InKonsistensi Bahasa sebagai Simptom

166 kesalahan, karena setiap kali pesan itu sampai, seketika itu juga selalu ada yang terlupa untuk diturutsertakan dalam penyampaiannya. 190 Demikianlah Merauke sebagai medan bahasa, medan yang mempertemukan Marind dan MIFEE, bahasa dari berbagai bentuk perjuangan ketaksadaran yang selalu akan menderita kekurangan abadi. Pada titik inilah Marind dan MIFEE hadir sebagai bahasa, sebagai metafor, sebagai simptom dari apa yang disebut sebagai ideologi.

A. IDEOLOGI MARIND

Dalam pembahasa tentang ideologi Marind, penulis akan menelusurinya melalui beberapa teori Lacanian Žižek tentang ideologi, khususnya melalui bagaimana Žižek mengaitkan penjelasannya tentang ideologi dengan skema perjalanan hasrat graph of desire Lacanian. Namun sebelum itu, sekali lagi, semua kemungkinan dari pergerakan ideologi Marind akan dipahami melalui sipmtom-simptom yang akan coba penulis kategorisasikan sebelum pembahasan ini menginjak pada masalah fantasi, hasrat dan dorongan drive.

1. InKonsistensi Bahasa sebagai Simptom

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, doing harus ditempatkan sebagai simptom yang bersifat metaforikal ketika menyampaikan apa yang 190 Sla oj Žižek. . Enjoy Your Symptom: Jacques Lacan in Hollywood and Out. New York: Routledge. 167 terkandung dalam ketaksadaran. Sebagai hasil dari penandaan pengganti signifying substitution atas gejolak ketaksadaran yang direpresi, bentuk- bentuk simptomatik adalah ekspresi yang bekerja demi menyatakan konten yang dikandungnya agar dikenali oleh tatanan Simbolik masyarakat yang dimaksudkannya. Penanda baru simptom mempertahankan kesamaannya similarity dengan penanda lama yang terepresi dan kini digantikannya. Oleh karena itu, walaupun simptom selalu membuka dirinya untuk diinterpretasi dan diketahui maknanya, tetaplah itu bukan pekerjaan yang mudah. Hal yang terpenting adalah mengidentifikasi dan mengkorelasi ulang segala memori subjekmasyarakat yang sejauh ini telah bersilang-sengkarut dalam segala proses penandaan pada tatanan Simbolik. 191 Sehubungan dengan ini, Žižek mengatakan bahwa simptom bukan hanya terbuka untuk diinterpretasi, bahkan ia juga dibentuk oleh pandangan interpretasi. 192 Berdasarkan penjelasan tersebut, selanjutnya penulis akan merumuskan simptom masyarakat Marind ke dalam tiga kecenderungan umum dalam tatanan Simbolik mereka, dimana kesemuanya merupakan bentuk respon atas kehadiran MIFEE dan bisa dikategorisasikan ke dalam satu kecenderungan, yaitu inkonsistensi dan konsistensi bahasa. Ketiga simptom tersebut terbagi menjadi: pertama, adalah bahasa penerimaan yang menempatkan Merauke sebagai representasi dari keinginan akan kehidupan modern; kedua, adalah bahasa penolakan terhadap MIFEE yang seringkali memperlihatkan kebimbangannya, dan; ketiga, adalah kecenderungan 191 Joel Dor. 1998. Introduction to the Reading of Lacan: The Unconsciousness Structured Like a Language. Other Press, hlm: 74. 192 Sla oj Žižek. . The Sublime Object of Ideology. London: Verso, hlm: 79. 168 masyarakat untuk selalu menyampaikan cerita-cerita tentang identitas, mitologi dan sejarah leluhurnya. a. Bahasa Penerimaan Dalam beberapa proses wawancara dan observasi di lapangan, penulis kerap kali mendapati kota Merauke diposisikan oleh masyarakat sebagai representasi dari bentuk kehidupan yang diidamkan, dimana segala fasilitas modern turut mewarnai segala aktivitas keseharian manusia. Merauke menjadi suatu imaji dari hasrat yang tak tersampaikan, yang turut menggiring dan menentukan arah kehidupan yang dipilih oleh masyarakat. Dalam hal ini yang harus dilihat bukanlah kota Merauke sebagai hasil modernisasi yang tatanannya masih bisa dipermasalahkan ulang, melainkan sebagai sebuah bentuk atau gambaran