229
tentang kedua pergerakan ideologis tersebut dalam konteks perbincangan yang lebih luas terkait dengan tema kebangsaan Indonesia sebagai sebuah
identitas universal yang sekaligus merupakan medan ideologi-politik bagi setiap warga dan masyarakatnya. Identitas universal ini tentunya
mengandaikan suatu bentuk metaforisasi politis dari segala pergerakan sosial-kultural-ekonomi-politik
dalam rangka
membangun demi
mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam setiap butir dasar-dasar negara, atau yang dibayangkan terkandung dalam kata
kebebasan. Apa itu kebebasan? Adalah pertanyaan inti yang mendasari pembahasan ini ke depan.
Dalam posisi inilah nasionalisme dan patriotisme akan ditempatkan sebagai metafor yang diharapkan mampu menjelaskan sejauhmana setiap
upaya – baik pemerintah Indonesia atau masyarakat Marind – benar-benar
telah menempatkan nilai-nilai tersebut sebagai landasan pergerakannya, atau sejauhmana masing-masing pergerakan ideologis tersebut berpegang
pada otentisitasnya. Sementara sebagai alat untuk menjelaskan semua hal itu, pembahasan ini akan menggunakan teori wacana Lacanian, setelah
terlebih dahulu menjelaskan tentang apa yang dimaksud sebagai kebebasan.
1. Lokasi Kebebasan dalam Perspektif Lacanian
Dalam wacana liberalisme, freedom liber adalah istilah sentral dari apa yang dibayangkannya sebagai kemanusiaan, yaitu suatu kebebasan
individu dalam kehidupan bermasyarakat yang diwujudkan melalui PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
230
digantikannya konsensus sosial oleh segala bentuk intervensi Negara akan kebebasan memilih.
228
Dalam konteks globalisasi ekonomi sebagai nama lain dari neoliberalisme, kebebasan merupakan hasil metaforisasi dari apa
yang sejak jauh sebelumnya telah dipercaya sebagai kata yang sangat vital dalam memaknai eksistensi manusia modern: liberty. Dalam hal ini Paul Starr
menjelaskan:
One of those political principles, […] is an equal right to freedom, where
freedom has been successively understood in a more expansive way: first, as
a right to civil liberty and freedom from arbitrary power; then, as a right to political liberty and a share in the
government; and finally, as a right to basic requirements of human development and security necessary to assure equal
opportunity and personal dignity.
229
Kebebasan dimaknai sebagai kebebasan yang hanya mampu dimiliki oleh masyarakat komersial, yaitu suatu kebebasan individu untuk memilih
dan mengatur kehidupannya sendiri, memanfaatkan harta bendanya dengan bebas dan tetap berada dalam batasan hukum yang didefinisikan dengan
baik oleh Negara.
230
Dari pandangan tersebut, jelaslah bahwa makna dari kebebasan telah dipersempit sekedar persoalan ekonomi, dan walaupun
dikatakan bahwa kebebasan tersebut melingkupi juga kebebasan mencari
jalan kehidupan sendiri di luar batasan kasta, kelas dan komunitas bahkan juga gender ,
231
tapi tetap saja bahwa ukuran dari kebebasan yang dimaksud adalah nilai pendapatan ekonomi, sebagaimana yang telah penulis jelaskan
228
David Harvey. Ibid., hlm: 5.
229
Paul Starr. 2007. F eedo s Po e : The Histo a d P o ise of Li e alis . New York: Basic
Books, hlm: 4.
230
Martin Wolf. 2007. Globalisasi: Jalan Menuju Kesejahteraan. Jakarta: Buku Obor, Freedom Institute, hlm: 26-27.
231
Ibid., hlm: 27
231
pada bagian sebelumnya yang merupakan sebuah rangkaian pemaknaan atas kemanusiaan, dari kebebasan ke keuntungan yang selanjutnya menjadi bisnis.
Hal yang
kemudian perlu
dibicarakan adalah
bagaimana sesungguhnya kebebasan ini jika dipandang dari perspektif Lacanian dimana
ia berada? sejauhmana kebebasan ini mampu dipahami sebagai sesuatu yang melampaui definisi atau pemaknaan kapitalistik neoliberal. Dalam rangka
itulah selanjutnya pembahasan ini tak hanya bermaksud untuk memahami apa arti dari kebebasan, melainkan juga mencari posisinya di dalam
hubungan antara pengetahuan dan kebenaran, serta dalam wacana nasionalisme dan patriotisme.
a. Kebebasan sebagai yang-Real
Ernesto Laclau dan Lilian Zac memahami kebebasan dengan berawal dari prinsip dasar yang ada dalam setiap bentuk pengorganisasian
masyarakat, pengorganisasian sebagai hasrat untuk menciptakan suatu objektifitas demi mengatur setiap gerak subjektifitas yang ada di dalamnya.
Bagi keduanya, objektifitas yang tercipta akan selalu mengalami keretakan dalam dirinya sendiri, karena di satu sisi ia bertujuan untuk menciptakan
norma-norma umum sebagai prinsip bersama, sementara di sisi lain, norma- norma itu justru akan mengalienasi subjek dari kebebasannya sendiri.
