Simptom Gagalnya Wacana Kemanusiaan

200

1. Simptom Gagalnya Wacana Kemanusiaan

Hal pertama yang harus selalu diingat di dalam MIFEE-MP3EI yaitu bahwa semua ini adalah tentang kemanusiaan. Semua yang ada, seluruhnya adalah tentang membangun kualitas kehidupan masyarakat Indonesia dan dunia agar menjadi lebih baik, adil, sejahtera, bahkan bahagia, dan itu hanya bisa dicapai jika semua kerja pembangunan ini disandarkan pada asas kemanusiaan. Wacana kemanusiaan inilah yang digulirkan dan dijunjung tinggi oleh pemerintah Indonesia, melingkupi setiap titik dalam kerangka Simbolik kerja MIFEE-MP3EI dari konsep hingga praktek, merangkai dan mengaitkan setiap elemen dalam ruang lingkup kerjanya, bahwa semua ini adalah tentang memberi makan, tentang membebaskan manusia dari bahaya kelaparan. Apakah demikian juga halnya pada tataran yang-Real? Jawabnya belum bisa ditemukan sebelum pembahasan ini – seperti halnya ketika membahas tentang simptom Marind – menelisik simptom-simptom yang bisa ditemui dalam proses industrialisasi skala luas ini. a. Histeria Marind Ketika kemanusiaan diangkat sebagai simbol yang menaungi segala praktek dan konseptualisasi MIFEE, apa yang terjadi dan dialami oleh masyarakat Marind pun muncul dengan melanggar tatanan Simbolik tersebut. Histeria masyarakat Marind memperlihatkan bahwa telah terdapat suatu kontradiksi internal dalam kemanusiaan itu sendiri. Melalui histerianya, Marind sebagai masyarakat yang secara langsung merasakan 201 pengaruh operasionalisasi perusahaan-perusahaan MIFEE menjelaskan kisah lain dari cerita tentang kemanusiaan yang dinarasikan oleh pemerintah. Hal ini tidak bisa direduksi sebagai sekedar gap antara ide dan praktek yang bisa diperbaiki selanjutnya. Lebih daripada itu, simptom ini menunjukkan bahwa gagasan kemanusiaan tersebut telah menyimpan pergerakan lain dalam dirinya dan berada di luar kontrol kemanusiaan sebagai konsep itu sendiri. Simptom histeria Marind mencuat ke permukaan realitas sistem pembangunan Indonesia, tepat berhadap-hadapan dengan semua gestur korespondensi Presiden SBY kepada dunia internasional seputar bahaya krisis, bahwa Indonesia tidak mengalami krisis , bahwa krisis ini adalah krisis kita semua , bahwa ini adalah krisis global dan dibutuhkan solusi global pula . Jika dikembalikan lagi pada histeria Marind kepada MIFEE sebagai bagian dari solusi yang dibayangkan, maka pertanyaan tertinggal yang sebaiknya diingatkan kembali adalah bukan krisiskah apa yang dialami oleh Marind saat ini? . Dengan demikian Feed Indonesia and Feed the World pun tampil di depan wajah aslinya sendiri, yaitu suatu kehendak lain yang inheren sebagai hasil kreasi dari apa yang dibayangkan sebagai kemanusiaan. Dalam konteks yang lebih spesifik terkait dengan operasionalisasi perusahaa-perusahaan MIFEE di kampung-kampung Marind, simbolisasi kemanusiaan ini merepresentasikan dirinya melalui istilah Tali Asih yang secara kompak digunakan oleh setiap perusahaan dalam menamai uang kompensasi lahan bagi masyarakat. Istilah ini menjadi masalah tersendiri karena jelas-jelas ia bias bahasa Jawa hal yang juga disadari oleh para 202 perwakilan perusahaan dan bisa dipastikan begitu saja akan menafikan realitas Simbolik Marind. Lebih dari itu, Tali Asih sebagai simbolisasi kemanusiaan yang dalam bahasa Jawa mengandung makna suatu ikatan rasa kekeluargaan