Sejarah Awal Panti Asuhan di Indonesia

33 dua bangunan dalam satu desa menurut penelitian di lapangan penduduk tidak bisa mengikuti jamaah mana untuk beribadah. 2. Keadaan Penduduk Keadaan penduduk desa Paya Kulbi dusun Rambutan cukup beragam dengan tingkat perekonomian sebagian penduduk lumayan tinggi.Di desa ini sebagian masyarakatnya bertaraf kehidupan menengah keatas.Di desa ini bangunan rumahnya sebagian besar permanen dan ada juga yang semi permanen dengan fasilitas lengkap bahkan seluruh penduduknya memiliki kendaraan bermotor.Keadaan ini dikarenkan oleh sebagian besar dari penduduk di desa Paya Kulbi adalah pendatang dari berbagai daerah, yang membeli tanah di desa tersebut dan membangun rumah.Penduduk di desa Payakulbi sebagian bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di luar desa.

5. Sejarah Awal Panti Asuhan di Indonesia

Panti Asuhan tertua di Indonesia adalah Panti Asuhan Desa Putera yang berdiri sejak Tahun 1947. Ketika itu Indonesia baru saja merdeka dan belum banyak yang bisa dilakukan oleh sebuah Negara yang belum genap berumur 2 tahun untuk membenahi segala sesuatu yang porak poranda akibat perang pada tahun-tahun sebelumnya, baik itu dalam hal politik, ekonomi, pendidikan, keamanan, masih belum tertata dengan baik. Di banyak negara di dunia, perang juga membawa dampak yang selalu sama yaitu banyak kehilangan tempat tinggal, kehilangan anggota keluarga dan anak-anaklah yang paling menderita 34 karena keadaan ini, banyak diantaranya kehilangan orang tua akibat perang- perang tersebut. Di Indonesia, Batavia dan sekitarnya saja sudah ribuan anak yang terlantar. Kebanyakan dari mereka kehilangan orang tua sehingga terpaksa hidup gelandangan dan mengemis di jalan-jalan dengan tubuh telanjang. Kondisi memprihatinkan ini menggugah hati Mr. J.E.Ysebaert, Residen Batavia. Ia ingin agar anak-anak yang sebagian besar telanjang itu mendapat tempat penampungan. Keinginannya itu lalu dibicarakan dengan Mgr.Willekens, Vikaris Apostolik Batavia karena panti-panti asuhan yang ada tidak dapat menampung mereka lagi. Keinginan Mr. Ysebaert ini disampaikan oleh Mgr. Willekens kepada Mr. A. Bogaardt, Pimpinan Panti Asuhan Vincentius. Mr. A. Bogaardt bersedia menampung anak-anak itu asalkan disediakan tempat penampungan dan tenaga untuk mengurusnya.Selama kurang lebih dua bulan, usaha mendirikan sebuah tempat penampungan untuk anak-anak terlantar sudah menampakkan bentuknya, yaitu sebuah Rumah Yatim Piatu. Kemudian dipilihlan sebuah nama untuk menamai rumah penampungan itu. Akhirnya disepakati, Rumah Yatim Piatu Lenteng Agung diubah menjadi “Desa “ dan “Pemuda “ menjadi “ Putera”. Pada tanggal 30 Juni 1947 Desa Putera diresmikan, dihadiri oleh pengurus Vincentius, para pendirinya, pejabat pemerintahan, Ny. Van Mook, wakil instansi dan Palang Merah, Jawatan Sosial, Pendidikan, Kesehatan, Tentara, juga Lurah Srengseng Sawah. Di Desa Putera, anak-anak itu belum punya kegiatan apa-apa. Sepanjang hari anak-anak yang masih kecil hanya bermain-main. Tentu saja keadaan seperti 35 ini tidak akan dibiarkan. Mereka diberi latihan kerja agar nantinya bisa mandiri.Sedikit demi sedikit sarana latihan kerja dibangun.Pada bulan Juli, mulai didirikan bengkel untuk pertukangan besi dan kayu. Dibawah Pimpinan Br Mattheus, dibuka pula latihan menjilid buku. Usaha peternakan juga dimulai dengan memelihara satu ekor sapi, dua ekor kuda, 25 ekor itik dan sepuluh ekor ayam. Sementara itu lewat Palang Merah, dari Cilendek, Bogor didatangkan sebanyak 109 anak. Mereka ini bukan anak-anak kecil.Mereka sudah terlalu lama hidup bebas gelandangan tanpa aturan seperti yang dianut oleh masyarakat pada umumnya.Sehingga aturan-aturan yang diterapkan di Desa Putera dirasakan sebagai beban yang membuat hidup mereka tidak nyaman. Oleh karena itu banyak diantara mereka yang melarikan diri pada malam hari sambil membawa barang-barang apa saja yang bisa dibawa. Sebagian dari mereka juga mencuri di rumah-rumah penduduk sekitar. Hal ini membuat penduduk merasa tidak tenang dan tidak senang dengan adanya Desa Putera.Tetapi keadaan seperti ini tidak berlangsung lama. Bersamaan dengan pembenahan yang terus menerus dilakukan, diusahakan pula pendidikan untuk mereka, baik dalam hal membaca, menulis dan pengetahuan lain diajarkan kepada mereka oleh Br Gerrad. Diantara anak-anak yang diajar, ada yang sudah pernah bersekolah. Anak-anak yang sudah pernah sekolah ini setiap hari mendapat “refreshing“ untuk mengingat kembali pelajaran yang pernah mereka peroleh. 36 Setelah itu merekalah yang menjadi guru bagi anak lain yang belum pernah sekolah. Kelas-kelas mulai dibangun, setiap hari anak-anak itu belajar dikelas yang sudah ada atau mana saja di tempat-tempat yang terbuka. Dalam memenuhi kebutuhan pendidikan dari bengkel dan pertukangan kayu dibuatlah peralatan belajar dan bangku-bangku dari bambu. Selain itu usaha melatih anak- anak untuk bekerja masih terus ditambah. Pada bulan Oktober mulai dibuka perkebunan, yaitu perkebunan kelapa dan jeruk.Setiap pagi anak-anak pergi ke kebun dengan membawa cangkul untuk berkebun. Awal bulan April 1947, Mr. Ysebaert menemui Prof. Dr.P.M. Van Wulfften Palthe, Pimpinan Persatuan Perawat Orang Sakit Jiwa untuk meminjam sebidang tanah yang ada bangunannya. Oleh Prof. Van Wulfften diusahakan sebuah tempat di desa Srengseng Sawah, Lenteng Agung yang berupa bangsal- bangsal yang dulunya untuk merawat orang sakit jiwa. Dalam mendapatkan tenaga pengelola, Mgr. Willekens kemudian menghubungi Kongregasi Budi Mulia dan didatangkanlah Br Corbinianus untuk menjadi Direktur dan Br Mattheus sebagai pembantu. Di bawah Pimpinan dan sumber dana dari Vincentius, sebuah tempat penampungan untuk anak-anak terlantar sedikit demi sedikit mulai dibangun. Bangunan dari bambu untuk tempat tinggal para Bruder mulai didirikan. Tak lama setelah tempat dan tenaga pengelola tersedia, pada tanggal 17 Juni didatangkanlah 100 anak, yang diambil dari jalanan dan dari tempat hubian pengemis di Rustenburg. Mereka ini penghuni pertama tempat penampungan yang baru. Selain anak-anak itu juga didatangkan pakaian bekas, selimut dan bahan 37 makanan, Dari pakaian bekas itu, penduduk sekitar desa Srengseng Sawah membantu mendaur ulang sehingga menjadi pakaian anak-anak.11

