3. Behavioral disengagement pelepasan secara perilaku, ditandai
dengan adanya usaha individu untuk mengurangi atau menurunkan interaksi dengan stresor dan bahkan menyerah untuk menghadapi
situasi yang menekan 4.
Mental disengagement pelepasan secara mental, ditandai dengan adanya usaha dari individu untuk mengalihkan perhatian dari masalah
yang dialami dengan melakukan aktivitas-aktivitas lain, seperti melamun, tidur, menonton tv, dan lain sebagainya.
5. Positive reinterpretation melakukan penilaian kembali secara
positif, ditandai dengan adanya usaha individu untuk mengelola emosi yang menekan dan memaknai semua kejadian yang dialami
sebagai suatu hal yang positif dan bermanfaat. 6.
Denial penyangkalan, ditandai dengan usaha individu untuk menolak atau menyangkal kejadian sebagai suatu kenyataan yang
harus dihadapi 7.
Acceptance penerimaan, ditandai dengan sikap individu untuk menerima situasi, kejadian, dan peristiwa yang menekan sebagai suatu
kenyataan yang harus dihadapi 8.
Turning to religion berpaling pada agama, ditandai dengan usaha individu untuk mencari kenyamanan dan rasa aman dengan berpaling
pada agama. Biasanya diwujudkan dengan berdoa, meminta bantuan kepada Tuhan, dan adanya sikap pasrah kepada Tuhan.
4. Hasil dari Koping
Peristiwa stres atau efek kesehatan yang merugikan dapat diimbangi, dikelola, atau bisa diredam dengan menggunakan sumber daya internal yang
sukses yaitu koping strategi. Namun, koping dianggap tidak hanya sebagai serangkaian proses yang terjadi sebagai reaksi terhadap masalah yang
ditimbulkan oleh stresor tertentu, tetapi juga sebagai upaya yang ditujukan pada pencapaian tujuan tertentu Cohen Lazarus dalam Taylor, 1999.
Holahan dan Moos 1990 mempelajari pola koping dan hasil psikologis lebih dari 400 orang dewasa di California selama periode 1 tahun.
Meskipun orang sering menggunakan beberapa metode koping dalam menangani stresor, metode problem focus coping dan mencari dukungan
sosial yang paling sering dikaitkan dengan penyesuaian yang menguntungkan untuk menghadapi stres. Sebaliknya, emotion focus coping
yang melibatkan menghindari perasaan diprediksi kurang dapat melakukan penyesuaian terhadap situasi stres. Studi lain telah menghasilkan temuan
yang hampir sama. Pada anak-anak dan orang dewasa dengan berbagai jenis stres, menggunakan emotion focus coping berupa penghindaran, penolakan,
dan angan-angan tertentu cenderung terkait dengan adaptasi yang kurang efektif Snyder, 2001. Di sisi lain, emotion focus coping, seperti
mengidentifikasi dan mengubah pikiran negatif atau irasional, dan belajar keterampilan relaksasi untuk mengontrol gairah merupakan metode yang
efektif untuk mengurangi respon dari stres tanpa menghindari realita Delongis, Meichenbaum dalam Passer Smith, 2009.
Meskipun pada umumnya problem focus coping mencoba untuk mengubah situasi yang menekan, namun tidak selalu efektif untuk mengatasi
sumber dari stres. Hal ini dikarenakan ada beberapa situasi yang tidak bisa dipengaruhi atau diubah oleh individu. Dalam kasus ini adanya kemungkinan
menggunakan problem focus coping lebih menimbulkan dampak yang berbahaya daripada dampak baiknya. Sebaliknya emotion focus coping
mungkin sebagai pendekatan lebih efektif yang dapat digunakan karena meskipun individu tidak bisa menguasai atau mengubah situasi, namun
individu memiliki kemungkinan untuk mengontrol atau mencegah respon dari emosi yang maladaptif Auebach dalam Passer Smith, 2009. Maka
emotion focus coping digunakan saat seseorang benar-benar tidak memiiki kontrol untuk mengubah situasi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Strentz dan Auerbach dalam Passer Smith, 2009, mengenai pelatihan karyawan dalam menghadapi
pembajakan maskapai, menunjukkan bahwa tidak ada strategi yang efektif dalam segala situasi. Sebaliknya, efektivitas tergantung pada karakteristik
situasi, kesesuaian koping, dan keterampilan yang dimiliki. Orang cenderung beradaptasi dengan baik terhadap tekanan kehidupan apabila mereka telah
mengusai berbagai teknik koping dan tahu bagaimana dan kapan harus menerapkan teknik tersebut agar hasilnya lebih efektif.
Koping juga dapat dipengaruhi oleh kecenderungan budaya yang dimiliki oleh masing-masing orang di beberapa Negara tertentu. Hal ini
dikarenakan budaya dan koping merupakan sesutau hal yang saling PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
memengaruhi dalam hubungan timbal balik yang terus berkembang. Adanya perbedaan budaya dapat memengaruhi seseorang dalam melakukan strategi
koping. Secara khusus, strategi problem focus coping yang bertujuan untuk mengatasi atau mengurangi sumber stres cenderung dilakukan di Negara
Eropa karena orang-orang cenderung menganut budaya individualis, sedangkan emotion focus coping cenderung dilakukan di Negara Asia kerena
orang-orang cenderung menganut budaya kolektif Chun, Moos, Cronkite, 2006.
Orang-orang dengan orientasi kolektif cenderung melakukan koping yang bersifat pasif atau penghindaran karena kecenderungan mereka untuk
menilai stres sebagai ancaman, sedangkan orang-orang dengan orientasi lebih individualistis cenderung terlibat dalam koping yang lebih aktif untuk
mengatasi masalah karena menilai stres sebagai suatu tantangan. Perbedaan tujuan koping dan motivasi juga akan memengaruhi pilihan strategi koping
yang akan dilakukan. Bagi orang-orang yang berorientasi individualistik cenderung menempatkan prioritas yang lebih besar pada pengendalian
lingkungan untuk memenuhi kebutuhan pribadi mereka, sedangkan orang- orang dengan orientasi kolektif cenderung menempatkan prioritas yang lebih
besar untuk meminimalkan kerugian sehingga upaya koping cenderung diarahkan untuk melindungi hubungan interpersonal dan sumber daya
lainnya Chun, Moos, Cronkite, 2006. Adanya perbedaan budaya, situasi, keterampilan, motivasi, dan
tujuan dalam melakukan koping maka tidak dapat dikategorikan bentuk PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI