144
berapa bulan yang lalu ibu D dari perusahaan E pernah menjanjikan DE kepada para ketua marga di tempat F; dan seterusnya. Dalam segala ingatan
itulah masyarakat menggantungkan mimpi-mimpinya tentang kemajuan dan kesejahteraan, sesuatu yang dalam tradisi korporasi modern diletakkan di
atas barang bernama MoU.
2. Histeria Masyarakat Marind
Demikianlah proses masuknya MIFEE ke dalam kehidupan Marind, yang secara drastis mengondisikan mereka untuk berfikir keras dalam
menyikapi tanah dan hutannya, dari sebagai penanda identitas menjadi aset ekonomi. Apa yang kemudian terjadi adalah situasi histeris mereka dalam
merespon permasalahan yang ada. Tidak bisa dipungkiri bahwa kehidupan yang serba berkecupan dalam ukuran modern adalah hal yang diinginkan
oleh setiap orang, dan tidak terkecuali adalah Marind. Akan tetapi bagi Marind semua itu menuntut nilai-nilai identitasnya sebagai hal yang harus
dipertaruhkan. Walaupun sistem kehidupan modern telah mulai mereka jalani sejak masa kolonial Belanda, namun MIFEE yang secara langsung
menghendaki pembukaan hutan secara massal ini pun mau tidak mau tetap menjadi sesuatu yang rumit dan kian menempatkan Marind dalam situasi
keterbelahan antara adat dan modernitas. Maka tak bisa dihindari lagi, segala respon Marind adalah suatu bentuk mekanisme pertahanan diri di tengah
kecamuk jati diri mereka sebagai tuan tanah dan laju modernitas.
145 Sekarang ini kita bingung, setiap hari harus pikir barang [MIFEE] ini dari
pagi sampai sore tanpa kopi gula. Baru bagaimana sekolah anak-anak, bagaimana cari makan, aktivitas yang lain, semua itu tidak terurus gara-
gara barang ini.
166
Itulah perkataan Huber Kaize, seorang warga kampung Ndumande yang dipercaya oleh masyarakat untuk menjadi ketua pemuda di kampung.
Dengan segala penerimaan dan pertanyaannya, sebagaimana dalam perkataan Huber Kaize tersebut, kehidupan masyarakat di kampung-
kampung pertama yang telah berhubungan dengan perusahaan dilingkupi suasana baru, yaitu suasana yang serba bimbang, antara iya dan tidak, senang
dan sedih, antara tahu dan bingung, dan seterusnya. Semua kebimbangan itu terkait dengan permasalahan uang Tali Asih yang diterima dari perusahaan,
bayangan masyarakat tentang pembangunan, ketidak terimaan masyarakat atas penebangan hutan, hingga melahirkan resistensi dan penolakan
terhadap perusahaan.
a. Tali Asih dan Simpang Jejak Kaki Leluhur
Jika bagi pihak perusahaan adalah dengan ditandatanganinya surat kesepakatan oleh kepala marga yang bersangkutan, maka apakah ujung yang
menandai disepakatinya suatu keputusan terkait tanah bagi masyarakat Marind? Jawabnya tak lain adalah ketika di atas tanah tersebut tanaman wati
dihadirkan dan darah babi telah diteteskan melalui sebuah ritual. Maka dijalankanlah kedua persyaratan tersebut sebagai sebuah
momen perdana bagi suatu kerjasama jangka panjang antara Marind dan
166
Huber Kaize. 18032012. Wawancara. Merauke: Ndumande.
146
perusahaan hingga di masa-masa yang akan datang. Dalam acara yang berlangsung kurang lebih setengah hari, berkas MoU telah ditandatangani
oleh para kepala marga, uang Tali Asih secara langsung ataupun simbolik telah diserah-terimakan, tanaman wati telah ditambahkan, dan mata tombak
di tangan kedua perwakilan dari masing-masing pihak telah menembus leher babi dan mengalirkan darahnya ke tanah. Tuntaslah sudah. Puluhan ribu
hektar hutan telah menunggu untuk dibersihkan, pihak perusahaan telah menyimpan rapi surat kesepakatan yang secara sah telah ditandatangani
oleh yang bersangkutan, sedangkan masyarakat telah mengantongi cash maupun check sebesar milyaran rupiah untuk dibagikan kepada masing-
masing anggota marga. Di hari berikutnya, tak ada sesuatu pun yang ditunggu kecuali pesta.
Namun kegembiraan yang ditunggu oleh masyarakat dengan didapatkannya uang Tali Asih tersebut belumlah bisa diluapkan begitu saja,
karena apa yang selanjutnya menunggu adalah sesuatu yang tidak sepele, bahkan menegangkan: penentuan batas tanah dan marga pemilik yang
berhak atas uang Tali Asih, dan tidak jarang ini berarti duduk bersama merunut ulang sejarah perjalanan leluhur. Warga Sanggase menuntut warga
Buepe pasca pembayaran pertama PT. Medco kepada warga Buepe sebesar Rp.300 Juta. Warga Sanggase mengklaim bahwa tanah yang saat ini menjadi
dusun Buepe adalah milik mereka. Menurut Okto Waken dari Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke SKP KaMe yang turut
hadir pada sidang adat kedua kampung tersebut, hal itu dibenarkan oleh ketidakmampuan warga Buepe dalam menceritakan sejarah perjalanan
147
leluhur mereka hingga sampai ke tempat yang dimaksud. Selanjutnya warga kedua kampung itu bersatu dan mengajukan tuntutan kompensasi tanah
kepada PT. Medco, yang prosesnya memakan waktu hingga Sembilan bulan. Namun ketegangan pun terulang kembali setelah PT. Medco memberikan
pembayaran kedua pada tanggal 21 Oktober 2011 sebesar Rp 3 Milyar. Warga Buepe merasa diperlakukan tidak adil oleh warga Sanggase, karena
dari sejumlah uang tersebut mereka hanya mendapatkan bagian sebesar Rp 100 Juta saja.
167
Di Ndumande, sebagaimana juga diceritakan oleh Okto Waken, ketegangan antar marga dipicu oleh perkataan salah seorang warga dalam
rapat penentuan batas wilayah perusahaan yang menunjuk bahwa di Ndumande, marga Kaize adalah pendatang dari kampung lain. Dalam
hitungan menit setelah itu, serombongan pemuda marga Kaize datang dengan parang di tangan. Maka untuk meluruskan sejarah itu, tete Moses
Kaize dari Zanegi pun didatangkan sebagai tetua yang lebih tahu tentang sejarah masa lalu.
168
Serupa tapi tak sama dengan apa yang terjadi antara warga kampung Selil dan Kindiki di distrik Ulilin. Selil adalah sebuah kampung yang terletak
tak jauh dari perbatasan antara kabupaten Merauke dan kabupaten Mapi, merupakan wilayah kekuasaan Marind dari kampung Kindiki yang sejak
puluhan tahun yang lalu telah menjadi tempat tinggal masyarakat suku Auyu,
167
Okto Waken. 2011. Uang Kompensasi Tidak Sesuai Kesepakatan, Konflik Warga Kampung Sanggase Dan Buepe Berlanjut, Laporan Bidang Investigasi Monitoring Basis : Monitoring
Pasca Penyerahan Uang Kompensasi Dusun Buepe. Merauke: SKP-KAME.
168
Okto Waken. 26022012. Wawancara. Merauke: SKP.
148
dan selama itu pula kedua suku ini hidup tanpa perselisihan. Namun kondisi seperti itu ternyata tidak berlaku lagi sejak kedatangan perusahaan bernama
PT. Berkat Cipta Abadi BCA dan memberikan sejumlah Tali Asih kepada masyarakat kampung Kindiki. Hal ini pada dasarnya telah menyinggung
perasaan warga suku Auyu di kampung Selil karena kawasan hutan yang masuk ke dalam konsesi PT. BCA merupakan wilayah kampung Selil. Akan
tetapi sebagai warga pendatang, masyarakat suku Auyu pun memilih untuk tidak banyak bicara, sebagaimana disampaikan oleh kepala kampung Selil :
Kita orang di sini, sebenarnya waktu dulu pengayauan itu sudah ada transaksi, peralihan status hak atas tanah ini, dari pihak pertama orang
Marind sudah serahkan kepada kita. Jadi sebenarnya kita yang harus urus. Tapi karena uang yang tadi dibilang bunyi besar, orang sudah lompat lewat
kita. Jadi kita diam saja. Biar nanti mereka atur sampai di mana
tanggungjawab mereka. Saya bilang dia, silahkan kau urus. Kau mau dapat pesawat, dapat mobil, silahkan kau urus. Tapi kau ingat, kalau sampai
masyarakat adat kita ini punya hidup ke depan itu tidak bagus, kau punya dosa lebih besar dari kau punya pesawat itu
.
