Sejarah Makyong Studi Deskriptif Pertunjukan Makyong Cerita Putri Ratna Oleh Sinar Budaya Group Medan

BAB III DESKRIPSI PERTUNJUKAN MAKYONG CERITA PUTRI RATNA OLEH SINAR BUDAYA GROUP MEDAN

3.1 Sejarah Makyong

Latar belakang sejarah makyong dimulai dari kerajaan dan kebudayaan Melayu yang tercatat sudah ada pada tahun 644 M di hulu Jambi, cukup luas pengaruhnya diberbagai wilayah di Indonesia dan semenanjung Malaka. Kerajaan-kerajaan pendukung kebudayaan Melayu pada masa lampau berpindah-pindah kedudukannya dari berbagai tempat dipulau Sumatera Utara ke Semenanjung Malaka dan sebaliknya. Setelah Jambi, kerajaan Sriwijaya yang berkedudukan di Sumatera Utara Selatan menjadi pendukung dan penyebar kebudayaan Melayu. Kerajaan Melayu pernah pula berkedudukan dipedalaman Melayu Sumatera Barat dan Singapura Tumasik. Pada tahun 1400 berdirilah kerajaan Melayu di Semenanjung Malaka sekarang Malaysia yang menjadi pusat kebudayaan Melayu dan pusat perdagangan serta agama islam. Kerajaan yang kemudian pindah ke Riau-Johor, kekuasaanya meliputi seluruh Barat dan Sumatera Utara. Karena itulah tumbuhlah kebudayaan “Melayu Pesisir” yang menerima banyak pengaruh dari pertemuannya dengan berbagai bangsa suku bangsa Jawa, Cina, Parsi, Siam dan bangsa-bangsa Eropa yang datang kemudian. Universitas Sumatera Utara Itulah sebabnya teater-teater yang menggunakan bahasa Melayu Indonesia lama tersebar luas bukan saja didaerah-daerah yang sudah disebutkan, melainkan juga didaerah-daerah diluar pulau Sumatera terutama di pesisir yang telah mendapatkan pengaruh kebudayaan Melayu misalnya lenong Jakarta dan Mamanda Kalimantan Selatan. Sesungguhnya didaerah penyebaran kebudayaan Melayu tersebut, teater yang biasanya disebut wayang dengan tema sastra Hindu-Jawa seperti Ramayana bukannya tidak ada. Akan tetapi perkembangan wayang atau teater pengaruh Jawa yang masuk pada zaman Majapahit abad ke-14 memang tidak sepesat di Jawa dan Bali. Adapun jenis wayang yang digemari adalah yang mendapat pengaruh dari Siam dan salah satu diantaranya adalah makyong yang lebih dikenal sejak abad ke-17. Makyong merupakan salah satu peninggalan kesenian tradisional Melayu. Dimana kesenian ini dalam pementasannya yang memperlihatkan unsur ritual dan menggabungkan unsur-unsur cerita, tari, nyanyi dan musik dalam pementasannya. Dahulu seni pertunjukan ini hidup dan berkembang pada beberapa tempat dalam kawasan Sumatera Utara dan Riau yang berfungsi sebagai hiburan rakyat di pedesaan pantai. Seni peran makyong telah mengalami modernisasi penyebutannya menjadi “teater tradisional” makyong, pada hakikatnya salah satu materi pengisi khazanah seni makyong dapat dianggap sebagai teater vokal yang mempertemukan pemain, dan pementasannya dengan penonton dalam ruang waktu dan tempat yang sama. Menurut Bandem dan Murgiyanto 1996:170 makyong merupakan seni peran berbentuk lakonan cerita yang telah popular dikalangan orang Melayu di Semenanjung Tanah Melayu paling tidak sejak abad ke-17 M dialog diatas pentas menggunakan bahasa Melayu. Rombongan Universitas Sumatera Utara terdiri atas kurang lebih 15 orang yang bertugas dari pukul 8 malam sampai menjelang subuh. Serangkaian cerita Makyong dapat dipertunjukan berturut-turut selama berhari-hari. Namun dilain hal, banyak para ahli meyakini awal mula munculnya Makyong didaerah Naraiyala Pattani, Thailand Selatan pada abad 17. Penyebarannya dari Thailand Selatan menuju Kelantan Malaysia melewati Singapura menuju Pulau Bintan yang kini termasuk dalam wilayah