17
Jika adat sebagai ideologi itu diposisikan sebagai sesuatu yang terpisah dari masyarakat, lalu ideologi semacam apa yang menjadi
pendorong bagi gerakan yang disebut sebagai gerakan masyarakat adat? Ini merupakan paradoks ketika pada akhir dari pendahuluannya, Henley dan
Davidson dengan serius menggulirkan wacana tentang kebangkitan adat
9
, karena ternyata adat hanya diposisikan sebagai alat pendukung suatu
gerakan masyarakat. Konsekwensinya, dari buku ini penulis merasa belum mendapatkan penjelasa tentang basis ideologis dari gerakan sosial yang
dijelaskannya.
3. Articulating Indigenous Identity in Indonesia: Resource Politic and
the Tribal Slot
10
Tidak berbeda jauh dengan tulisannya dalam buku Adat Dalam Politik Indonesia, dalam artikel ini Li juga mengatakan bahwa sesuatu yang disebut
sebagai masyarakat adat itu tak lain hanyalah konstruk yang diterima oleh suatu masyarakat tertentu karena sesuai dengan budaya dan sejarah
masyarakat tersebut. Secara singkat Li menjelaskan bahwa identifikasi diri sebagai kelompok masyarakat adat adalah, pertama: Sebuah positioning yang
diambil dari praktek-praktek yang tersedimentasi secara historis, bentang makna, praktek makna. Positioning ini timbul dari suatu pola perjuangan
partikular dan keterikatan mereka terhadap konteks; kedua: Persilangan
9
Ibid., hlm: 55.
10
Tania Li. 2000. Articulating Indigenous Identity in Indonesia: Resource Politic and the Tribal Slot. Jurnal Comparative Studies in Society and History, vol. 42, no. 1, hlm: 149-179.
18
conjunctures dari berbagai keadaan yang menciptakan suatu krisis dimana sekelompok masyarakat harus mengartikulasikan identitasnya, dan itu
dilakukan sebagai pilihan agensi. Yang disebut dengan kombinasi dari berbagai keadaan itu adalah bagaimana Negara menyebut kelompok
masyarakat itu, dan bagaimana NGO menyebut kelompok masyarakat tersebut: Negara menyebutnya sebagai masyarakat terasing atau ter pencil
dan orang kampung;
11
sementara NGO menamai mereka dengan masyarakat adat, tradisional, dan asli.
Dalam hal ini Li menyandarkan kerangka analisisnya kepada teori artikulasi Stuart Hall, bahwa artikulasi adalah sebentuk koneksi yang dapat
memiliki makna ganda, yaitu: pertama, proses megeksplisitkan suatu identitas kolektif, posisi, atau seperangkat kepentingan menjadikannya
terartikulasi, dimengerti, dapat dibedakan, dan dipahami oleh pembaca atau pendengarnya; kedua, menyambungkan atau mengartikulasikan posisi
tersebut dengan subjek politik tertentu. Dalam paragraf yang dikutip oleh Li, Hall menjelaskan:
Atrikulasi adalah suatu bentuk koneksi yang dapat menyatukan dua elemen yang berbeda dalam kondisi tertentu. ini adalah sebuah pertautan yang
tidak absolut dan tidak esensial selamanya. Anda harus bertanya, dalam kondisi seperti apa sebuah koneksi atau pertautan bisa terjadi? Dengan
demikian, yang disebut sebagai kesatuan wacana sebenarnya adalah artikulasi dari elemen-elemen yang berbeda dan dapat dibedakan, yang
dapat diartikulasi ulang dalam cara yang berbeda-beda karena mereka tidak memiliki alamat belongingness. Kesatuan yang menjadi penting adalah
pertautan antara wacana yang diartikulasikan dan kekuatan-kekuatan sosial, yang dalam kondisi historis tertentu dapat dihubungkan. Dengan
demikian, teori artikulasi adalah, pertama: suatu cara untuk memahami bagaimana elemen-elemen ideologis dalam kondisi-kondisi tertentu
11
Berdasarkan Keppres No.1111999 dan Kepmensos No.6PEGHUK2002, penamaan tersebut telah berganti menjadi Komunitas Adat Terpencil KAT.
19 berkoherensi dalam suatu wacana, dan; kedua: adalah suatu cara untuk
menanyakan bagaimana elemen-elemen ini menjadi atau tidak menjadi terartikulasikan dalam suatu kombinasi keadaan tertentu pada subjek
politik tertentu.
Dengan berangkat dari pemikiran Hall tersebut, Li selanjutnya menjelaskan bahwa
Identitas kultural dengan demikian datang dari suatu tempat dan memiliki sejarah, tapi sama sekali tidak fix secara abadi di satu masa lalu yang
esensial. Identitas tersebut adalah subjek dari permainan terus-menerus antara sejarah, budaya dan kuasa. Ia adalah sebuah irisan atau titik-titik
yang tidak stabil dari suatu proses identifikasi. Sehingga identitas bukan sebuah esensi tapi sebuah positioning.
Pada titik inilah Hall, menurut Li, menolak ide tentang suatu hubungan langsung antara posisi sosial atau posisi kelas dengan wacana dimana
masyarakat memaknai hidupnya. Hal menarik yang bisa diambil dari tulisan ini adalah penjelasan
bahwa apa yang dipahami sebagai masyarakat bukanlah suatu kondisi atau keberadaan yang hadir begitu saja, melainkan adalah juga hasil dari
rangkaian perjalanan sejarah, sehingga identitas subjek atau sebuah masyarakat pada akhirnya selalu bergulir tak henti, berada senantiasa pada
hasilnya yang tidak pernah paripurna. Namun permasalahan yang masih tersisa dari pendekatan ini adalah, jika memang posisi sosial itu tidak
memiliki hubungan langsung dengan wacana, lalu dari mana posisi-posisi tersebut mampu menghadirkan dirinya? Bukankah secara genealogis,
sejarah, budaya dan kuasa yang ditempatkan sebagai kekuatan yang membentuk irisan identitas itu juga hasil dari pergerakan wacana? Dan
ketika subjek atau masyarakat mengartikulasikan dirinya dan memilih posisi sosial tertentu, bukankan hal itu pada akhirnya adalah hasil dari sebuah
20
rasionalisasi kesadaran politis akan sebuah posisi? Sehingga dengan demikian, masyarakat, sebagaimana yang dikatakan oleh Laclau, tak lain
adalah wacana.
12
Dari penjelasan ini, apa yang masih tersisa sebagai sebuah pertanyaan teoritik, jika kembali pada beberapa poin dari penjelasan Li, adalah apa yang
membuat identitas subjek atau sebuah posisi masyarakat baca: ideologi, walaupun secara sadar telah dipilihnya, ia tetap saja tak pernah stabil? Apa
yang membuat proses identifikasi, walaupu merupakan hasil irisan dan sejarah, budaya dan kuasa, tetap saja tak pernah menghasilkan kesimpulan
yang final atas suatu identitas subjek? Pertanyaan-pertanyaan tersebutlah yang melatar belakangi penulis memilih pendekatan psikoanalisa Lacanian
Žižek sebagai kerangka teori dalam melakukan pembahasan tentang ideologi ini.
G. KERANGKA TEORI