kehidupan material yang memamerkan dan memperhadapkan dirinya ke depan wajah identitas masyarakat Marind. Apa yang terlihat adalah berseraknya jejak-jejak keMeraukean sebagai retakan lack yang terkandung dalam tatanan Simbolik adat atau tradisi. Hingar-bingar suara sound sistem dan motor di kampung Ndumande misalnya, menjadi subs titusi dari sesuatu yang tertekan dan tak menemukan signifikansinya dalam bentuk kehidupan berkuda sebelumnya. Ia menampakkan diri dan menunjukkan jejak-jejaknya dengan menghadirkan penanda baru dalam kehidupan kampung, penanda yang hadir demi mendapatkan pemaknaan di antara makna-makna yang dilekatkan pada 169 sagu, kelapa, kasuari dan berbagai simbolisasi dalam struktur kehidupan Marind lainnya. Bukan bermaksud untuk mengatakan bahwa segala atribut Simbolik adat tak lagi bermakna, melainkan simbolisasi adat itu sendiri saat ini telah sampai pada batas kepenuhannya, sehingga tak lagi mampu menampung kehadiran makna-makna baru yang terlahir dari proses identifikasi masyarakat, dialektika antara mereka dan Liyan yang juga terus berkembang. Pada titik ini, MIFEE sebagai Liyan pun menjawab baca: mengkonstruksi kebutuhan need masyarakat Marind dengan memahaminya sebagai permintaan demand ekonomis yang terwujud, misalnya, dengan diberikannya uang Tali Asih atau dibangunkannya beberapa fasilitas infrastruktur kampung agar pemenuhan terhadap kebutuhan tersebut bisa tercapai. Sehingga kebutuhan bagi Marind adalah kebutuhan sebagaimana yang dikatakan oleh MIFEE sebagai kebutuhan. Namun, apakah dengan demikian pemenuhan terhadap kebutuhan kenikmatan hidup Marind itu akan tercapai? Bukankah kondisi tersebut hanya semakin menahan masyarakat Marind untuk tetap berada dalam lingkaran permintaan , karena hanya selalu mengartikan kebutuhannya melalui bahasa yang diajarkan oleh MIFEE, yaitu bahasa ekonomi. Proses inilah yang menunjukkan bahwa kota Merauke adalah sipmtom dari Marind. Kota Merauke sebagai representasi dari bentuk keterpenuhan hidup di era modern muncul seperti jerawat di tengah hutan dan adat-istiadat sebagai wajah Simbolik Marind, jerawat yang menjelaskan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 170 bahwa tanpa kemunculannya sebuah wajah tidak akan pernah sempurna. Kota Merauke sebagai jerawat telah menjelaskan bahwa ketaksempurnaan hidup Marind disebabkan oleh terdapatnya sesuatu di dalam kedirian Marind yang belum tertandai, atau tak mampu tertandai oleh tatanan Simbolik adat, yang selanjutnya menemukan kota Merauke sebagai penanda bahasa yang tepat dan menampungnya dalam kehidupan modern. Bagi Marind, itulah kemajuan yang terbayang, dimana kota Merauke menempati posisi sebagai penanda baru yang menampung berbagai macam penanda modern lainnya. Maju seperti Merauke , memiliki fasilitas hidup seperti rumah, kendaraan, sarana ibadah dan pendidikan, serta segala bentuk modernitas lainnya sebagaimana yang bisa ditemui di kota Merauke, menjadi kondisi yang oleh sebagian Marind dianggap saat ini hanya bisa dipenuhi dengan jalan menerima kehadiran perusahaan di kampungnya. Hal ini penting untuk dilihat sebagai keterjebakan Marind sebagai masyarakat pasca-kolonial dalam mengidentifikasi kebutuhannya atas kenikmatan, kebutuhan yang terlanjur disandarkan pada rasionalisasi modernism, yang pada saat ini hadir melalui MIFEE. Dengan demikian, penerimaan sebagian masyarakat Marind terhadap perusahaan-perusahaan MIFEE yang hadir di kampungnya tidak bisa dilihat sebagai tujuan, melainkan hanya jalan atau cara untuk melekatkan diri pada kenikmatan yang dicarinya, yang tidak menutup kemungkinan bahwa MIFEE dengan segala objek material yang dihadirkannya tersebut juga memiliki keterbatasan sebagaimana adat. 171 Dari sini penulis bermaksud memperlihatkan