130
dimulainya cerita yang terjadi diantara masyarakat Marind dan MIFEE. Cerita itulah yang secara keseluruhan akan mengisi pembahasan bagian kedua
dalam bab ini. Mulai dari kedatangan awal perwakilan dari perusahaan ke kampung untuk melakukan sosialisasi, berlanjut kepada proses negosiasi,
hingga kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan yang juga menimbulkan histeria masyarakat dalam merespon kondisi baru yang mereka alami.
1. Proses Awal Perjumpaan
Pada proses awal, jika hendak memulai kerjanya di kawasan hutan yang secara legal telah menjadi areal konsesinya, setiap perusahaan terlebih
dulu mengutus timnya melakukan survey dan pemetaan potensi hutan. Dalam prakteknya tidak mungkin tim tersebut melakukannya sendiri tanpa
meminta bantuan kepada masyarakat kampung. Sejak itulah masyarakat mulai mengenal orang asing yang tiba-tiba saja bersedia membayarnya untuk
menemani menjelajah hutan dan melakukan pemetaan. Di beberapa kampung pertama, kedatangan tim perusahaan yang biasanya hanya berkisar
dua sampai tiga orang itu tidak serta merta bisa diketahui siapa mereka, dari mana dan mau apa. Barulah sekitar beberapa minggu atau bahkan bulan
kemudian masyarakat setelah tim sosialisasi pertama datang. Secara umum terdapat beberapa hal yang menjadi persoalan penting
untuk dicermati dalam proses awal perusahaan ini, yaitu bagaimana sosialisasi dilakukan dengan menghadirkan impian-impian besar, masalah
komunikasi yang dipaksakan, bagaimana masyarakat memandang kehadiran PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
perusahaan, dan persoalan dalam proses kesepakatan antara kedua belah pihak. Keempat hal itulah yang akan mengisi penjelasan tentang proses awal
MIFEE di kampung ini.
a. Sosialisasi Mimpi
Zanegi akan menjadi kota kecil , itulah wacana yang digulirkan oleh mantan bupati Merauke John Gluba Gebze pada saat sosialisasi kedatangan
PT. Medco Group ke kampung Zanegi pada tahun 2008. Memang PT. Medco dan Arifin Panigoro tiba dan beroperasi di Merauke lebih dulu dari pada
MIFEE, akan tetapi model atau pola yang dipilih dalam rangka melakukan pendekatan kepada masyarakat umumnya tidaklah jauh berbeda, yaitu
dengan menghadirkan pejabat pemerintah dan memberikan janji-janji indah. Seperti sosialisasi pada umumnya, pihak perusahaan selalu
menyampaikan gambaran umum dari program dan rencana-rencana produksinya yang akan menghasilkan berbagai macam hal positif bagi
kesejahteraan dan kemajuan masyarakat. Dari penyediaan fasilitas infrastruktur, sistem produksi yang ramah lingkungan, kerjasama yang saling
menguntungkan, pelestarian
cagar budaya,
hingga pembangunan
berkelanjutan sustainable development dan peningkatan kesejahteaan ekonomi keluarga masyarakat pertahun. Segala wacana semacam ini
pastinya akan selalu bisa didapati dalam setiap proses sosialisasi perusahaan kepada masyarakat di kampung atau desa sebagai retorika formal
pembangunan dalam kerangka modern. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
Situasi yang umum lainnya adalah keterlibatan pejabat pemerintah dalam proses sosialisasi, yang dalam kasus MIFEE situasi tersebut menjadi
berbeda. Keterlibatan pejabat pemerintah di sini menempati posisi penting atas keberhasilan proses sosialisasi yang dijalankan. Tak hanya bahwa oleh
masyarakat ia dipandang sebagai perwakilan dari pemerintah kabupaten, melainkan juga bahwa status sebagai pejabat itu sendiri merupakan modal
kultural yang strategis untuk dimainkan sebagai fasilitator. Tak hanya itu, status ini meningkat menjadi modal simbolik ketika pada umumnya pejabat
pemerintah tersebut adalah Marind anim orang Marind. Pada titik ini, hal yang menarik untuk diamati adalah bahwa dalam beberapa kasus, posisi
tersebut ditempati oleh Marind anim yang notabenenya adalah Marind
peranakan
157
, sebagaimana yang terjadi di kampung Ndumande, Kaliki dan Sanggase.
Dalam proses negosiasi antara PT. Rajawali dan masyarakat di kampung Ndumande pada tanggal 23 Juli 2011, kehadiran bapak Jakobus
Tunai adalah contoh dari posisi tersebut. Ia adalah Marind peranakan yang memfasilitasi hubungan PT. Rajawali dan masyarakat Ndumande dan
kemudian Kaliki di tahun 2012, sekaligus pada waktu itu ia masih menjabat sebagai Kabag Pemerintahan Kabupaten Merauke dan yang. Apa yang selalu
ditekankan oleh bapak Jakobus Tunai kepada masyarakat Ndumande adalah bahwa kehadirannya bukan sebagai siapa-siapa, bukan pemerintah, apalagi
157
Ya g pe ulis aksud se agai Mari d Pera aka adalah keturu a a pura dari
perkawinan antara warga Marind dengan warga dari luar suku Marind. Istilah ini penulis ambil dari hasil beberapa kali wawancara dengan masyarakat yang menggunakan istilah tersebut
ketika mengidentifikasi individu-individu yang dimaksud.
133
perusahaan. Kehadirannya tak lain adalah kehadiran Marind anim. Atas nama Marind anim-lah sumpah janjinya atas kebaikan PT. Rajawali dan
kesejahteraan masyarakat di masa depan mampu mengambil hati sebagian masyarakat Ndumande.
Sementara Zanegi, tak bisa dipungkiri bahwa kampung ini menjadi kasus khusus dan berada diluar masalah Marind peranakan . Masa depan
yang dipromosikan oleh John Gluba Gebze selaku bupati pada masa itu menjadi poin yang paling diterima oleh masayarakat, bahkan merupakan
poin terpenting dalam seluruh proses sosialisasi MIFEE di kampung- kampung di Merauke hingga saat ini. Kedatangan John Gluba Gebze dengan
wacana kota kecil -nya telah menjadi semacam penghormatan yang tak terhingga dan tak terbayangkan sebelumnya bagi masyarakat Zanegi.
Seorang Bupati yang Marind, putra Gebze sebagai marga tertinggi, sebuah representasi dari keberhasilan hidup Marind di masa kini, hadir ke kampung
dengan membawa pencerahan. Kota kecil pun selanjutnya menjadi sebuah mimpi baru, bahkan mimpi yang belum pernah terimpikan oleh
masyarakatnya. Terbayang Zanegi menjadi ramai dan terang benderang dengan jalan beraspal dan berbagai pertokoan, seperti Merauke tapi lebih
kecil kata seorang warga Zanegi bapak Leo Mahuse.
158
Dengan demikian ada dua hal yang digunakan oleh perusahaan sebagai wacana penting dalam proses sosialisasi dan negosiasi dengan
masyarakat, yaitu primordialitas yang bekerja untuk menggugah hati, serta
158
Leonardus Mahuze. Ibid.,
134
bayangan-bayangan modern dan kemajuan di masa depan. Kedua hal tersebut bertemu dan menjadi suatu gambaran ideal tentang kehidupan,
bahwa dengan kerjasama yang terbangun ini pada saatnya nanti kehidupan masyarakat akan menjadi maju dan sejahtera, dimana adat dan kekerabatan
sangat dijaga dan dijunjung tinggi. Primordialitas dan modernitas pun dalam konteks ini telah menjadi alat politik yang strategis dalam menyampaikan
bahkan mendesakkan gambaran tentang makna kehadiran perusahaan ke dalam kehidupan berkampung dan berhutan masyarakat.
