Analisis Pembelajaran Berdasarkan Karakteristik Pendekatan

Guru memberikan permasalahan ini sebagai pengantar bagi siswa untuk masuk pada persamaan garis lurus . Dalam hal ini guru memang sudah memunculkan masalah yang realistik dan dapat dibayangkan oleh siswa, namun belum optimal. Hal yang belum dioptimalkan diantaranya adalah guru tidak menjelaskan keterkaitan antara jumlah minggu dengan jumlah tabungan Anwar, guru juga belum optimal dalam membimbing dan memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengeksplorasi dan menemukan strategi pemecahan masalah dari permasalah tersebut. Hal ini terlihat dengan telah disediakannya tabel yang berisi kolom-kolom yang sudah disediakan oleh guru beserta dengan keterangannya, dan siswa hanya tinggal mengisikan hasilnya pada kolom tersebut. Dengan demikian, siswa tidak dibiasakan untuk mengeksplorasi dan mengembangkan pola berpikirnya untuk dapat menyelesaikan suatu masalah. Siswa menjadi pasif dan cenderung menunggu guru memberikan bantuan untuk menyelesaikan masalah yang ada.

2. Penggunaan Model Untuk Matematisasi Progresif

Pemodelan dalam pendidikan matematika realistik sangat penting, yaitu sebagai jembatan bagi siswa dari permasalahan realistikkonkret menuju ke bentuk matematika formal. Namun dalam pembelajaran matematika ini, tidak nampak penggunaan model di dalamnya. Tidak ada model yang ditunjukkan oleh siswa sebagai hasil dari konstruksi pemikirannya. Hal ini disebabkan karena guru telah memberikan cara untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, sehingga siswa hanya tinggal menggunakannya untuk menyelesaikan masalah tersebut. Semua siswa mengikuti cara yang telah diberikan oleh guru. Hal ini akan menghambat tahap perkembangan siswa, serta membuat siswa menjadi tidak kreatif. Siswa tidak mau mengembangkan pola berikirnya dikarenakan guru selalu aktif dalam mentransfer ilmu.