169
Namun, betapapun segala masalah telah terjadi, uang Tali Asih sudah di tangan, dan itu berarti nasi telah menjadi bubur , tetap saja, segala
komoditi dan fasilitas hidup yang baru telah tak sabar menanti. Maka berhamburanlah para OKB Orang Kaya Baru Marind ini memenuhi setiap
dealer motor dan pertokoan besar di Merauke. Dealer Yamaha kehabisan stok motor RX King-nya, berbagai fasilitas elektronik dalam waktu tak lama juga
telah memenuhi hampir setiap rumah di Sanggase dan Ndumande. Kehidupan masyarakat di dua kampung ini tiba-tiba berubah, dari yang
nyaris hening menjadi hingar-bingar suara motor dan soundsistem. Hamparan pasir di pantai dimana sebelumnya hanya terlihat para nelayan
169
Kepala Kampung Selil. 06042012. Wawancara. Merauke: Selil.
149
dan kawana burung-burung, selanjutnya menjadi arena balap motor. Seorang warga Ndumande Yeni Kaize mengatakan, sejak pembayaran uang Tali Asih
dari PT. Rajawali sebesar Rp. 6 Milyar, kehidupan masyarakat Ndumande mengalami perubahan. Hampir tiap malam anak-anak tidak bisa tidur
karena bunyi-bunyi speaker bervolume tinggi, para lelaki mabuk dan baku kelahi di sudut-
sudut kampung .
170
Itulah pesta OKB Marind, yang mulai mengukir jejak bagi generasinya dimasa mendatang dengan roda motor. Sementara bersamaan dengan itu
permasalahan baru yang timbul adalah Tali Asih sebagai sebuah bahasa. Bagi pihak perusahaan, Tali Asih adalah uang kompensasi dari seluruh luasan
hutan masyarakat yang menjadi areal konsesinya. Lain halnya bagi masyarakat Zanegi maupun Ndumande, Tali Asih
itu barulah uang ketok pintu , atau disebut juga uang pinangan
. Dalam sebuah obrolan bersama dalam membahas Tali Asih dan peta kampung di Ndumande, dengan
mengibaratkan tanah sebagai anak perempuan, Fredy Ndiken menunjukkan bahwa PT. Rajawali telah melakukan survey melebihi batas wilayah yang
diizinkan oleh masyarakat :
Perusahaan ini baru ketok pintu, baru melakukan pinangan, belum menikah, pernikahan belum terjadi dengan kami pu anak perempuan ini. Baru
sekarang dia su ada mau selingkuh lagi dengan saudaranya yang lebih cantik. Belum kawin, perusahaan su perkosa anak perempuan ini.
171
170
Yeni Kaize. 19032012. Wawancara. Merauke: Ndumande.
171
Fredy Ndiken. 18032012. Wawancara. Merauke: Ndumande.
150
b. Pembangunan: Antara Harapan dan Kecemasan
Ungkapan Fredy Ndiken tersebut memang terdengar seksis dan menyalahi konsep para Feminis tentang kesetaraan gender, sayangnya dalam
konteks permasalahan ini bukan persoalan gender yang menjadi poin penting
untuk dibahas,
melainkan betapa
ungkapan tersebut
merepresentasikan suatu hubungan yang sangat mendalam antara Fredy dan hutannya. Bahwa masuknya PT. Rajawali merambah hutan tanpa seizin
masyarakat bagi Fredy adalah sebuah tindak pemerkosaan terhadap darah dagingnya. Walaupun Fredy sebagai bagian dari masyarakat Ndumande tak
bisa dipungkiri sama sekali tidak menolak kehadiran perusahaan. Mereka juga sangat menyadari bahwa mereka sendiri sangat menginginkan hidup
sebagaimana yang mereka pandang lebih maju. Maju yang sepertinya bermakna material. Misalnya seperti para staf PT. Rajawali yang selalu tampil
bersih berseri, rapi dan trendy; atau seperti para peneliti yang selalu datang dengan alat perekam suara dan kamera digital, serta yang konon
berpendidikan tinggi.
Kami selama ini setiap datang ke Merauke, melihat rumah-rumah bagus dan macam-macam. Jadi kami ini juga ada bermimpi kapan kami bisa punya
rumah seperti itu. Kami juga mau kami punya hidup maju. Tapi kalau hutan ditebang, baru kasuari, buaya, dia mau kemana?
172
Demikianlah kebimbangan yang diutarakan oleh ketua LMA Ndumande. Sangat terlihat bahwa apa yang ia sebut sebagai maju adalah
rumah-rumah bagus, dan mungkin juga pakaian, kendaraan, serta segala macam fasilitas hidup lain dengan Merauke sebagai ukurannya. Sedangkan di
172
Ketua LMA Ndumande. 23072011. Wawancara. Merauke: Ndumande.
151
sisi lain, ia juga sadar bahwa tanpa hutan, yang artinya juga tanpa kasuari, buaya dan segala jenis kehidupan hutan lainnya, hidup dan masa depannya
menjadi suatu hal yang tak mampu mereka bayangkan. Begitu juga dengan kebingungan seorang warga kampung Bupul distrik Elikobel yang
menjelaskan :
Kami di sini masih bingung yang mana yang bagus, karena kami juga kurang berpikir mampu datangkan kami punya ekonomi. Sebenarnya ekonomi itu
dari kami sendiri. Jadi kira-kira bisakah didatangkan untuk kami perusahaan atau pengusaha yang bisa olah kita punya hasil sedikit-sedikit
yang ada disekitar sini. Mungkin bisa beli karet kah begitu dengan harga yang baik.
Kita sekarang orang tua-tua ingin pembangunan, padahal pembangunan ini pembangunan bagaimana? Kita tidak mengerti itu apa pembangunan.
Pembangunan rumah kah? Pembangunan bongkar-bongkar hutan kah? Kita tidak tahu. Pikiran kita disuap terus pembangunan dari pemerintah yang
bangun kita, padahal sebenarnya kita itu harus bangun diri sendiri. Kita tidak pikir kalau perusahaan yang datang itu pemerintah yang arahkan dia
kesini, padahal yang setujui itu kami tuan dusun di sini, yang punya hak. Kalau kita pikir-pikir, mau kasih, boleh, terus anak cucu kami mau lari ke
PNG Papua New Ginea, terlantar, dan nanti mati seperti binatang. Itu pasti.
173
Maka keterasingan anak cucu pun menjadi kecemasan yang tak bisa ditawar lagi, ketika bahkan sebagai sebuah istilah, kata pembangunan itu sendiri
hanya merupakan selogan yang maknanya tak mampu dimengerti secara pasti oleh masyarakat. Bahkan ia semakin tidak dimengerti lagi manakala
pemerintah yang meyerukan pembangunan itu justru mendatangkan perusahaan yang bertujuan membongkar-bongkar hutan. Sehingga yang bisa
ditangkap oleh masyarkat sebagai pembangunan tak lain adalah eksploitasi hutan. Oleh karena itu bagi warga Kampung Bupul tersebut, tak ada harapan
selain pada diri sendiri, meski masa depan anak cucu baru bisa dibangun dari hasil karet yang tak banyak. Mungkin itulah semangat, semangat dari
173
Warga Kampung Bupul. 02042012. FGD. Merauke: Bupul.
152
kehidupan yang dikatakan susah oleh bapak Bernadus Mahuze selaku ketua adat golongan Ezam di kampung Wayau :
Kita ini memang orang susah, padahal kita ini orang kaya, semua ada. Tapi datang pemerintah kuasai semuanya, akhirnya su berubah. Kita jadi susah.
Mau kembali ke adat su tidak bisa, mau kejar suku yang maju juga su susah.
174
Kesusahan itulah yang melahirkan semangat warga Bupul untuk membangun dirinya sendiri. Kesusahan itu juga yang menghadirkan mimpi-
mimpi tentang rumah-rumah bagus bagi ketua LMA Ndumande, juga yang mendorong kepala kampung Selil untuk pergi mencari tahu nasib warga
kampung Asiki di distrik Getentiri kabupaten Bovendigul, dimana PT. Korindo menjalankan produksi kelapa sawitnya.
Saya kemarin baru pi ke Asiki, saya sudah lihat semua. Tuan dusun [pemilik tanahhutan], dia menjadi karyawan disitu. Dia dodos kelapa sawit, satu
rangka besar itu tumbuk di sini [muka] sampai bengkak macam muka perahu. Dia menderita, duduk di bawah kelapa sawit baru ikat baju bikin di
sini [tutup muka]. Saya lihat dia. Eh kau mengapa? . Aduh saudara, saya ini dodos, baru kelapa jatuh. Saya ini tuan dusun, tapi dipekerjakan oleh
perusahaan . Itu satu contoh yang saya lihat, dan jangan sampai kita ke
depan seperti itu.
