178
bergerak di luar jangkauan bahasa symbolic order, yang dengannya pergerakan ideologi dalam ruang Simbolik akan menjadi penuh.
2. Fantasi Marind
Dalam pembahasan seputar hubungan antara jouissance dan ideologi ini
Žižek membaginya pada dua fokus, yaitu: peran jouissance dalam panggilan ideologi dan fantasi?
195
Žižek menyatakan bahwa setiap respon subjek terhadap panggilan ideologi disebabkan oleh ketundukannya pada
instruksi irasional irrasional injunction dari ideologi tersebut, dan jika ditelusuri objek intinya maka yang akan didapat hanyalah rasionalisasi dari
irasionalitas tersebut.
196
Oleh karena itu dalam menjelaskan konstruksi atas subjek
Žižek lebih menekankan pada subjektifisasi praktek-praktek yang membentuk sebuah ideologi: bahwa setiap keyakinan atas sebuah ideologi
selalu dihasilkan dari suatu ekses excess yang melawan simbolisasi, atau inkorporasi ke dalam suatu jaringan penanda. Juga bahwa perbuatan subjek
selalu dibentuk oleh fantasi-fantasinya,
197
karena fantasi mengajarkan bagaimana subjek harus berhasrat dan menghasrati, mengidentifikasi
jouissance sebagai irasionalitas ekses, memberikan penjelasan kepada subjek tentang mengapa jouissance itu hilang, dan bagaimana jika jouissance yang
195
Ibid., hlm: 8.
196
Ibid., hlm: 10.
197
Ibid., hlm: 11.
179
hilang itu bisa didapatkan kembali.
198
Dengan jalan itulah subjek mengaitkan dirinya ke dalam jejaring Simbolik.
Kembali pada Marind, ketika yang hadir di hadapan mereka hari ini adalah sebuah kenyataan yang seolah tak terbayangkan sebelumnya, bahwa
hutan – yang memuat simbolisasi dari primordialitas – mereka harus
direnggut oleh suatu kekuatan hukum Liyan yang diusung oleh struktur formal kuasa Negara, apa yang terjadi? Bagaimana Marind menjelaskan
kondisi semacam ini kepada dirinya dan kepada keyakinan primordialnya sendiri? Kepada dunia dimana jejaring sosial-politik telah tiba-tiba
memaksanya terlibat dalam arus dari berbagai kepentingan? Pada titik inilah Marind dihadapkan dengan pertanyaan besar prihal identifikasi: Che Vuoi?
Dalam hal ini, Žižek telah menyediakan jalan untuk sampai pada jawabannya
dengan membongkar seluk-beluk ruang dari cara kerja fantasi. Fantasi adalah suatu narasi primordial yang selalu hadir secara berjarak bahkan
terbebas dari aturan bahasa, ia bekerja sebagai jembatan antara struktur Simbolik formal dengan positivitas objek dalam realitas, menyediakan skema
bagaimana menjadikan objek tertentu dalam realitas menjadi objek hasrat, mengisi tempat kosong yang tidak terisi oleh struktur Simbolik formal.
199
Pada titik inilah Marind sebagai subjek bertemu dengan objek penyebab hasratnya objet petit a.
198
Ibid., hlm: 12.
199
Sla oj Žižek. . The Plague of Fantasies. London: Verso, hlm: 7.
180
a. Keterasingan: Marind dalam Panggung Tragedi Kastrasi
Mengapa aku adalah Aku sebagaimana yang MIFEE atau Pemerintah katakan?, mengapa yang Aku nikmati adalah kenikmatan sebagaimana yang
mereka katakan tentang kenikmatan?, apa yang mereka mau dariku?, dan apa yang sesungguhnya aku maui?
. Demikianlah secara teoritik substansi dari protes Marind kepada dunia luar baca: Liyan yang selanjutnya menjadi titik
beranjak untuk mulai merangkai jalan menuju kenikmatan yang sesungguhnya mereka cari. Pada momen ini, hal pertama yang hadir kepada
Marind adalah ingatan-ingatan, trauma sejarah yang membentuk sebuah narasi tentang rentetan panjang perjumpaannya dengan Liyan dari waktu ke
waktu dalam suatu panggung tragedi: tragedi kastrasi. Kisah tragedi itu, karena sifat dari fantasi adalah terbebas sama sekali
dari kebenaran kerangka Simbolik bahasa, maka segala yang terjadi di atas panggungnya adalah narasi yang berjalan dan menyusun dirinya sendiri di
luar konteks kebenaran yang dihasilkan dari pembacaan Liyan terhadap sejarah kehidupan Marind. Oleh karenanya narasi fantasif ini hanya
memungkinkan untuk dimasuki dan ditelusuri melalui restrukturisasi simptom-simptom yang bermunculan terkait dengan perjumpaan mereka
dengan Liyan. Di sini MIFEE telah hadir sebagai pemantik atas ingatan Marind akan sejarahnya sendiri, itulah sebabnya cerita prihal kehadiran
Liyan di masa lampau tidak akan mungkin bisa dihindari. Berbicara tentang MIFEE berarti juga berbicara tentang sejarah datangnya orang asing di atas
tanah Marind, dan menjadi mustahil jika ini tidak membongkar ingatan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
181
Marind tentang apa yang dialaminya di masa kolonial. Semua menjadi saling terkait dalam struktur narasi fantasi yang memanggungkan kisah kastrasi,
yaitu narasi tentang dijauhkannya Marind dari sesuatu yang menjadi bagian dari hidupnya, sesuatu yang selanjutnya dikenali sebagai kenikmatan justru
ketika ia telah hilang. MIFEE pun menjadi bukan satu-satunya Liyan yang hadir.
Sebagaimana data yang telah penulis paparkan, interaksi Marind dengan pendatang sudah dimulai sejak dumulainya abad-20 atau mungkin juga
sejak sebelumnya. Dalam kurun waktu tersebut, kehadiran Liyan dengan hukum nalar yang berbeda telah membangun suatu kondisi yang juga turut
melahirkan Marind hari ini. Apa yang penting untuk digarisbawahi dalam konteks fantasi Marind yang menggambar kisah dari kastrasi adalah bahwa
saat ini, di satu sisi panggung, seluruh sejarah kehadiran Liyan tersebut diidentifikasi sebagai sebuah narasi panjang tentang kehilangan. Hilangnya
kenikmatan, hilangnya tradisi, hilangnya ritual-ritual dan upacara adat, hilangnya benda-benda keramat, hingga yang terkini adalah hilangnya hutan
yang selanjutnya memberikan gambaran tentang hilangnya identitas. Akan tetapi Marind baru menyadari bahwa mereka tak ingin mengalami
kehilangan justru ketika mereka telah kehilangan, dan bahkah kesadaran itu dilahirkan oleh kondisi kehilangan itu sendiri. Sementara di sisi panggung
yang lain, adat itu sendiri kini juga menjadi sangat terbatas, tak mampu memberikan kenikmatan sebagaimana yang bisa diberikan oleh kehidupan
modern, kehidupan yang diajarkan oleh Liyan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
182
Itulah arti dari kata susah yang disampaikan oleh bapak Bernadus Mahuze, ketua adat golongan Ezam di kampung Wayau. Susah , menjadi
sebuah kiasan dimana cerita dari kedua sisi panggung tersebut berkelindan menjadi kesatuan kisah fantasif Marind, membangun narasi yang
menggambarkan bahwa Marind hari ini telah berada di tengah kehilangan tanpa batas, bahwa keduanya tak lagi mampu memberikan kenikmatan yang
sesungguhnya. Marind sedang berada dalam kondisi sebagaimana yang telah diteoritisasi oleh
Žižek tentang After the Fall : bahwa setelah memilih kejatuhannya ke dunia, Adam menderita kehilangan, kecewa dan hanya bisa
dari jauh menatap surga, kampong halaman yang telah hilang, yang tiba-tiba berubah menjadi kenikmatan.