1. Sejarah Panti Asuhan Al-Hakiim Aceh Tamiang

Dokumen yang terkait

Dukungan Petugas Kesehatan dalam Pelaksanaan Program UKS pada SD Negeri di Kecamatan Karang Baru Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh

2 41 60

Respon Masyarakat Terhadap Program-Program Pembangunan yang Bersumber Dari Alokasi Dana Desa (ADD) di Desa Johar Kecamatan Karang Baru Kabupaten Aceh Tamiang

0 16 142

MAKNA MAHAR DALAM PERKAWINAN ETNIK ACEH TAMIANG DI DESA TANAH TERBAN KECAMATAN KARANG BARU KABUPATEN ACEH TAMIANG.

4 15 26

Respon Masyarakat Terhadap Program-Program Pembangunan yang Bersumber Dari Alokasi Dana Desa (ADD) di Desa Johar Kecamatan Karang Baru Kabupaten Aceh Tamiang

0 0 12

Respon Masyarakat Terhadap Program-Program Pembangunan yang Bersumber Dari Alokasi Dana Desa (ADD) di Desa Johar Kecamatan Karang Baru Kabupaten Aceh Tamiang

0 1 2

Respon Masyarakat Terhadap Program-Program Pembangunan yang Bersumber Dari Alokasi Dana Desa (ADD) di Desa Johar Kecamatan Karang Baru Kabupaten Aceh Tamiang

0 0 14

Respon Masyarakat Terhadap Program-Program Pembangunan yang Bersumber Dari Alokasi Dana Desa (ADD) di Desa Johar Kecamatan Karang Baru Kabupaten Aceh Tamiang

0 0 27

BAB II GAMBARAN UMUM PANTI ASUHAN AL-HAKIIM DI ACEH TAMIANG 1. Sejarah Aceh Tamiang - Koeksistensi Sistem Hukum Dalam Pengelolaan Pendidikan Panti Asuhan Al-Hakiim Desa Paya Kulbi Karang Baru Kabupaten Aceh Tamiang

0 1 25

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - Koeksistensi Sistem Hukum Dalam Pengelolaan Pendidikan Panti Asuhan Al-Hakiim Desa Paya Kulbi Karang Baru Kabupaten Aceh Tamiang

0 0 24

Koeksistensi Sistem Hukum Dalam Pengelolaan Pendidikan Panti Asuhan Al-Hakiim Desa Paya Kulbi Karang Baru Kabupaten Aceh Tamiang

0 1 12