MIFEE-MP3EI: Krisis dan Peluang Negara Liberal

217

3. MIFEE-MP3EI: Krisis dan Peluang Negara Liberal

Dari semua pembahasan sebelumnya bisa ditarik satu kesimpulan sementara bahwa produksi wacana pembangunan adalah juga produksi wacana krisis, yang secara psikoanalitik adalah produksi hasrat akan lack. Ide tentang suatu sistem pembangunan ekonomi tidak mungkin bisa berdiri sendiri tanpa dilatari oleh sebuah konteks permasalahan yang memungkinkannya untuk hadir sebagai suatu respon formulatif yang pastinya dimaksudkan demi kebaikan hidup masyarakat. Latar belakang kontekstual ini pun tidak mungkin hadir tersendiri tanpa didukung oleh suatu kehendak politik yang menempatkannya dalam struktur rangkaian kepentingan bersama ideologis. Dengan demikian, krisis sebagai latar belakang kontekstual tak lain adalah hasil dari ide tentang sistem pembangunan itu sendiri, sebagaimana juga sebuah wacana tentang kepentingan bersama yang merupakan hasil dari sebuah kehendak politik yang berkepentingan terhadap kepentingan bersama tersebut. Akan tetapi ERIA seolah mengatakan sebaliknya. Yang tersajikan kepada masyarakat adalah bahwa semua berjalan dalam sebab-akibat yang berurutan. Krisis terjadi dan menciptakan gagasan tentang pembangunan yang sesuai dengan kepentingan bersama, dengan demikian kepentingan bersama itulah yang mengharuskan diarahkannya suatu kehendak politik. Dalam setiap laporannya, ERIA menjelaskan semuanya secara logis dan rasional disertai dengan seperangkat metodologi serta akurasi dan faliditas PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 218 data yang representatif, yang menjelaskan bahwa semua ini adalah ilmu pengetahuan. a. Krisis dan Peluang sebagai Komoditas Dalam menjelaskan fetisisme komoditi Marxian, Žižek mengatakan bahwa fetisisme pada titik ini bukan lagi fetisisme feudal masyarakat pra- kapitalis yang terdapat dalam intersubjektifitas relasi sosial Tuan-hamba, melainkan telah bergeser menjadi relasi sosial yang terkandung dalam sebuah produk, yaitu ketika sebuah produk dipercaya mampu mewakili nilai sosial dalam relasi antara setiap produsen pekerja dan konsumen. Hal ini bukan dimaksukan bahwa fetisisme komoditi adalah penggantian orang dengan benda, tapi adalah misrekognisi tertentu menyangkut relasi sosial antara jaringan Simbolik yang terstruktur dengan salah satu elemen yang dikandungnya, yaitu efek dari relasi tersebut, yang dipandang sebagai nilai alamiah serta hanya dimiliki oleh elemen itu dan terlepas dari elemen lainnya. 216 Demikian juga halnya dengan pengetahuan rasional sebagai produk. Ketika pengetahuan rasional cogito Cartesian hadir tak hanya sebagai mesin penghasil modernisme yang melalui sejarah panjang kapitalisme mengangkat status negara-negara Eropa, Amerika dan sebagian Asia-Pasific menjadi Negara maju, namun juga menjadi penanda dari modernitas itu sendiri. Ia pun – melalui imperialisme dan kolonialisme – pada akhirnya 216 Sla oj Žižek. Ibid., hlm: 19-22. 219 menciptakan pasar baru dalam konteks kultural-politik dengan merekonstruksi struktur-struktur pengetahuan yang telah ada, 217 yaitu pasar yang menyediakan rasionalisasi atas jalan menuju kesejahteraan dan kemerdekaan sebagai wujud dari kemanusiaan dengan bersandar pada klaim-klaim objektif dan ilmiah. Pasar yang hadir dalam bentuk lembaga- lembaga perekonomian di tingkat regional dan internasional ini kemudian dipercaya sebagai jawaban tak terperi dari segala permasalahan sosial- ekonomi yang secara rasional dialami oleh negara-negara miskin dan berkembang. Pada titik ini tak bisa dipungkiri bahwa pemerintah Indonesia – dengan MP3EI – merupakan konsumen setia bagi pasar baru tersebut, yang begitu saja menerima segala produk rasional yang telah dihasilkannya. FAO dan ERIA, misalnya, diposisikan sebagai industri dari segala kebutuhan akan strategi pembangunan ekonomi, dimana semua produknya begitu saja dibenarkan karena berlabel ilmu pengetahuan dari Negara-negara maju. Bahkan meskipun setiap rasionalisasi itu juga tidak pernah mampu menjamin kebenarannya sendiri selain hanya dengan sistem logika yang dibangunnya, tetap saja, bagi pemerintah Indonesia kesadaran itu seolah tidak ada. Maka terkait dengan fetisisme komoditi, strategi pembangungan ekonomi bernama Indonesia Economic Development Corridor IEDC sebagai produk adalah representasi dari misrekognisi pemerintah Indonesia dalam memandang relasi antara struktur Simbolik pemerintahan dan ilmu pengetahuan. Misrekognisi yang terletak pada anggapan yang menempatkan 217 Ania Loomba. 2003. KolonialismePascakolonialisme. Yogyakarta: Bentang, hlm: 74-75. 220 pengetahuan sebagai salah satu elemen dari sistem pemerintahan yang secara alamiah tak terbantahkan. Pandangan semacam itu bisa dibaca sebagai apa yang dijelaskan oleh Freud disebut dengan fetishistic disavowal, suatu pandangan rasional yang mengingkari irasionalitasnya sendiri. Hal ini tidak bisa disederhanakan sebagai persoalan kepercayaan, bahwa pemerintah Indonesia percaya begitu saja tanpa alasan kepada FAO dan ERIA, karena ia melibatkan pengetahuan. Apa yang menjadi titik permasalahannya adalah bagaimana kedua lembaga tersebut direkognisi. Dengan pemahaman tentang tidak adanya jaminan kebenaran yang mutlak dari keduanya, bisa dikatakan terdapat kontradiksi dalam proses rekognisi pemerintah Indonesia dimana pemahaman tersebut dihianati oleh suatu pengetahuan yang berlawanan, pengetahuan yang terkodifikasi menjadi fantasi dan menstrukturkan hasrat 218 serta mengarahkan sistem kebijakannya. Dengan demikian, lagi-lagi dorongan kemanusiaan itu pun terjebak dalam fantasi, memandang IEDC sebagai objek a, sehingga difetiskan dan dinikmati sebagai masculine cogito, walaupun ia justru menjadi irasional ketika ia mampu merasionalisasi segala hal. Inilah yang membuat SBY dan jajarannya, walaupun sebenarnya tidak ada jaminan atas kebenaran dari semua rasionalitas proyek ini – but still, – mereka tetap menjalankannya. 218 Henry Krips. 1999. Fetish: An Erotics of Culture. London: Free Association Books, hlm: 29-30. 221 b. Potensi dan Tantangan: dari Surplus Nilai ke Surplus Jouissance Dalam konteks MIFEE-MP3EI, bagaimana pengetahuan rasional itu bekerja dalam menghasilkan jouissance? Atau setidaknya telah menyediakan ruang untuk memproduksi kenikmatan secara berkelanjutan? Sebagaimana telah penulis jelaskan dalam Bab II, segala hasil kajian atau penelitian yang telah dilakukan, baik oleh lembaga nasional, regional maupun internasional, telah memproduksi suatu penalaran tentang Merauke, bahkan Indonesia, sebagai suatu potensi sekaligus tantangan . Potensi, yang di dalamnya mencakup sumber daya alam, posisi geografis dan bonus demografi sebagai tiga hal yang memang tidak pernah berubah sedari dulu, tiba-tiba mencuat sebagai suatu nilai baru yang dimiliki oleh Indonesia. Wacana pengetahuan membuat segala sesuatu yang sebelumnya tak dipandang itu menjadi ada dan menampilkan diri sebagai potensi. Dalam kurun waktu kurang-lebih tiga tahun 2010-2012 Indonesia tampil sebagai objek hasrat bisnis yang mengandung objek a, sebagai surplus nilai yang menyediakan dirinya untuk dieksplorasi. Sementara tantangan , merupakan wacana