200
Demikian juga yang dialami oleh Marind dalam narasi fantasifnya, bahwa pada akhirnya segala tentang MIFEE dan
modernitas selalu tidak seindah sebelumnya ketika semua itu masih berada di luar jangkauannya. Segala sesuatu yang indah, yang seketika ia kehilangan
keindahannya ketika ia berhasil diraih. Itulah Marind sampai pada titik ini, menemukan dirinya sebagai bukan apapun selain sebuah lack, keterasingan,
sebuah tragedi yang terjadi di luar jangkauan struktur Simbolik formal, ketika Marind telah berhadapan dengan objek a kecilnya, yang hanya
mungkin didekati melalui segala penanda Simbolik yang juga lack.
200
Ibid., hlm: 19.
183
b. Membangun Hasrat: Membangun Narasi Fantasi
Bagaimana jika kondisi kehilangan itu tidak terjadi, atau jika sesuatu yang hilang itu bisa diraih kembali? Hutan utuh, adat berjalan sebagaimana
yang telah dijalankan oleh para leluhur, sarana komunikasi dan transportasi mudah dan tersedia, akses internet lancar, kasuari dan burung kuning ramai
dan sesekali ikut serta dalam perjalanan bermotor ke Merauke, anak-anak sehat dan sekolah hingga jenjang pendidikan tertinggi, upacara dan ritual
selalu dijalankan tanpa pernah meningalkan rutinitas gereja, dan seterusnya, dan seterusnya. Bagaimana jika demikian? Kenikmatan semacam apa yang
bisa dirasakan ketika seseorang berada dalam kondisi tanpa kehilangan seperti itu?
Dengan pentanyaan-pertanyaan semacam itu fantasi Marind menyusun suatu gambaran tentang kondisi yang tak terjangkau dan berada
di luar realitasnya saat ini. Imposible gaze, yaitu suatu gambaran dimana subjek sudah ada di dalam kondisi yang difantasikan dan diartikannya
sendiri dalam rangka melayani terbentuknya suatu ideologi.
201
Pada saat inilah hasrat Marind terbangun secara metonimikal, menemukan kontigensi
dari kehilangannya pada penanda-penanda baru. Marind menemukan uang Tali Asih, menemukan hingar-bingar knalpot motor dan sound system,
menemukan gaya hidup ala kota Merauke sebagai penanda-penanda yang menampung segala kemungkinan akan kenikmatan yang dicari, seraya
menempatkan tradisi adat yang masih tersisa pada tiap celah atau dimana ia
201
Ibid., hlm: 21.
184
tersebut bisa berfungsi sebagai pengikat antara primordialitas dan objek hasrat dalam ikatan penandaan. Upacara bunuh babi dalam prosesi
penerimaan uang Tali Asih di kampung Kaliki, atau bayangan tentang dibangunnya sanggar budaya bagi generasi muda kampung Ndumande,
misalnya, memainkan peran hukum dalam merekatkan penanda baru dengan penanda lama, antara kehidupan kota Merauke dengan jejak-jejak dari
primordialitas. Dengan demikian, Marind telah berhasil mengenali objek dari hasratnya, suatu objek yang diidentifikasi sebagai penyimpan a.
Sudah tuntaskah tragedi kehilangan yang diderita oleh Marind? Mampu diraihkah jouissance yang mereka cari? Jawabnya adalah tidak,
karena apa yang sesungguhnya dimaui oleh Marind bukanlah objek formal dari sebuah hasrat, melainkan sesuatu yang oleh Marind dilihat terkandung
dalam objek formal tersebut. Itulah objek a, yang dalam dirinya ia adalah antagonisme, adalah Yang-Real yang berada di luar jangkauan penandaan
dalam ruang Simbolik. Sehingga kehilangan itu akan tetap bertahan sebagai kehilangan, dan Marind akan terus mencari, dari menemukan kekurangan
dalam objek hasrat yang telah diraihnya hingga gambaran objek baru yang dianggap lebih sempurna. Dari situlah lahir penolakan terhadap MIFEE, lahir
tutuntan ulang atas nominal kompensasi hutan yang telah ditebang, protes- protes tentang ketidakadilan pemerintah dan perusahaan, semua terus
berulang menyusun narasi baru tentang kemungkinan bisa diraihnya kembali jouissance yang hilang.
185
Inilah kondisi dari After the Fall yang memuat di dalamnya struktur dari kastrasi, bahwa ketika Marind berjuang untuk menemukan jouissance-
nya, jouissance itu justru menghilang tepat ketika Marind sampai pada tujuan dari perjuangan tersebut. Keterasingan ini, dimana satu-satunya kata dalam
bahasa Marind yang mampu membahasakannya adalah aiwa , adalah kondisi yang mampu mempertahankan Marind tetap menjadi subject of desire
dengan segala paradoks yang dikandungnya. Dengan menjadi subject of desire, Marind akan berjalan tanpa henti untuk merekonstruksi jouissance-
nya di tengah kondisi keterbelahan identitasnya dan juga segala aturan legal formal sebagai tatanan Simbolik.
Hal yang penting untuk digarisbawahi adalah bahwa bagi psikoanalisa Lacanian, apa yang dibayangkan sebagai jouissance
atau kenikmatan sesungguhnya , selamanya tidak akan pernah bisa diraih, karena ia berada
dalam tatanan Real, sementara kesadaran subjek hidup dalam tatanan Imajiner dan Simbolik. Inilah yang menjadikan objek Imajiner dan Simbolik
itu paradoks, lack. Seperti tak sempurnanya lagi adat dalam menyediakan kebutuhan akan kenikmatan Marind, juga kegagalan kebijakan bernama
MIFEE yang ingin menciptakan kesejahteraan namun justru semakin menaruh Marind dalam keterasingan. Apa yang terbuka untuk dimengerti
dari sifat paradoks ini adalah adanya suatu rongga void yang menganga di dalam tatanan Simbolik, namun bahkan tak mampu disadari oleh simbolisasi
itu sendiri. Ia adalah ekses excess dalam tatanan Simbolik namun bergerak sesuai dengan logikanya sendiri. Oleh karena itu kondisi After the Fall itu
selalu akan berlaku sampai kapan pun, dan upaya untuk meraih jouissance itu PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
186
tidak akan pernah selesai. Karena pada dasarnya jouissance itu bisa didapatkan bukan dari objek formal yang dihasrati, melainkan dari proses
berhasrat yang selalu melibatkan fantasi, atau upaya hasrat dalam merasionalisasi hingga mendorong subjek untuk aktif meraih objek tersebut.
c. Ajakan Semu dari Kemungkinan Lain
Dengan penjelasan tentang rongga yang menganga di tengah simbolisasi tersebut, pembahasan ini telah menginjak pula pada status
ontologis dari fantasi yang bisa dijelaskan melalui salah satu fiturnya yang disebut dengan empty gesture, yaitu ajakan kosong. Ini merupakan kondisi
dimana tatanan Simbolik selalu melibatkan pula suatu ajakan yang dimaksudkan untuk ditolak, yaitu kemungkinan lain yang hadir melalui
fantasi. Tatanan Simbolik – dalam rangka menemukan jouissance – selalu
akan menyediakan pilihan-pilihan yang dihadirkan melalui proses penandaan, dan karena ia bergerak dalam ruang penanda maka pasti akan
selalu berjarak dengan fantasi yang bekerja secara implisit. Jadi, ketika subjek berhasrat, maka pada dasarnya ia sedang menjadi jembatan dari gap
yang memisahkan antara ruang publik Simbolik dimana ia hidup, dengan fantasi dari keberadaan kemungkinan lain itu. Akan tetapi, agar tidak terjadi
disintegrasi tatanan Simbolik publik, subjek memilih untuk melihat kemungkinan lain itu sebagai keterbukaan palsu, pilihan yang tak
memungkinkan untuk dipilih. Situasi ini membuktikan bahwa tanpa dukungan dari fantasi dalam mengarahkan hasrat subjek, yang bisa didapati
187
dari tatanan Simbolik hanyalah kekosongan yang diusung oleh operasi penandaan.