Kepulauan Riau dan masuk ke Sumatera Utara tepatnya di Kesulatanan Serdang. Meskipun demikian ada perbedaan mendasar, bila di Thailand Selatan maupun Kelantan Malaysia pertunjukan makyong tanpa topeng sedangkan di Sumatera Utara di Kesultanan Serdang dan di Bintan Kep.Riau menggunakan topeng. Sejarah keberadaan teater makyong di Sumatera Utara, tepatnya berada di Istana Kota Galuh Kesultanan Serdang, dimana teater Makyong ini merupakan “buah tangan” dari perjalanan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah Sultan Serdang ke V ketika melawat ke Perlis dan Kedah pada tahun 1898. Ketika itu Tengku Mahmud yang merupakan sultan dari Regent Kedah menghadiahkan seperangkat peralatan musik makyong lengkap dengan para pemainnya. Keberadaan teater Makyong ini dari dahulu hingga sekarang masih ada dan tetap dipelihara dan telah dilakukan perkembangan dan perubahan. Yang mana pada zaman dulu pementasan makyong dilaksanakan dengan memakan waktu semalaman suntuk, namun setelah dilakukannya perubahan dan dilakukannya beberapa perkembangan maka dalam pertunjukan makyong cukup hanya satu setengah jam atau dua saja dalam setiap cerita yang ditampilkan. Cerita-cerita makyong banyak yang diambil dari cerita-cerita Hindu dan Jawa yang dianggap popular. Salah satu cerita Hindu yang dimakusd adalah Anak Raja Gondang yang dianggap diambil dari cerita Sauvarna Sangkha Jataka The Golden Shell Jataka dimana cerita ini sangat terkenal di Kamboja, Siam, dan Tibet. Cerita Dewa Muda dan cerita Samadaru Universitas Sumatera Utara kemungkinan dianggap diambil dari cerita roman Panji dari Jawa seperti cerita Raden Panji Inu Kertapati. Cerita-cerita pada pertunjukan Makyong selalu menceritakan tentang kerajaan, Raja, Permaisuri, Tuan Putri, Putera Mahkota yang berjuang untuk mencapai tujuannya dengan berbagai malapetaka, menderita penuh sengsara yang harus dialami dan akhirnya berjaya dengan bantuan pihak ketiga seperti dewa atau dewi atau sahabat. Dalam isi cerita menggambarkan tentang perlawanan antara yang baik dan buruk dan kemudian berakhir dengan kemenangan yang baik. Teater makyong di Sinar Budaya Group mempunyai berbagai macam judul cerita seperti cerita makyong yang berjudul “Anak Raja Gondang”, “Cerita Dewa Muda”, “Dewa Samadaru”. “Dewa atau Raja Sakti”, “Dewa Indra atau Indra Dewa”, “Anak Raja Panah”, “Gading Bertimah”, “ Raja Tangkai Hati”, “Raja Muda Lakleng”, “Raja Muda Lembek”, “Raja Besar dalam negeri Ho Gading, “Bedara Muda”, “Putri Ratna”. Ada beberapa kesamaan cerita makyong yang ada di Sinar Budaya Group Serdang maupun di Riau seperti Megat Sakti, Tuan Puteri Ratna Emas, Gunung Intan, Wak Peran Hutan, namun diantara cerita yang sama tersebut cerita Anak Raja Gondang dan cerita Nenek Gajah Dandaru yang paling terpenting dalam pementasannya. Hal ini dikarenakan sebelum pementasan cerita Anak Raja Gondang dan cerita Nenek Gajah Dandaru haruslah melakukan ritual dan menyajikan sesajen dan ayam panggang guna suksesnya pertunjukan Makyong tersebut dari awal hingga akhir pertunjukan 9 . Namun di Bab III ini pembahasan penulis akan difokuskan terhadap deskripsi pertunjukan cerita Putri Ratna. 9 Lebih jauh lihat tulisan Ghulam Sarwar Youssof , dalam buku Pengantar Etnomusikologi dan Tarian Melayu oleh T.Luckman Sinar Basarsyah II, S.H hal39 . Ghulam Sawar Youssof adalah seorang ilmuwan budaya dari Universiti Malaya, Kuala Lumpur. Ia sangat intens melakukan penelitian dan penulisan tetaer tradisonal Melayu. Universitas Sumatera Utara

3.2 Cerita Putri Ratna