b. Komunikasi: Baku Lewat dalam Bahasa
Sejauhmana dua senjata politik tersebut mampu benar-benar mengambil hati masyarakat? Jawabannya pun menjadi sangat rumit dan
bertumpang- tindihan di antara impian mereka untuk hidup seperti orang-
orang di kota Merauke serta mengenal dunia , dan keterikatan mereka dengan apa yang mereka yakini sebagai Anim-Ha yang sebagian darinya
adalah Dema. Akan tetapi setidaknya situasi ini bisa dipahami dari segala fenomena yang terjadi dalam proses interaksi dan komunikasi yang terjadi
antara masyarakat dan perusahaan. Sedari awal, apa yang terjadi dalam sosialisasi dan negosiasi di tiga
kampung pertama Ndumande, Zanegi dan Buepe adalah komunikasi yang terkesan dua arah namun pada dasarnya berbeda makna dan pemahaman.
Apa yang sesungguhnya terjadi dalam komunikasi antara masyarakat dan perusahaan adalah ketersambungan yang semu. Apakah itu mereka sadari?
135
Itulah yang menjadi persoalan: bahwa dalam sebuah bahasa bahasa Indonesia telah terbangun sistem kesadaran yang berbeda. Inilah titik
pangkal dari segala permasalahan yang terjadi di lapangan, bahwa di tataran bahasa baca: nalar, MIFEE dan Marind sudah tidak nyambung baku lewat.
Salah satu contoh adalah kampung Ndumande. Dalam proses negosiasi rumit mereka dengan PT. Rajawali yang berjalan selama kurang
lebih 5 jam tanpa menuai hasil apa pun, warga Ndumande menjelaskan bahwa perusahaan hanya boleh menggarap kawasan sabana dari Kalambe
ke Elanwaid. Sedangkan kawasan hutan yang tidak mereka izinkan untuk dimasukkan ke dalam areal produksi perusahaan adalah wilayah sakral
dimana para moyang bertempat tinggal. Sementara pihak perusahaan menganggap bahwa warga telah salah paham, karena dalam negosiasi
sebelumnya pihak perusahaan menganggap bahwa masyarakat telah sepakat dengan luasan yang diajukan oleh perusahaan, yaitu sabana dan hutan secara
keseluruhan. Namun warga tetap tidak menyepakati dan menjelaskan berulang kali bahwa alasan mereka tidak memberikan wilayah hutan adalah
karena disanalah tempat segala marga satwa hidup. Kemudian seorang perwakilan perusahaan yang dipanggil dengan nama bapak Wahab
menjelaskan bahwa:
Tidak semua hutan akan ditebang, tempat-tempat sakral [dalam seluruh kawasan hutan Ndumande] yang tidak dikehendaki oleh masyarakat untuk
masuk ke dalam areal perusahaan maka akan dienklave. Kami juga akan tetap memperhatikan area-area yang perlu untuk dikonservasi.
159
159
Wahab, PT. Rajawali Group. 03072011. Negosiasi antara Warga Kampung Ndumande dan PT. Rajawali Group. Merauke: Ndumande.
136
Sepintas, yang
menjadi permasalahan
dalam situasi
yang tergambarkan tersebut adalah kepastian tapal batas, bahwa masyarakat
bersedia melepaskan hanya sebagian dari tanahnya sabana, sedangkan perusahaan menginginkannya secara keseluruhan sabana dan hutan. Akan
tetapi apakah benar itu sekedar permasalahan tapal batas? Jika alasan masyarakat hanyalah tentang kehidupan marga-satwa, bukankan apa yang
diajukan oleh bapak Wahab dari PT. Rajawali tersebut memang sangat relevan? Jawabnya adalah tidak , karena pada titik inilah apa yang telah
penulis jelaskan pada bagian sebelumnya akan menempati posisinya. Ketika kata kasuari itu diucapkan, yang akan muncul dalam benak
orang selain Marind, atau orang yang tidak terlahir dalam budaya totemisme, adalah seekor burung yang cantik tapi tidak punya ekor, yang pernah dilihat
di kebun binatang, atau di buku-buku Ilmu Pengetahuan Alam. Dengan begitu rasa yang muncul biasanya adalah eksotisme, bahwa kasuari adalah
bagian dari ekosistem dan keindahan alam, yang tidak sepenuhnya diinginkan tapi selalu dirindukan oleh masyarakat di kota-kota besar, oleh
karena itu harus dilindungi. Sementara itu, apa yang terjadi ji ka kata kasuari
itu didengar oleh masyarakat Marind? Apa yang mereka tangkap adalah sesuatu yang jauh berada di luar nalar modern, karena segala benda,
kehidupan dan peristiwa alam adalah totem. Sebagaimana perkataan bapak Matias Mahuze dalam bagian sebe
lumnya, bukankah dengan kata kasuari itu secara otomatis yang terepresentasi dalam benak orang Marind adalah
marga Kaize. Dan jika yang mendengar adalah marga Kaize, bukankah kata tersebut menunjuk pada dirinya sendiri, identitasnya, totemnya, Demanya.
137
Dengan demikian, apakah masih bisa dibayangkan cara untuk mengenklave Dema?
Sampai di sini, tidak lagi dapat dipungkiri bahwa fenomena komunikasi yang terjadi antara masyarakat Marind dan perusahaan tersebut
merupakan komunikasi yang naïf. Atas nama kemajuan dan kesejahteraan, Marind dipaksa untuk mengikuti apa yang tak pernah ada dalam, atau
bahkan bertentangan dengan, sistem nalar mereka. Situasi ini menjadi semakin pelik ketika di dalam komunikasi yang baku lewat tesebut, di dalam
kenaifan tersebut, harapan dan impian Marind disandarkan.
c. Janji-janji: Perusahaan sebagai Manusia
Terlepas dari seperti apapun komunikasi ke-bakulewat-an yang terjadi antara kedua belah pihak, sesuatu yang dinilai oleh masyarakat Zanegi
dan Ndumande tetaplah bahwa para perwakilan perusahaan tersebut tak lain adalah saudara-saudara dari luar yang datang dengan membawa kebaikan .
Bagi penulis, penilaian seperti ini tidak hanya berlaku bagi para perwakilan perusahan, melainkan juga bagi siapa saja yang datang kepada mereka
dengan pemahaman baru dalam konteks sosial-ekonomi: termasuk di dalamnya adalah peneliti. Jika para perwakilan perusahaan hadir dengan
wacana pembangunan dan kemajuan, peneliti atau LSM hadir dengan wacana keadilan hak dan kesetaraan. Keduanya tidaklah berbeda bagi masyarakat
Zanegi, Buepe dan Ndumande. Apa yang muncul dari penerimaan masyarakat adalah hal yang pada dasarnya selalu sama terhadap siapapun. Senyum dan
138
lambaian tangan yang sama, sapaan dan pe luka n yang sama, hidangan dan
keguyuban yang sama, bahkan keluhan ekonomi dan cerita identitas totemik yang sama. Tidak ada pembedaan, karena semua datang dipandang sebagai
kebaikan . Dalam konteks hubungannya dengan perusahaan, kebaikan itu
ditangkap oleh masyarakat dalam bentuk janji-janji tentang pendidikan dan penyediaan fasilitas umum, dan janji-janji itu bukan dilihat sebagai janji
perusahaan, melainkan janji manusia. Di Zanegi, janji kota kecil dipegang oleh masyarakat bukan hanya sebagai hasil dari suatu proses pembangunan,
melainkan sebagai sesuatu yang dibawa oleh orang-orang yang menyatakannya, yaitu Gluba Gebze dan Arifin Panigoro. Itulah yang ingin
ditagih oleh masyarakat Zanegi hingga menyebabkan kekisruhan pada tanggal 20 Juli 2011 di pondok karyawan PT. Selaras Inti Semesta SIS yang
merupakan anak perusahaan Medco. Masyarakat hanya ingin bertemu dengan Arifin Panigoro sebagai yang berjanji dan yang dikabarkan datang
pada hari itu. Ketika bersama PT. LG, Medco Group mulai menerapkan sistem yang
lebih professional dan mengakibatkan berbagai kekecewaan masyarakat Zanegi yang bekerja sebagai Buruh Harian Lepas BHL PT. SIS, hal yang
paling dikeluhkan oleh para ketua-muda marga bukanlah mengapa sistemnya berubah, melainkan mengapa janji-janji yang sudah diucapkan
sebelumnya tidak ditepati. Salah seorang ketua-muda marga di Zanegi, Jakobus Basik-basik mengatakan:
139 Jadi dulu macam ada perjanjian to
, kita [perusahaan] bukan hanya mengolah pasirnya saja, tapi sekaligus mengolah manusianya . Ternyata
sekarang tidak. Menurut pengakuan kami, sekarang dorang mengolah pasirnya saja, sedangkan manusianya su tidak ingat lagi. Macam dulu ada
bahasa bahwa kami [perusahaan] akan memperjuangkan masyarakat
kampung, dari tidak tahu, harus tahu . Seperti contoh macam di alat-alat berat itu. Sekarang kita beberapa karyawan yang bekerja tidak pernah
dilibatkan ke alat-alat berat situ.
160
Sementara di Buepe juga didapati cerita yang sama dari seorang warga Arnold Bagatu yang baru saja menerima PHK dari PT. Medco
mengatakan:
Kita akan dibina dalam jangka tiga bulan, dikasih latih alat-alat berat. Kalau sudah kuasai, orang Jawa ditarik pulang kembali. Anak lokal sendiri yang
kerja. Itu janji mereka tahun 2007 waktu mereka datang survei. Dorang sudah berjanji bahwa saya [perusahaan] harus bina [masyarakat Buepe]
sampai tahu . Itu kami pu mau begitu. Sementara kita kerja juga hanya satu macam itu saja, tidak pernah dorang
bilang ah coba kau tes [alat] ini dulu kah tes [alat] itu dulu , tidak pernah. Hanya pekerjaan itu-itu terus sampai
hari ini, sampai selesai. Sedangkan kami masuk kami punya niat, supaya saya harus belajar barang ini, alat ini alat itu. Ternyata tidak ada sampai di
lapangan.
161
Kekecewaan masyarakat tersebut memperlihatkan bahwa kondisi yang mereka alami saat ini sama sekali berada di luar bayangan, bahwa pihak
perusahaan akan tidak menepati janjinya. Sementara kekecewaan tesebut hanyalah merupakan tanda bahwa masyarakat menerima perusahaan
dengan sangat terbuka. Kebaikan yang dianggap datang malalui janji-janji itulah yang lebih mendorong penerimaan dan kepercayaan masyarakat
Zanegi dan Buepe terhadap PT. Medco dan PT. SIS. Dan memang tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat di tiga kampung pertama Zanegi, Buepe dan
Ndumande sama sekali tulus dan mempercayainya sebagai sebuah ikatan persaudaraan. Terlebih lagi di Ndumande, dimana kesepakatan yang
160
Jakobus Basik-Basik. 03032012. Wawancara. Merauke: Zanegi.
161
Arnold Bagatu. 01032012. Wawancara. Merauke: Buepe.
140
mengandung janji-janji PT. Rajawali terhadap masyarakat itu diukir pada sebuah tugu kecil yang dibangun di tengah kampung.
Ketika pertama kalinya penulis datang ke Ndumande pada tanggal 2 Juli 2011, dalam perbincangan pertama masyarakat langsung menunjukkan
keberadaan tugu tersebut. Ketua LMA Ndumande mengatakan bahwa tugu tersebut merupakan simbol ikatan persaudaraan mereka dengan PT.
Rajawali.
162
Sementara ketua pemuda Huber Kaize menganggap bahwa tugu tersebut tak lain adalah prasasti dari janji-janji perusahaan yang harus
segera direalisasikan.