175
Bukan berubahnya muka seseorang menjadi muka perahu karena kejatuhan bongkahan kelapa sawit, apa yang menjadi kecemasan kepala kampung Selil
tersebut adalah kenyataan bahwa seorang tuan akhirnya harus menjadi pekerja di dusun tanahhutannya sendiri, kenyataan yang tak mampu ia
terima dengan nalar ke-adat-annya. Begitu juga dengan warga Bupul, bapak Bernadus Mahuze di Wayau, juga ketua LMA dan Fredy Ndiken di Ndumande.
Kecemasan telah menjadi penyakit baru yang tak bisa dihindari sudah
174
Bernadus Mahuze. 06032012. Wawancara. Merauke: Wayau.
175
Kepala Kampung Selil. 06042012. Wawancara. Merauke: Selil.
153
diderita oleh masyarakat Marind dan sekitarnya. Sebuah penyakit yang terlahir justru dari apa yang selama ini telah mereka tunggu: pembangunan.
c. Perampasan Hutan dan Keterasingan
Aiwa, itulah kata dalam bahasa Marind yang selanjutnya kerap terdengar dari mulut warga Zanegi, juga warga kampung lain yang melihat
Zanegi dan Boepe. Aiwa yang berarti aduh, menjadi satu-satunya kata yang paling mampu membahasakan apa yang saat ini sedang masyarakat rasakan.
Seorang warga Zanegi yang gemar mencipta lagu bernama Natalis Basik- basik, dalam salah satu lagunya menuliskan :
Aiwa, onggat, naze Amam ha, amam ha ka bateno
Anim bate naindepa ombe Sayawi istamna mabateh ni
Aduh, anak, cucu Tersesat, tersesat tak ada jalan
Orang telah menipu kita Tempat hidup kita sudah terlepas
176
Lagu ini ia ciptakan setelah melihat kondisi hutannya yang telah terbuka, kondisi ekonomi serta kehidupan masyarakat di kampungnya yang dengan
cepat telah berubah menyedihkan. Masyarakat yang sebagaimana dikatakan oleh bapak Bonesius Gebze dalam sebuah film dokumenter berjudul Mama
Malind Su Hilang telah dihidupi oleh ibu, yaitu hutan yang melahirkan, membesarkan, memelihara dan melindungi mereka,
177
adalah masa lalu. Dalam sebuah pertemuan kampung, Natalis mempertanyakan hal yang
176
Natalis Basik-Basik. 2012. Aiwa. Merauke: Zanegi.
177
Nanang Sujana. 2012. Mama Malind Su Hilang, Film Dokumenter. Jakarta: Gekko Studio, Pusaka Produksi, SKP-KAME.
154
bahkan tidak ada yang tahu kepada siapa pertanyaan itu sebaiknya harus diajukan:
Beberapa tahun yang lalu hutan masih utuh, masyarakat bisa cari makan di pinggir-pinggir kampung. Sekarang setelah perusahaan datang, tiba-tiba
tanah habis. Lalu siapa nanti yang akan memberi makan masyarakat? Perusahaan? Pemerintah? Atau siapa? Karena kebutuhan, bisa jadi
masyarakat akan serahkan piring makan ke perusahaan. Lalu siapa yang akan bertanggungjawab? Pemerintah sebagai pihak ketiga menyerahkan
Setiap perjanjian kepada masyarakat dan perusahaan, baru kemudian dia sembunyi.
178
Apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat Zanegi dan Boepe saat ini hanyalah mencari kemungkinan jalan untuk juga mengambil manfaat dari
perusahaan, sambil tidak kuasa untuk tidak meratapi ribuan hektar hutannya yang telah rata dengan tanah. Itulah hal yang tak pernah terbayangkan
sebelumnya, bahwa kehidupan mereka tiba-tiba saja tersingkap diantara hamparan tanah lapang terbuka yang tak lagi memungkinkan menjadi
tempat perburuan. Kemana rusa, kasuari dan kangguru. Untuk berburu mereka kini harus berjalan menyusuri jalanan perusahaan hingga belasan
kilo meter dengan sesekali berpapasan dengan truk pengangkut kayu. Binatang buruan sudah sangat jauh berkurang, bahkan tak jarang mereka
pulang dengan tangan hampa. Seperti halnya yang dikatakan oleh tete Moses Kaize dan Paulus Mahuze:
Dulu berburu bisa dapat rusa sepuluh ekor. Sekaring paling cuma dapat satu ekor, dan sering tidak dapat sampai seminggu berburu. Dulu daging dibagi-
bagi makan. Sekarang langsung dijual ke ojek Rp. 25.000kg. Rusa paling besar kurang lebih 40kg.ekor. Tapi sekarang sudah tidak dapat yang besar.
Tinggal anak-anaknya saja yang sekitar 20kgekor. Hutan berkurang, binatang berkurang, tinggal manusianya saja yang tinggal dengan tidak
dapat makan.
179 178
Natalis Basik-Basik. 28022012. FGD. Merauke: Zanegi.
179
Moses Kaize, Paulus Mahuze. 28022012. FGD. Merauke: Zanegi.
155
Dalam sebuah perjalanan sepulang dari memancing bersama mama- mama di hutan milik marga Gebze di Zanegi, istri bapak Bonesius Gebze
mengeluhkan bahwa saat ini memancing ikan menjadi lebih sulit. Ia menjelaskan bahwa sulit didapatnya ikan itu dikarenakan pupuk dan
pestisida untuk penanaman accasia mangium yang digunakan di hutan produksi PT. SIS telah terbawa arus air hujan hingga mengalir ke sungai. Air
sungai pun menjadi keruh, dan karena keruh, ikan-ikanpun jadi kesulitan melihat umpan.
Dalam pertemuan Makaling, setelah menonton video dokumentasi areal penebagan Medco Group di Zanegi dan Buepe, bapak Matias Mahuze
dalam Sidang Makaling mengatakan :
Sagu ditebang, dikubur lagi, marga Mahuze dihina. Sagu punya hubungan dengan saya marga Mahuze. Kelapa punya hubungan denga Gebze. Kalau dia
habis, sagu su tidak ada, Mahuze dimana, dia mau kemana, mau diantara lagit dan bumi kah?, negeri ini kami punya. Jadi kalau kita lihat tadi, hutan
sudah jadi laut, kasihan, kita pu saham [kangguru] Samkakai mau kemana, kita pu kasuari Kaize mau kemana, semua marga su hilang, Marind juga
hilang dari negeri ini kalau kita mau jual tanah ini.
180
Semut mati di kantong gula , atau tikus mati di lumbung padi , atau banyak lagi istilah yang sering digunakan orang untuk menggambarkan
kondisi masyarkat Zanegi dan Buepe saat ini. Namun pada kanyataannya adalah lebih dari itu ketika sebagaimana dikatakan oleh bapak Matias
Mahuze, sebagaimana juga telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa bagi Marind hutan dan seisinya bukanlah sekedar aset ekonomi, melainkan
juga identitas, yang-primordial, yang jauh lebih tak terjangkau bahkan tak mungkin terjangkau oleh orang lain. Dengan
demikian, aiwa yang
180
Matias Mahuze. 19042012. Orasi Bebas, Sidang Makaling. Merauke: Makaling
156
diteriakkan oleh Natalis Basik-basik pun tak hanya tentang rintihan lapar semut dan tikus karena hilangnya gula dalam kantong atau dicurinya padi
dari lumbung . Lebih dari itu, teriakan tersebut adalah tentang keterasingan atas hilangnya hutan, yang berarti juga terkoyaknya primordialitas serta tak
utuhnya lagi wajah Anim-Ha.
d. Resistensi
Demi mempertahankan apa yang mereka yakini sebagai Anim-Ha itulah Sidang Makaling diselenggarakan. Sebuah sidang adat yang diprakarsai
sendiri oleh para tetua adat kampung Makaling. Melalui kepala kampungnya dan dengan dukungan dari kedua kepala distrik, mereka mengundang semua
perwakilan adat dari setiap kampung di sepanjang pesisir selatan kabupaten Merauke dari muara Bian sampai muara Kimam. Semuanya bebas berbicara,
laki-laki, perempuan, tua dan muda. Atas nama tanah dan leluhur, semua meneriakkan penolakannya.
