paling efektif pada suatu saat tertentu, maka perlu mempertimbangkan tiga perangkat kekuatan yaitu yang ada dalam diri pemimpin, dalam kelompok yang dipimpinnya, dan yang ada dalam situasi menyeluruh.

R. Blake dan J. Mouton dalam Timpe (1991:132) mengembangkan teori kepemimpinan lewat model “Pola Manajerial“, kepemimpinan dipastikan oleh dua keprihatinan manajerial yang mendasar, yaitu keprihatinan untuk produksi


(55)

dan manusia. Dengan mengingat bidang-bidang ini maka terdapat lima gaya dasar kepemimpinan sebagai berikut:

1. Jika seseorang mempertunjukkkan perhatian tinggi terhadap produksi tetapi perhatian rendah terhadap manusia, maka ia dianggap sebagai pemimpin dalam gaya manajemen tugas (taat kepada wewenang).

2. Jika seseorang memperlihatkan perhatian tinggi terhadap manusia tetapi perhatian rendah terhadap produksi, maka ia dianggap sebagai pemimpin dalam gaya manajemen country club.

3. Jika seseorang memperlihatkan perhatian rendah terhadap produksi maupun manusia, maka ia dianggap sebagai pemimpin dalam gaya manajemen yang miskin.

4. Jika seseorang mempertunjukkkan perhatian sedang baik terhadap produksi maupun manusia, maka ia dianggap sebagai pemimpin dalam gaya manajemen ditengah (gaya “orang organisasi “).

5. Jika seseorang mempertunjukkan perhatian tinggi baik terhadap produksi maupun manusia, maka ia dianggap sebagai pemimpin dalam gaya manajemen tim, yang dianggap sebagai gaya kepemimpinan terbaik.

Hersey dkk. (1992:185) mempergunakan konsep tugas (task) dan hubungan perilaku (relationship) dalam membahas komponen gaya kempemimpinan. Berdasarkan pendekatan itu dikemukakan lima gaya perilaku kepemimpinan, kelima dimensi perilaku tugas tersebut beserta indikatornya seperti tercantum dalam tabel 1 dan tabel 2.


(56)

40

Tabel 1 Dimensi Perilaku Tugas dan Indikatornya

Dimensi Perilaku Tugas Indikator Perilaku 1. Penentuan Tujuan ¾ Sejauh mana pemimpin …..

¾ Spesifikasi tujuan bagi tiap orang yang harus dicapai.

2. Organisasi ¾ Mengorganisasikan pekerjaan orang. 3. Penentuan batas waktu ¾ Menentukan waktu.

4. Pengarahan ¾ Menyiapkan arahan khusus.

5. Kontrol ¾ Spesifikasi dan persyaratan laporan reguler dan kemajuan.

Tabel 2 Dimensi Perilaku Hubungan dan Indikatornya Dimensi Perilaku Hubungan Indikator Perilaku 1. Memberikan dukungan ¾ Sejauh mana pimpinan …..

¾ Menyiapkan bantuan dan dorongan. 2. Komunikasi ¾ Melibatkan orang untuk saling memberi

dan menerima diskusi tentang kegiatan kerja.

3. Mempermudah interaksi ¾ Mempermudah interaksi untuk mempermudah hubungan dengan orang lain.

4. Mendengar dengan aktif ¾ Mencari dan mendengarkan pendapat orang lain dan kerisauan.

5. Menyediakan balikan ¾ Menyediakan balikan bagi hasil yang dicapai orang lain.

Sumber: Hersey dkk. 1992:187

Lebih lanjut Hersey dkk. (1999:139-142) menyampaikan bahwa gaya kepemimpinan yang timbul dari kepemimpinan situasional, yang didasarkan pada dua perangkat perilaku kepemimpinan yang efektif yaitu perikaku tugas dan perilaku hubungan dapat mengambil empat bentuk, yaitu:


(57)

1. “Mengatakan“ perilaku tugas tinggi, hubungan rendah. 2. “Menjual“ perilaku tugas dan hubungan tinggi.