163
Namun, ketika penulis bertanya kepada masyarakat tentang berkas surat kesepakatan MoU, mereka semua kebingungan.
Masyarakat Ndumande lebih mempercayai tugu tersebut dibandingkan dengan MoU yang bahkan hampir dilupakan.
Mereka telah berjanji , telah menjadi ungkapan yang kerap kali dilontarkan oleh anggota masyarakat ketika berbicara prihal hubungan
mereka dengan perusahaan, baik di Zanegi, Buepe, maupun Ndumande. Janji- janji telah menjadi suatu metode yang strategis dan banyak dilakukan di fase-
fase awal perusahaan masuk ke kampung. Dan oleh masyarakat, perusahaan telah diterima dengan sangat tulus dan terbuka sebagai manusia bukan
korporasi yang datang untuk membantu bukan mengeksploitasi. Terlebih lagi ketika janji-janji kemajuan dan kesejahteraan itu diperkuat dengan
diberikannya ratusan juta bahkan milyaran uang oleh perusahaan kepada masyarakat di kampung.
Pihak perusahaan menyebutnya sebagai Tali Asih .
162
Ketua LMA Ndumande. 02072011. Wawancara. Merauke: Ndumande.
163
Huber Kaize. 02072011. Wawancara. Merauke: Ndumande.
141
d. Impian vs MoU
Terkait dengan kehadiran perusahaan, proses sosialisasi dan negosiasi yang dipenuhi dengan komunikasi baku lewat , janji-janji dan Tali
Asih itulah semua yang menggiring masyarakat di Zanegi, Sanggase-Buepe, Ndumande, Wayau dan selanjutnya Kaliki ke dalam sebuah kesepakatan
land dealing yang pada dasarnya tidak mereka pahami, kecuali bahwa semua tanda tangan yang telah mereka torehkan pada secarik kertas yang
disodorkan oleh pihak perusahaan adalah demi terbangunnya kehidupan mereka menjadi lebih maju. Sementara apa yang sebenarnya tertulis dalam
lembaran-lembaran kertas tersebut, apa yang sudah mereka iyakan dan sepakati, tak lain adalah sesuatu yang asing bagi mereka. Sedangkan di luar
kehadiran perusahaan dengan segala strateginya, sesuatu yang menjadi alasan masyarakat untuk menerimanya adalah kegelisahan atas kondisi
ekonomi dan perkampungan yang mereka diami: sebuah alasan yang tentunya tidak bisa terlepas dari pengaruh kehadiran imej kota Merauke.
Dalam sebuah seminar tentang MIFEE yang diselenggarakan di LIPI oleh Yayasan Pusaka, seorang anggota DPR dari Merauke mengatakan bahwa
Kita ini sudah capek jadi miskin. Mulai dari ekonomi burung kuning sampai yang terakhir ekonomi gaharu dan kulit gambir. Tidak ada jalan lain. Oh
mungkin MIFEE inikah nanti dia bisa antar kita untuk kemudian kita bisa merubah kita punya hidup. Kita punya para petinggi, mentri-mentri dan
jajarannya, itu dorang tidak tahu tentang Indonesia ini. Jadi dalam benak mereka, urus Indonesia ini ibarat urus Banten atau DKI atau lebih luas
sedikit pulau Jawa.
164
164
Anggota DPR Merauke. 01062011. Diskusi da Pelu u a Buku MIFEE Tak Te ja gkau
A ga Mali d . Jakarta: LIPI.
142
Sementara itu kehadiran perusahaan dengan wacana kemajuan dan modernisasinya tak bisa dipungkiri telah memberikan sepercik harapan,
setelah sekian lama masyarakat hampir tak pernah tersentuh pembangunan. Pada pesta upacara bunuh babi dalam rangka mensyahkan MoU antara PT.
Rajawali dan para kepala marga di kampung Kaliki, bapak Agustinus Balagaize sebagai perwakilan dari masyarakat mengatakan :
Kami mohom maaf karena jalan yang bapak semua lalui tadi adalah jalan yang biasa kami lalui setiap hari. Itulah kami yang ada di kampung Kaliki ini.