Kami ketua-ketua adat, dari Wamal sampai Sanggase, melakukan perjanjian bahwa perusahaan tidak akan masuk lagi. Apa yang terjadi ini tolong
diceritakan, bahwa ketua adat Wamal, Dokip, Yowid, Woboyu, Dodalim, Wambi, Dufmila, Makaling, Iwol, Sanggase, Okaba, Alaku, Alateb, telah
duduk bicara tentang perusahaan masuk, dan tidak. Terima kasih pada bapak distrik Okaba dan distrik Tubang. Dukung kami ketua-ketua adat dari
Wamal sampai Sanggase. Terima kasih.
181
Sambil semuanya menaruhkan tangan kanannya pada Ka u, itulah
sumpah janji yang diucapkan oleh ketua-ketua adat dari kampung-kampung yang terdapat di distrik Okaba dan Tubang pada saat sidang di Makaling.
181
Ketua-ketua Adat dari Distrik Okaba dan Tubang. 19042012. Sumpah Adat, Sidang Makaling. Merauke: Makaling.
157
Sidang tersebut menjadi sebuah momen pertama berkumpulnya masyarakat Marind dari berbagai kampung dan menyatakan penolakannya atas nama
tanah, atasnama moyang dan masa depan anak cucu, atas nama Anim-Ha. Dengan bercermin pada kasus Zanegi, bapak Walter Aluend selaku
ketua adat golongan Imo kampung Makaling mengatakan :
Saya orang Marind, saya tidak pernah lapar. Saya tinggal di tanah firdaus. Laut ada, darat ada, di antara langit dan bumi ada, saya tidak pernah lapar.
Orang lain yang datang laparkan saya. Kita Marind ini punya harga diri. Kita Marind Anim-Hiyan [Ha], manusia betul, manusia sejati, itu baru manusia
benar. Jadi sekarang ini banyak kita sudah jadi orang-orangan, karena uang. Kita banyak su jadi Judas. Lupa cucu, jadi manusia orang-orangan. Di Zanegi
perusahaan su rampas dorang punya daging, sekarang dorang tinggal bertengkar saja berebut tulang. Jangan sampai kita ini menagis macam
saudara-saudara kita yang ada di Zanegi sana. Perusahaan makan kita punya daging disini, habis itu daging dia bawa, tulangnya kasih tinggal buat
kita.
182
Di sini uang ditempatkan sebagai pukauan yang sangat sulit untuk dihindari, karena ia berada di luar kebutuhan subsistensi ekonomi. Semua
orang tahu bahwa tak pernah ada kata lapar bagi masyarakat Marind di sepanjang pesisir. Tapi uang bukanlah persoalan lapar, sehingga untuk
menjelaskannya bapak Walter Aluend harus menghadirkan Judas sebagai bahasa.
Sementara tidak jauh dari permasalahan itu, dengan menegaskan dirinya sebagai perempuan keturunan Marind asli, mama Weda Mahuze
Imbawaiyan memperingatkan :
Tadi para ketua adat su berjanji di sini [ Ka u]. Betul kah tidak? Saya mau
tanya. Contoh, saya kasih saya pu ketua adat ini, ambil ini uang, seratus juta,
tutup mulut, saya ada jual tanah ini . Bisa kah tidak? Nanti kamu punya
tanggapan bagaimana? Kamu akan tuntut tidak? Tadi sudah berjanji to,
182
Walter Aluend. 19042012. Orasi Bebas, Sidang Makaling. Merauke: Makaling.
158 betul kah tidak? Kalau begitu saya sebagai perempuan Marind berjanji juga
[sambil menaruh tangan di Ka u], kalau kamu jual tanah, kamu semua mati,
karena saya yang lahirkan kamu ketua-ketua adat. Saya lahirkan laki-laki dan perumpuan. Hormati saya, hargai saya. Tidak boleh jual. Perjanjian ini
sampai akhir zaman. Kalau sampai ada yang jual tanah ini, saya sudah sumpah kamu. Karena tanah ini saya punya.
183
Tidak ada yang bisa memastikan bahwa penolakan itu, Sidang dan semua orasi itu, akan membuat perusahaan membatalkan niatnya untuk
masuk ke tanah mereka, atau bahwa perjuangan mereka dalam menolak kehadiran perusahaan akan menuai kesuksesan. Semua tidak ada yang bisa
memastikan. Bahkan semua warga yang berkumpul dalam Sidang tersebut juga tidak pernah tahu barang seperti apa sesungguhnya MIFEE ini, dan apa
akibat dari penolakan mereka nantinya. Yang mereka tahu hanya bahwa mereka menolak dan menolak, di luar itu hanyalah gelap, tidak ada jaminan
atau kepastian atas apa yang mereka lakukan. Tidak seperti kepala distrik Okaba yang benar-benar persoalan MIFEE dan sadar bahwa situasi yang
dialaminya bersama warganya saat ini adalah hal yang berat , bahwa cepat atau lambat perusahaan pasti masuk .