3. “Ikut serta“ perilaku hubungan tinggi, tugas rendah. 4. “Mendelegasikan“ perilaku tugas dan hubungan rendah.

Untuk menentukan gaya mana yang paling tepat, maka perlu untuk menentukan “kedewasaan tugas“ anggota dalam suatu kelompok. Kedewasaan tugas ditegaskan sebagai derajat kesediaan dan kemampuan untuk memikul tanggung jawab.

1. Pada bawahan dengan derajat kedewasaan tugas rendah, pendekatan “mengatakan” adalah kemungkinan besar yang paling efektif.

2. Pada bawahan dengan derajat kedewasaan tugas rendah yang moderat, pendekatan “menjual” adalah kemungkinan besar yang paling efektif.

3. Pada bawahan dengan derajat kedewasaan tugas tinggi yang moderat, pendekatan “ikut serta” adalah kemungkinan besar yang paling efektif.

4. Pada bawahan dengan derajat kedewasaan tugas tinggi, pendekatan “mendelegasikan” adalah kemungkinan besar yang paling efektif.

White dan Rupert (2003:107-110) menyampaikan empat gaya kepemimpinan, yaitu:

1. Memberitahukan (tell)

Terdapat tiga kesempatan bagi seorang pemimpin menggunakan gaya memberitahukan:

a. Apabila Terjadi Sebuah Krisis.

Jika terjadi sebuah krisis tugas seorang pemimpin adalah memecahkan krisis tersebut. Pemimpin harus menggunakan kekuasaan dan memberitahukan


(58)

42

kepada bawahan “sesuatu yang harus dilakukan“, “mengapa”, dan “bagaimana”, dengan begitu maka krisis yang sedang dihadapai segera dapat diatasi. Apa yang harus dilakukan bawahan pemimpin harus memberikan informasi yang cukup jelas mengenai krisis yang sedang terjadi atau alasan perlunya saran untuk suatu tindakan tertentu.

b. Bawahan Mendapatkan Tugas Baru.

Ketika ada bawahan memiliki tugas baru dan mungkin saja kehilangan rasa percaya diri dan merasa gelisah, maka seorang pemimpin harus memberitahu dengan metode yang konstruktif, memberikan pengarahan yang jelas tentang apa yang harus dilakukan, mengapa, dan bagaimana melakukannya, dan memantau kinerjanya. Pemimpin juga harus memberikan tindakan yang mensupport, dengan kebijakan terbuka (open door policy) ketika seseorang menghadapi kesulitan.

c. Terjadi Perubahan Negatif yang Mendadak

Perubahan mendadak bisa dirasakan dengan jelas sisi negatifnya, hal ini dapat menyebabkan hilangnya rasa harga diri, ketidakjelasan dan emosi yang bersifat negatif. Pemimpin harus dapat mengendalikan situasi untuk menghindari perpecahan tim, atau untuk menghindari seseorang menjadi tidak termotivasi dan tidak kompeten.

2. Melatih (Coaching)

Gaya kepemimpinan ini digunakan ketika pengikut telah mencapai beberapa tahapan kompetensi dan percaya diri. Ketika pemimpin memberikan “What” dan “Why“ harus melibatkan pengikut dalam proses bagaimana


(59)

melakukannya, meminta masukan dan mendengarkan beberapa pendapat yang diungkapkan, sehingga terjadi dialog yang serius tentang kesepakatan untuk melaksanakan sebuah tindakan.

3. Memberi Dukungan (Supporting)

Gaya kepemimpinan ini digunakan apabila pengikut mempunyai rasa percaya diri dan kompeten, yang bisa melakukan pekerjaan dengan baik. Pemimpin bisa menasehati bawahan tentang apa yang harus dilakukan dan mengapa, dan bahkan memberikan kepercayaan untuk menentukan bagaimana cara melakukannya.

