206
darinya. Jika kedua kasus ini dipertemukan maka yang akan dihasilkan adalah kenyataan bahwa dengan MIFEE-MP3EI sebagai jalan kemanusiaan,
pemerintah Indonesia mengalami gangguan penglihatan, karena yang ingin dibangun oleh wacana kemanusiaan tersebut adalah kondisi krisis itu
sendiri, yang secara psikoanalitik bisa disebut sebagai kondisi kekurangan lack.
Mengapa bisa demikian? Bagaimanakah kemanusiaan itu ternyata menyimpan suatu kehendak lain yang justru berlawanan dengannya? Untuk
bisa memahaminya secara lebih mendalam, pembahasan ini harus memasuki dunia fantasi yang membangun dan mengarahkan hasrat pemerintah
Indonesia yang dalam hal ini direpresentasikan oleh Presiden SBY dalam memaknai krisis dan kesejahteraan sebagai kenikmatan.
2. MIFEE-MP3EI sebagai Fantasi
Dalam Bab Dua penulis sudah memberikan pemaparan tentang bagaimana liberalisasi komoditi melalui industrutrialisasi skala besar ini
merupakan suatu produk yang dihasilkan oleh kajian lembaga-lembaga internasional tentang solusi atas segala kondisi yang secara produktif pula
dinamai sebagai krisis global. MIFEE-MP3EI sebagai bentuknya pun memberikan penjelasan tentang kemungkinan yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia untuk membantu mengeluarkan masyarakat negara-negara miskin dari ancaman kelaparan bahkan kematian. Kemungkinan ini, dimana ia
adalah kesimpulan yang ditarik dari penilaian terhadap segenap potensi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
207
sumber daya alam yang dimiliki oleh Indonesia, adalah kenikmatan yang tidak dimiliki oleh negara-negara lain yang dilanda krisis. Inilah Indonesia
dan Merauke yang ditampilkan sebagai objek bisnis, objek yang di dalamnya terkandung suatu objek a yang diinginkan oleh banyak negara lain di dunia,
yaitu keuntungan dari sebuah daerah dengan keberadaan alam yang murni dan siap untuk dieksplorasi.
a. Panggung Kastrasi: Mengapa Simbol Antagonis adalah Krisis?
Dalam sebuah narasi tragedi di atas panggung, harus selalu ada peran antagonis sebagai representasi dari sesuatu yang negatif dan ingin dijauhi
atau kehadirannya tidak diinginkan. Demikianlah juga yang terjadi di atas drama wacana ekonomi global dan perjalanan masyarakat dunia menuju
kesejahteraan. Krisis ditampilkan secara natural sebagai wajah dari kejahatan atau musuh yang menyebabkan kehidupan dunia terancam atau
bahkan sudah kehilangan kenikmatannya. Krisis tampil sebagai kastrator, menjadi shock doctrine yang membombardir publik dengan berbagai data
empirik seputar keuangan, ekologi, pangan dan energi, serta serentetan narasi tentang masa depan suram dunia jika kondisi tersebut tidak segera
teratasi. Hal yang penting untuk dijelaskan lebih lanjut adalah mengapa shock doctrine itu menjadi shock doctrine? Mengapa ia benar-benar menjadi
kekuatan yang mampu memanggil, misalnya, pemerintah Indonesia dengan potensi sumber daya alam nusantara yang memadai untuk melakukan suatu
208
tindakan penyelesaian? Jawabnya karena ia bekerja melalui pengetahuan rasional cogito.
Ketika lembaga-lembaga regional maupun internasional seperti ERIA, FAO, IFAD, IIED dan sebagainya membangun suatu pemahaman tentang
kondisi objektif kehidupan masyarakat global yang sedang menderita krisis, semua penelitiannya selalu disandarkan pada kekuatan teoritis yang secara
logis mampu membangun narasi sebab-akibat eksternal sebagai kerangka Simbolik untuk memandang kondisi dunia saat ini. Mengapa eksternal?