202
Dalam kasus Marind, pilihan untuk menerima atau menolak MIFEE bisa diposisikan sebagai bahasa yang dipilih untuk mengintegrasikan
hasratnya ke dalam wilayah penandaan atau simbolisasi. Akan tetapi kedua pilihan tersebut merupakan simbolisasi yang dipilih dengan cara menolak
kemungkinan lain yang disediakan oleh fantasi. Secara sederhana bisa digambarkan bahwa ketika yang terlahir dari simbolisasi Marind adalah
penolakan, maka pada dasarnya yang mereka tolak adalah kemungkinan lain tersebut, yaitu kemungkinan untuk menerima. Begitu juga sebaliknya
ketika tatanan Simbolik publik Marind menerima, maka yang mereka terima adalah penolakan mereka terhadap kemungkinan lain , yaitu kemungkinan
untuk menolak. Hal ini terjadi karena integrasi tatanan Simbolik Marind hanya bisa diw
ujudkan ketika penolakan terhadap kemungkinan lain itu secara implisit bisa disepakati. Akan tetapi penjelasan ini bisa dipastikan
menimbulkan pertanyaan, bahwa bukankah dengan demikian Marind tetap saja tak mampu mewujud dalam satu kesatuan ideologis karena pada
kenyataannya mereka terbelah di antara rentang pilihan menerima dan menolak?
Pertanyaan semacam itu memang tidak bisa dihindari, terutama jika penjelasan tersebut diposisikan di tengah wacana gerakan sosial yang
banyak mengarah pada satu pilihan Simbolik pergerakan di bawah bendera
202
Ibid., hlm: 36-39.
188
resistensi. Inilah hal yang perlu dijelaskan, bahwa – karena resistensi itu
adalah penanda Simbolik – tak bisa dihindari persis di dalamnya, resistensi
itu, sekali lagi, mengandung dan memelihara sebuah rongga menganga, kosong dan menyebabkan ia dalam dirinya sendiri hanyalah sesuatu yang
rapuh, kecuali jika ia ditopang oleh empty gesture atau apa yang penulis jelaskan dengan penolakan terhadap kemungkinan lain itu. Jadi, hal yang
membuat resistensi itu menjadi resistensi adalah kerja dari fantasi yang mempertahankan kemungkinan lain tersebut sebagai kemungkinan palsu
dan tetap menempatkan diri sebagai inherent transgression, sebagai sesuatu yang implisit dan selalu menjaga jarak dengan tekstur Simbolik yang
ditopang dan diwujudkannya.
203
Dengan demikian, fantasilah yang menjadi satu-satunya penopang dari setiap gerakan resistensi semacam itu. Oleh
karenanya hal yang perlu untuk dibahas lebih lanjut bukanlah persoalan keterbelahan Marind pada wilayah Simbolik, melainkan mengiyakan ajakan
kosong tersebut dan kemudian menggali pemahaman akan sesuatu yang mendorong terjadinya proses simbolisasi mereka.
Tindakan yang menyambut menerima gagasan ajakan kosong ini adalah salah satu cara untuk menjalankan apa yang Lacan sebut sebagai
melampaui fantasi traversing fantasy, yaitu penerimaan terhadap fakta traumatis atas ketertutupan radikal, dan penolakan atas kemungkinan lain.
Dalam menuntaskan tindakan ini subjek menunda kerangka fantasi dari aturan tak tertulis yang menyatakan padanya bagaimana memilih dengan
bebas. Dengan begitulah penerimaan atas keberadaan masing-masing bisa
203
Ibid., hlm: 27.
189
terjadi, dan gap antara tatanan Simbolik dan implisitas fantasi pun bisa terjembatani. Dengan melampaui fantasinya maka Marind telah masuk ke
dalam domain dorongan drive, yakni wilayah dimana terdapat detakan atau dentuman sirkular yang menghasilkan kepuasan hanya dari pengulangan
abadi eternal return atas suatu kegagalan.
204
Inilah sikap aktif yang merestui adanya konfrontasi pasif dengan objek a, menerima bahwa ada
jejak-jejak yang tertinggal dari ke-Marind-an, suatu kenikmatan yang hanya bisa dijelaskan oleh kondisi kehilangan. Detakan atau dentuman inilah yang
bergerak secara abadi dalam ketaksadaran Marind, yang menciptakan semangat untuk melakukan sesuatu, tak hanya melampaui simbolisasi,
bahkan melampaui selubung rasional dari fantasi.
3. Dorongan: Marind di Hadapan Nama Sang Ayah