4. Mendelegasikan Tanggung Jawab (Delegating)

Mendelegasikan merupakan gaya kepemimpinan khusus untuk menghadapi level yang lebih tinggi dalam sebuah organisasi, ketika pemimpin mengharapkan bawahan bisa menjalankan bagian organisasi dimana mereka memiliki tanggung jawab, dan sedikit memberikan pengarahan atau dorongan.

Menurut teori Kepemimpinan situasional oleh Hersey dkk. dalam Totosiswanto dan Atmodiwirio (1991: 29-31) gaya kepemimpinan seseorang cenderung mengikuti situasi artinya seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya ditentukan oleh situasi tertentu, yang dimaksud dengan situasi adalah lingkungan kepemimpinan termasuk di dalamnya pengaruh nilai-nilai hidup, nilai-nilai budaya, situasi kerja dan tingkat kematangan bawahan.

Dengan memperhatikan tingkat kematangan bawahan, pemimpin dapat menentukan gaya kepemimpinannya sesuai dengan situasi yang dihadapi.


(60)

44

kepemimpinannya ditunjukkan dengan gambar 5. Tinggi

tinggi suportif rendah direktif ( P3)

tinggi direktif tinggi suportif ( P2 ) rendah suportif

rendah direktif ( P4)

tinggi direktif rendah suportif ( P1)

Rendah (R) Perilaku mengarahkan Tinggi (T) (Direktif )

Gambar 5 Empat Macam Pola Kecenderungan Perilaku Kepemimpinan Sumber : Totosiswanto dan Atmodiwirio 1991: 31

Makin bergerak ke kanan dan ke atas makin tinggi tingkat perkembangannya, sebaliknya makin ke kiri dan ke bawah makin rendah tingkat perkembangannya. Tingkat perkembangan bawahan bersimbol P.

Tingkat P1, adalah bawahan yang berada dalam tingkat perkembangan yang rendah, artinya orang itu tidak memiliki kemauan dan kemampuan, sehingga gaya kepemimpinan yang tepat untuk tingkat P1 ini adalah gaya instruksional. Orang yang berada pada P1 masih membutuhkan instruksi dan komando.

Tingkat P2 adalah mereka yang memiliki kemauan tetapi tidak memiliki kamampuan. Gaya kepemimpinan yang cocok adalah gaya kepemimpinan konsultatif, yaitu pemimpin berusaha membimbing dan memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengadakan konsultasi tentang pekerjaan atau masalah yang dihadapinya.

Tingkat P3, yaitu mereka yang memiliki kemampuan tetapi tidak memiliki kemauan. Dalam menghadapi bawahan semacam ini dapat dipergunakan gaya Suportif


(61)

kepemimpinan partisipatif. Gaya kepemimpinan partisipatif memberikan kesempatan kepada bawahan untuk turut bertanggung jawab atas tugas-tugas yang dikerjakan. Mereka diajak bertanggung jawab mulai dari awal sampai akhir tugas pekerjaan, bersama-sama dengan atasannya. Diharapkan dengan gaya ini bawahan merasakan adanya pengakuan dari atasannya tentang kemampuan dan keterampilan pelaksanaan kerjanya.

Tingkat P4 merupakan tingkat yang paling matang. Mereka memiliki kemampuan dan kemauan, sehingga atasan cukup hanya membantu dan mendorong untuk melakukan tugasnya. Gaya kepemimpinan yang digunakan delegatif. Pada tingkat perkembangan ini seorang pemimpin dapat memberikan wewenang kepada bawahan, artinya dengan penuh kepercayaan memberikan kesempatan kepada bawahan untuk melakukan tugasnya tanpa pengawasan yang terus menerus.

Pada dasarnya setiap pemimpin melakukan empat gaya ini, hanya pada suatu saat tertentu pemimpin harus mampu mengambil gaya kepemimpinannya yang paling tepat agar kepemimpinannya efektif. Pada suatu gaya yang satu akan lebih menonjol dari gaya yang lainnya dan ini tergantung kepada bawahan dengan tingkat kedewasaan. Situasi disini berarti bahwa seorang pemimpin harus benar-benar memperhatikan tingkat perkembangan bawahannya.

Dengan memperhatikan hal ini, maka sebenarnya tidak ada gaya kepemimpinan yang terbaik, yang ada hanyalah kepemimpinan yang paling efektif hasilnya, yaitu kepemimpinan yang berhasil menggerakkan bawahan untuk menghasilkan suatu tujuan yang telah ditetapkan.


(62)

46

Dari keempat tipe tersebut, jika akan dinyatakan yang terbaik adalah tipe kepemimpinan yang dapat mengintegrasikan secara maksimal antara produktivitas dan kepuasan, pertumbuhan dan pengembangan manusia dalam semua situasi. Tetapi yang terpenting adalah bahwa keberhasilan pemimpin adalah apabila pemimpin dapat menyesuaikan tipe kepemimpinannya dengan situasi yang dihadapi.

Pengertian situasi dapat berarti juga mencakup: waktu, tuntutan pekerjaan, kemampuan bawahan, para pimpinan, teman sekerja, kemampuan dan harapan bawahan, tujuan organisasi maupun harapan bawahan.

Sejauh mana seorang pemimpin harus memperhatikann situasi sangat tergantung pada apa yang disebut “Tingkat kematangan“ bawahan (Wahjosumidjo 2003:32). Kematangan bawahan tidak lain adalah:

1. Bawahan yang mempunyai tujuan termasuk pula kemampuan untuk menentukan tugas.

2. Bawahan yang mempunyai rasa tanggung jawab, dalam arti bawahan memiliki kemauan (motivasi) dan kemampuan (kompetensi) untukmenentukan tujuan dan sebagainya.

3. Mempunyai pendidikan dan pengalaman.

4. Tingkat kematangan yang dimaksud, meliputi: kemauan dan pengatahuan teknis untuk melaksanakan tugas, dan rasa percaya diri sendiri dan harga diri tehadap dirinya.

Perpaduan dari gaya kepemimpinan dan tingkat kedewasaan bawahan dari model kepemimpinan situasional dijelaskan seperti gambar 6.


(63)

Gaya Kepemimpinan Hubungan Intensif dan Orientasi Tugas Rendah Hubungan Intensif dan Orientasi Tugas Tinggi Hubungan tidak Intensif dan Orientasi Tugas Rendah Orientasi Tugas Tinggi dan hubungan tidak intensif Perilaku Tugas

Tinggi Sedang Sedang Rendah

K 4 K 3 K 2 K 1

Kedewasaan Bawahan

Gambar 6 Gaya Kepemimpinan dan Kedewasaan Bawahan Sumber : Siagian (1999 : 141)

Pada tingkat K1. kemampuan dan kemauan bawahan rendah. Penggunaan gaya kepemimpinan instruksi paling efektif, gaya konsultasi baik, gaya pertisipasi cukup baik dan gaya delegasi jelek.

Pada tingkat K2, kemampuan bawahan tinggi dan kemauan rendah. Penggunaan gaya kepemimpinan konsultasi paling efektif, gaya partisipasi baik, gaya instruksi cukup baik dan gaya delegasi jelek.

Pada tingkat K3, kemampuan bawahan rendah dan kemauan tinggi. Penggunaan gaya kepemimpinan partisipasi yang paling efektif, gaya konsultasi baik, gaya instruksi cukup baik dan gaya delegasi jelek.

Tinggi

Tinggi

Dewasa Tidak

Dewasa Perilaku

Hubungan


(64)

48

Pada tingkat K4, kemampuan dan kemauan bawahan tinggi. Penggunaan gaya kepemimpinan delegasi paling efektif, gaya partisipasi baik, gaya konsultasi cukup baik dan gaya instruksi jelek.