232
232
Ernesto Laclau, Lilian Zec. 1994. Minding the Gap: The Subject of Politic, dalam The Making of Political Identity, Laclau ed.. London: Verso.
232
Dengan melampaui self-determination dalam nalar Kantian karena dianggap cenderung condong kepada objektifitas dan hegemonik, Laclau-Zac
menjelaskan bahwa kebebasan lebih terletak pada kondisi yang indeterminan, yang menyebabkan terjadinya dialektika tak henti antara
subjek dan objek. Laclau-Zac, via Thomas Mann, menyebutnya dengan dialektika pembalikan dialectical reversal, dimana segala bentuk
determinasi hanyalah suatu konten yang selalu berusaha untuk merealisasikan kebebasan. Dengan demikian kebebasan pun berada di luar
wilayah identitas sebagai hasil dari objektifikasi, dan justru menempati status sebagai yang-Real dari subjek. Sehingga meperhadapkan kebebasan
dengan identitas tak lain adalah memperhadapkan – secara Lacanian – Real
dan Simbolik. Dan jika pembahasan ini dibawa ke dalam perpektif Žižekian,
maka yang akan ditemui kembali adalah bagaimana Žižek menjelaskannya
melalui logika refleksi Hegelian antara esensi dan bentuk yang melekat dalam suatu objek.
Sebagaimana telah digunakan sebelumnya dalam pembahasan tentang ideologi Marind, logika Hegelian ini mengajak memasuki perjalanan
refleksi atas suatu objektifitas, bahkan positivitas penanda, dari in-itsef menuju for-itsef. Refleksi ini melihat segala bentuk objektifitas sebagai suatu
keterbatasan realitas dan ketaksempurnaan dari sebuah representasi, suatu kegagalan abadi dalam menjelaskan dirinya sendiri sebagai esensi yang
indeterminan, yang berada jauh di luar kondisi pra-kondisi dimana ia diposisikan secara positif. Dari sini, definisi objektif atas kebebasan pun
harus ditarik kembali secara reflektif ke dalam lokus pembahasan dimana PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
233
segala objektifitasnya, atau yang secara politis disebut Laclau-Zac sebagai pengorganisasian, tak lain adalah keterjebakan penanda dalam keharusan
untuk merepresentasikan esensinya menjadi sebuah bentuk. Inilah simbolisasi, kondisi yang pada ujungnya hanya menyisakan deadlock, dimana
satu-satunya jalan
menuju keparipurnaan
representasinya hanya
dimungkinkan melalui dilibatkannya fantasi.
233
Melalui pembacaan ini, jika kebebasan tersebut dipandang sebagai sebuah penanda bahasa pada level Simbolik, maka kementokan nasibnya
terletak pada kegagalannya dalam menjelaskan apa yang dikandungnya sendiri, yaitu apa yang dijelaskan oleh Laclau-Zac sebagai indeterminacy.
Inilah status dari kebebasan sebagai objek in-itself, bahwa ia hanya selalu mendapati dirinya sebagai determinasi atau aktualitas yang cenderung
hegemonik dan totaliter, sehingga tepat pada saat kebebasan tersebut menemukan bentuk objektif determinasinya, seketika ia kehilangan
maknanya sendiri. Itulah sebabnya setiap kerja refleksi atau redefinisi atas kebebasan yang diandaikan oleh segala bentuk objektifitas Simbolik neo-
liberalisme, demokrasi, bisnis, dll. in-itself pada dasarnya hanyalah penanda kosong empty signifier. Ia tidak lebih hanyalah sebuah bentuk penandaan
yang terlanjur teraktualisasi dalam ruang sosio-Simbolik, yang isinya tak lain adalah proses aktualisasi itu sendiri. Oleh karena itu ia harus ditarik dari in-
itsef menjadi for-itself, ke dalam penjelasan Hegelian tentang presupposing
233
Sla oj Žižek. . Ide tit a d Its Vi issitudes: Hegel s Logi of Esse e as a Theo of
Ideology, dalam The Making of Political Identity, Laclau ed.. London: Verso.
234
the positing,
234
yaitu menggeser posisinya dari objektifitas Simbolik big Other sebagai sebuah eksistensi yang positif, ke dalam kondisi reflektif
dimana ia hanyalah jembatan tak berujung di atas rentang jarak menuju apa yang ingin direpresentasikannya sendiri.
Kebebasan sebagai yang-Real, dimana kemanusiaan, kondisi yang diandaikan oleh pilihan bebas , pada dasarnya adalah unconditional,
indeterminan, karena merupakan status absolut dari kemengadaan being subjek. Ia berada pada level unconsciousness dan tak akan pernah mampu
terepresentasi.