bahwa inilah bahasa yang dimiliki oleh Marind untuk memasuki dunia Simbolik kehidupan modern, yaitu bahasa ekonomi keterpenuhan material, dimana kota Merauke ditempatkan sebagai representasi dari satu-satunya kemungkinan untuk dipertahankannya kedirian mereka. Bahasa ekonomi ini menjadi bahasa yang digunakan untuk merasionalisasi dan menjangkau suatu capaian kenikmatan yang diinginkan, bahasa yang digunakan untuk mengenali kebutuhannya, untuk dijelaskan kepada Liyan dan bahkan dirinya sendiri. Dengan demikian, apa yang selanjutnya terjadi pada Marind adalah permintaan yang tak kunjung usai, dari objek material satu ke yang lainnya, hingga yang bisa mewakilinya hanyalah Merauke. Merauke sebagai bahasa, sebagai metafor yang turut serta bersama penanda adat yang masih sepenuhnya memainkan perannya dalam kehidupan masyarakat, namun tak memungkinkan lagi untuk diintegrasikan ke dalam tatanan Simbolik kehidupan modern. Di sinilah inkonsistensi dari penerimaan itu terlihat, seperti ungkapan ketua LMA kampung Ndumande yang secara implisit menjelaskan bahwa dengan MIFEE kehidupan Marind akan menjadi sejahtera, namun siapalah Marind jika hutan telah rata dengan tanah. b. Bahasa Penolakan Inkonsistensi bahasa sebagai simptom bisa dilihat dengan lebih jelas dalam sikap penolakan terhadap MIFEE. Dalam hal ini pertama-tama yang harus dijelaskan adalah bahwa inkonsistensi bahasa ini pada dasarnya terjadi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 172 dalam segala penyikapan terhadap MIFEE, baik yang menolak ataupun yang menerima. Akan tetapi perbedaannya terdapat pada bahwa dihadapan pemerintah dan perusahaan, penolakan itu selalu membutuhkan lebih banyak alasan rasional dibandingkan dengan yang menerima. Sikap menerima pada dasarnya tidak membutuhkan alasan lebih lanjut. Walaupun begitu, masyarakat yang menerima – meskipun memiliki orientasi yang sama-sekali berbeda – tetap menjelaskannya dengan menggunakan bahasa ekonomi seperti yang memang diinginkan oleh MIFEE. Sementara penolakan, karena merupakan pelanggaran terhadap hukum kebijakan Negara yang berlaku, dengan sendirinya menghendaki rasionalisasi dalam setiap penyampaiannya, dan Marind pun telah mengajukan segala alasan rasional dari penolakannya. Oleh karena itu yang selanjutnya harus dijelaskan bukanlah mengapa mereka menolak, karena penulis anggap hal itu sudah cukup jelas dan sederhana bahwa mereka menolak karena mereka menganggap MIFEE tidak sesuai dan bahkan melanggar ke-Marind-an mereka. Akan tetapi sejauh apa penolakan tersebut merupakan sebuah kondisi yang eksis dalam pergerakan hidup Marind? Itulah pertanyaan yang lebih tepat untuk dicari jawabnya terkait dengan bahasa penolakan ini, dan dengan demikian hal yang harus dilihat dalam sikap penolakan Marind terhadap MIFEE adalah bagaimana upaya mereka untuk memberikan segala bentuk bahasa dari penolakan tersebut. Dalam hal ini bahasa penolakan yang muncul demi merasionalisasi penolakan mereka. Bahasa pertama yang paling mencolok adalah tuntutan masyarakat Marind terhadap perusahaan terkait ganti rugi atas hilangnya hutan mereka, 173 misalnya dalam kasus Sanggase-Buepe pada tahun 2011. Memang tidak bisa dipungkiri lagi bahwa diterimanya uang sebesar 3 Milyar rupiah dari PT. Medco oleh masyarakat telah menandai diterimanya pula perusahaan tersebut masuk dan menjalankan produksinya di atas tanah yang secara legal-formal telah ditentukan. Akan tetapi bila ditilik ulang ke belakang pada momen-momen sebelumnya, nilai nominal 3 Milyar tersebut ternyata merupakan hasil kesepakatan terakhir dari tuntutan awal masyarakat. Bila dibandingkan dengan nilai akhir tersebut, penurunan nilai yang terjadi seolah tidak masuk akal, karena jumlah nominal yang pada mulanya diajukan oleh masyarakat sebelum negosiasi alot dengan pihak perusahaan selama sembilan bulan adalah sebesar 65 Milyar rupiah. 193 Fenomena ini bisa saja dilihat sebagai sebuah upaya pertukaran yang berlandaskan nilai untung- rugi, atau bisa juga dianggap sebagai bentuk dari orientasi material masyarakat Marind dalam menyikapi tanah, hutan dan hidupnya. Akan tetapi fenomena tersebut menjadi tak sesederhana itu ketika selisih antara nilai yang dituntut dan yang diterima tersebut hadir seolah dengan melampaui prinsip untung-rugi, atau bahkan prinsip tersebut seolah tak berlaku lagi, sehingga nilai 3 Milyar rupiah tersebut bukan merupakan kemungkinan akhir yang terbaik dari 0 rupiah, melainkan sebuah penjelasan bahwa ada harga yang harus dibayar, bahwa untuk bisa mengambil segenggam saja tanah Marind, orang lain tidak cukup hanya dengan 0 atau bahkan 3 Milyar rupiah sekalipun. 193 Arif Fadillah. 2011. Warga Merauke Tutup Paksa PT. Medco Papua. Tempo: http:www.tempointeraktif.comhgkesra20110415brk,201104 , diakses pada 17062011. 174 Harga inilah yang selanjutnya terus-menerus ditagih oleh masyarakat, tidak hanya di Sanggase atau Buepe, tapi di hampir semua kampung, melalui segala macam bahasa yang bisa dianggap sebagai alasan rasional dari suatu penolakan. Tak hanya tentang perhitungan kompensasi tanah atau kayu yang telah ditebah, mereka juga menjelaskan kondisi drastis berkurangnya binatang buruan, keruhnya air sungai dan rawa, serta terancamnya sumber- sumber penghidupan mereka sejak beroperasinya perusahaan. Mereka juga menjelaskan pengalaman masyarakat di daerah lain yang telah terlebih dulu merasakan masuknya perusahaan dan hanya mendapatkan kerugian moral dan material, juga ancaman runtuhnya nilai-nilai sosial dan budaya, serta berbagai alasan rasional lainnya. Di sini segala macam alasan yang diajukan harus dibaca sebagai upaya untuk menjelaskan, sekali lagi, secara rasional dan diskursif, penolakan mereka atas kondisi yang pada dasarnya memang tidak mungkin mereka terima. Hal tersebut bisa dibaca dari kecenderungan mereka untuk menjelaskan juga bahwa membicarakan persoalan tanah tidak mungkin bisa terlepas dari membicarakan juga persoalan moyang. Pada titik inilah lagi-lagi inkonsistensi itu hadir, bahwa sejauh apapun Marind menjelaskan penolakannya dengan menggunakan alasan-alasan rasional, mereka tidak pernah mampu menghindar dari mengikutsertakan alasan-alasan primordial mereka. Segala penjelasan tentang primordialitas tersebut bergelayut di antara upaya rasional mereka dalam menjelaskan keburukan MIFEE. Dengan demikian, kondisi inkonsistensi ini kembali menjadi senada dengan bahasa penerimaan yang juga telah mereka sampaikan. Jika di dalam penerimaan dan hasrat mereka untuk merasakan 175 kehidupan seperti Merauke tersimpan juga pertanyaan tentang apalah makna dari identitas mereka jikalau hutan diratakan dengan tanah, dalam hal ini alasan-alasan rasional mereka juga tidak mampu menampung alasan penolakan sesungguhnya. Artinya, kedua bahasa tersebut sama-sama telah sampai pada keterbatasannya untuk menjelaskan apa yang sesungguhnya menjadi dasar dari seluruh penyikapan Marind terhadap MIFEE. Semua alasan tersebut hanyalah untuk mendukung alasan utama mereka, sebuah alasan yang tak selalu bisa dijelaskan dan hanya bisa ditangkap dari jejak- jejaknya yang hadir melalui pengulangan-pengulangan yang berkelindan dalam semesta bahasa yang dominan. c. Cerita Identitas Lagi, dan Lagi Totem, Ka u, Anim-Ha, Dema, moyang, tuan tanah, dan seterusnya. Itulah istilah-istilah Marind yang selalu hadir dalam setiap perbincangan, perundingan, diskusi, negosiasi, serta berbagai bentuk komunikasi lain mereka dengan setiap pendatang dalam hal ini adalah karyawan perusahaan, peneliti, dan perwakilan