Efendi (2000:46) menyatakan keberhasilan seorang pemimpin (kepala sekolah) dipengaruhi oleh kemampuan profesional, kemampuan kepribadian dan kemampuan sosialnya. Pemimpin yang berwibawa mempunyai pengaruh atas pertumbuhan dan perkembangan staf yang akhirnya mempengaruhi keberhasilan organisasi.

Berdasarkan konsep gaya kepemimpinan yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan indikator-indikator tentang gaya kepemimpinan kepala sekolah sebagai berikut:

1. Gaya Instruksional / Memberitahukan, meliputi: (1) memberitahukan kepada bawahan mengenai apa yang harus dilakukan untuk menyelasaikan tugasnya, (2) memberikan penjelasan kepada bawahan mengenai alasan perlu dilakukan suatu tindakkan dalam penyelesaian tugas, (3) memantau kinerja bawahan hasil pelaksanaan tugasnya, (4) mengendalikan situasi untuk menghindari seseorang bawahan menjadi tidak termotivasi dan tidak kompeten.

2. Gaya Konsultatif / Melatih, meliputi: (1) meminta pendapat dari bawahan tentang alternatif tindakan untuk menyelesaikan tugasnya, (2) melibatkan bawahan dalam memutuskan tindakkan yang harus dilakukan untuk melaksanakan tugas, (3) melibatkan bawahan dalam pelaksanaan tindakkan untuk menyelesaikan tugas, (4) membimbing dan memberikan kesempatan kepada bawahan untuk konsultasi tentang pelaksanaan tugasnya.


(65)

3. Gaya Partisipatif / Memberi dukungan, meliputi : (1) mengarahkan bawahan untuk melaksanakan tugasnya dengan baik, (2) memberikan kepercayaan kepada bawahan untuk menentukan langkah apa yang akan dilakukan dalam menyelesaikan tugasnya.

4. Gaya Mendelegasikan, meliputi: (1) memberikan tanggung jawab penuh kepada bawahan untuk melakukan tugasnya, (2) memberikan sedikit bantuan kepada bawahan dalam pelaksanaan tugasnya.

2.3 Kecerdasan Emosional Kepala Sekolah

Teori kecerdasan emosional (EQ) yang mendasari studi ini adalah teori yang dikembangkan oleh Reuven Bar-On ditulis oleh Stein dan Book dalam bukunya Ledakan EQ 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Meraih Sukses. Berikut ini akan dikemukakan pengertian emosi, konsep kecerdasan emosional, dan pengukuran kecerdasan emosional.

2.3.1 Emosi

Emosi (perasaan) adalah suatu keadaan dalam diri seseorang yang memperlihatkan ciri-ciri kognisi tertentu, penginderaan, aspek fisiologis, pelampiasan dalam perilaku. Emosi cenderung muncul mendadak dan sulit dikendalikan (Duvidoff 1981:49).

Menurut Cooper dan Sawaf (1999:8) emosi didefinisikan sebagai menerapkan “gerakan“, baik secara metafora maupun harfiah, untuk mengeluarkan perasaan. Emosi memiliki kedalaman dan kekuatan yang dalam bahasa latin disebut “modus anima“ yang artinya “jiwa yang menggerakkan kita”. Emosi menawarkan kepada kita logika yang intuitif, yang masih murni


(66)

50

(pre reflective), dan yang dapat dibawa keluar dari perenungan dan dieksplisitkan. Emosi memberikan makna pada situasi-situasi hidup kita. Emosi bukanlah pengganggu atau pengacau, bahkan merupakan suatu yang paling penting dalam keberadaan kita, mengisinya dengan kekayaan dan memasok sistem dengan makna dan nilai-nilai yang menentukan apakah hidup dan kerja kita akan tumbuh berkembang atau akan berhenti dan mati. Emosi pulalah yang mendorong kita menjawab pertanyaan-pertanyan yang mendalam dan paling penting mengenai keberadaan kita, bukan nalar.