pengetahuan yang menyediakan impossible gaze akan masa depan, gambaran akan suatu kondisi yang lebih dari sekedar rasionalisasinya sendiri, dimana pemerintah Indonesia membayangkan dirinya di masa depan 2025-2050 sebagai kebenaran yang melihat pada dirinya saat ini. tantangan sebagai gaze selalu bekerja dengan senantiasa berada di luar objektifitas yang dihasilkannya, selalu menjaga objek a tetap tak 222 tersentuh dan mengkondisikan hasrat terhadap potensi dan menjaga tantangan tetap dalam posisinya sebagai hasrat yang tak pernah terpenuhi dan selalu membutuhkan lagi rasionalisasi fantasi. Dengan demikian wacana tentang tantangan pada dasarnya lebih menghendaki diproduksinya selalu pengetahuan tentang potensi ketimbang apa yang dicapainya dari penyikapan terhadap potensi , sehingga tantangan tersebut tetap menjadi gaze yang tak pernah usai. MP3EI sebagai produk pengetahuan itu pun bekerja lebih untuk memperhatikan rasionalitasnya sendiri dari pada realitas ekonomi-politik yang dihasilkannya, lebih untuk mempertahankan tantangan agar selamanya menjadi tantangan , karena hanya dengan itulah peluang selalu terbuka dan sistem produksi bisa tetap berjalan. Dengan kata lain, apa yang sesungguhnya dihasrati oleh pemerintah Indonesia adalah pengetahuan rasional itu sendiri, adalah MIFEE-MP3EI itu sendiri, dan bukan apa yang menjadi tujuannya. Pada titik inilah eksistensi sistem produksi itu menampakkan dirinya sebagaimana yang telah jauh hari dikatakan oleh Marx bahwa the historical mission of the bourgeois is accumulation for acumulation s sake, production for production s sake , 219 bahwa tujuan dari sistem produksi bukanlah apa yang dihasilkan dari produksinya melainkan keberlangsungan produksi itu sendiri, sehingga potensi tetap menjadi potensi sebagaimana tantangan yang juga tetap menjadi tantangan. Semuanya berjalan dan digerakkan oleh fetisisme pengetahuan rasional yang merujuk pada sesuatu yang 219 Karl Marx. 1992. Capital: A Critique of Political Economy, vol.I. London: Penguin Classic, hlm: 595. 223 membuatnya tak pernah berhenti berputar, sesuatu yang lebih bersifat sebagai ekses something extra yang merupakan surplus kenikmatan dari segala aktivitas pengetahuan tersebut. Demikianlah bagaimana kerja pengetahuan rasional yang selalu menghasilkan surplus value itu senantiasa berkorelasi dengan ketakpenuhannya sendiri, dengan inti ketaksadaran dan irasionalitasnya yang hadir sebagai enjoyment, surplus jouissance, sebagai bagian dari kerja pengetahuan rasional yang tak tersimbolisasi. 220 Wacana tentang potensi dan tantangan tersebut adalah representasi dari apa yang telah Žižek jelaskan sebagai homologi antara limit dan ekses, atau lack dan surplus, yaitu ketika Marx mengatakan bahw a limit dari capital adalah capital itu sendiri, yakni moda produksi kapitalis , maka pada dasarnya limit yang berupa kontradiksi internal itulah yang justru menjadi kekuatan bagi kapitalisme untuk berkembang secara permanen. 221 Pada konteks MIFEE-MP3EI, wacana tentang MeraukeIndonesia sebagai potensi surplus value menciptakan suatu limit dimana sistem pengetahuan hanya semakin mengkondisikan dorongan kemanusiaan terjebak dalam rasionalisasinya. Akan tetapi justru dalam keterjebakan itulah hasrat untuk merasionalisasi potensi sebagai tantangan itu terlahir, sehingga proses inilah yang menghasilkan ekses kenikmatan surplus jouissance, kenikmatan yang didapatkan bukan dari keberhasilan dalam meraih tujuan hasrat, melainkan dari proses berhasrat itu sendiri. MIFEE-MP3EI tak hanya akan memproduksi nilai value melalui kerja pengetahuannya, melainkan juga kenikmatan 220 Vabio Vighi. 