108
1. Tanah: dari Aturan hingga Semangat
Sebelum datangnya MIFEE, masyarakat Marind telah hidup dengan melewati berbagai persoalan sosial-ekonomi modern dalam sejarah
panjangnya: dari perjumpaan pertama mereka dengan tentara kolonial dan para misionaris dari Belanda, tergabungnya Papua Barat dalam NKRI, hingga
diberlakukannya UU Otonomi Khusus Otsus bagi Papua oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2001. Kesemuanya itu telah membawa Marind sampai
pada kondisi kehidupannya saat ini, dimana sebagai satu bentuk kebudayaan, Marind adalah hasil dari perkawinan terus-menerusnya dengan budaya
modern yang melahirkan identitas kekiniannya. Bagi orang dari luar yang baru datang dan melihat hidup keseharian
masyarakat Marind di kampung-kampung yang jauh dari kota Merauke, mungkin sepintas lalu akan dengan mudah memberikan presepsi atau
penilaian tertentu tentang apa yang dilihatnya. Persepsi atau penilaian instan semacam itu memang susah untuk dihindari mengingat berdasarkan dari
observasi yang penulis lakukan selama di lapangan, sebagian aktivitas keseharian Masyarakat Marind masih berlangsung seperti halnya yang
diceritakan dalam beberapa laporan para misionaris Belanda. Bahwa masyarakat Marind mempunyai tradisi berkebun di hutan dengan
mendirikan bevak gubuk dan tinggal bersama keluarganya selama beberapa hari untuk menanam atau memanen pisang, sayur-sayuran dan
umbi-umbian, serta beberapa jenis tanaman rempah. Selain berkebun, di hutan juga terdapat dusun sagu sebagai tumbuhan yang memberi makanan
109
pokok, rawa-rawa yang menyimpan berbagai jenis ikan, serta kasuari, rusa dan kangguru sebagai sasaran perburuan. Kehidupan masyarakat berjalan
dengan menggantungkan
baca: mempercayakan
sumber-sumber penghidupan mereka kepada alam. Hutan di sekitar mereka menyediakan
– bahkan menjamin
– terpenuhinya segala kebutuhan pangan mereka sehari- hari sepanjang tahun.
Keterpenuhan inilah yang seringkali menggiring orang lain kepada penafsiran yang terlampau cepat dan cenderung positifistik, bahwa Marind
adalah sebuah kehidupan tanpa celah, tanpa banyak permasalahan, damai seperti masyarakat pra-kapital dalam gambaran Marx; atau dari kacamata
korporasi seperti PT. Medco dan PT. Rajawali yang cenderung melihat Marind sebagai masyarakat pemalas dengan budaya terbelakang, tidak mau
bekerja dan tidak pernah berfikir tentang masa depan, oleh karena itu harus dikenalkan dengan budaya pertukaran modern;
133
atau bisa juga mengikuti kecenderungan lembaga donor yang merevisi pandangan itu dengan lebih
melihat budaya dalam hal ini adalah Marind sebagai basis perekonomian yang potensial, oleh karena itu tinggal didampingi dan diarahkan visi-misinya
sambil perlahan diarahkan untuk membangun sistem kelembagaan produksi yang sesuai. Maka dengan tidak merujuk pada ketiga pandangan tersebut,
dalam bagian ini penulis mencoba untuk sedikit demi sedikit menjelaskan bahwa Marind adalah kehidupan yang memiliki nalarnya sendiri, bahkan
dalam konteks sosial-ekonomi.
133
Hugo, CSR PT. Medco. 19072011. Wawancara. Merauke: Mayo.