pemerintah. Bisa dipastikan bahwa tidak ada yang mampu sepenuhnya memahami semua istilah tersebut kecuali masyarakat Marind sendiri, karena istilah-istilah tersebut berada di luar kerangka Simbolik para pendatang yang nota bene berasal dari Jawa. Tak hanya itu, berbagai atribut adat kostum dan properti juga turut mengambil andil dalam setiap momentum interaksi mereka dengan pendatang. Sebagaimana dalam prosesi kesepakatan antara PT. Medco dengan warga 176 Sanggase dan Buepe, PT. Rajawali dengan warga Kaliki, bahkan juga pada Sidang Makaling, istilah-istilah tersebut tak pernah tidak menemukan jalannya untuk terkatakan, juga atribut-atribut tersebut, tak pernah menemukan penghalangnya untuk turut hadir. Dengan kata lain, segala momen yang terjadi antara Marind dan pendatang adalah medan perjuangan bagi istilah dan atribut ke-Marind-an itu untuk memamerkan dirinya. Mengapa istilah-istilah dan atribut itu terus hadir? Mengapa Marind terus bercerita soal identitasnya? Inilah pertanyaan yang penting untuk dicari jawabnya di sepanjang pembahasan ke depan. Bagi penulis, Marind tidak pernah perduli, atau lebih tepatnya tidak pernah bermaksud untuk tidak perduli terhadap penangkapan para pendatang tentang istilah dan atribut tersebut. Yang mereka perdulikan adalah bahwa mereka tidak mungkin menghadiri semua momen yang mereka anggap penting tanpa juga disertai dengan berbagai atribut dalam kehadirannya, juga istilah-istilah adat itu dalam setiap argumentasinya. Inilah yang membuat bahasa dari penerimaan dan penolakan Marind itu menjadi inkonsisten, tidak stabil, karena tak mungkin hadir tanpa bercampuran dengan jaringan primordial yang tak mudah dijelaskan secara rasional, dimana satu-satunya kemungkinan dari konsistensinya hanyalah terletak pada inkonsistensi itu sendiri. Sebagaimana telah penulis jelaskan pada Bab sebelumnya bahwa kesemua istilah dan atribut tersebut merupakan representasi dari ikatan primordial mereka dengan hutan, suatu kondisi yang tidak mungkin bisa PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 177 ditampung oleh MIFEE yang menyandarkan kerangka Simbolik pada bahasa perekonomian. Di sinilah letak perbatasan antara MIFEE dan Marind, MIFEE bergerak dalam kerangka rasional kebijakan modern, sementara Marind hidup dalam kesadaran primordial di tengah dominasi kerangka rasional masyarakat modern. Dengan demikian, apa yang selanjutnya memungkinkan untuk menampung primordialitas itu di tengah interaksi Marind dan MIFEE tak lain adalah inkonsistensi itu sendiri. Inkonsistensi itu, dimana istilah dan atribut adat itu ditampung bersama bahasa-bahasa dari pendatang Liyan, tak lain adalah simptom dalam tatanan Simbolik Marind saat ini. Simptom tersebut mewakili apa yang sesunggunya mereka butuh dan maui, manakala baik MIFEE ataupun adat itu sendiri kini tak mampu memenuhi kebutuhan atas kenikmatan Marind yang sesungguhnya. Lalu melalui apa kebutuhan atas kenikmatan Marind yang sesungguhnya itu akan bisa dipahami? Dengan pertanyaan tersebut maka pembahasan ini mulai akan menginjak pada hubungan ideologi dengan jouissance sebagai satu-satunya pengingat atau yang tertinggal an irrational remainder or reminder yang berdiam dalam yang-Real, dimana di dalamnya subjek terjebak pada dinamika tarik-dorong yang kompleks. 194 Itulah penopang suatu ideologi, dan karena ia bersifat irasional maka selamanya ia tidak akan pernah penuh. Satu-satunya hal yang bisa mendukung kepenuhannya hanyalah fantasi, suatu titik akhir dari kesadaran yang 194 Jodi Dean. 2008. Enjoying Neoliberalism, jurnal Cultural Politics, vol.4, issue 1, pp.47-72, hlm: 7. 178 bergerak di luar jangkauan bahasa symbolic order, yang dengannya pergerakan ideologi dalam ruang Simbolik akan menjadi penuh.

2. Fantasi Marind