184
Yang dipunyai oleh masyarakat hanyalah tekat, kata hati, disertai dengan sedikit perhitungan untung rugi.
Selebihnya hanyalah gelap, suatu kenyataan yang berjalan di luar nalar mereka. Gelap itulah yang terbayang dalam ungkapan bapak Walter Aluend
dan mama Weda Mahuze, bahkan dalam kata sambutan kepala distrik Okaba ketika membuka Sidang tersebut :
Kalau saya yang ada berdiri ini anak adat, saya akan tahan. Tapi kalau saya ini pemerintah, saya pasti ikut dorang to, karena saya juga makan dari situ.
Selama saya ada, tangan saya tidak akan mengotori untuk orang lain masuk di hutan ini. Saya sudah janji, kalau kamu kasih masuk, saya akan pulang.
183
Weda Mahuze. 19042012. Orasi Bebas, Sidang Makaling. Merauke: Makaling.
184
Jeremias Ndiken. 22032012. Wawancara. Merauke: Okaba.
159 Istri dan anak-anak saya boyong, dan saya akan lapor bupati, saya gagal.
Selama saya ada saya tidak akan teken.
185
Akhirnya, primordialitaslah
satu-satunya hal
yang mampu
menggerakkan masyarakat Marind, tak hanya di Makaling, bahkan juga di seluruh kampung. Jika di antara wilayah gelap yang membayang itu Sidang
Makaling yang dihadiri oleh perwakilan dari hampir seluruh kampong di daerah pesisir selatan itu menghasilkan sumpah janjinya di depan
Ka u, begitu juga masyarakat di kampung-kampung lain dalam bentuknya yang
berbeda. Di daerah tengah ada Zanegi yang – untuk pertama kalinya bagi
Marind – menambahkan jabatan ketua-muda dalam hirarki adat bagi setiap
marga, demi mempertahankan tanah mereka pada wilayah komunikasi dengan PT. SIS; di daerah pesisir selatan bagian lain, Ndumande bertahan
untuk tidak memberikan sebagian tanahnya kepada PT. Rajawali, perusahaan yang sedari awal juga telah mendapatkan penolakan dari masyarakat
kampung Onggari; hingga di daerah perbatasan dengan PNG, Selil yang dalam ketidakberdayaannya di hadapan Kindiki, bertekad untuk tidak mengulang
nasib yang dialami oleh Asiki.
185
Jeremias Ndiken. 19042012. Sambutan Kepala Distrik Okaba, Sidang Makaling. Merauke: Makaling.
160
BAB IV PRIMORDIALISME, PATRIOTISME DAN NASIONALISME:
MARIND DAN MIFEE-MP3EI DALAM TAFSIR IDEOLOGI ŽIŽEKIAN
Setelah pemaparan tentang konteks global historis MIFEE dan identitas primordial Marind pada kedua bab sebelumnya, sampailah kajian
ini pada analisis terhadap keduanya dalam konteks wacana kritik ideologi, dimana penulis akan mengkajinya dengan menggunakan perspektif
psikoanalisa Lacanian Žižek. Jika menilik kembali ke Bab pertama, kajian ini
berangkat dari tiga rumusan besar yang terdiri dari: pertama, apa makna tanahhutan bagi identitas primordial masyarakat Marind?; kedua, jenis
ideologi seperti apa yang lahir dari identitas primordial tersebut dalam menyikapi MIFEE?, dan; ketiga, sebagai pertanyaan terakhir, bagaimana
ideologi masyarakat Marind yang terlahir dari identitas primordial tersebut berhadapan dengan ideologi kapitalisme neoliberal yang hadir dalam bentuk,
atau dibawakan oleh MIFEE? Untuk menjawab rumusan masalah pertama, Bab Tiga penulis anggap
telah menjelaskan bahwa tanah atau hutan telah – tak hanya berfungsi
ekonomis – menjadi landasan primordial dari pembentukan identitas
masyarakat Marind: Anim-Ha, yang tanpanya, Marind bukanlah siapa-siapa. Dengan demikian, tinggal dua rumusan masalah yang masih tersisa, yang