Perbedaan Tajen Sebagai Salah Satu Ritual Keagamaan dan Tajen Sebagai

yang dilakukan adalah ritual keagamaan tabuh rah, bukannya tajen sebagai judi. Kekaburan ini menyebabkan tajen di Bali mengalami pro dan kontra, karena di sisi lain tajen juga dapat meningkatkan beberapa perekonomian, sebagai ajang untuk melakukan penggalian dana, dan sebagai ajang permainan rakyat. Perjudian ini biasanya dilakukan oleh kaum lelaki karena tajen merupakan jenis permainan rakyat yang diwariskan untuk kaum laki-laki. Hal ini tidak terlepas dari sistem patrilinial yang melekat pada masyarakat Bali, sehingga menempatkan kedudukan kaum laki-laki di atas kaum perempuan. Apabila di lihat dari konteks kebiasaan dan tradisi, perjudian cukup sering ditemui di Bali. Misalnya pada saat adanya hari raya tertentu maka sering dijumpai judi tajen, baik sebagai perjudian, hiburan, maupun penggalian dana. Tajen yang dikatakan sebagai tradisi ini tentunya menarik antusiasme kaum lelaki, terkhusus para suami yang kelak akan mewariskan budaya tajen kepada anak-anaknya. Adanya hal ini, semakin membuka peluang suami untuk melakukan judi tajen. Apabila akhirnya suami gemar melakukan perjudian tentunya akan memberikan dampak buruk pada keluarga. Hal ini dikarenakan orang yang bermain judi cenderung sulit untuk mengontrol diri agar tidak melakukan tindakan yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Adapun beberapa dampak-dampak yang ditimbulkan dari perjudian suami yaitu masalah finansial, masalah relasi dan hubungan interpersonal, terjadinya tegangan fisik dan psikologis, serta memicu ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Masalah finansial menyebabkan orang tidak memiliki uang untuk memenuhi kebutuhan hidup karena uang suami dialokasikan untuk bermain judi. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Di sisi lain, dapat memicu penjualan aset keluarga untuk membiayai perjudian maupun dampak yang ditimbulkan dari perjudian, misalnya untuk membayar utang. Adanya permasalahan ini berdampak pada terganggunya relasi karena suami dirasa tidak mampu memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Konflik-konflik ini mengakibatkan istri mengalami tekanan psikologis. Tekanan psikologis memicu munculnya emosi seperti marah, kesal, sedih, malu sehingga menyebabkan stres, frustasi dan depresi. Tekanan psikologis juga dapat memicu reaksi fisik, seperti sakit kepala, pusing, migren, sakit perut, dan gangguan pada percernaan. Segala permasalahan dan tekanan yang dialami istri membuat beberapa istri memilih untuk bercerai, namun ada beberapa kalangan yang enggan untuk melakukan perceraian. Perceraian di Bali tentunya tidak semudah perceraian yang ada di Indonesia pada umumnya, karena perceraian di Bali terkait dengan tradisi adat dan agama. Bagi masyarakat yang beragama Hindu membicarakan soal perceraian merupakan hal yang pantang untuk dilakukan karena pada dasarnya ajaran agama tidak menginginkan adanya perceraian di dalam rumah tangga Kastama, 2013. Apabila pada akhirnya istri dari suku Bali yang beragama Hindu tetap memutuskan untuk bercerai maka segala proses perceraian harus dilangsungkan dengan sistem adat. Istri diwajibkan untuk melakukan serangkaian ritual keagamaan dengan cara mepamit di merajan sang suami untuk memutuskan hubungan leluhur dengan pihak suami. Apabila proses ini sudah dipenuhi, maka suami akan mengembalikan istri kepada keluarganya sehingga istri tidak lagi memiliki ikatan dengan suami. Adanya perceraian ini juga mengakibatkan istri PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI