Nasionalisme Indonesia Hari Ini

250

2. Nasionalisme Indonesia Hari Ini

Jika pembahasan tentang nasionalisme dan patriotisme ini dibawa mengingat kembali sejarah perjuangan terbentuknya Indonesia menjadi sebuah Negara, maka – dengan merujuk pada logika ekuivalensi Laclau- Mouffe –keberhasilan sebuah perjuangan kemerdekaan adalah keberhasilan menghisterisasi diri dan menciptakan musuh bersama common enemy. Hanya d engan itulah ruang politik untuk membuka fron perlawana baru yang esensial dalam membangun hegemoni tandingan itu akan bisa tercipta. 262 Artinya, proses histerisasi diri masyarakat pra-Indonesia yang berlangsung lama dari pemberontakan-pemberontakan kedaerahan yang partikular hingga Proklamasi-45 telah berhasil memposisikan keberadaan bangsa Belanda dalam logika common differentiation, menjadi sesuatu yang secara eksternal berbeda bagi internalitas pribumi, dan menamainya sebagai musuh bersama penjajah. Hari ini, ketika pemerintah Indonesia meletakkan MP3EI sebagai dasar pembangunan nasional, pembangunan yang pada prakteknya justru merusak tatanan kehidupan masyarakat di kampung-kampung Marind, bagaimanakah nasionalisme itu masih akan dijelaskan? Siapakah yang selanjutnya bisa dibaca atau diposisikan sebagai musuh bersama? Mungkinkah cinta tanah air itu masih bisa diandaikan? Jawabannya pun masih menjadi pertanyaan yang secara perlahan masih harus dijelaskan. 262 St. Sunardi. 2012a. Logika Demokrasi Plural-Radikal, jurnal Retorik, vol.5, no.1. Yogyakarta: IRB-USD. 251 a. Cinta Tanah Air dalam Globalisasi Pasar Pada 7 Oktober 2010 harian KOMPAS memuat sebuah artikel yang ditulis oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal BKPM Gita Wirjawan dengan judul Nasionalisme Ekonomi yang selanjutnya mengundang perdebatan ideologis seputar nasionalisme. Artikel tersebut secara umum menjelaskan bahwa semangat nasionalisme saat ini haruslah diletakkan pada peningkatan pembangunan perekonomian yang mampu mensejaterahkan rakyat melalui penciptaan nilai di Indonesia , dan itu hanya dimungkinkan dengan dibuka selebar-lebarnya peluang investasi asing melalui sistem kerjasama pemerintah dan swasta. 263 Pandangan ini menyulut kegeraman banyak kalangan, salah satunya adalah Ekonom Kwik Kian Gie dalam artikelnya yang terbit empat hari kemudian di harian yang sama. Gie menegaskan hal penting untuk dikritisi adalah bahwa penciptaan nilai yang dimaksud oleh Wirjawan hanyalah penciptaan nilai di Indonesia , dan bukan buat bangsa Indonesia . Artinya investasi ini adalah sistem pembangunan dengan manfaat terbesar buat pemilik modal asing, dan bukan buat rakyat Indonesia yang memiliki sumber daya alam . 264 Jika perdebatan tersebut dibawa kembali memasuki wacana neoliberalisme, maka akan ditemui bahwa gagasan Nasionalisme Ekonomi Wirjawan tersebut tak lain adalah apa yang dicita-citakan oleh dua tokoh utama mazhab Chicago, yaitu Milton Friedman dan Frederich von Hayek. 263 Gita Wirjawan. 2010. Nasionalisme Ekonomi. Jakarta: KOMPAS, http:nasional.kompas.comread2010100704310355 , diakses pada 17062011. 264 Kwik Kian Gie. 2010. Nasionalisme Ekonomi versus Rendemen Modal. Jakarta: KOMPAS, http:kwikkiangie.comv1201103nasionalisme-ekonomi-versusrendemen-modal , diakses pada 23112013. 252 Friedman menjelaskan bahwa ekonomi pasar lebih efisien dibanding perencanaan Negara, karena pasar lebih mampu mengatur kepentingan masing-masing individu dalam mengejar apa yang mereka inginkan. Seiring dengan itu, Hayek mengajukan keberatannya terhadap intervensi Negara karena hanya berlandaskan pada pengetahuan yang sangat terbatas. Tanpa intervesi negara, pasar akan berdiri sebagai mekanisme yang menyatukan dan merespon segala informasi tentang masyarakat, sehingga dari situlah pasar akan mampu memberi apa yang setiap individu minta. 265 Dalam perspektif ini, nasionalisme sebagai wujud dari cinta tanah air pun menjadi cinta yang ekonomis, hanya melihat nilai yang terkandung pada hubungan antara individu dan tanah kelahirannya patria sebagai nilai guna. Setiap hubungan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat menjadi sekedar hubungan antara seseorang dan aset ekonomi modal yang dimilikinya, dimana kebebasan yang dibayangkan adalah kebebasan mempertukarkan segala jenis sumber daya di tanah kelahiran, kampung atau desanya tanpa terhalangi oleh segala bentuk sistem pengaturan apapun kecuali pasar global. Pasar dihadirkan sebagai perwujudan dari cinta tanah air yang menjamin segala kebutuhan masyarakat. Pasar mendefinisikan dan mengkoordinasi kepentingan individu, memotivasi individu untuk menemukan hal baru, serta memproduksi dan menjual segala macam barang, jasa dan aset, 266 sehingga kepentingan individu adalah kepentingan yang didefinisikan secara reduktif 265 Bagus Aryo. 2012. Tenggelam dalam Neoliberalisme?: Penetrasi Ideologi Pasar dalam Penanganan Kemiskinan. Depok: Kepik, hlm: 37. 266 Martin Wolf. Ibid., hlm: 53. 253 menjadi sekedar kepentingan ekonomi, sedangkan hal baru tak lain adalah hal yang oleh pasar disebut baru. Pasar telah hadir sebagai hasil objektifasi dari cinta tanah air , bahwa cinta kini menjadi sesuatu yang dihasilkan atau tumbuh di sepanjang proses pertukaran ekonomi dalam kehidupan masyarakat, menjadi produk sampingan something extra yang menambal kerinduan lost atas sebuah kemengadaan identitas secara utuh. Pasar pun tak hanya aktif dalam memandang ranah sosial sebagai ranah ekonomi dan mendefinisikan kepentingan baca: kebutuhan masyarakat sebagai permintaan dari homo economicus , 267 melainkan juga menyediakan bagi masyarakat – dari pandangan itu – efek kenikmatan sebagai mahluk sosial, efek yang membuat masyarakat merasa hadir dan terlibat dalam sebuah cinta. Dengan mengkonsumsi produk-produk barang, jasa, aset dan juga program berlabel nasional, misalnya, seseorang tak hanya terpuaskan karena terpenuhi kebutuhan materialnya, melainkan juka merasakan kenikmatan dari keterlibatan dalam menjaga tegaknya identitas bangsa. Inilah fetisisme komoditi, ketika aktivitas pertukaran pada akhirnya dipercaya secara alamiah mampu memberikan sesuatu yang lebih dari apa yang secara formal dipertukarkan produk. Mengkonsumsi produk nasional menjadi bukan hanya mengkonsumsi formalitas objeknya, melainkan juga mengkonsumsi fantasi nasionalisme yang disediakannya, yang pada kondisi tertentu fantasi itu jauh lebih penting dari objek formalnya. Produk pun hadir sebagai medan kongkrit dari intersubjektifitas Lacanian masyarakat, sebagai objek yang 267 Bagus Aryo. Ibid., hlm: 39. 254 menyimpan gambaran gaze tentang cinta tanah air , tentang bagaimana seharusnya aku di hadapan Liyan , bahwa dengan mengkonsumsinya seorang warga seolah sedang dalam proses melunasi suatu panggilan patriotik: bayangan atas dirinya sebagai sebuah kehadiran atau partisipasi yang diinginkan oleh kedaulatan negara. Pendeknya, jika seseorang ingin berjuang atas nama cinta terhadap tanah airnya, maka ia harus aktif sebagai konsumen dari segala jenis komoditi yang diproduksi atau didistribusi oleh negaranya. Apa yang bermasalah dengan kondisi ini? Bukankah setiap dorongan cinta memang selalu menuntut suatu bentuk pengejawantahannya ke dalam ranah yang lebih kongkrit? Bukankah dengan demikian seorang warga negara memang benar-benar – bukan seolah-olah – telah menjalankan tugas patriotiknya? Maka melalui perspektif Žižekian penulis pun menjawab bahwa dalam kondisi ini seseorang sedang berada dalam permasalahan sesunguhnya menyangkut ideologi, yaitu ketaksadaran akan adanya pemahaman lain dalam dirinya yang bergerak di luar kontrolnya persis ketika ia merasa memahami. Saat ini setiap orang bisa memahami sepenuhnya bahwa budaya konsumsi telah dan semakin menciptakan ketergantungan masyarakat kepada pasar, orang juga sangat mengerti bahwa mencintai tanah air tidak cukup hanya dengan menonton dan membeli seragam sepak bola, atau bahkan hanya dengan mengikuti program beasiswa pembangunan nasional. Setiap orang sangat memahami hal itu, but still, mereka tetap 255 menjalankannya sebagai suatu tindakan yang selalu disertai dengan rasionalitas yang kuat. Demikianlah ideologi kapital itu bekerja, dengan menciptakan kenikmatan di luar tujuan dari kerja patriotik masyarakat, menghadirkannya sebagai surplus da ri sebuah kerja penandaan atas cinta tanah air , kenikmatan yang tanpa sadar telah didapatkan ketika orang mulai merasa bahwa selain sebagai anak bangsa, aku juga manusia biasa . Dengan kata lain, situasi semacam ini adalah sebuah penjelasan tentang nasionalisme kekinian bahwa cinta yang menjadi tujuan dari setiap dorongan patriotik pada akhirnya hanya hadir sebagai formalitas dari kerangka tindakan atas nama tanah air , karena persis ketika demi tujuannya dorongan patriotik itu harus melibatkan dirinya ke dalam dunia objek material atau Simbolik, maka pada saat itulah ia menyatu dengan kerangka kerja objektif kapitalisme. Di titik inilah Naiosnalisme Ekonomi, yang berarti adalah patriotisme kapitalis, menghasilkan sebuah refleksi bahwa di balik segala perjuangannya, seorang patriot pun tetaplah juga manusia biasa, yang suka nonton sepak bola dan ingin juga mendapatkan beasiswa . b. Nasionalisme [Pasar] Tanpa Luka Primordial Ketika SBY berdiri mengusung MP3EI sebagai gagasan tentang cita- cita kemenangan besar di bawah kibaran bendera pasar, maka patriotisme kapitalis itu pun bekerja dengan dipercayainya sistem neoliberal menjadi suatu kebenaran yang akan mampu mewujudkan jalan menuju Indonesia yang sejahtera, makmur dan kebebasan. Hal ini terjadi karena di dalam PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 256 neoliberalisme segala sesuatu hadir secara rasional. Melalui fetisisme terhadap IEDC sebagai produk neoliberal, SBY menemukan sebentuk bangunan kecintaan kepada tanah air, cinta yang merupakan hasil dari rasionalisasi atas kebebasan dan mengalir menjadi kebijakan yang bekerja secara rasional dan matematis demi memperjuangkan kesejahteraan pangan nasional feed Indonesia . Cinta tanah air pun secara formal telah menjadi cinta yang benar-benar ekonomis, dimana ukuran dari tingkat kecintaannya adalah sejauhmana partisipasi rasional dan matematis mampu menjamin terwujudnya kesejahteraan ekonomi suatu bangsa. Inilah wujud dari cogito, temuan tertinggi dunia modern Cartesian yang meninggalkan metafisika para pemikir sebelumnya, sebuah pergeseran moda kekuasaan yang dalam perspektif Lacanian adalah proses perubahan wacana, dari Wacana Tuan Master s discourse menjadi Wacana Universitas University discource. Wacana Universitas terbangun ketika status dari agen Father bukan lagi berada pada level identitas Simbolik, melainkan pada level keberadaan subjek di hadapan segala sesuatu. Dengan kata lain Sang Ayah bukan lagi S , melainkan S , bukan lagi Penanda Utama yang menggaransi identitas sebagai keberadaan subjek dalam tatanan Simbolik, melainkan sistem pengetahuan yang menjadikan subjek sebagai bagian darinya . Inilah momen ketika Sang Ayah merubah statusnya dari S menjadi S , dari Penandan Utama yang kosong menjadi sistem pengetahuan . 268 Pada saat yang sama subjek juga mengalami pergeseran 268 Slavoj Žižek. Ibid., hlm: 39. 257 statusnya, dari sebagai landasan kebenaran yang terrepresi oleh agen penegak wacana, menjadi produk yang dihasilkan oleh wacana. 269 Perubahan wacana dari Tuan ke Universitas ini tidak berbeda dengan perubahan kekuasaan di Indonesia era Orde Baru ke SBY. Pada masa Orde Baru, Soeharto tampil sebagai penanda utama S atau Tuan yang menempati posisi sebagai agen, secara feodal mengatur segala sistem pengetahuan S sehingga menempatkan cinta atau objek penyebab hasrat a itu pada posisi sebagai produk atau sebuah kehilangan. Apa yang terjadi di pemerintahan SBY adalah melemahnya fungsi paternal sang Tuan Presiden sebagai penanda utama, atau menguatnya sistem pengetahuan hingga mampu menempati posisi agen dan membuat sang Tuan hadir sebagai representasi kondisi sesungguhnya dari agen tak mampu berbicara dan terrepresi. Dengan demikian sistem pengetahuanlah yang berkuasa sebagai agen, menjelaskan dan menentukan apa itu cinta yang menempati posisi sebagai liyan, dan menjadikan subjek hanya sebagai yang kehilangan atau produk dari apa yang dibicarakan oleh pengetahuan, yaitu objek a. 270 Jika penjelasan ini dikaitkan kembali dengan wacana Nasionalisme Ekonomi maka yang akan nampak adalah cinta tanah air sebagai suatu penyebab 269 Bruce Fink. 1995. The Lacanian Subject: Between Language and Jouissance. New Jersey: Princeton University Press, hlm: 131-132. 270 Jodi Dean. 2007. The Democratic Deadlock, jurnal Theory Event, Vol.10, Issue 4. http:muse.jhu.edu.ezproxy.ugm.ac.idjournalstheory_and_eventv01010.4dean.html , diakses pada: 26042013. 258 hasrat yang menempati posisi sebagai liyan yang turut membentuk identitas subjek pun tak lain adalah cinta sebagaimana yang diajarkan oleh wacana pengetahuan neoliberal, bahwa cinta berarti bisnis dan industrialisasi sklala besar. Ketika pengetahuan itu sendiri telah menjadi bagian dari sistem kerja pasar global, maka apa yang menduduki posisi agen atau Sang Ayah selanjutnya adalah pasar, dan dengan demikian, masyarakat pun tak lain adalah produk dari pasar: masyarakat yang kehilangan. Dalam kondisi seperti ini, hal yang mau-tidak mau harus diterima adalah apa yang telah digulirkan oleh Sunardi sebagai kekhawatiran kritis terhadap pasar. Pertama , pasar memperlemah masyarakat dalam mengenali dan memenuhi kebutuhan sendiri , sehingga menciptakan ketergantungan dalam moda pengenalan dan pemenuhan atas kebutuhan itu kepada mekanisme pasar; kedua , pasar juga mengancam kualitas hubungan sosial , yaitu ketika kualitas sosialitas masyarakat yang kompleks telah tereduksi ke dalam interaksi atas dasar pertukaran , dan; ketiga, sebagai konsekwensi dari dua kondisi sebelumnya, pasar bisa memperlemah daya hidup survival masyarakat , karena ketergantungan akan kehidupan secara sosial telah dialihkan pada ketergantungan atas kehidupan secara pasar. 271 Selanjutnya jika kekhawatiran kritis itu diperhadapkan dengan fenomena MP3EI yang merupakan perwujudan dari sistem kapitalisme neoliberal sebagai Nama Sang Ayah di Indonesia, maka seketika bisa disimpulkan bahwa masyarakat yang ingin dibangun di dalamnya adalah 271 St. Sunardi. 2012b. Vodka da Bi ahi Seo a g Na i : Esai-esai Seni dan Estetika. Yogyakarta: Jalasutra, hlm: 272-274. 259 masyarakat Indonesia sebagai produk dari pasar. Masyarakat pasar: yang hanya mampu mengenali hasrat atau kebutuhan hidupnya sebagai kebutuhan ekonomis; yang keterikatan komunalnya ditentukan oleh ikatan pertukaran, kesamaan produk yang dikonsumsi, serta aset-aset sosial komunal yang telah berubah menjadi aset ekonomi, dan; yang tak mampu lagi menciptakan nilai hidup di luar nilai yang ditentukan oleh pasar. Jika demikian, lalu bagaimana masyarakat semacam ini akan menempatkan nilai- nilai patria dalam dirinya? Sejauhmana sesuatu yang disebut sebagai bangsa itu masih relefan untuk dibayangkan? c. Membayangkan Negara-Bangsa: Membayangkan Ketakterbayangan Pada epilog dari esainya yang berjudul For Love of Country, Viroli mengajukan Amerika sebagai representasi dari kejayaan nasional yang terbangun dari kebajikan warga Negara civic virtue meski tanpa rujukan sosio-kultural dan keagamaan yang sama. Kejayaan nasional tersebut didorong oleh kebajikan warga Negara berbentuk keterlibatan dan partisipasi politik dalam menegakkan demokrasi dan memerangi korupsi termasuk di dalamnya adalah rasisme dan radikalisme. Inilah yang dimaksudkan oleh Viroli sebagai patriotisme masyarakat modern yang tak mungkin lagi bertumpu pada ikatan agama atau darah, melainkan seperti yang dibayangkan oleh Rousseau dan Tocqueville, yaitu pada kebaikan bersama masyarakat common good yang mengaitkan kepentingan individu pada sebuah sistem pemerintahan yang baik good government, itulah 260 demokrasi. Pertanyaannya, apakah hal itu memang mungkin, ketika pada akhirnya perpaduan antara common good dan good government dalam mengupayakan demokratisasi kehidupan masyarakat bernegara itu tak mungkin bekerja selain menggunakan bahasa kapitalisme dengan meliberalisasi seluruh elemen dari kehidupan masyarakat? 272 Sebagai pelajaran yang sangat berharga dalam memahami permasalahan ini adalah penjelasan Žižek tentang bangkrutnya Wall Street pada tahun 2008 yang disebabkan oleh macetnya perputaran uang pinjaman pada kredit perumahan di Main Street Amerika. Ketika permainan di pasar saham mengharuskan bank-bank dan perusahaan-perusahaan raksasa memberikan pinjaman biaya kredit perumahan sebagai bentuk resiko moral moral hazard kepada buruh the poor , maka kondisi yang tercipta seolah bahwa keberlanjutan pasar ini sangat bergantung pada sejauhmana masyarakat pekerja mampu memenuhi setiap kesepakatan perjanjian peminjaman tersebut. Apakah benar demikian? Bukankah gagasan resiko moral itu sendiri adalah awal dari segala kondisi yang dihasilkannya? Dengan mengajukan pendapat Guy Sorman bahwa secara rasional ekonomis tidak mungkin lagi membedakan antara permainan pasar saham virtual capitalism dan aktivitas pekerja real capitalism , Žižek mengatakan bahwa dalam dunia kapitalis tidak ada sesuatu yang mampu terealisasi tanpa didanai terlebih dulu , dimana kondisi tersebut pada akhirnya menimbulkan masalah bahwa meruntuhkan Wall Street pasti akan 272 Lihat: Jodi Dean. 2007. Ibid., dan Vabio Vighi. 2010. Ibid., 261 meruntuhkan juga keseharian para pekerja . 273 Artinya, kondisi sosial yang dihasilkan dari sistem tersebut adalah kehidupan masyarakat yang telah terjebak dalam lingkaran setan kapitalisme tanpa ujung ataupun pangkal, ketika bahkan intervensi negara pun terjebak pada kondisi yang apolitis, pada kepentingan partai, dan bukan pada perjuangan kelas. 274 Jika kondisi ini dipakai untuk memandang Indonesia saat ini, maka akan ditemui MIFEE- MP3EI sebagai kasus yang sama dalam konteks yang lebih kecil. MIFEE-MP3EI dihadirkan sebagai bentuk kongkrit dari nalar kemanusiaan pemerintah dengan menyerahkan sistem pembangunan kepada logika neoliberal yang bekerja dengan mendatangkan industri-industri pangan dan energi skala besar. Maka sebagaimana Wall Street, pada dasarnya MIFEE juga hendak membawa kehidupan masyarakat Marind ke dalam lingkaran setan yang sama. Ketika Medco Group harus mengawali produksinya dengan menghabisi hutan masyarakat kampung Zanegi dan membayar kompensasi kayunya, maka yang terasumsikan adalah bahwa kesuksesan sistem produksi ini juga bergantung pada sejauhmana konsistensi masyarakat Zanegi dalam menjalani perjanjian yang secara formal telah mereka sepakati. Asumsi semacam ini dengan sendirinya mengandaikan bahwa Medco Group secara objektif sempurna, sehingga segala resistensi Marind selalu dinilai sebagai bentuk pelanggaran terhadap sistem pengaturan yang baik good governance. Akan tetapi, ketika Medco Group pun mengalami kebangkrutan dan menjual sahamnya kepada PT. LG 273 Slavoj Žižek. 2009. First as Tragedy, Then as Farce. London: Verso, hlm: 14-15. 