Adat Dalam Politik Indonesia

14 telah terkandung secara paradigmatik sedari awal ketika di bagian penutup pembaca akan menjumpai Zakaria dkk. memposisikan Marind sebagai masyarakat yang lemah dan butuh dilindungi. Dengan kata lain, hingga penutup bukunya Zakaria dkk masih memposisikan Marind sebagai masyarakat yang powerless.

2. Adat Dalam Politik Indonesia

6 Secara umum yang dibahas dalam buku ini adalah dinamika kebangkitan gerakan sosial yang membawa bendera adat di Indonesia pasca reformasi 1998 yang disebut dengan gerakan masyarakat adat indigenous peoples. Kebangkitan gerakan ini menjadi terlihat jelas dengan terbentuknya sebuah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara AMAN pada tahun 2009 yang mengusung wacana kedaulatan masyarakat adat. Dalam resensinya yang dimuat di jurnal Jentera, Yance Arizona, seorang aktivis dari Epistema Institute Jakarta menjelaskan bahwa kebangkitan gerakan masyarakat adat ini tidak terlepas dari empat faktor pendukung yang melatarinya, yaitu: Pertama: kebangkitan gerakan masyarakat adat tribal peoples, indigenous peoples yang terkadang juga disebut masyarakat dunia keempat fourth world peoples ini hasil dari wacana yang diusung oleh beberapa organisasi internasional; Kedua: faktor represi Orde Baru. Gerakan ini beranjak dari satu asumsi kesadaran bersama 6 Jamie S. Davidson, David Henley, Sandra Moniaga. 2010. Adat Dalam Politik Indonesia. Jakarta: KITLV, YOI. 15 bahwa mereka adalah korban dari kebijakan dan program-program pembangunan selama Orde Baru berkuasa; Ketiga: faktor keterbukaan pasca Orde Baru. Runtuhnya Orde Baru membuka ruang keterlibatan massa yang massif di Indonesia, dan; Keempat: warisan ideologis pemikiran kolonial seperti hukum adat adatrecht, beschickingrecht yang dipadankan dengan hak ulayat dan juga masyarakat hukum adat adatrechtgemeenschap yang dipelopori oleh Cornelis Van Vollenhoven, professor di Universitas Leiden sejak tahun 1909 dan bapak dari Leiden School yang melahirkan konsep- konsep kunci dalam wacana adat sampai saat ini. 7 Selain faktor pendukung kemunculannya, Davidson dan Henley dalam pengantarnya menyatakan bahwa politik adat ini adalah sebentuk konservatisme radikal di mana mereka melakukan tuntutan atas keadilan, bukan atas nama keterpinggiran atau ketidakpunyaan melainkan atas nama nenek moyang, komunitas dan lokalitas. Sehingga adat, dalam kenyataannya, justru menentang perjuangan keadilan yang lain, misalnya keadilan gender. Hal ini mengindikasikan bahwa adat yang dipakai untuk mendorong demokratisasi tersebut masih menyisakan problem-problem anti-demokrasi di dalam lokalitasnya. Paradoks dari politik adat ini juga terletak pada sifatnya yang inklusif sekaligus eksklusif. Menjadi inklusif ketika adat dipakai oleh para elitnya untuk meneguhkan posisi politik dan otoritasnya dalam penentuan alokasi sumber daya sebagaimana yang tercermin dalam kebangkitan kembali 7 Yance Arizona. 2011. Jurnal Jentera, Edisi-21 Tahun VI Januari-April. 16 sultan-sultan seantero negeri. Namun di sisi lain adat berubah menjadi eksklusif ketika berhadapan dengan kelompok-kelompok lain atas nama hak etnis. Satu hal lagi yang dipertanyakan dalam buku ini adalah ketika posisi adat dikaitkan dengan pengelolaan sumber daya alam. Maka pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat adat diasosiasikan sebagai pengelolaan sumber daya alam secara lebih arif ecological noble savage pun memiliki sejumlah kerumitan ketika dihadapkan dengan proyek konservasi oleh negara sebagaimana digambarkan oleh Tania Li di Sulawesi Tengah. Dari penjelasan tersebut bisa dilihat bahwa buku Adat Dalam Politik Indonesia ini telah memberikan sumbangsih kritis pada wacana gerakan masyarakat adat di Indonesia. Secara umum buku ini menjelaskan bagaimana adat saat ini telah berkembang menjadi alat politik untuk memperjuangkan hak atas sumber daya alam yang dimiliki oleh masyarakat. Buku ini juga telah beranjak meninggalkan esensialitas adat sebagaimana yang diusung oleh AMAN, namun sayangnya buku ini masih saja mengandaikan bahwa adat yang esensial itu masih ada, hanya saja tidak lagi bisa diterapkan sepenuhnya: adat masih diposisikan sebagai seperangkat ideologi harmoni 8 yang terpisah dari manusianya, sehingga ini mengimbas pada ketidakhadiran adat itu sendiri dalam setiap gerakan manusianya, kecuali hanya sekedar sebagai alat politik. 8 James D. Davidson, dkk. Ibid., hlm: 387-388, 405. 17 Jika adat sebagai ideologi itu diposisikan sebagai sesuatu yang terpisah dari masyarakat, lalu ideologi semacam apa yang menjadi pendorong bagi gerakan yang disebut sebagai gerakan masyarakat adat? Ini merupakan paradoks ketika pada akhir dari pendahuluannya, Henley dan Davidson dengan serius menggulirkan wacana tentang kebangkitan adat 9 , karena ternyata adat hanya diposisikan sebagai alat pendukung suatu gerakan masyarakat. Konsekwensinya, dari buku ini penulis merasa belum mendapatkan penjelasa tentang basis ideologis dari gerakan sosial yang dijelaskannya.

3. Articulating Indigenous Identity in Indonesia: Resource Politic and