2010. O Žižek s Diale ti s: Su plus, Su t a tio , Su li atio . London: Continuum, hlm: 43. 221 Slavoj Žižek. Ibid., hlm: 52. 224 jouissance yang dihasilkan dari aktivitas memproduksi nilai. 222 Dengan demikian tidak bisa dipungkiri lagi bahwa wacana tentang potensi dan tantangan ini hanya akan melanggengkan status dari surplus tersebut satu- satunya kemungkinan modal dari kelanjutan sistem produksi kapitalis. Sehingga yang dipentingkan oleh wacana ini bukanlah masyarakat atau kondisi yang dihasilkan dari sistem produksi, melainkan sistem produksi itu sendiri. c. Neoliberalisme sebagai Penanda Utama Pada akhirnya, segala kenikmatan yang ada dalam kerangka kerja MIFEE-MP3EI ini tak mungkin disandarkan pada hal lain kecuali pengetahuan rasional. Sementara jika ditarik kembali kepada pembahasan tentang fantasi, maka segala bentuk pengetahuan rasional ini adalah penalaran Liyan tentang objek a, tentang jouissance, dimana jika dilihat dari bagaimana program ini membangun visi, misi dan orientasinya, maka yang akan ditemui adalah private property right, free trade dan free market, yang ketiganya merupakan pintu yang disediakan oleh neoliberalisme menuju apa yang dimaksudnya sebagai kebebasan freedom. Liberalisme mengkostruksi ide tentang kebebasan sebagai kenikmatan, sebagai wujud dari kemanusiaan yang diasumsikan terkandung dalam hak kepemilikan properti, yaitu suatu bentuk privatisasi yang membuka akses bagi pemilikan properti secara individual dari beragam 222 Jodi Dean. 2006. Žižek s Politi s. New York: Routledge, hlm: 4-6. 225 sumber daya yang semula dimiliki bersama. 223 Privatisasi hak kepemilikan ini menuntut kebijakan di Negara-negara berkembang untuk mengatur, bahkan merubah, cara pandang masyarakatnya dalam menyikapi sumber daya misalnya hutan, dari dimiliki bersama menjadi dimiliki oleh individu atau kelompok tertentu, dari sebagai ruang sosial-budaya menjadi aset ekonomi yang memungkinkan berbagai macam korporasi dari negara-negara maju untuk mengaksesnya sebagai ladang bisnis. Dengan membuka batas-batas negara melalui sistem regulasi internasional dan proteksi sosial-budaya terhadap sumber daya tersebut, Negara-negara neo-liberal menciptakan sistem pasar dan perdagangan bebas sebagai arena bagi bisnis korporasi multinasional dan iklim investasi yang bagus untuk usaha-usaha kapitalistik, seraya menyiapkan jalan untuk mengakumulasi modal secara berkelanjutan dari setiap kerjasama yang melibatkan modal asing dan domestik. 224 Dengan demikian kebebasan pun telah dikerdilkan menjadi sekedar kebebasan individual dalam berbisnis dan menyikapi setiap properti serta sumber daya, dimana ujung dari semua ini tak lain adalah keuntungan, sebagaimana yang telah ditulis oleh Presiden Amerika Serikat G.W. Bush dalam prime time press conference-nya pada tahun 2004 bahwa kemanusiaan hanya ada dalam kebebasan dan kebebasan hanya 223 David Harvey. 2003. The New Imperialism. New York: Oxford University Press. 224 David Harvey. 2005. A Brief History of Neoliberalism. New York: Oxford University Press, hlm: 70. 