110
a. Sistem Kepemilikan
Alam, terutama tanah, secara adat senantiasa menjadi hal dimana sistem kehidupan Marind berpijak. Berbagai konsep adat yang mengatur
sistem tenurial hingga saat ini masih berlaku dan sebagian besar belum berubah, dari hak kepemilikan dan penguasaan marga hingga pembagian
tanggungjawab dalam kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu setiap pembahasan tentang Marind tidak akan bisa terlepas dari nilai-nilai dasar
yang membentuk nalar dan pola kehidupan mereka sejak masa-masa lampau hingga saat ini. Pembahasan ini akan menjelaskan ikatan masyarakat dengan
tanahnya secara formal dan material dalam tradisi Marind, serta kaitannya dengan sistem kepemilikan yang secara konprehensif telah dijelaskan oleh
Verschueren. Bagi masyarakat Marind, tanah telah menjadi dasar dari segala sistem
kehidupan yang berlaku bagi mereka. Tanah Marind yang telah terbagi menjadi milik masing-masing marga berdiri di atas dua sistem dasar hak,
yaitu hak kepemilikan dan hak pemanfaatan. Kedua hak ini, menurut tete Moses Kaize dari kampung Zanegi, ditentukan oleh sejarah perjalanan para
leluhur Marind yang berpindah dari satu hutan ke hutan lain sambil selalu menandai setiap wilayah yang telah dikuasainya. dengan menggunakan nama
orang yang dipenggalnya untuk menamai anaknya, atau nama wilayah tersebut untuk menamai anjing atau binatang piaraannya. Siapa marga
yang dalam sejarahnya datang dan menduduki suatu wilayah hutan terlebih dahulu maka merekalah yang memegang hak kepemilikan atas wilayah
111
tersebut. Jadi setiap nama dari semua orang di suku Marind bisa dipastikan memiliki keterkaitan dengan satu kawasan hutan tertentu. Itulah salah satu
yang mendasari hak kepemilikan.
134
Secara internal di tingkat marga, kedua hak tersebut mengandung ketentuan bahwa tidak ada hak kepemilikan yang berada di tangan individu
atau perseorangan, melainkan berada di tangan semua anggota magra secara komunal
sebagai wujud
dari kedaulatan,
yang dalam
hal penanggungjawabannya diserahkan kepada ketua marga. Sedangkan yang
berlaku bagi setiap masyarakat secara individu adalah hak pemanfaatan yang terbatas di dalam sesama anggota marga. Tidak ada marga yang tidak
mempunyai tanah. Bahkan, sekali lagi, nama dari marga itu sendiri berkaitan erat dengan tanah atau kehidupan alam tertentu. Misalnya Gebze yang
mempunyai arti kelapa dan Mahuze yang mempunyai arti sagu .
135
Pada suatu hari di kampung Kaliki, Okto Waken, seorang teman dari Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke SKP-
KAMe memperingatkan ketika penulis hendak mengupas dan memecahkan buah kelapa dengan sembarangan, aduh mas, jangan begitu, kamu pu cara
itu bisa bikin dorang Gebze marah besar . Peristiwa ini di kemudian hari
menemukan penjelasannya di kampung Makaling ketika sekali lagi penulis hendak membelah buah kelapa, kepada penulis dan beberapa rekan peneliti,
bapak Martinu s Ndiwaend, kepala adat golongan Mayo mengatakan, ini tidak
bisa sembarang, ada yang marah nanti. Ini ada caranya . Kemudian ia
134
Moses Kaize. 20072011. Wawancara. Merauke: Zanegi.
135
Leonardus Mahuze. 20072011. Wawancara. Merauke: Zanegi.
112
menyuruh cucunya untuk membelah kelapa tersebut.
136
Dari cerita singkat tersebut bisa diketahui betapa sebutir buah kelapa secara substansial telah
terkait erat dengan manusianya, bahkan bukan bersifat individual, melainkan identitas marga.
Seluruh tanah orang Marind terbagi atas kepemilikan oleh boan marga. Batas tanah antara satu marga dengan marga lainnya ditandai
dengan tanda-tanda alam dan diketahui dengan jelas oleh marga itu sendiri maupun oleh marga tetangganya. Batas tanah antar-marga dalam satu
kampung pun diketahui dengan jelas, termasuk kepemilikan setiap jengkal dusun
137
sagu dan setiap pohon yang ditanam. Seorang kepala marga memiliki tanggungjawab untuk mengelola hak atas tanah juga berlaku pada
wilayah perburuan binatang dan penangkapan ikan diantara anggota marga dan hubungan antar marga atau sub-marga. Misalnya bahwa hak kepemilikan
tanah tidak ada di tangan sub-marga, hanya di tangan marga. Di suatu kampung, misalnya, jika ada marga Basik-basik dan marga Balagaize yang
merupakan sub-marga dari Basik-basik, maka marga Balagaize tidak bisa begitu saja menyerahkan tanah kepada pihak lain, tanpa persetujuan marga
Basik-basik. Akan tetapi sebaliknya dalam hal hak kepemilikan tanaman: jika marga Balagaize berkebun kelapa atau menanam sagu, maka kelapa dan sagu
itu tidak bisa begitu saja dimanfaatkan oleh marga Basik-basik, meskipun
136
Martinus Ndiwaend. 25032012. Wawancara. Merauke: Makaling.