Karena apa yang selalu dibaca oleh sistem pengetahuan tersebut bukanlah dirinya sendiri, melainkan segala hal yang berada di luar dirinya. Ia
memposisikan dirinya di luar masalah finansial, lingkungan dan iklim, pangan, energi, bahkan korupsi dan popupasi penduduk, dengan cara
mengobjektifisasi kesemua hal itu ke dalam suatu kepentingan kemanusiaan global dan kecemasan akan kerentanan kualitas sumber daya alam.
Semuanya dikemas secara ilmiah dalam satu paket yang diberi label krisis global . Dengan demikian, sistem pengetahuan tersebut memperhadapkan
dirinya secara vis a vis dengan krisis global sebagai wacana yang dibangunnya sendiri di atas panggung. Krisis sebagai pemeran antagonis,
perusak dan penghancur tatanan, dimana pengetahuan hadir sebagai satu- satunya kemungkinan penyelesaiannya, dan sekali lagi, apa yang
dipresentasikan oleh pengetahuan tersebut adalah narasi tentang kastrasi, dicurinya kenikmatan dan ditemukannya objek a.
209
Jika dirunut kembali pada penjelasan BAPPENAS tentang MP3EI maka akan ditemui sumber daya alam, posisi geografis dan sumber daya manusia
demografi, sebagai potensi yang dimiliki oleh Indonesia. Dan jika dikaitkan lagi dengan kondisi krisis global, maka apa yang telah ditampilkan sebagai
potensi itu tak lain adalah sesuatu yang paling dimaui oleh setiap negara di dunia. Dalam hal ini sistem pengetahuan telah mampu, tidak hanya
memberikan rasionalisasi tentang krisis, tapi juga meberikan konseptualisasi tentang objek a melalui wacana tentang potensi: ketiga potensi tersebut
sebagai objek hasrat. Inilah titik dimana MP3EI, sekaligus MIFEE, menempati posisi sebagai fantasi, sebagai gagasan pragmatis dari sistem pengetahuan
yang diproduksi oleh lembaga-lembaga regional dan internasional tentang objek a. MIFEE-MP3EI tak bisa dihindari merupakan pengetahuan Liyan
karena program tersebut, sebagaimana penulis jelaskan pada Bab Dua, merupakan turunan dari IEDC yang merupakan hasil dari kajian ERIA
tentang ekonomi Indonesia. Jadi, mengapa simbol antagonis adalah krisis, karena secara Simbolik
pengetahuan rasional harus mampu menghadirkan objektifitas sekaligus menghindari kemungkinan subjektif, artinya harus mampu menemukan
suatu kondisi yang berada di luar subjektifitas bahkan objektifitas itu sendiri, yang mana itu tidak mungkin bisa dicapai kecuali melalui fantasi.
Pengetahuan rasional sebagai fantasi, sebagai cogito, atau lebih tepatnya adalah masculine cogito, adalah sebuah pilihan untuk mengada di dalam
dunia rasio fantasmatik dan bukan dunia kebertubuhan. Oleh karena itu PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
210
yang dihasilkan hanyalah kemengadaan yang distrukturisasi oleh fantasi.
211
Dan ketika operasi fantasi menghendaki tergambarnya proses kastrasi, maka secara objektif krisis pun ditemukan sebagai pemeran antagonis. Dengan
demikian, baik MIFEE-MP3EI, krisis ataupun kenamusiaan itu sendiri, semuanya adalah fantasi.
b. Hasrat SBY dalam Intersubjektivitas Lacanian
Fantasi bekerja dengan membangun intersubjektifitas radikal Lacanian, yaitu intersubjektifitas yang terbentuk dalam hubungan pra-
Simbolik. Intersubjektifitas radikal ini terbangun ketika subjek kembali berhadapan dengan misteri siapa aku? Che vuoi?, sebuah pertanyaan yang
dijawab oleh subjek dengan membayangkan dirinya di hadapan Liyan. Aku
identitas sebagai jawaban pun bukanlah Aku sebagaimana yang ia
inginkan, melainkan adalah Aku sebagaimana yang diinginkan oleh Liyan,
karena keinginan subjek pada dasarnya adalah keinginan Liyan. Intinya, intersubjektifitas radikal ini adalah kesepakatan pra-Simbolik antara subjek
dan Liyan, yaitu bagaimana subjek harus menjadi dirinya di hadapan Liyan?