235
Pilihan bebas tersebut adalah kebebasan yang kehilangan esensinya karena pada dasarnya ia telah ditentukan oleh jejaring Simbolik
via kerangka hukum sosial. Jadi, pada level Simbolik, kebebasan harus disikapi sebagai perayaan atas kemustahilan impossibility. Dengan
demikian tugas dari wacana kemanusiaan dalam melawan ketidak- manusiaan inhumanity pun bukanlah melawan suatu kondisi yang berada
di luar dirinya, melainkan melawan determinasi positif atau definisi objektif atas dirinya sendiri.
236
Dengan kata lain, kemanusiaan sebagai kebenaran hanya mampu mewujud sebagai efek dari pergerakan negatifnya sendiri,
mengkontra segala bentuk pengetahuan Simbolik yang menjelaskannya secara material dan positif.
234
Sla oj Žižek. . The Sublime Object of Ideology. London: Verso, hlm: 255-263.
235
Sla oj Žižek. a. Interrogating the Real. London: Continuum, hlm: 243.
236
Vabio Vighi. Ibid., hlm: 106.
235
b. Antara Pengetahuan dan Kebenaran
The truth is out there , kata Žižek. Ia mengada sebagai kondisi
eksternal dari suatu mater i . Eksternalitas materi ini menggambarkan suatu
antagonisme yang inheren, suatu formulasi internal ideologi yang tidak dapat diutarakan, namun hadir seperti sebuah bangunan besar ideologi. Jika ingin
ideologi itu berfungs i secara normal maka subjek harus mengartikulasikan
antagonisme inheren itu di luar materialitasnya .
237
Demikianlah juga kebebasan sebagai kebenaran, yang hanya mungkin hadir pada wilayah
eksternal dari segala hasil definisi pengetahuan modern atasnya. Oleh karenanya pembahasan ini pun tak bisa lepas dari homologi antara
pengetahuan dan kebenaran, atau fantasi dan hasrat, karena pada dasarnya keduanya adalah satu kesatuan.
Ilmu pengetahuan bekerja dengan merasionalisasi, mengukur dan memprediksikan segala hal melalui fantasi, menghasilkan kesimpulan-
kesimpulan tentang suatu kebenaran yang selanjutnya dihasrati oleh setiap orang. Apa yang kemudian menjadi masalahnya adalah ketika kebenaran itu
tidak mungkin hadir tanpa melekatkan dirinya pada bentuk-bentuk objektif sistem penandaan, sehingga hasrat masyarakat pun selalu misrecognize. Mau
tidak mau, kebenaran harus hadir melalui objek material atau Simbolik tertentu dan menjadi konsep, sementara apa yang menjadi tujuannya selalu
merupakan kondisi yang berada di luar materi objektif, objek yang melebihi kondisi objektifnya sendiri: objek a.
237
Sla oj Žižek. . The Plague of Fantasies. London: Verso, hlm: 1.
236
Pada titik ini, hubungan antara pengetahuan dan kebenaran adalah hubungan antara pikiran seseorang tentang dunia dan dunia itu sendiri ,
atau dalam konteks pembahasan ini adalah hubungan antara segala konsep tentang kebebasan dan kebebasan itu sendiri, bahwa setiap definisi objektif
atasnya adalah kegagalan, misrecognize. Oleh karena itu apa yang memotivasi pengetahuan untuk terus berjalan bukanlah kebenaran, melainkan
– mengikuti Lacan
– adalah gagalnya kenikmatan, atau ketidakpuasan
238
akan dihasilkan sebagai kebenaran.
Apa yang bisa diambil dari penjelasan ini adalah bahwa sebagai kebenaran, kebebasan
senantiasa is out there . Ia adalah esensi, atau yang oleh Laclau disebut dengan indeterminacy, kondisi presupposition dari suatu
objektifitas missal: pasar, demokrasi, pembangunan, dll., yang sebagaimana dikatakan oleh Lacan, esensi dari suatu objek adalah kegagalan .
239
Hal yang penting untuk diperhatikan dalam wilayah ini adalah bahwa kegagalan
tersebut tidak bisa dipahami sebagai kegagalan dari esensi dalam menghadirkan dirinya di atas realitas objektif, melainkan kegagalan
eksistensial dari sistem objektif itulah yang selalu memproduksi kondisi eksternalnya sendiri, karena sekali lagi, esensi bukanlah apa-apa selain
kegagalan dari sebuah sistem penandaan, ketidakcukupan suatu bentuk perwujudan atas apa yang ingin diwujudkannya sendiri.
240
Dengan demikian jarak yang memisahkan antara esensi dan objek, antara kebebasan dan pasar,
238
Bruce Fink. 2002. Knowledge and Jouissance, dalam Readi g Se i a XX: La a s Majo Wo k
of Love, Knowledge, and Feminine Sexuality, Barnard Fink ed.. New York: SUNY Press.
239
Ibid.,
240
Sla oj Žižek. . Less Than Nothing: Hegel and the Shadow of Dialectical Materialism.
London: Verso, hlm: 539.
237
serta antara kemanusiaan dan pembangunan adalah jarak menuju kebenaran, atau semacam rongga void tak terlihat yang mendistorsi
persepsi rasional atas kebenaran tersebut .
241
Sehingga secara ontologis, kebebasan maupun kemanusiaan tersebut tidak pernah ada kecuali pada
level bahasa, sebagai petanda dalam proses penandaan.
242
Bukan petanda sebagai kondisi yang melahirkan penanda, tapi petanda sebagai efek dari
sistem penandaan sebelumnya, atau mengikuti Žižek adalah the signifier falls
into signified .
243
Lalu, jika memang kehidupan telah terperangkap di dalam rentang jarak antara penanda dan petanda sebagai efek penandaan dalam jejaring
bahasa, apa
yang ditawarkan
oleh perspektif
Lacanian untuk
menjembataninnya, untuk sampai pada kenikmatan sebagai momen kemungkinan, kemungkinan mendapatkan pengalaman atas kebebasan yang
sesungguhnya jouissance yang berada di balik sistem penandaan pada tataran Simbolik, di balik deadlock of the Other? Untuk menjawab pertanyaan
tersebut pembahasan ini akan kembali kepada apa yang diistilahkan oleh Lacan dengan phallic jouissance.
Phallic jouissance adalah jouissance yang didapatkan dari pure
signifier ,
244
penanda di level Imaginer yang primordial dan tidak memiliki apapun kecuali materialitasnya. Dengan kata lain, di luar primordialitasnya ia
241
Ibid., hlm: 540.
242
Paul Verhaeghe. 2002. La a s A s e to the Classi al Mi dBod Deadlo k: Ret a i g F eud s
Beyond, dalam Readi g Se i a XX: La a s Majo Wo k of Lo e, K o ledge, a d Fe i i e
Sexuality, Barnard Fink ed.. New York: SUNY Press.
243
Sla oj Žižek. Ibid., hlm: 536.
244
Sla oj Žižek. . The Sublime Object of Ideology. London: Verso, hlm: 252.
238
hanyalah penanda yang banal. Menurut Fink, pemahaman tentang phallic jouissance bisa didekati melalui phallic sebagai fallible, yaitu sebagai
jouissance yang tak sempurna dan juga menderita kegagalan, atau bahkan mengecewakan. Dalam penjelasannya ia mengatakan:
… I would like to suggest that we try to understand phallic as fallible, to hear the fallibility in the phallus. Phallic jouissance is the jouissance that
fails us, that disappoints us. It is susceptible to failure, and it fundamentally misses our partner. Why? Because it reduces our partner, as Other, to what
Lacan refers to as object a, that partial object that serves as the cause of
desire: our partner s voice or gaze that turns us on, or that body part we enjoy in our partner.
245
Jika pendekatan ini disandingkan dengan frasa penjelasan Žižek
tentang penanda falus yang berbunyi everything depends on me, but for all
that I can do nothing , maka menjadi tepat ketika ia diposisikan sebagai
jouissance, karena segala sesuatu – tanpa terjelaskan – memang bersandar
kepadanya, akan tetapi sekaligus ia in-itself adalah kegagalan, karena ternyata tidak mampu berbuat apa-apa atas segala yang bersandar
kepadanya. Ia lebih tepat dikatakan sebagai saksi ketimbang pelaku. Secara pasif ia seolah menyaksikan segala pergerakan yang berlaku pada sistem
penandaan dari waktu ke waktu, menjalani kepasifannya sebagai kemungkinan akan kenikmatan. Oleh karena itu Lacan menyebutnya sebagai
luka cut, yaitu moda penandaan yang bekerja melalui tubuh, atau tubuh
sebagai media bahasa, dimana segala pemaknaan di level Simbolik selalu gagal
dalam memahami
kebenarannya secara
positif.
246
Dengan merepresentasikan persepsi masyarakat tradisional atas tradisi menandai
tubuh tattoo, dll., Žižek menggambarkan cut ini sebagai jejak akhir dari
245
Bruce Fink. Ibid., hlm: 37.
246
Sla oj Žižek. . The Ticklish Subject. London: Verso, hlm: 370.
239
suatu identitas subjek yang menjelaskan bahwa luka pada tubuhku mempertahankan Aku berada dalam ruang sosio-Simbolik
– di luar itu Aku bukanlah apa-apa, lebih mirip binatang ketimbang anggota masyarakat
.
247
Itulah phallic signifier, yang oleh Fink dimaknai sebagai signifier of fallible jouissance, titik terjauh yang bisa dijangkau di sepanjang jarak yang
merentang dari Simbolik menuju Real, bahwa kebebasan – sebagai sebuah
kondisi yang indeterminan – lebih dekat pada tubuh ketimbang nalar, ia lebih
mungkin dirasakan ketimbang dipikirkan bagaimana rasanya. luka cut on
the body sebagai jembatan akhir tak berujung dalam rentang yang dialami oleh sistem penandaan Lacanian Ss. Ia bukanlah penanda S, bukan juga
petanda s, melainkan adalah garis penghalang yang menandai keterpisahan itu, dan menyimpan jouissance
dalam setiap tanda luka nya,
248
kepuasan yang hanya mungkin dijangkau dengan terlebih dulu membongkar dan melampaui fantasi.
249
Sampai di sini, kebebasan telah nampak sebagai kondisi yang tak mungkin dilepaskan dari jangkauan ketubuhan. Artinya, sebagai yang-Real,
kemungkinan terjauh subjek dalam perjalanan untuk kembali padanya pun hanya bisa berharap dari cut yang tertinggal, atau dari sejauhmana
perjalanan itu sendiri mampu memberi luka yang membekas dalam tubuh.
luka ini adalah bekas yang hadir sebagai perayaan atas kehilangan abadi, sebuah trauma yang selalu akan ditutupi oleh sistem pengetahuan Simbolik.
247
Ibid., hlm: 371.
248
Bruce Fink. Ibid.,
249
Sla oj Žižek. Ibid., hlm: 347.
240
Dalam kontek hubungan internasional, luka inilah yang dilupakan
oleh ASEAN ketika menggambar kebebasan melalui Asian Way dan kesatuan identitas one vision, one identity, one community dari seluruh masyarakat
Negara-negara anggotanya, yaitu dilupakannya luka ketubuhan dengan
diSimbolisasikannya kebebasan menjadi regionalisme pasar. Selanjutnya, jika regionalisme hanya semakin menjauhkan masyarakat dari
luka ketubuhannya, dari garis penghalang dalam moda penandaanya, dari
phallic jouissance-nya, lalu bagaimana kebebasan itu berada dalam wacana identitas kebangsaan pada arena yang lebih kecil: nasionalisme? dimana
letak luka atau garis penghalang itu? Dimana kebebasan itu bisa dirasakan oleh masyarakat?
c. Antara Nasionalisme dan Patriotisme
Cinta tanah air Love of country, inilah istilah yang lebih netral untuk digunakan sebagai jembatan penghubung dalam pembahasan mengenai
nasionalisme dan patriotisme, dua hal yang seolah sama padahal berbeda. Sebagai sebuah ideologi dimana suatu komunitas sosial diimajinasikan
berada dalam satu kesatuan kolektif yang disebut bangsa nation, nasionalisme bekerja untuk memproduksi suatu identitas tunggal dengan
melibatkan proses identifikasi masyarakat sebagai bagian darinya, berikut segala perbedaan mendalam terkait ciri khas kehidupan masing-masing
kelompok. Nasionalisme, dari sejak lama telah diyakini oleh masyarakat sebagai sesuatu yang ada begitu saja dalam ruang hidup mereka, sebagai
241
bagian tak tergoyahkan terkait kehidupan politik sehari-hari, dimana segala analisa sistematis terhadapnya kerap kali menjadi tidak penting.
250
Nasionalisme, jauh sejak akhir abad-18 dan dimulainya peradaban modern yang ditandai oleh revolusi industri Inggris, memang telah menjadi
wacana utama dalam konteks pembahasan tentang kecintaan terhadap tanah air. Nasionalisme memberi makna baru terhadap wacana tentang kecintaan
terhadap tanah air yang jauh sejak masa sebelum Masehi telah diisi oleh gagasan klasik Ciceronian tentang tanah kelahiran patriafatherland yang
melahirkan ide tentang patriotisme. Namun pada perjalanannya ide tentang patria ini selanjutnya dipandang oleh para nasionalis sebagai patriotisme
kuno dari kejayaan kerajaan-kerajaan Eropa pada masa terdahulu yang dipenuhi dan dirusak oleh kesombongan, patrialitas dan hasrat untuk
mendominasi.
251
Salah satu poin penting yang bisa digunakan sebagai titik tolak untuk memahami kelahiran bahasa nasionalisme ini adalah penjelasan
Jean Jacques Rousseau yang menekankan bahwa :
[P]eople must have a strong national character; but he also knows that national character by itself can only make a people one, not free. To be really
free a people needs a nation and a republic; it needs a particular culture based upon shared memories, ceremonies, language, customs, but it also
needs political liberty
. …[N]ational identity is the necessary precondition for living as human beings. …
[O]ne can live as a human being in the fullest sense only as a citizen of a free republic.
252
Dengan ide
tentang Negara
yang diusungnya,
Rousseau menformalisasi nilai-nilai kecintaan terhadap tanah kelahiran dan
250
Philip Spencer, Howard Wollman. 2002. Nationalism: A Critical Introduction. London, Thousan Oaks, New Delhi: SAGE Publications, hlm: 2.
251
Maurizio Viroli. 1995. For Love of Country: An Essay on Patriotism and Nationalism. New York: Oxford, hlm: 97.
252
Ibid., hlm: 93.