Dalam makna yang paling harfiah, Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan emosi sebagai: (1) luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu yang singkat, (2) keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis (seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan), (3) keberanian yang bersifat subyektif, (4) marah.

Menurut Goleman (2001:411) emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Dalam repertoar emosi, setiap emosi memainkan peran khas, sebagaimana diungkapkan oleh ciri-ciri biologis mereka. Terdapat ratusan emosi bersama dengan campuran, variasi, mutasi dan nuansanya. Pengelompokkan emosi dalam golongan-golongan besar meliputi: (1) amarah, (2) kesedihan, (3) rasa takut, (4) kenikmatan, (5) cinta, (6) terkejut, (7) jengkel, dan (8) malu.

Berdasar pada penemuan Paul Ekman dari University of California dalam Stein dan Book (2002:28) menyatakan bahwa ekspresi wajah tertentu untuk


(67)

keempat emosi (takut, marah, sedih, dan senang) dikenali oleh bangsa-bangsa di seluruh dunia dengan budayanya masing-masing, termasuk bangsa-bangsa buta huruf yang dianggap tidak tercemar film dan televisi sehingga menandakan adanya universalitas perasaan-perasaan tersebut.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu respon dari semua yang dilakukan manusia terhadap suatu stimulus. Emosi tersebut merupakan energi, pengaruh dan informasi yang bersifat batiniah. Emosi yang baik atau buruk, sudah ada sejak lahir. Pembeda hasilnya adalah pada aspek yang kita perbuat dengan menggunakan informasi dan energi dari situ. Belajar membedakan perasaan yang lebih dalam dari rangsangan dan informasi yang menghujani seseorang setiap hari merupakan persyaratan bila ingin menjadi seorang pemimpin.

2.3.2 Teori Kecerdasan Emosional

Peter Salovey dan Jack Mayer, pencipta istilah “kecerdasan emosional (EQ)“, menjelaskan sebagai “kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual“. Dengan kata lain, EQ adalah serangkaian kecakapan yang memungkinkan kita melapangkan jalan di dunia yang rumit, aspek pribadi, sosial dan pertahanan dari seluruh kecerdasan, akal sehat yang penuh misteri, dan kepekaan yang penting untuk berfungsi secara efektif setiap hari. Dalam bahasa sehari-hari kecerdasan emosional biasanya kita sebut “street


(1)

Case Processing Summary

32 100.0

0 .0

32 100.0

Valid Excludeda

Total Cases

N %

Listwise deletion based on all variables in the procedure. a.

Reliability Statistics

.918 35

Cronbach's


(2)

Item-Total Statistics

121.56 189.802 .707 .913

121.47 192.257 .775 .913

121.25 194.065 .682 .914

122.03 197.451 .468 .916

121.13 196.500 .735 .914

121.25 188.065 .841 .911

121.91 191.636 .595 .914

120.81 201.060 .348 .918

121.75 196.387 .548 .915

121.94 199.286 .308 .919

121.84 197.104 .515 .916

121.69 193.964 .572 .915

121.03 198.096 .535 .916

121.16 197.943 .668 .915

123.06 208.254 -.007 .922

121.63 187.661 .784 .912

121.50 195.935 .726 .914

121.31 195.448 .612 .915

122.00 190.000 .551 .915

121.50 195.548 .749 .914

121.94 193.351 .636 .914

123.09 213.314 -.231 .925

121.47 199.805 .428 .917

121.50 193.355 .754 .913

121.31 192.351 .821 .912

121.34 194.362 .612 .914

121.94 196.899 .619 .915

121.69 194.931 .665 .914

122.38 209.661 -.070 .923

123.28 206.983 .032 .922

121.25 196.710 .464 .916

120.69 206.157 .098 .920

123.19 215.899 -.317 .926

121.44 196.641 .502 .916

121.25 191.419 .531 .916

NO1 NO2 NO3 NO4 NO5 NO6 NO7 NO8 NO9 NO10 NO11 NO12 NO13 NO14 NO15 NO16 NO17 NO18 NO19 NO20 NO21 NO22 NO23 NO24 NO25 NO26 NO27 NO28 NO29 NO30 NO31 NO32 NO33 NO34 NO35