212
Dalam pembahasan tentang segala kesibukan pemerintah Indonesia merespon krisis yang dihasilkan dari objektifitas Liyan, intersubjektifitas ini
terjadi antara SBY sebagai subjek dari suatu yang disebut Indonesia dan
211
Žižek, Sla oj. . Tarrying with The Negative: Kant, Hegel, and The Critique of Ideology.
USA: Duke University Press, hlm: 61.
212
Slavoj Žižek.
. The Plague of Fantasies. London: Verso, hlm: 11.
211
masyarakat dunia
yang direpresentasikan
oleh wacana
krisis. Intersubjektifitas ini terbangun dari impossible gaze SBY, yaitu ketika SBY
memandang dirinya dari kaca mata Liyan, membayangkan siapa seharusnya dirinya di hadapan Liyan, dan karena identifikasi diri itu berangkat dari
pengetahuan Liyan tentang diri subjek, maka gaze ini memberikan penjelasan kepada SBY bahwa dirinya
– yang berarti adalah Indonesia dengan segenap potensialitasnya
– merupakan harta karun yang masih terpendam, merupakan nilai surplus, sesuatu objek a Lacanian yang
diinginkan oleh dunia untuk menyembuhkan krisis: sumber daya alam, posisi geografis dan sumber daya manusia pekerja. Dan tentunya dalam konteks
MIFEE-MP3EI intersubjektifitas radikal ini bekerja pada dua arena politik yang berbeda namun saling berkaitan, yaitu internasional dan nasional
sebagai skala lebih kecilnya: SBY yang memandang dirinya sebagai objek a bagi masyarakat dunia, begitu juga mantan Bupati Merauke John Gluba Gebze
dalam memandang dirinya di hadapan bangsa Indonesia. Dari sinilah hasrat itu terlahir, hasrat pemerintah Indonesia untuk
feed the world sebagai wujud dari Aku SBY adalah apa yang dihasratkan
oleh Liyan dariku . Sebagai fantasi, wacana krisis telah mampu mendorong
SBY dalam memikirkan dan mengenali siapa dirinya secara rasional, membangun dan mengarahkan hasratnya hasrat Liyan sebagai objek hasrat
agar direkognisi oleh tatanan Simbolik dunia. Pada titik ini gaze atau fantasi SBY atas kehadirannya dalam mewujudkan dunia yang berkecukupan pangan
itu selamanya berada dalam status yang impossible, sebagai suatu kondisi yang tidak ada, atau sekali lagi, hanya ada di dalam level masculine cogito,
212
bahwa kondisi kecukupan pangan dunia oleh SBY itu ada hanya ada karena ia dirasionalisasi ke dalam perhitungan yang logis matematis. Sementara
karena dalam mengidentifikasi dirinya SBY berangkat dari rasionalisasi lembaga-lembaga internasional tentang krisis global dan potensialitas
Indonesia, yang secara tidak langsung adalah bagaimana dunia internasional memandang SBY sebagai orang nomor satu di Indonesia, maka ketika SBY
berhasrat sesuai dengan bagaimana dia harus berhasrat menurut Liyan, pada dasarnya SBY juga tidak ada, kecuali hanyalah fantasinya sendiri yang
membangun dunia internasional sebagai jouissance. Jika dikembalikan kepada penjelasan Lacanian bahwa hasrat itu
secara metonimikal selalu berganti dari objek satu ke objek lainnya dan tidak pernah sampai pada apa yang sesungguhnya menjadi tujuannya, maka Feed
the World pun bisa dipahami juga demikian, ia bisa berubah bentuk menjadi berbagai macam jenis program, karena apa yang benar-benar dihasratkannya
adalah sesuatu yang justru selalu disembunyikan oleh objektifitas Simbolik, yaitu kondisi kelaparan atau kekurangan. Dengan Feed Indonesia and Feed
the World SBY menginginkan dirinya menjadi objek dari hasrat dunia internasional, melalui industrialisasi skala besar dengan membuka peluang
investasi seluas-luasnya, mengarahkan kebijakan di sektor produksi pangan, mengembangkan infrastruktur, pemperluas kemungkinan kesepakatan
perdagangan bebas, dan seterusnya. Seolah yang dibayangkan sebagai Indonesia 2025 atau dunia 2050 itu bisa dipastikan berada tanpa meleset
sedikitpun dalam genggaman, karena semuanya dijalankan dengan strategi yang tepat, fokus dan terukur .