242
patriotisme ke dalam sebuah tatanan politik formal yang menjamin kebaikan dan kebebasan masyarakat lebih dari sekedar ikatan yang berasal dari
kesamaan bahasa, agama dan adat-istiadat. Bagi Rousseau, patriotisme harus dimaknai sebagai cinta yang bersifat politis, yaitu cinta yang dihasilkan dari
sebuah bentuk pemerintahan yang baik good government dan tumbuh dari rasa syukur atas terjaminnya kebebasan liberty dan kesejahteraan welfare
masyarakat oleh pemerintah ,
253
karena baik bahasa, budaya, maupun agama, ketiganya adalah cakupan yang terlampau sempit dan tidak akan
pernah cukup untuk mewadahi dan menjaga rasa kecintaan terhadap tanah air love of country agar tetap hidup.
254
Oleh karenanya dibutuhkan sebuah ikatan yang lebih universal serta bersifat politis dan formal, sehingga jiwa
patriotik masyarakat tidak terjebak pada upaya memperjuangkan suatu kesatuan yang sempit. Jadi, yang harus diperjuangkan adalah ruang yang
secara politis mampu menjamin kebebasan dan kesejahteraan bersama: Negara. Dengan demikian bagi Rousseau kesejahteraan sebuah bangsa
tidaklah hanya tentang kesatuan, melainkan juga kebebasan. Orang bisa merasakan kebebasan hanya jika ia bebas dan sejahtera, sedangkan keduanya
hanya akan mampu diwujudkan oleh suatu pemerintahan yang baik, yang tidak patrialistis dan dominatif, yang hanya mungkin ada dalam kesatuan
politis yang disebut negara. Dari gagasan seperti itulah nasionalisme selanjutnya berkembang di
sepanjang abad-19, dimana makna patriotisme telah digeser ke dalam ranah
253
Ibid., hlm: 84.
254
Ibid., hlm: 85.
243
yang sangat politis, sebagaimana yang dikatakan Giuseppe Mazzini bahwa patriotisme adalah sebentuk kehendak politik dari semangat dan komitmen
untuk memerangi segala bentuk perusakan terhadap kesatuan identitas nasional dan kemerdekaan bersama, sebuah nilai politis yang ia pandang
telah terkandung dalam gagasan klasik tentang patria.
255
Maka tidak bisa dihindari, prinsip nasionalisasi patriotisme inilah yang terusung dalam
sejarah Amerika menjadi sebuah Negara, terutama bagaimana Lincoln mampu menyatukan setiap kehendak politik warganya yang partikular dan
tak memiliki tradisi, budaya serta kenangan bersama, dan menamainya sebagai patriotisme Amerika. Inilah patriotisme di era modern, yang oleh
Tocqueville diagungkan sebagai cinta yang datang dari suatu tanggungjawab dan kebanggaan, bahkan juga keserakahan , yang bukan lagi diterjemahkan
sebagai hasrat atas kemurnian darah, malainkan sebagai partisipasi praktis dalam proses demokrasi . Sebuah patriotisme rasional yang tumbuh
melalui dukungan hukum dan kebijakan, yang pada akhirnya menyatu dengan kepentingan personal masyarakat.
256
Dengan pemaparan yang sangat terbatas tersebut setidaknya bisa dipahami bahwa sebagai sebuah bahasa, secara genealogis Negara-bangsa
nation-state adalah sebuah formulasi rasional yang diharapkan, bahkan dipercaya, mampu menjadi alamat bagi dorongan patriotik masyarakat,
dorongan yang merupakan efek dari kecintaan terhadap tanah kelahirannya. Dengan demikian hal yang selanjutnya harus dipermasalahkan adalah
255
Ibid., hlm: 144.
256
Ibid., hlm: 181-182.
244
sejauhmana gagasan ini mampu bekerja sebagaimana yang diinginkan? Sejauhmana kebebasan itu mampu diwujudkannya?
Dalam Imagined Community-nya, Benedict Anderson menjelaskan nasionalisme sebagai sebentuk imajinasi tentang komunitas masyarakat
modern, komunitas yang dipertemukan oleh bahasa seiring dengan berkembangnya sistem kapitalisme cetak print capitalism. Kapitalisme
cetak – di era kolonialisme dan imperialisme – telah memungkinkan berbagai
masyarakat yang tidak saling mengenal bertemu pada level bahasa dan menyatu dalam satu bayangan akan suatu ikatan yang memberikan makna
bahwa di hadapan Mereka imperialkolonial, aku dan dia adalah senasib- sepenanggungan
.
257
Jika dikaitkan dengan penjelasan sebelumnya, maka bangsa atau komunitas terbayang ini adalah bahasa dari dorongan patriotik atas
kecintaan terhadap tanah air, dorongan yang oleh Rousseau direduksi ke dalam formalitas bentuk good government, atau yang juga oleh Tocqueville
dianggap sebagai hasil dari penyatuan antara sistem kebijakan dan kehendak masyarakat. Melampaui keduanya, Anderson mengajukan bahasa sebagai
satu-satunya hal yang mampu menjamin nasionalisme itu bekerja dalam mempertahankan sebuah komunitas. Pada titik ini, pertanyaan Lacanian
yang harus diajukan adalah bagaimana Anderson menjelaskan cara kerja bahasa dalam mengikat komunitas pada suatu imajinasi? Serta sejauhmana
kebebasan mampu dijanjikannya jika nasionalisme akhirnya harus
257
Benedict Anderson. 1992. Imagined Community: Komunitas-komunitas Terbayang. Yogyakarta: Insist Press Pustaka Pelajar.
245
bergantung pada kapitalisme? Jawaban dari pertanyaan ini bisa ditelusuri dari titik yang bisa diidentifikasi sebagai kebingungan Anderson dalam
memberi penjelasan tentang cara kerja bahasa. Di satu sisi, ketika menjelaskan tentang puisi berjudul Ultimo Adios
yang ditulis oleh Jose Rizal di masa imperialisme Spanyol di Filipina, Anderson menitikberatkan analisisnya pada kerangka penandaan Saussurian
SrSd , bahwa inti dari bahasa adalah makna atau kesadaran kolektif yang dikandungnya, yang dalam puisi patriotik tersebut adalah makna tentang
kekerabatan atau rumah dari kata patria, dan tidak pentingnya unsur kebencian terhadap Negara kolonial diekspresikan. Sementara di sisi lain,
dalam penjelasannya tentang frasa terkenal Earth to earth, ashes to ashes, dust to dust
, juga kasus-kasus ketika lagu-lagu kebangsaan dikumandangkan, Anderson menilai bahwa makna
– sedalam atau sedangkal apapun – tak lagi penting. Makna hilang ketika citra unison dari bahasa itu sendiri telah mampu
mengaitkan masyarakat dalam satu nuansa kehantuan yang melampaui
ruang dan waktu.
258
Kebingungan ini menjadi penting untuk dilihat karena pada dasarnya ia memiliki implikasi teoritik yang berbeda: kebebasan, apakah
mensyaratkan adanya kesadaran kolektif atau struktur pemaknaan yang sama dalam tiap komunitas yang dibayangkan, atau lebih pada ikatan-ikatan
yang berada di luar struktur pemaknaan dalam suatu masyarakat? Anderson tidak mampu menangkap hal tersebut, yaitu dimana letak kebebasan dalam
258
Ibid., hlm: 217-220.
246
bahasa. Lebih dalam lagi, apakah di dalam bahasa, masyarakat subjek bisa menemukan kemerdekaannya? Sembari yang lain masih sibuk mencari
jawabannya, secara tegas Lacanian akan menjawab tidak, dan justru sebaliknya, keniscayaan bahasalah yang justru membuat subjek terpisah
castrated dari kebebasannya. Oleh karena itu titik kemungkinan untuk sampai padanya harus benar-benar ditemukan. Titik sebagaimana yang
dikatakan oleh Fink sebagai garis penghalang dalam sistem penandaan. Sementara Anderson, ia justru membuat bahasa yang dihadirkannya sebagai
alamat bagi terbayangnya suatu komunitas itu menjadi tak mampu menyediakan pijakan pasti pada level teoritik dimana jejak-jejak kecintaan
terhadap tanah air, cinta yang membuat orang rela mati deminya, itu memungkinkan untuk dilacak. Silap akan kebingungan itu, Anderson
– dalam upaya melampaui nasionalisme resmi Rousseuian
– secara implisit justru mengajukan kapitalisme sebagai satu-satunya penopang bagi bayangan
patriotik akan sebuah komunitas. Dengan kata lain, komunitas yang dibayangkan oleh Anderson adalah komunitas yang tersesat dalam labirin
bahasa kapitalistik, dalam tatanan Simbolik pasar yang menderita keterputusan lack dengan kebebasan yang ingin ditandakannya. Sehingga
jika diposisikan dalam peta wacana Lacanian, Anderson hanya sedang menggeser wacana tuan menjadi wacana universitas, yaitu ketika Nama Sang
Ayah yang sebelumnya diisi oleh Liyan Besar Big Other telah digantikan dengan sistem pengetahuan kapitalis.
Pada akhirnya, apa yang bisa dijadikan sebagai pijakan untuk memahami kecintaan terhadap tanah air dan mengidentifikasi jembatan
247
penghubung antara dorongan patriotik dan bahasa nasionalisme adalah apa yang dikatakan oleh Freud bahwa hal yang dipertaruhkan dalam identifikasi
kolektif bukanlah hanya makna simbolik dan kepenuhan wacana, melainkan juga adalah pengaturan hasrat sebuah kelompok .
259
Ini mau tidak mau harus menjadi satu-satunya strategi untuk mengatasi paradoks dari apa yang
disebut bangsa, ilusi transendental bahasa nasionalisme dalam memaknai kebebasan kebebasan sebagai yang-Real, yang dalam prosesnya juga selalu
melahirkan patriot-patriot antagonis dari kegagalan pemaknaannya.