pun menegasi dirinya sendiri ketika ia dibebani juga dengan tanggungjawab dan kewajiban dari kepentingan strategis untuk membuka akses bebas terhadap sumber daya hutan. Dengan kata lain, kemanusiaan yang diusung oleh MIFEE dengan Feed itu sendirilah yang menafikan jarak antara Tali Asih dan struktur Simbolik Marind, bahkan lebih dari itu, juga menghapus makna primordial sebuah penanda untuk digantikan dengan nilai formal struktural yang berupa kewajiban. Fenomena ini pun sepenuhnya membenarkan apa yang telah dikatakan oleh Žižek bahwa poin penting dari kemanusiaan adalah untuk menekankan gap yang terbangun dalam diri subjek, yaitu gap antara realitas kompleks kehidupannya dan aturan yang harus dia jalankan dengan melawan kesadaran akan kompleksitas tersebut. 210 Dari perspektif ini bisa diambil pemahaman bahwa kemanusiaan sebagai bahasa bekerja dengan cara memisahkan diri dari esensialitasnya sendiri, dari nilai menjadi fungsi. Apa yang menjadi orientasinya bukanlah apa yang diinginkannya, melainkan lebih pada apa yang akan dihasilkan darinya. Jika ini dikembalikan pada konteks Tali Asih, maka yang penting bagi sebuah tanggungjawab dan kewajiban kemanusiaan adalah apa yang dihasilkan dari istilah tersebut, sehingga Tali Asih pun tak lain hanya sekedar alat fungsional. Dengan begitu, 210 Sla oj Žižek. . First as Tragedy, Then as Farce. London: Verso, hlm: 41. 203 proses pemaknaan atau simbolisasi sebagai sesuatu yang diinginkan oleh istilah tersebut pun dengan sendirinya berhenti. Pada intinya, pembacaan ini ingin menjelaskan bahwa bahasa kemanusiaan inilah yang telah melahirkan resistensi Marind, atau dengan kata lain, histeria Marind terjadi disebabkan oleh tidak merasa dimanusiakannya mereka oleh kemanusiaan. Kondisi Marind saat ini adalah kebenaran yang mencuat dari inti dasar yang dikandung oleh kemanusiaan MIFEE-MP3EI, kebanaran yang menemukan kemungkinannya untuk menunjukkan diri melalui segala bentuk resistensi yang dilakukan oleh masyarakat Marind. Dan sekali lagi, kemanusiaan ini dengan sendirinya menjelaskan bahwa dalam dirinya terdapat rongga kosong, sebagai lack yang merupakan jalan bagi simptom untuk menunjukkan dirinya. Rongga itu menunjuk pada keberadaan sesuatu yang melanggar konsistensi dari tatanan Simbolik yang menaunginya. b. Wacana Feed the World Kemanusiaan ini, jika dijumlahkan dengan masalah krisis global, maka akan menghasilkan pemerintah Indonesia yang sedang bermimpi dimana semua Negara maju dan berkembang bersatu dalam ikatan yang solid serta saling bekerja sama bahu-membahu untuk mengatasi bahaya krisis. Tidak ada masalah dalam impian seperti ini, bahwa ketika Negara-negara di dunia terbentur dengan suatu krisis bersama, maka wajar jika selanjutnya mereka mengikatkan diri di bawah naungan satu bahasa yang universal PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 204 kemanusiaan. Permasalahannya adalah: pertama, krisis tersebut, seperti telah dipaparkan dalam Bab Dua, tak lain adalah sebuah produk hasil rancangan lembaga-lembaga internasional yang diwacanakan demi kelancaran akses terhadap sumber daya alam di negara-negara berkembang; kedua, kemanusiaan tersebut pada akhirnya harus direduksi ke dalam sebentuk solusi program teknis yang tak mungkin dihasilkan tanpa sebelumnya berbicara soal jaminan keuntungan. Ketika kemanusiaan tersebut diterjemahkan menjadi sebuah program, maka yang dibutuhkan adalah seperangkat gagasan konseptual dan teknis dari visi yang menaunginya, yang mana semua itu selalu terbuka untuk dipahami ulang secara lebih kritis. Namun seolah melupakan hal itu, pemerintah Indonesia telah begitu saja menyediakan industrialisasi skala besar, Rencana Tata Ruang, pengembangan infrastruktur dan pengembangan sumber daya manusia, serta pembukaan akses seluas-luasnya bagi setiap investasi dan peluang pasar global, sebagai jalan untuk menterjemahkan visi kemanusiaan tersebut pada tataran praksis. Kesemua program itu dengan serta-merta hadir sebagai satu-satunya kemungkinan jalan menuju kemanusiaan yang dibayangkan dengan memberi makan Feed, dan di Merauke itulah yang disebut MIFEE. Lalu apakah orientasi dari semua program tersebut? Jawabnya adalah peningkatan ekonomi Indonesia, dimana keuntungan opportunity ditempatkan sebagai penanda dari tujuan kemanusiaan itu. 205 Hal ini cukup membingungkan, dengan penjelasan tersebut maka apa sebenarnya tujuan yang dimaksud? Kemanusiaan atau keuntungan? apa sesungguhnya yang kehendak yang terkandung dalam Feed the World itu? Ini janggal, ketika kemanusiaan dipercaya mampu dihasilkan melalui perhitungan matematis untung-rugi dari pertukaran pasar yang nilainya ditentukan oleh rasionalisasi atas suatu objek. Sementara objektifitas nilai itu sendiri selalu berdiri di atas landasan sistem pengetahuan tertentu yang diimani oleh – dalam konteks Negara – rezim penentu kebijakan. Dari sini bisa dilihat bahwa pada akhirnya keduanya memiliki arah yang saling berbeda, kemanusiaan mengarah kepada permasalahan subjek, sementara keuntungan lebih mengarah pada persoalan objek. Dengan demikian apa yang dikehe ndaki oleh wacana Feed the World pun adalah sesuatu yang memungkinkan untuk menampung keduanya, dan itu tak lain adalah kesadaran tentang masyarakat dunia yang kelaparan krisis. Sehingga bukan hanya keuntungan yang bisa menjanjikan kemanusiaan, tapi kemanusiaan yang akan memproduksi keuntungan. Di sinilah letak wacana Feed the World sebagai simptom itu menunjukkan bahwa kerangka Simbolik kemanusiaan tersebut memang dibutuhkan, bahwa harus ada simbolisasi yang memungkinkan bagi krisis sebagai objek hasrat itu layak menampakkan diri. Maka jika dalam prakteknya di lapangan MIFEE telah menunjukkan wajah aslinya melalui simptom histeria Marind, pada wilayah gagasan wacana kemanusiaan yang dibawa oleh pemerintah Indonesia juga menunjukkan bahwa kemanusiaan itu hanyalah jalan menuju krisis untuk kemudian meraih keuntungan 206 darinya. Jika kedua kasus ini dipertemukan maka yang akan dihasilkan adalah kenyataan bahwa dengan MIFEE-MP3EI sebagai jalan kemanusiaan, pemerintah Indonesia mengalami gangguan penglihatan, karena yang ingin dibangun oleh wacana kemanusiaan tersebut adalah kondisi krisis itu sendiri, yang secara psikoanalitik bisa disebut sebagai kondisi kekurangan lack. Mengapa bisa demikian? Bagaimanakah kemanusiaan itu ternyata menyimpan suatu kehendak lain yang justru berlawanan dengannya? Untuk bisa memahaminya secara lebih mendalam, pembahasan ini harus memasuki dunia fantasi yang membangun dan mengarahkan hasrat pemerintah Indonesia yang dalam hal ini direpresentasikan oleh Presiden SBY dalam memaknai krisis dan kesejahteraan sebagai kenikmatan.

2. MIFEE-MP3EI sebagai Fantasi