213
Dengan fenonema semacam itu, MIFEE-MP3EI yang oleh pemerintah Indonesia diposisikan sebagai suatu kebenaran, penjamin keselamatan
bangsa Indonesia dan masyarakat dunia di masa depan, pun tak lain hanyalah kesalahan yang tidak disadari, hanyalah ilusi dan misrekognisi,
213
dimana kebenaran sesungguhnya terletak pada kondisi yang dialami Marind, yang muncul sebagai simptom persis dari tengah erornya tatanan Simbolik
MIFEE-MP3EI. Atau dengan kata lain apa yang pertama diinginkan oleh Feed the World ini adalah krisis itu sendiri.
c. Akumulasi Kapital sebagai Pelanggar Inheren
Sebagai bahasa kemanusiaan, Feed the World tak hanya memberi penjelasan konseptual dan praksis tentang krisis sebagai ancaman yang
menghawatirkan dunia, bahkan sekaligus juga kemungkinan bagaimana harus mengatasinya. SBY
menjelaskan bahwa krisis ini adalah krisis kita semua , suatu kemelut bersama masyarakat dunia yang hanya bisa diatasi
dengan political will yang didukung oleh good govenance dan terbukanya segala akses terhadap sumber daya dan pasar global. Feed the World yang
oleh SBY dirubah menjadi Feed Indonesia and Feed the World ini memang menjadikan proyek industrialisasi terkesan lebih manusiawi dari
sebelumnya, dalam artian lebih mendekatkan wacananya kepada masyarakat Indonesia sebagai satu entitas politik yang lebih mudah dijangkau.
213
Sla oj Žižek. . The Sublime Object of Ideology. London: Verso, hlm: 60.
214
Akan tetapi, perubahan tema tersebut sama sekali tidak merubah apapun kecuali justru memperlihatkan apa yang dicari oleh SBY hanyalah
kenikmatan pada fase dorongan oral oral drive, bukan oral dalam makna biologis, tapi dalam artian bahwa ia merupakan wilayah anatomis yang
menghadirkan dirinya sebagai media representasi.
214
Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa hasrat SBY adalah berkata-kata terkait dengan segala
permasalahan Indonesia, dan hanya sampai pada fase berkata-kata. Hal ini juga semakin jelas ketika semua kebijakan Feed Indonesia and Feed the World
juga masih sepenuhnya disandarkan pada pengetahuan dari lembaga- lembaga perekonomian internasional yang sama sekali hanya terfokus pada
keuntungan. Lebih dari itu, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahkan kemanusiaan yang diusung itu sendiri pun menjadi janggal.
Sebagai simptom, Feed the World mengusung di dalamnya sebuah kebenaran yang mendorong dan menyeruak keluar dari balik tabir
rasionalisasi akan kemanusiaannya: hasrat akumulasi kapital. Hasrat ini bisa diidentifikasi dari seluruh alur perjalanan proyek MIFEE-MP3EI di sepanjang
Bab Dua, dari wacana tentang Indonesia sebagai surplus sumber daya hingga bangunan konektifitas regional yang bermuara pada pasar dan perdagangan
bebas. Secara libidinal ia dibentuk oleh perputaran modal yang telah berjalan sejak lampau dan secara metonimik berubah-ubah dari bentuk satu ke
bentuk lainnya, dari feodalisme dan merchant capital, akumulasi primitif, kolonialisme dan imperialisme, hingga kapitalisme kontemporer yang
–
214
Charles Shepherdson. 1997. The Elements of the Drive , dala On the Drive , UMBRa: A
Jurnal of the Unconscious, 1 1997. New York: Center for Study of Psychoanalysis and
Culture, hlm: 131-145.