260
Dengan merujuk pada penjelasan Freud tersebut, masalah ini pun harus dibawa kembali menilik perjalanan hasrat subjek dalam mencari cinta
jouissance yang selalu gagal dan hanya mampu sampai pada keterbatasan objek sembari menyisakan dorongan patriotik, dorongan untuk meraih cinta,
dorongan yang membiarkan subjek mengada tak henti sebagai subjek dari rentang jarak subject of distance antara objek dan the Thing; antara
Simbolik dan Real; pengetahuan dan kebenaran; nasionalisme dan kebebasan. Maka sebagaimana telah penulis jelaskan sebelumnya, jawaban
Lacanian atas kondisi ini tak lain adalah phallic jouissance, kenikmatan yang menggores dalam tubuh cut, yang dalam jarak antara nasionalisme dan
patriotisme ia bisa diidentifikasi dengan menyusurinya kembali melalui gagasan Marcus Tullius Cicero 106-43 SM tentang patria:
But when with a rational spirit you have surveyed the whole field, there is no sosial relation among them all more close, none more dear than that
259
Yannis Stravrakakis. 2007. The Lacanian Left: Psychoanalysis, Theory, Politics. Edinburgh: Edinburgh Univesity Press, hlm: 193.
260
Sla oj Žižek. . Tarrying with The Negative: Kant, Hegel, and The Critique of Ideology. USA:
Duke University Press, hlm: 222.
248 which links each one of us with our country. Parents are dear; dear are the
children, relatives, friends; but one fatherland embraces all our loves; and who that is true would hesitate to give his life for her, if by his death he
could render her a service?
261
Patria Ciceronian, dengan demikian, merupakan sesuatu yang lebih dari ikatan sosial, keluarga atau darah, juga bukan tentang kesatuan politik
yang dirasionalisasi sebagai sebuah identitas bersama sebagaimana dikatakan Mazzini. Apa yang dikandung oleh patria adalah suatu hubungan
antara manusia dan kondisi keberadaannya sendiri, yaitu keberadaan yang menumbuhkan cinta tak terperi, cinta yang jauh melebihi kecintaan kepada
orang tua, anak atau teman, sehingga satu-satunya kemungkinan dari keberadaan ini adalah keberadaan yang eksis sebelum seseorang menyadari
keberadaan tersebut, sebelum ia menyadari bahwa ia adalah orang tua, anak, teman, dan seterusnya. Dengan demikian patria tidak bisa begitu saja
direduksi menjadi persoalan darah, keturunan atau juga kesatuan komunitas dalam ranah Simbolik. Patria tidak berorientasi pada pembentukan kesatuan,
melainkan hanya cinta. Kesatuan hanyalah efek dari cinta, cinta yang harus dialamatkan pada sesuatu yang jauh lebih besar dari pada hubungan sosial-
Simbolik, yaitu tanah kelahiran. Sehingga, melampiaskan cinta tak terperi itu kepada tanah kelahiran dengan sendirinya adalah menggerakkan suatu
proses penyatuan. Pendeknya, sebuah kesatuan hanyalah keniscayaan dari dilampiaskannya cinta kepada tanah kelahiran, cinta patria, yang lahir dari
suatu keberadaan mula-mula manusia di dunia.
261
Marcus Tullius Cicero. 1928. De Officiis. London: William Heinemann LTD; New York: G.P. Put a s So s, hl : .
249
Jika hal ini ditarik ke dalam perspektif Lacanian, maka keberadaan ini tak lain adalah keberadaan dalan fase Imaginer pra-Simbolik, dan karena
identitas itu ada dalam ruang Simbolik oleh karenanya ia adalah pra- identitas. Fase Imaginer inilah yang memberikan kenikmatan primordial
kebertubuhan yang hilang ketika subjek memasuki wilayah bahasa, dan berubah menjadi dorongan cinta tak terperi yang
– sesalah dan setakmungkin apapun
– tetap harus teralamatkan. Dengan kata lain, cinta patria ini, yang selanjutnya menjadi patriotisme, adalah suatu kebutuhan
masyarakat akan sebuah alamat rujukan atas dorongan cintanya, rujukan yang melampaui batas-batas aturan Simbolik, yang lebih tak terbahasakan
dan secara primordial menubuh, dimana tak ada lagi penghalang bagi sebuah pengorbanan, dimana satu-satunya alamat yang sanggup menampungnya
adalah tanah kelahiran. Tepat pada dorongan cinta patria itulah kebebasan itu berada, persis ketika yang diminta olehnya adalah pengorbanan akhir:
kematian. Maka jika pengorbanan akhir ini ditarik kembali selangkah ke belakang, yaitu mana
kala ia masih berada pada momen hampir atau nyaris , maka di situlah moment of jouissance itu bisa ditemukan, momen yang
selanjutnya menyisakan kesan impression, luka cut, menyisakan garis
penghalang dan meninggalkan subjek masyarakat pada sebuah jarak distance yang merentang antara nasionalisme dan patriotisme. Itulah
ikatan primordial. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana perspektif ini dihubungkan
dengan nasionalisme Indonesia kekinian? Sejauhmana luka patria ini bisa
ditemukan atau terkandung dalam sistem demokrasi Indonesia saat ini? PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
250
2. Nasionalisme Indonesia Hari Ini