137
Istilah dusu di si i tidak bermakna sebagai satuan wilayah yang berada di dalam Desa seperti ya g iasa didapati di perka pu ga Ja a. Dusu di si i adalah suatu ka asa
dimana secara dominan ditumbuhi satu jenis tanaman tertentu, misalnya kelapa atau sagu, yang kemudian disebut s
e agai dusu kelapa atau dusu sagu . Mu gki e urut pe ulis dala ahasa oder ora g le ih e aha i ya jika dikataka se agai perke u a .
113
marga Basik-basik adalah marga utamanya. Meskipun dalam struktur yang lebih besar, seluruh masyarakat Marind terbagi dalam empat golongan
spiritual, yaitu Imo, Mayo, Ezam dan Sosom, akan tetapi perbedaan golongan ini sama sekali tidak berpengaruh pada sistem tenurial. Kepemilikan tanah
tetap berada di tangan marga inti. Ketika ritual-ritual orang Marind masih berjaya, mereka dikenal
memiliki teknologi pembuatan bedeng-bedeng tanam untuk mengatasi penggenangan karena kebun mereka terletak di daerah rendah di tepian
sungai atau rawa. Bahkan beberapa dari mereka masih bisa menunjukkan dimana letak dan posisi bedeng-bedeng itu dulu dibikin oleh kakek-
kakeknya. Biasanya mereka bercocok-tanam di sekitar dusun sagu, dan terbatas pada tanaman pisang, umbi-umbian dan kelapa, termasuk sagu.
Tanaman sagu bukan merupakan tanaman yang hidup liar, melainkan hasil penanaman yang dilakukan oleh orang Marind sejak bergenerasi lalu.
Namun, kegiatan yang menjadi sumber pangan terpenting bagi orang Marind bukanlah bertani, melainkan berburu dan menangkap ikan.
Verschueren menganalisa bahwa di masa lalu masyarakat Marind melakukan kegiatan pertanian lebih banyak didorong oleh kebutuhan
simbolisasi dalam praktek-praktek ritual, ketimbang untuk memenuhi kebutuhan pangan. Alasan inilah yang menyebabkan kegiatan bertani
menjadi semakin tidak penting setelah hampir seluruh ritual itu dilarang dan dihentikan oleh penyebaran agama.
138
Pendapat Verschueren tersebut bisa
138
J. Verschueren. 1970. Marind-Anim Land Tenure. New Guinea Research Bulletin-32
114
penulis sepakati, bukan hanya karena penjelasan yang sama juga penulis dapatkan dari beberapa warga di kampung-kampung Marind, melainkan juga
karena pendapat itu bisa diterima secara logis, bahwa jika sekedar untuk kebutuhan konsumsi, maka apa yang telah disediakan oleh alam sudahlah
cukup memadai. Sementara itu satu-satunya yang tersisa dari tradisi ritual itu adalah tanaman wati, yaitu sejenis tanaman yang secara fungsional
mengandung efek memabukkan, dan oleh masyarakat Marind biasa dikonsumsi langsung tanpa vermentasi; namun secara adat, tanaman ini
memiliki nilai yang sakral, dimana segala ritual dan perjanjian apa pun belum sah sebelum diletakkannya tanaman wati tersebut sebagai stempel legalitas
adatnya. Dengan segala kerumitannya, inilah salah satu bagian yang tersisa dari
ke-Marind-an, yang mampu bertahan dalam perjalanan panjangnya ke arah modern. Hal yang selanjutnya juga perlu dijelaskan adalah apa saja yang
telah dialami oleh ke-Marind-an sepanjang perjalanan tersebut, yang pastinya turut membentuk kediriannya hingga saat ini. Maka dalam rangka
itu, secara garis besar penulis akan menunjuk pada era kolonial dan orde baru, terkait dengan sejauhmana pengaruh kedua era itu turut mewarnai
perjalanan ke-Marind-an.
b. Agama dan Spiritualitas
Dalam laporan Dinas Sosial pemkab Merauke tahun 1972 diceritkan beberapa peristiwa yang dianggap penting dalam sejarah perjumpaan
115
Marind dengan kebudayaan luar. Dimulai sejak kapal pemerintah Belanda memasuki daerah Marind melalui muara sungai Maro di daerah Papua
Selatan pada tahun 1902, masyarakat Marind mulai berinteraksi dengan kebudayaan lain melalui berbagai bentuk penerimaan hingga perlawanan.
Arus perdagangan dari kapal-kapal Eropa, Cina dan Queensland Australia tumbuh dan berkembang pesat tak hanya membawa pergi segala sumber
daya alam, bahkan juga mendatangkan penyakit kelamin Granuloma Venereum yang mulai muncul pada tahun 1905. Pada saat itu juga lah misi
Katholik masuk ke Merauke. Pada masa-masa itu aktivitas ritual mengalami peningkatan, begitu
juga penyerangan dan pengayauan, baik sesama Marind atau terhadap kapal- kapal asing. Hingga pada tahun 1909 misi Katholik mulai bertindak
melakukan pelarangan terhadap upacara-upacara dan pesta-pesta adat Marind, dan membuka kampung teladan Alatep dan Okaba sebagai usaha
pencegahan penyebaran penyakit dengan mendirikan rumah-rumah keluarga dan rumah-rumah pemuda asrama pada tahun 1913-15.
Pembukaan kampung yang kedua mulai dilakukan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1922, empat tahun setelah sekitar 18 masyarakat Marind
dimusnahkan oleh Spanyol-flu. Kali ini kampung dibangun dalam bentuk yang lebih modern, yaitu dengan melenyapkan rumah-rumah adat rumah pria,
rumah wanita, dan rumah inisiasi yang disebut gotad dan diganti dengan perumahan keluarga. Kampung didirikan dengan mengumpulkan beberapa
komunitas yang sebelumnya hidup secara terpisah. Segala upacara, pesta dan sexual promescuity dilarang keras dan diberlakukan tindak hukuman bagi
116
pelakunya.
139
Hingga pada tahun yang sama pula, tepatnya tanggal 17 April, kerja dan jerih payah pastor Petrus Vertenten membuahkan hasil, yaitu
untuk pertama kalinya misi Katholik melakukan permandian terhadap 29 orang Marind: Rakyat Marind mulai hidup kembali, Gereja Merauke mulai
berkembang .
140
Hingga saat penelitian ini dilakukan, penulis tak menjumpai satu kampung pun yang berdiri tanpa geraja.
Sebagai bagian dari kerja awal pemerintah NKRI di Merauke, pelaporan sejarah 70 tahun masyarakat Marind tersebut bisa dipastikan
tidak mungkin terlepas dari segala kepentingan politis tertentu yang melatarinya. Oleh karena itu penting juga untuk mendudukkan ini sebagai
sutu wacana sejarah tentang Marind, dimana selain laporan Dinas Sosial Merauke tersebut juga terdapat banyak laporan lain yang membahas hal
yang sama, salah satunya adalah Jeroen Overweel. Tidak berbeda jauh dengan apa yang diceritakan secara singkat dalam
laporan tersebut, Overweel juga menceritakan bahwa proses perjumpaan Marind dengan Misi Katholik dan pemerintah kolonial Belanda telah
menghasilkan dampak positif dan negatif bagi perkembangan sosial- budayanya. Penghapusan berbagai ritual dan atribut adat serta perombakan
rumah ala adat menjadi rumah modern oleh Misi dan pemerintah Belanda, di satu sisi, telah membuahkan hasil yaitu teratasinya berbagai penyakit
berbahaya yang diderita Masyarakat Marind, namun di sisi lain, hal itu telah
139
Pemerintah Kabupaten Merauke. 1972. Marind: 70 Tahun Dalam Proses Akulturasi. Merauke: Dinas Sosial, hlm: 61-65.
140
A. Vriens MSC. 1974. Sejarah Gereja Katolik di Wilayah Keuskupanagung Merauke dan Keuskupan Agats, dalam Sejarah Geraja Katolik Indonesia. Jakarta: Kantor Wali Gereja
Indonesia, hlm: 617.
117
memisahkan Marind
dari budayanya,
141
bahkan juga
melanggar primordialitasnya.
Kedua kondisi yang saling bertentangan ini juga persis sebagaimana yang penulis temui di lapangan. Bapak Leo Mahuze dan tete Moses Kaize di
Zanegi. Keduanya menceritakan dengan semangat bahwa di masa kolonial, tidak ada hal yang dinanti-nantikan oleh masyarakat melebihi kedatangan
pastor Vertenten yang delalu disambut gembira oleh masyarakat dengan tari- tarian dan berbagai sajian makanan istimewa.
142
Namun janggalnya apa yang dikatakan oleh kedua tetua adat tersebut seolah bertentangan dengan apa
yang dikatakan oleh kepala adat golongan Mayo kampung Makaling Martinus Ndiwaend bahwa pada saat itu kakeknya berhasil menyembunyikan tanaman
wati dan menanamnya kembali secara diam-diam di tengah hutan:
Belanda mengatakan bahwa kita pu budaya itu sigo-sigo, itu sesuatu yang tidak pernah terjadi. Belanda datang kasih bunuh kita pu pakaian adat itu.
Nyanyi-nyanyi, ritual adat, upacara-upacara tidak boleh. Setiap orang tua yang mau kukuhkan anak itu sembunyi di hutan, termasuk kita ini
disembunyikan di hutan, baru jadi manusia adat betul. Akhirnya rasa minder itu sampai sekarang. Apalagi pada saat itu pastornya orang Belanda ketat
betul, kahos
[tradisi makan pinang] saja dilarang. … Moyang kita waktu Belanda kasih lepas dorang pu pakaian adat itu mereka menangis, dan
menangis. […] Jadi Petrus Vertenten dia orang itu yang kasih rubah Marind punya budaya. Benda-benda budaya itu mereka kubur.
143
Dari beberapa cerita tentang kondisi masyarakat Marind di masa lalu tersebut, hal yang perlu dilihat selanjutnya adalah apa yang pada dasarnya
terjadi dan dialami oleh masyarakat Marind, yang tak lain adalah keterbelahan spiritualitas. Bahkan ketika saat ini masyarakat Marind telah
141
Jeroen A. Overweel. 1992. Suku Marind Dalam Alam dan Lingkungannya yang Berubah. Merauke: YAPSEL.
142
Leonardus Mahuze, Moses Kaize. 28022012. Wawancara. Merauke: Zanegi.
143
Martinus Ndiwaend. 25032012. Wawancara. Merauke: Makaling.
118
memegang Katholik, Protestan dan Islam sebagai agama yang diyakininya, mereka tetap memposisikan adat sebagai jalan spiritual yang tak tergantikan.
Kondisi semacam itu bahkan nampak jelas ketika penulis mengikuti sidang adat antar kampung dan distrik pada tanggal 19-20 April 2012 di kampung
Makaling selanjutnya disebut Sidang Makaling dalam membahas penolakan MIFEE. Seperti pada umumnya, sebuah pertemuan selalu dibuka den
gan do a. Tetapi yang beda dalam pertemuan tersebut adalah, do a pembuka dilakukan
sebanyak tiga kali secara berbeda, yaitu do a Katholik yang dipimpin oleh pastor, do a adat Mayo dan do a adat Imo yang dipimpin oleh ketua adat
masing-masing. Dalam setiap do a, masyarakat melakukannya dengan sangat
khusuk. Tidak terlihat pembedaan antara do a Katholik dan do a adat selain hanya cara dan bentuk materialnya.
Akan tetapi di luar masalah do a, Sidang Makaling tersebut adalah pertemuan sakral, karena hampir semua peserta, termasuk kepala distrik
Okaba, hadir dengan mengenakan pakaian adat dan membawa benda-benda symbol dari marga dan golongan masing-masing. Benda-benda tersebut
dikumpulkan dan dirangkai menjadi satu, menjadi apa yang mereka sebut sebagai
Ka u, tempat mereka menghadapkan do a dan sumpah atas nama moyang. Dari proses tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa pada ujungnya
masyarakat kembali kepada yang primordial, kepada totem-totem yang mengikat mereka dengan para moyang. Dengan kata lain, menghadap
Ka u tak lain ialah menghadap pada diri sendiri dalam segala sakralitasnya: Anim-
Ha. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
2. Marind Anim-Ha: Mitos dan Identitas