215
secara ekonomo-politik – disebut neo-kolonialisme dan neo-imperialisme
dan bekerja melalui sistem produksi baru, yaitu produksi wacana,
215
yang dalam konteks Simbolik MIFEE-MP3EI ia menghasilkan suatu bingkai
dialektis antara krisis dan kemanusiaan. Dalam wilayah fantasi, akumulasi ini tidak bisa dihindari merupakan
wujud dari pelanggar inheren inherent transgression. Sebagai pembentuk kesadaran akan kemanusiaan, fantasi juga menyediakan suatu kemungkinan
lain yang dihadirkan dari struktur logis pilihan bebas yang berbeda dari simbolisasi namun justru menopang tatanan Simbolik kemanusiaan itu agar
tetap berdiri. Akumulasi kapital pun hadir sebagai pelanggar yang inheren di tengah ruang fantasi yang memperhadapkan pemerintah Indonesia dengan
krisis atau kemanusiaan dengan cara selalu menjaga jaraknya dari struktur Simbolik yang didukungnya. Dalam proses identifikasi subjek Lacanian,
pelanggar inheren ini – sebagaimana yang dikatakan Žižek – seharusnya
diposisikan sebagai ajakan semu yang tidak mungkin atau tidak boleh diikuti demi mempertahankan keutuhan kemanusiaan sebagai bangunan Simbolik
dan menghantarkan subjek memasuki alam dorongan drive. Akan tetapi hasrat Feed the World menghendaki lain. Ia jutru
mereduksi objek a ke dalam dunia bisnis, menjadi keuntungan, potensi, tantangan, dan lain sebagainya. Kebenaran yang terkandung dalam simptom
tersebut telah melanggar simbolisasi kemanusiaan dan memperhadapkan kemanusiaan yang ditopangnya itu sendiri dengan wajah aslinya sebagai
215
David Harvey. 2001b. Spaces of Capital Towards a Critical Geography. New York: Routledge.
216
inkonsistensi. Feed the World pun menempatkan pemerintah Indonesia tetap berada dalam jebakan metonimi hasrat, selalu membutuhkan rasionalisasi
Liyan akan objek a. Jadi hasrat pemerintah Indonesia adalah hasrat Liyan, hasrat yang lahir dari pandangan pemerintah Indonesia terhadap bagaimana
dunia internasional menghendakinya berhasrat. Di sinilah titik pencapaian terakhir pemerintah Indonesia dalam
perjalanannya menuju kemanusiaan, atau lebih tepatnya di dalam wacana kemanusiaan, yang tak mampu melampaui fantasinya dan kembali
menyerahkan hasratnya untuk tunduk dan selalu meminta dipenuhi oleh rasionalisasi dunia internasional akan kenikmatan. Itulah sebabnya mengapa
harus estate, harus master plan, harus percepatan dan perluasan, mengapa dalam sambutannya pada peluncuran MP3EI SBY tak bisa memberikan
j awaban atas kata mengapa? , karena pemerintah Indonesia tak punya objek
a. Oleh karena itu ia membiarkan Liyan mengajarinya bagaimana berhasrat. Maka ketika kebutuhan itu dijawab oleh ERIA dengan menghadirkan
Indonesia Economic Development Corridor IEDC yang selanjutnya menjadi MP3EI dan menghendaki penentuan arah kebijakan Nasional, pada dasarnya
semua kebijakan tersebut tak lain adalah fantasi: rasionalisasi Liyan akan objek a. Dengan demikian pemerintah Indonesia sebagai subjek yang
berhadapan dengan kemanusiaan sebagai objek a tak lain adalah subjek fetis yang berkutat dan menikmati keterjebakannya dalam simbolisasi:
pengetahuan rasional sebagai objek hasrat. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
217
3. MIFEE-MP3EI: Krisis dan Peluang Negara Liberal