Scale Mean if Item Deleted Scale Variance if Item Deleted Corrected Item-Total Correlation Cronbach's Alpha if Item

Deleted

Kecerdasan Emosi Kepala Sekolah (Butir Valid)

Case Processing Summary

32 100.0 0 .0 32 100.0 Valid Excludeda Total Cases N %

Listwise deletion based on all variables in the procedure. a.


(3)

Reliability Statistics

.948 29

Cronbach's

Alpha N of Items

Item-Total Statistics

105.56 200.125 .708 .945

105.47 202.709 .773 .945

105.25 204.839 .666 .946

106.03 207.967 .470 .948

105.13 206.694 .756 .946

105.25 198.903 .818 .944

105.91 200.797 .642 .946

104.81 212.351 .317 .949

105.75 206.903 .549 .947

105.94 210.706 .279 .950

105.84 207.297 .532 .947

105.69 204.609 .564 .947

105.03 209.386 .497 .948

105.16 207.749 .717 .946

105.63 197.984 .783 .945

105.50 205.613 .775 .945

105.31 205.319 .643 .946

106.00 202.129 .494 .949

105.50 205.419 .786 .945

105.94 202.512 .692 .946

105.47 209.612 .469 .948

105.50 203.419 .773 .945

105.31 201.964 .863 .944

105.34 203.394 .677 .946

105.94 205.996 .698 .946

105.69 204.544 .709 .946

105.25 206.581 .492 .948

105.44 206.835 .517 .947

105.25 202.645 .504 .948

NO1 NO2 NO3 NO4 NO5 NO6 NO7 NO8 NO9 NO10 NO11 NO12 NO13 NO14 NO16 NO17 NO18 NO19 NO20 NO21 NO23 NO24 NO25 NO26 NO27 NO28 NO31 NO34 NO35

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted


(4)

Case Processing Summary

32 100.0

0 .0

32 100.0

Valid Excludeda

Total Cases

N %

Listwise deletion based on all variables in the procedure. a.

Reliability Statistics

.907 30

Cronbach's


(5)

Item-Total Statistics

111.97 110.870 .520 .903

112.03 110.805 .568 .903

112.00 112.452 .559 .903

112.06 113.028 .525 .904

111.94 113.415 .431 .905

111.66 112.491 .577 .903

112.44 109.222 .668 .901

112.13 111.016 .725 .901

112.16 111.555 .657 .902

112.06 111.028 .695 .901

112.69 111.448 .460 .905

112.16 111.426 .669 .902

112.00 110.839 .631 .902

111.69 113.512 .575 .903

111.94 112.448 .503 .904

111.97 108.741 .704 .900

112.09 112.862 .474 .904

112.03 113.257 .473 .904

111.72 114.144 .416 .905

111.53 113.289 .595 .903

111.84 107.620 .784 .899

111.78 109.402 .784 .900

111.78 109.531 .579 .902

112.09 110.604 .555 .903

111.97 108.289 .690 .900

111.75 108.774 .614 .902

111.63 110.048 .645 .901

112.50 119.548 -.045 .920

113.13 123.790 -.225 .921

112.56 122.706 -.192 .918

NO1 NO2 NO3 NO4 NO5 NO6 NO7 NO8 NO9 NO10 NO11 NO12 NO13 NO14 NO15 NO16 NO17 NO18 NO19 NO20 NO21 NO22 NO23 NO24 NO25 NO26 NO27 NO28 NO29 NO30

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted

Scale: Gaya Kepemimpinan (Butir Valid)

Case Processing Summary

32 100.0

0 .0

32 100.0

Valid Excludeda

Total Cases

N %

Listwise deletion based on all variables in the procedure. a.