274 Ibid., hlm: 16. 262 yang praktek produksinya justru semakin merugikan masyarakat Zanegi, maka apa yang terbuktikan adalah good governance itu sendiri merupakan bentuk ketergantungan pemerintah kepada sistem pembangunan kapitalisme baik secara nyata atau virtual. Sehingga, di luar inkonsistensi Marind sebagai satu bahasa perjuangan kelas, yang tersisa hanyalah sistem yang apolitis. Jika k enyataan ini dikaitkan kembali dengan masalah cinta tanah air , maka mau tidak mau, pemerintahan yang baik good government yang dibayangkan oleh Viroli sebagai pintu menuju kejayaan nasional tak lain adalah kejayaan kapitalisme, dimana demokrasi sebagai kebajikan civic virtue hanyalah kendaraan kosong dan terbuka untuk diisi oleh kerangka ideologi neoliberal. Nasionalisme pun semakin menjadi sesuatu yang membingungkan dan tak terbayangkan. Dalam konteks Indonesia, negara- bangsa sebagai hal yang tak terbayangkan itu nampak jelas ketika regionelisme Asia tak hanya kian menghendaki peleburan batas-batas formal negara melalui pasar bebas dan segala kebijakan investasi serta penanaman modal, bahkan juga peleburan identitas, komunitas dan cita-cita bersama menjadi One dan Free di bawah bendera Asia, yang akhirnya menggerakkan sistem pembangunan Indonesia saat ini dari CADP ke IEDC ke MP3EI ke MIFEE dimana masa depan segala lini kehidupan sosial- ekonomi-kultural-politik masyarakat contoh: Marind dipertaruhkan tanpa jaminan. 263 Inilah kondisi sesungguhnya dari nasionalisme dalam kosmopolitanisme, bahwa apa yang disebut sebagai masyarakat tidak lagi hanya terkait dengan sistem geografis yang partikular sebagai moda identifikasi atas kemengadaannya, melainkan oleh sejauhmana ia terkait secara ekonomi, politik dan kultural dengan jaringan koneksivitas global. Bahkan lebih dari itu kosmopolitanisme, melalui pasar, justru mampu menampung dan meleburkan segala sistem identitas yang partikular dalam satu kesadaran yang sama akan produksi dan konsumsi. 275 Dengan demikian pertanyaan sederhana yang layak untuk diajukan adalah: apa itu Bangsa Indonesia? Apakah ia memang ada? Dalam hal ini Žižek telah memberi jawaban yang reflektif bahwa: [T]he Master-Signifier Our Nation is this kind of empty signifier which stands for the impossible fullness of meaning, that is, its meaning is imaginary in the sense that its content is impossible to positivize - when you ask a member of the Nation to define in what the identity of his Nation consists, his ultimate answer will always be: I cant say, you must feel it, its it, what our lives are really about. 276 Sebagai penanda kosong, bangsa [in-itsef] tak memiliki kelebihan apapun. Ia kosong karena hanya mampu hadir sebagai ruang penampungan di level bahasa, penampung bagi segala dorongan dalam kehidupan individu atau masyarakat yang tak mungkin lagi dipanggulnya sendiri. Dorongan ini adalah dorongan patriotik, sebagai beban kenikmatan yang harus ditanggung dari patria-nya, kenikmatan sebagai konsekwensi dari luka cut, dari ikatan primordial yang telah diputus oleh bahasa namun meninggalkan jejak di 275 David Harvey. 2009. Cosmopolitanism and the Geographies of Freedom. New York: Colimbia University Press, hlm. 81. 276 Slavoj Žižek. 1999. The Ticklish Subject. London: Verso, hlm: 370. 264 ruang ketaksadaran. Jejak inilah yang hadir sebagai dorongan namun tak mungkin bisa dipositivisasi dan – mengikuti Žižek, – hanya bisa dirasakan. Maka, di dalam segala fenomena pembangunan bernalar neoliberal ini, sejuhmana yang disebut sebagai Indonesia mampu hadir sebagai rasa? Jawabannya pun menjadi kabur dan sulit untuk dibayangkan, sekabur batas ekonomi-politik negara dalam dunia kapitalisme neoliberal Asia, dan juga sekabur pandangan Marind jika membayangkan masa depannya tanpa Anim- Ha.

3. Patriotisme Histeris Marind