Dampak Perceraian Orangtua pada Anak
24
marah temperamen anak yang menjadi korban perceraian orangtuanya akan selalu terekam oleh pikiran bawah sadarnya, karena perilaku
orangtuanya yang sering bertengkar di depan anak, dan mengakibatkan anak mempunyai temperamen yang sulit dikendalikan.
d. Perasaan sedih
Hubungan orangtua yang harmonis akan membuat anak merasa nyaman. Namun sebaliknya, hubungan orangtua yang telah bercerai
membuat anak merasa sedih, karena anak merasa kehilangan orang yang dia sayangi.
Perceraian orangtua tetap menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi anak. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sarbini
Kusuma Wulandari 2014 kesedihan yang muncul bagi anak yang menjadi korban perceraian orangtuanya, yaitu orangtua sudah tidak
menghiraukan anaknya lagi dan biasanya anak tersebut diasuh oleh kakek nenek dari pihak ayah atau ibu.
Kesedihan yang dialami anak akan berdampak pada interaksi sosialnya di masa depan anaknya, seperti malu minder dengan teman
sebayanya ataupun dengan lain jenis. Perihal ini dibenarkan dengan teori yang dikemukakan oleh Bird dan Melville Sarbini Kusuma Wulandari,
2014 anak yang orangtuanya bercerai merasa malu dan sedih, karena anak merasa berbeda dari teman-temannya yang lain. Kondisi tersebut dapat
merusak konsep pribadi anak yang sering diikuti dengan depresi, sedih yang berkepanjangan, marah, adanya rasa penolakan, merasa rendah diri,
25
dan menjadi tidak patuh serta cenderung agresif terhadap lingkungan sosialnya.
e. Perasaan kesepian
Anak yang orangtuanya bercerai akan merasa kesepian tanpa ada kasih sayang dan bimbingan dari kedua orangtuanya. Meskipun anak
diasuh oleh pihak yang dipercayai oleh ayah atau ibu. Bahkan diasuh oleh salah satu pihak antara ayah atau ibu sebagai single parent. Misalnya,
seorang anak yang hanya tinggal bersama ibunya, karena orangtuanya telah bercerai. Ibunya bekerja penuh waktu, dan anaknya saat pulang
sekolah lebih sering sendirian di rumah. Berdasarkan hasil penelitian oleh Sarbini Kusuma Wulandari
2014 informan merasa kesepian karena orangtuanya tidak pernah memerhatikannya meskipun dia mendapat perhatian dari saudara yang
mengasuhnya, dan dia merasa perhatian saudaranya tidak berpengaruh bagi kebaikan hidupnya. Seperti yang diungkapkan oleh Papalia, Olds
Feldman Sarbini Kusuma Wulandari, 2014 kesepian loneliness bagi anak yang menjadi korban perceraian yang dilakukan oleh orangtuanya
karena beberapa faktor, antara lain: 1
Orang tua tidak lagi menghiraukan perilaku dan perkembangan anaknya, sebab mereka lebih mementingkan egonya dalam mencari
pasangan hidup selanjutnya. 2
Tidak ada lagi perhatian yang dicurahkan pada anak karena masing- masing pihak ayah ibu lebih memerdulikan egoismenya masing-
26
masing untuk segera melakukan perceraian. 3
Banyak orangtua menganggap remeh dan mengesampingkan anak dari hasil hubungannya dengan mantan pasangannya, sehingga dia berpikir
bisa mendapatkan sosok pengganti anak dengan pasangan yang baru selanjutnya.
f. Menyalahkan diri sendiri
Akibat dari pola asuh yang salah, remaja menjadi menyalahkan diri sendiri yang biasa disebut gejala personality disorder. Faktor remaja yang
menyalahkan diri sendiri dipengaruhi oleh rasa tidak aman, adanya rasa penolakan dari keluarga, mudah marah temperamen, sedih yang
berkepanjangan dan merasa kesepian. Pola asuh yang sangat menentukan karakter anak yaitu significant
others. Significant others artinya orang tua dan saudara yang menjadi faktor utama dalam pola pengasuhan anak. Apabila orangtua menggunakan
pola asuh significant others dan salah dalam mengasuh anak yang belum menginjak dewasa, maka akan berdampak pada psikologi anak seperti
murung dan sering berpikir, banyak diam, melamun, jarang berkomunikasi dengan orang lain, tidak nyaman berada di tengah komunitas sosialnya.
Dengan demikian, anak yang sering mengalami perasaan menyalahkan dirinya sendiri akan berdampak buruk terhadap psikologisnya, seperti
bipolar kepribadian ganda, schizophrenia, phobia, dan sebagainya. Hal senada juga diungkapkan oleh Taylor Sarbini Kusuma Wulandari,
2014 anak yang selalu menyalahkan diri sendiri akan berakibat pada
27
gangguan psikologisnya, sebab menyalahkan diri sendiri badly image merupakan awal mula gangguan psikologis yang berbahaya.
g. Gejala stres
Berdasarkan hasil penelitian Rahmayati Meiriana, 2016 ada tiga gejala stres yang muncul pada masa perceraian orangtua. Pertama, gejala
emosi yaitu anak merasakan kecemasan perubahan sikap teman-temannya, kurangnya intensitas pertemuan dengan ayah atau ibunya, kecemasan
untuk mendapatkan ayah baru atau ibu baru. Kedua, gejala kognitif yaitu anak merasa kurangnya motivasi dalam melakukan sesuatu hal, seperti
adanya penurunan prestasi informan pasca perceraian orangtuanya, hilangnya konsentrasi dalam mengerjakan tugas di sekolah, perasaan takut
dan khawatir ketika memiliki ayah baru atau ibu baru. Ketiga, gejala fisik seperti pusing, membuat tubuh lemas dan kurang tenaga, insomnia sulit
tidur dan kehilangan nafsu makan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Meiriana 2016 menunjukkan
bahwa remaja yang orangtuanya bercerai memiliki cara-caranya sendiri untuk mengurangi beban stres, seperti ada remaja yang memilih untuk
bepergian, berkumpul dengan teman-temannya sampai minum-minuman beralkohol, ada yang memakai obat-obatan terlarang dan berkelahi.
Namun, tidak semua anak yang orangtuanya bercerai mengalami keterpurukkan. Ada juga anak melakukan strategi untuk mengurangi stres
dengan cara positif seperti tetap berprestasi dalam hal pendidikan dan lebih mandiri.
28
h. Traumatis
Menurut Dariyo Ningrum, 2013 orangtua yang telah melakukan perceraian baik disadari maupun tidak disadari akan membawa dampak
negatif bagi anak, seperti trauma. Trauma yang dirasakan akibat perceraian orangtua, yaitu anak mempunyai pandangan yang negatif terhadap
pernikahan, dan anak akan merasa takut mencari pasangan hidupnya suatu hari nanti, takut menikah sebab merasa dibayang-bayangi kekhawatiran
jika perceraian juga terjadi pada dirinya suatu hari nanti. Setelah perceraian terjadi pada orangtuanya, anak merasakan
gangguan psikologis yang ditandai oleh perasaan tidak nyaman, tidak tentram, gelisah, takut, khawatir, dan marah. Akibatnya secara fisiologis
anak tidak dapat tidur dan tidak dapat berkosentrasi dalam belajar, sehingga menggagu kehidupan sekolahnya.