akomodasi. Sebagai hasil dari penyetimbangan, struktur mental berkembang dan menjadi matang.
Bagi Piaget, ketiga faktor di atas mempengaruhi perkembangan intelektual. Masing-masing faktor itu harus ada agar seorang anak
berkembang dari satu tahap ke tahap berpikir yang lebih tinggi.
2. Teori Bruner
Jerome Bruner dalam Hudojo 1981 : 29 berpendapat bahwa belajar matematika yang cocok ialah belajar tentang konsep-konsep dan struktur-
struktur yang terdapat di dalam bahasan yang dipelajari serta mencari hubungan-hubungan
antara konsep-konsep
dan struktur-struktur.
Pemahaman terhadap konsep dan struktur sesuatu bahasan menjadikan bahasan itu lebih komprehensif. Selain itu siswa juga lebih mudah
mengingat materi bahasan itu bila yang dipelajari itu merupakan pola yang berstruktur. Dengan mengenal konsep dan struktur pada materi, akan
mempermudah siswa untuk memahami materi tersebut. Di dalam belajar, Bruner hampir selalu memulai dengan memusatkan
manipulasi material. Bruner mengungkapkan dalam teorinya dalam Hudojo 1981, bahwa dalam proses belajar, sebaiknya siswa diberi
kesempatan untuk memanipulasi benda-benda yang ada alat peraga. Melalui alat peraga tersebut, siswa akan melihat secara langsung
bagaimana keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam alat peraga yang sedang diamatinya. Pada proses ini, keaktifan siswa dalam proses
belajar sangat dibutuhkan. Siswa akan lebih bersemangat untuk belajar, ketika proses pembelajaran ini berlangsung di tempat yang dilengkapi
dengan benda-benda yang dapat digunakan untuk manipulasi oleh siswa. Bruner dalam Hudojo 1981 mengemukakan bahwa dalam
perkembangannya, siswa akan melalui tiga tahap, yaitu : a.
Tahap Enaktif Pada tahap ini, siswa dihadapkan langsung pada obyek yaitu
alat peraga matematika yang dapat membantu siswa untuk memahami materi yang sedang dipelajari. Dengan alat peraga
tersebut, siswa dapat menggunakannya sebagai alat bantu dalam belajar.
b. Tahap ikonic
Dalam tahap ini, kegiatan siswa akan berkenaan dengan mental, yang merupakan gambaran dari obyek-obyek alat peraga.
Pada tahap ini, siswa sudah dapat menggambarkan gambaran dari sifat-sifat pada benda alat peraga tersebut. Misalnya, pada saat
belajar matematika, seorang siswa sudah mampu menggambarkan suatu benda dari soal cerita untuk kemudian digunakan menjawab
soal cerita, sehingga gambaran tersebut dapat membantu siswa dalam memahami suatu permasalahan.
c. Tahap simbolik
Pada tahap ini, siswa memanipulasi simbol-simbol dari suatu obyek tertentu. Siswa tidak lagi terikat dengan obyek-obyek pada
dua tahap sebelumnya. Pada tahap ini, siswa telah mampu menggunakan symbol atau notasi tanpa perlu mengandalkan obyek
real. Selanjutnya Bruner dalam Hudojo 1981 merumuskan empat
teorema umum tentang belajar matematika sebagai berikut : a.
Teorema konstruksi Teorema konstruksi menyatakan bahwa cara terbaik bagi
seorang siswa untuk mulai belajar konsep, prinsip atau aturan di dalam matematika adalah dengan mengkonstruksi konsep, prinsip
atau aturan itu. Untuk dapat menciptakan suatu ide atau gagasan tertentu dalam pikiran siswa, siswa diharuskan untuk menguasai
konsep-konsep terlebih dahulu, dengan cara mencoba melakukannya sendiri. Sehingga apabila siswa aktif dan terlibat pada kegiatan yang
dilakukan untuk mempelajari dan memahami konsep, maka siswa akan lebih memahami konsep tersebut.
Menurut Bruner, khususnya anak-anak kecil, mereka harus mengkonstruksikan sendiri ide-ide tersebut; lebih baik lagi bila siswa
itu menggunakan benda-benda konkrit di dalam merumuskan ide-ide tersebut. Apabila di dalam merumuskan dan mengkonstruksikan ide-
ide itu, siswa-siswa itu dibantu dengan benda-benda konkrit, mereka akan cenderung ingat ide-ide itu dan kemudian mengaplikasaikannya
ke dalam situasi yang tepat.
b. Teorema Notasi
Teorema notasi menyatakan bahwa konstruksi permulaan dibuat lebih sederhana secara kognitif dan dapat dimengerti lebih
baik oleh para siswa jika konstruksi itu merupakan notasi yang cocok dengan tingkat perkembangan mental siswa. Dengan sistem notasi
tersebut, memungkinkan pengembangan ide-ide yang berupa prinsip- prinsip dan bahkan kreasi prinsip-prinsip baru.
c. Teorema kekontrasan dan variasi
Teorema kekontrasan dan variasi menyatakan bahwa prosedur belajar ide-ide matematika yang berjalan dari konkrit menuju yang
lebih abstrak haruslah disertakan pertentangan dan variasinya. Suatu konsep matematika biasanya akan berarti bagi siswa bila konsep itu
dibandingkan dengan konsep yang lain. d.
Teorema konektifitas Teorema konektifitas menyatakan bahwa di dalam matematika,
setiap konsep, struktur dan ketrampilan dihubungkan dengan konsep struktur dan ketrampilan yang lain.
Dari teorema-teorema tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa harus berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Bruner mengemukakan
bahwa peran aktif siswa dapat terlaksana di dalam proses belajar apabila siswa diberi kesempatan untuk menggunakan penemuannya. Dengan
menemukan keteraturan dan pola struktur dalam bahasan yang dipelajari, berarti siswa dapat lebih mengorganisasikan masalah-masalah daripada
hanya sekedar belajar dengan stimulus-respon. Dengan demikian potensi intelektualnya berkembang. Dengan belajar bagaimana menemukan, siswa
akan lebih mudah mengingat struktur-struktur atau rumus-rumus yang telah ditemukannya. Dengan demikian faktor memori mendapat perhatian
sepenuhnya dalam proses belajar.
B. Pengertian Belajar
Pengertian belajar menurut beberapa ahli, antara lain : 1.
Belajar adalah proses memperoleh pengetahuan, belajar adalah suatu perubahan kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil latihan
yang diperkuat. Rebber, dalam Muhibbin 2008 : 66 2.
Belajar dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan
lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Muhibbin 2008 : 68 3.
Belajar adalah suatu aktivitas mentalpsikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-
perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, ketrampilan dan nilai-nilai sikap yang bersifat relatif konstan dan berbekas. Winkel 1996 : 53
Dari beberapa pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh individu untuk
memperoleh suatu hal yang baru dalam interaksi dengan lingkungan, sehingga menghasilkan perubahan-perubahan tingkah laku ke arah yang
lebih maju.
C. Pembelajaran Matematika Kontekstual
Matematika kerap dianggap sebagai hal yang abstrak bagi banyak siswa. Kurangnya keterkaitan antara pelajaran matematika di sekolah dengan
kehidupan sehari-hari siswa, membuat siswa malas dan enggan untuk mempelajari matematika lebih mendalam. Hal ini mendorong berkembangnya
pemikiran bahwa pembelajaran matematika sebaiknya bersifat kontekstual, dimana pembelajaran matematika sebaiknya dijalankan dengan menggunakan
konteks pada dunia nyata. Konteks dalam dunia nyata, tidaklah harus selalu menggunakan peristiwa atau kejadian yang benar-benar terjadi, namun dapat
juga dengan menggunakan peristiwa atau kejadian yang dapat dibayangkan dan sesuai dengan tahap perkembangan siswa.
Dalam Suwarsono 2002 manfaat pembelajaran matematika secara kontekstual, dijabarkan secara eksplisit sebagai berikut :
1. Menumbuhkembangkan kesadaran dalam diri siswa, bahwa
sekalipun konsep-konsep dalam matematika itu bersifat abstrak, namun pembentukan dan pengembangan konsep-konsep tersebut
seringkali berdasar pada fenomena-fenomena yang ada di dunia nyata.
2. Menumbuhkembangkan kesadaran dalam diri siswa, bahwa
sekalipun konsep-konsep dalam matematika itu bersifat abstrak, banyak diantara konsep-konsep tersebut mempunyai banyak
penerapan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Memberikan pemahaman pada siswa mengenai hal-hal yang terkait
dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari. 4.
Memberikan pemahaman pada diri siswa mengenai aspek-aspek yang terkait dengan masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang
ada dalam kehidupan sehari-hari, dan bagaimana matematika bisa berperan dalam membantu manusia untuk menyelesaikan masalah-
masalah tersebut atau menganalisis peristiwa-peristiwa tersebut. 5.
Meningkatkan motivasi siswa dalam mempelajari matematika. Ini didasarkan pada adanya pemahaman pada diri siswa mengenai
manfaat matematika bagi kehidupan sehari-hari mereka.
D. Teori Konstruktivisme
Filsafat konstruktivisme menurut Von Glaserfeld dalam Bettencourt, 1989 menyatakan bahwa pengetahuan kita adalah hasil konstruksi bentukan
kita sendiri. Pengetahuan tidak dapat ditransfer dari seseorang yang mengetahui kepada mereka yang sedang belajar. Walaupun seorang guru
berusaha sekuat tenaga menjelaskan suatu konsep kepada siswa dan siwa berusaha memahaminya, namun hasil pemahaman itu tetap berbeda. Dalam
memahami sesuatu, seseorang harus melakukan interpretasi terhadap informasi yang diterimanya. Kemampuan menginterpretasikan ini berbeda-
beda antara satu orang dengan orang yang lain. Ini memperkuat pendapat bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer dari pikiran seseorang ke pikiran
orang lain.
Peran guru yang dibutuhkan oleh siswa dalam membangun konstruksi berpikirnya adalah dengan memberikan sedikit struktur, petunjuk, dorongan
untuk terus mencoba, dan sebagainya. Terkadang seorang siswa mendapati kesulitan untuk menyelesaikan suatu masalah secara sendiri, dia akan dapat
menyelesaikannya dengan baik apabila mendapat bantuan dari seseorang yang lebih dewasa atau berkolaborasi dengan teman yang lebih pandai. Dalam
pemikirannya, siswa dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi, tetapi ia tidak dapat menjelaskannya. Oleh karena itu peran serta guru untuk
mendampingi siswa sangat dibutuhkan.
E.
Realistic Mathematic Education RME
Realistic Mathematics Education
RME adalah suatu pendekatan pembelajaran matematika yang dikembangkan di Belanda, sebagai reaksi
terhadap gerakan matematika modern yang waktu itu dipelopori oleh Negara Amerika. Dalam Marpaung 2011,
Realistic Mathematic Education
RME pertama kali dikembangkan di Belanda sejak tahun 1970, berdasarkan ide dari
Hans Freudenthal seorang ahli matematika di Belanda. Hans Freudental berpendapat bahwa matematika adalah aktivitas manusia
human activity
de Lange, 1999; Gravemeijer; 1994; van den Heuvel-Panhuizzen, 1996; dalam
makalah Marpaung, 2003. Filosofi RME mengacu dari pendapat Hans Freudenthal yang
mengemukakan bahwa matematika haruslah dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktifitas manusia, yang berarti matematika haruslah
dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan mereka sehari-hari. Yang dimaksud dengan aktivitas disini terutama adalah aktivitas mental. Mereka
yang belajar harus aktif merekonstruksi atau menemukan kembali
reinvite
pengetahuan itu di dalam pikirannya dengan merepresentasikannya dengan berbagai cara. Atas dasar tersebut, de Lange menggambarkan sifat RME
dalam suatu model sebagai berikut :
Gambar 2.1 Matematisasi konseptual Dari gambar di atas, hendak dijelaskan bahwa pembelajaran sebaiknya
dimulai dari masalah-masalah yang realistikkontekstual. Kemudian siswa diberi kesempatan untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka masing-
masing, sesuai dengan pola berpikirnya. Siswa kemudian diberi kesempatan untuk sharing dan mengemukakan hasil pekerjaannya masing-masing. Guru
membimbing siswa untuk menarik kesimpulan dari hasil pekerjaan siswa. Secara perlahan siswa dilatih untuk menemukan dan membangun konsep dari
kesimpulan yang telah didapat, dan kemudian digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah kontekstual.
Situasi realistik
Matematisasi dalam aplikasi dan refleksi
Abstrak, formal Konsep
Matematisasi dan refleksi