(6)

Reliability Statistics

.946 27

Cronbach's

Alpha N of Items

Item-Total Statistics

102.44 120.190 .561 .944

102.50 120.258 .603 .944

102.47 121.870 .608 .944

102.53 122.773 .551 .944

102.41 123.410 .437 .946

102.13 123.081 .532 .944

102.91 118.475 .712 .942

102.59 120.249 .789 .942

102.63 121.274 .681 .943

102.53 120.580 .730 .943

103.16 120.523 .515 .945

102.63 120.629 .734 .943

102.47 120.451 .658 .943

102.16 123.878 .549 .944

102.41 122.443 .507 .945

102.44 118.383 .720 .942

102.56 121.609 .569 .944

102.50 122.258 .556 .944

102.19 124.867 .370 .946

102.00 123.484 .584 .944

102.31 117.641 .770 .942

102.25 119.548 .765 .942

102.25 119.032 .604 .944

102.56 120.512 .559 .944

102.44 118.383 .675 .943

102.22 118.370 .631 .944

102.09 120.281 .625 .943

NO1 NO2 NO3 NO4 NO5 NO6 NO7 NO8 NO9 NO10 NO11 NO12 NO13 NO14 NO15 NO16 NO17 NO18 NO19 NO20 NO21 NO22 NO23 NO24 NO25 NO26 NO27

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted


Dokumen yang terkait

Pengaruh Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Terhadap Kepuasan Kerja Guru Di Smk Yadika 5

1 8 150

HUBUNGAN PERSEPSI GURU TERHADAP EFEKTIFITAS KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH, KECERDASAN EMOSIONAL DAN MOTIVASI KERJA DENGAN KINERJA GURU SMP NEGERI DI KECAMATAN MEDAN TEMBUNG.

0 2 34

KONTRIBUSI KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH, SARANA DAN LINGKUNGAN KERJA TERHADAP KEPUASAN KERJA GURU KONTRIBUSI KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH, SARANA DAN LINGKUNGAN KERJA TERHADAP KEPUASAN KERJA GURU SMP NEGERI DI POKJA 02 KECAMATAN BOYOLALI.

0 2 15

KONTRIBUSI KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH, SARANA DAN LINGKUNGAN KERJA TERHADAP KEPUASAN KERJA GURU SMP NEGERI KONTRIBUSI KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH, SARANA DAN LINGKUNGAN KERJA TERHADAP KEPUASAN KERJA GURU SMP NEGERI DI POKJA 02 KECAMATAN BOYOLALI.

0 3 15

PERAN GAYA KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KEPALA SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN PRESTASI KERJA GURU Peran Gaya Kepemimpinan Dan Motivasi Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Prestasi Kerja Guru Di Smp Negeri I Eromoko Kabupaten Wonogiri.

0 3 15

PERAN GAYA KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KEPALA SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN PRESTASI KERJA GURU Peran Gaya Kepemimpinan Dan Motivasi Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Prestasi Kerja Guru Di Smp Negeri I Eromoko Kabupaten Wonogiri.

0 1 29

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN DISIPLIN KERJA GURU SMP NEGERI DI KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG.

0 3 33

HUBUNGAN PERSEPSI GURU TENTANG KECERDASAN EMOSIONAL KEPALA SEKOLAH DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KEPUASAN KERJA GURU DI SMA NEGERI KECAMATAN GUNUNG SITOLI KABUPATEN NIAS.

0 0 26

KONTRIBUSI GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN KEPUASAN KERJA GURU TERHADAP KINERJA GURU SMA NEGERI DI KABUPATEN ASAHAN TAHUN 2005.

0 3 26

HUBUNGAN KEPEMIMPINAN PEMBELAJARAN DAN KECERDASAN EMOSIONAL KEPALA SEKOLAH DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI GURU SMP

0 0 13