Selama kami hidup di kampung Kaliki ini, kami tidak pernah mendapatkan kunjungan dari kabupaten, juga dari distrik, karena kami punya jalan seperti
itu. Kepada pimpinan PT. Rajawali Group, kami membilang terima kasih yang tak terhingga. Apa yang bapak buat untuk perubahan kami di kampung
ini. Harapan kami, kami tidak merugikan perusahaan dan perusahaan juga tidak merugikan kami.
165
Dengan tanda tangan, mereka menaruhkan impian dan harapan atas kehidupan yang lebih maju dan modern, baik bagi dirinya secara pribadi
maupun bagi segenap marganya. Dalam beberapa kasus, mimpi tersebut seolah nampak di depan mata bagi beberapa tokoh marga, ketika oleh pihak
perusahaan mereka dibawa ke kota Merauke atau Jayapura, menginap di hotel dan diberi segala fasilitas yang dirasa hampir mustahil bisa didapat
dalam kehidupan sehari-hari mereka di kampug. Dalam bentuknya yang lain, mimpi-mimpi itu juga dihadirkan oleh list pembangunan fasilitas umum
kampung yang disodorkan oleh perusahaan, seperti gereja, tempat penampungan air, sekolah, dan lain sebagainya. Dalam hal ini ketua Lembaga
Masyarakat Adat LMA Ndumande yang mengatakan kegelisahannya tentang pudarnya nilai-nilai keadatan seiring dengan perkembangan
masyarakat. Bapak LMA membayangkan harus didirikan sekolah budaya
165
Agustinus Balagaize. 16032012. Sambutan Ketua Adat. Merauke: Kaliki.
143
demi mentransformasikan pengetahuan adat-istiadat dan budaya lokal. Selama ini pemerintah sama sekali tidak memperhatikan atau tidak mampu
menangkap kegelisahan tersebut, semntara PT. Rajawali telah menjanjikan akan membangun sekolah budaya yang dibayangkan itu.
Yang menjadi permasalahan adalah ketika penerimaan masyarakat dengan segala impian dan harapannya tersebut harus bertemu dengan nalar
korporasi yang bisa dipastikan selalu bekerja demi akumulasi kapitalnya. Dengan demikian telah dibukalah lembar pertama dari permasalahan besar
menyangkut tanah, ketika MoU yang harusnya hadir secara terbuka telah ditutupi atau tidak dimengerti. Para kepala marga di Zanegi
– hingga penelitian ini dilakukan
– tak pernah memegang atau mengetahui bentuk dan rupa barang bernama MoU yang sudah mereka tandatangani.
Masyarakat Ndumande tidak terlampau memperhatikan apa isi MoU yang mereka pegang karena
merasa tidak mampu pahami betul dia punya bahasa . Sementara di Wayau, beberapa tua-tua marga menerima uang
sebesar seratus ribu rupiah setelah menandatangani sebuah kertas kosong bermaterai Rp. 6000.
Akan tetapi masyarakat tidak menganggap MoU itu sebagai barang yang penting, karena yang lebih mereka pegang adalah kata-kata. Itulah
sebabnya pada beberapa pertemuan awal penulis dengan masyarakat dalam membicarakan masalah perusahaan, MoU ini tidak banyak dibahas. Yang
selalu menjadi pembahasan adalah bahwa berapa minggu yang lalu bapak A dari perusahaan B pernah mengatakan AB kepada masyarakat di tempat C;
144
berapa bulan yang lalu ibu D dari perusahaan E pernah menjanjikan DE kepada para ketua marga di tempat F; dan seterusnya. Dalam segala ingatan
itulah masyarakat menggantungkan mimpi-mimpinya tentang kemajuan dan kesejahteraan, sesuatu yang dalam tradisi korporasi modern diletakkan di
atas barang bernama MoU.
2. Histeria Masyarakat Marind