226 mungkin diwujudkan melalui keuntungan, 225 sementara keuntungan itu adalah hasil dari bisnis. Jadi, kebebasan adalah bisnis. Secara ideologis, kebebasan ini dihadirkan lebih dari sekedar formalitas dunia bisnis, keduanya bahkan menyatu dalam satu wajah Demokrasi Sosial 226 yang memuat sekaligus gagasan tentang kesetaraan hak- hak dasar politik, sosial, ekonomi dan budaya, beserta ide tentang kesatuan identitas sosial-politik kebangsaan. Dengan demikian jawaban dari kebutuhan akan demokrasi tak lain adalah pasar, dimana sistem perdagangan ditempatkan sebagai suatu kondisi ideal yang mampu menjelaskan bahwa di era global ini setiap individu adalah pemenang. Di sinilah neoliberalisme mengkostruksi identitas setiap masyarakat dunia sebagai subjek pasar, bahwa subjek tak lain adalah subjek sebagaimana yang dideskripsikan oleh sistem komunikasi kapitalisme; bahwa satu-satunya hal yang mampu mempertemukan setiap orang dengan diri, kebutuhan dan hasratnya adalah pasar. 227 Di tingkat Asia hal ini dicerminkan oleh regionalisme ASEAN sebagai bentuk ikatan kerjasama antar negara-negara Asia Tenggara yang mengusung suatu konsep tentang demokrasi melalui prinsip dasar yang disebut dengan The ASEAN Way . Konsep yang – sebagaimana sudah penulis 225 Ibid., hlm: 6. 226 Demokrasi Sosial adalah pendekatan pragmatis yang memberikan nilai dan kepentingan hak- hak dasar sipil, politik, sosial, ekonomi, dan budaya dalam kerangka kerjanya. Institusi demokrasi sosial perlu dibentuk sesuai dengan kondisi nyata yang ada di masing-masing negara yang berada di bawah pengaruh globalisasi ekonomi. Dalam era globalisasi, demokrasi sosial membutuhkan implementasi simultan pada dua tingkat: dalam setiap negara dan di arena global. Lihat Meyer 2012. 227 Jodi Dean. 2008. Enjoying Neoliberalism, jurnal Cultural Politics, vol.4, issue 1, pp.47-72. 227 singgung di Bab Dua – mengutamakan dialog dan konsensus, serta menghormati prinsip-prinsip kedaulatan dan tidak ikut campur dalam urusan negara anggota ASEAN ini menjadi sebuah jalan demokratisasi dimana konstruksi tentang identitas ke-Asia-an diletakkan sebagai landasan ideologisnya. One vision, one identity, one community menjadi motto utama dalam membangun setiap kerangka kerjasama konektisitas, baik antar Negara-negara anggota ASEAN maupun ASEAN+ khususnya Jepang, Korea dan Cina, yang dalam konteks pembangunan ekonomi Indonesia telah melahirkan IEDC yang kemudian menjadi MP3EI. MP3EI sebagai suatu bentuk proyek kebijakan ekonomi yang mengusung ideologi neoliberal adalah sistem yang menghendaki dilahirkannya bermacam kesepakatan perdagangan bebas Free Trade Agreement, serta tersedianya berbagai kebijakan nasional yang membuka jalan bagi berbagai perusahaan asing atau trans-nasional untuk bebas mengakses sumber daya yang dimiliki oleh Indonesia. Dan ketika kondisi ini sudah berjalan, berbagai sumber daya alam Indonesia misalnya hutan masyarakat Marind pun secara formal dan privat telah dikuasai oleh korporasi-korporasi domestik dan asing, yang selanjutnya justru menciptakan ke-tidakmanusiawi-an. Dengan demikian, gagasan demokrasi yang diusung oleh ASEAN dan telah dipraktekkan oleh Indonesia pun tak lain adalah penanda utama yang kosong dan akan dengan mudah diisi oleh ide atau gagasan apapun, sejauh ide dan gagasan tersebut memiliki kekuatan politik untuk mengisi kekosongannya. 228 Maka pada akhirnya, ketika rasionalisasi tentang krisis dan keuntungan mampu mendorong pemerintah Indonesia merasionalisasi dirinya sebagai potensi dan tantangan, maka the ASEAN Way sebagai jalan demokrasi dan motto ASEAN sebagai landasan konetisitas sosialnya pun telah terbuka sebagai wadah bagi dijalankannya sistem ekonomi neoliberal yang menunjukkan bahwa bagi ASEAN keuntungan yang dihasilkan dari bisnis itu bukan hanya akan membawanya kepada kebebasan, melainkan juga membawanya menjadi suatu kesatuan Asia: one freedom. Dengan demikian secara psikoanalitik keuntungan ini menempati posisinya sebagai yang-Real

C. PRIMORDIALISME MELAWAN KOSMOPOLITANISME: MARIND DAN