3. Pemanfaatan Hasil Konstruksi Siswa

Dalam penelitian ini, guru memulai dengan memberikan masalah yang sering dijumpai siswa dalam kehidupan sehari-hari, guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menyampaikan hasil pemikirannya kepada guru dengan mengemukakan hasi pemikirannya tersebut. Namun dari beberapa jawaban siswa yang ada, belum ada jawaban siswa yang dapat digunakan oleh guru untuk menjelaskan dan menjawab pertanyaan yang ada. Berikut adalah interaksi yang terjadi antara guru dengan siswa ketika siswa mengemukakan hasil pemikirannya : A170. G : “Ya stop. Semua di tempatnya, yuk.” A171. G : “Ya, coba perhatikan, dari tabel itu setelah kamu mengisikan. Setelah kamu mengisikan, coba masih ada yang bersuara sendiri. Setelah kamu mengisikan tabel ya, coba dari kelompoknya Ester dulu yang di sana itu sambil menunjuk ke arah pojok kiri belakang siapa yang akan mewakili ya. Ee s iapa yang akan mewakili?” A172. G : “Dari tabel itu, hubungan apa yang terjadi dari banyaknya kertas dan harga fotocopy? Di sana dulu, siapa yang akan mewakili?” menunjuk ke arah kiri belakang. A173. S : “Korespondensi satu-satu.” A174. G : “Korespondensi satu-satu. Hubungan dari banyaknya kertas dan harga fotocopy. Jadi kalau korespondensi satu-satu itu sudah ke fungsi ya. Kita tinggalkan fungsi, dengan bukan gambarnya, bukan satu relasi apa, tapi kamu melihat di situ dari lembar kertas dan banyaknya. Ya memang dari fungsi korespondensi satu-satu itu, tidak salah. Hanya di sini yang diminta itu hubungan apa yang terjadi, lembar banyaknya kertas itu dengan harga fotocopy dengan kata- kata.” A175. S : “O bertambah.” A176. G : “Di sini? sambil menunjuk siswa yang duduk di bagian tengah . Apa sana ada yang mau nambahkan?” menunjuk bagian kiri belakang. A177. G : “Jawabannya korespondensi satu-satu? Ya, itu yang dikehendaki jawabannya bukan relasi dalam arti kemarin, fungsi kemarin, tetapi dengan kalimatmu, apa yang kamu lihat antara banyaknya lembar kertas dengan harga foto copy itu.” A178. S : “Dibagi seratus.” A179. G : “Dibagi seratus. Di sini?” sambil menunjuk siswa yang duduk di bagian tengah. A180. SbS : “Perkalian Bu. dikali Bu dikali.” A181. G : “Sik sebentar, kalau sudah stop, lainnya.” A182. S : “Perkalian, kali seratus.” A183. G : “Perkalian, kali seratus. Yang dikalikan apa?” A184. S : “Banyaknya lembar kertas.” A185. G : “Sini?” menunjuk kelompok siswa yang duduk di kolom tengah bagian belakang. A186. S : “Perkalian Bu.” A187. G : “Perkalian dari apa dengan apa? Perkalian harga fotocopy dengan banyaknya kertas. Harga foto copy yang mana itu?” bel istirahat berbunyi, siswa segera bergegas untuk keluar kelas Dari interaksi di atas, nampak bahwa sebagian siswa antusias mencoba untuk mengungkapkan hasil pemikirannya, namun jawaban dari siswa belum ada yang dianggap tepat oleh guru untuk dimanfaatkan sebagai penarikan kesimpulan dari masalah yang ada. Itu terlihat dari pertanyaan pancingan yang terus dilontarkan oleh guru, yang bertujuan untuk mencari jawaban yang lain dari siswa. Dalam kegiatan pembelajaran, guru kembali mecoba membimbing siswa untuk dapat mengkosntruksikan pemikirannya dan mengetahui konsep matematika dari hasil pekerjaan siswa tersebut. Guru memberikan soal kepada siswa untuk menggambarkan beberapa persamaan garis lurus, diantaranya . Dari gambar persamaan garis lurus , guru mengarahkan siswa untuk melihat apa yang tampak pada gambar persamaan garis tersebut. Para siswa melihat bahwa persamaan garis akan melalui titik 0,0 dan membentuk kemiringan . Berikut adalah cuplikan interaksi ketika siswa menggambarkan persamaan garis lurus dan pada saat guru menjelaskan dari hasil pekerjaan siswa. B105. G : “Sudah ?” B106. SbS : “Belum. Belum.” guru berkeliling, memeriksa pekerjaan siswa. Sesekali guru menjelaskan kepada siswa yang belum paham guru memberikan penjelasan kepada siswa di belakang B107. G : “Loh, mosok dua sama dengan tiga? Mosok dua sama dengan tiga?” B108. S : “Iya Bu.” B109. G : “Nggak, nggak. Dipikir dulu. Apa ini artinya sama dengan?” B110. S : “Beda Bu.” B111. G : “Lha beda to? Mosok tiga sama dengan dua ki piye? Lha ini kalau diganti sama dengan, ini diganti tiga, nya ketemu to? Kalau nya sama dengan enam, nya berapa?” B112. S : “Enam.” B113. G : “Ya enam. Wong sama dengan kok.” ada siswa lain yang bertanya kepada guru, lalu guru menyuruh siswa tersebut bertanya kepada siswa yang sudah dijelaskan oleh guru B114. G : “Yuk, yang sini piye?” sambil menuju ke arah siswa yang duduk di sebelah kanan papan tulis. Guru sedikit memberikan penjelasan B115. G : “Persamaannya apa to?” B116. S : “ .” B117. G : “Nah, ,Kalau nya tiga, nya berapa?” B118. S : “Tiga.” B119. G : “Lha iya tiga. kok. Kan beda dengan yang tadi. nya empat?” B120. S : “Empat.” B121. G : “X nya lima?” B122. S : “Lima.” guru kembali ke depan kelas B123. G : “Cukup dua titik saja, hubungkan. Apa yang terjadi di situ?” B124. S : “Gabungan.” B125. G : “Garis lurus melalui nol koma nol tidak?” B126. SbS : “Ya.” B127. G : “Ya, betul, melalui nol koma nol.” B128. G : “Yang sana sudah selesai? Ester? Selesai? Mencari ?” guru menghampiri siswa yang dimaksud guru kembali ke depan kelas B129. G : “Ya, sehingga, duduk semua, Brenda duduk. Kalau kamu lukiskan ternyata garis itu akan melalui nol koma nol. Sehingga disimpulkan garis yang memenuhi persamaan , melalui titik pusat nol koma nol, dan dia membentuk kemiringan empat puluh lima derajat, arah positif sumbu . sumbu arah positif.” Dari dialog di atas siswa dapat melihat konsep matematika dari hasil pekerjaannya sendiri. Dari kegiatan tersebut terlihat bahwa guru mencoba memanfaatkan hasil pekerjaan siswa untuk memperlihatkan sifat-sifat dari persamaan garis lurus kepada siswa. Begitu juga pada saat menggambarkan persamaan garis . Semua siswa menggambar persamaan garis lurus tersebut. Dan dari hasil gambar siswa tersebut siswa dapat melihat dan menyimpulkan bahwa persamaan garis akan sejajar dengan sumbu . Guru kemudian membantu siswa dengan membawa persamaan tersebut kedalam bentuk matematika, yaitu , dimana adalah konstanta, dan persamaan garis pasti akan melalui titik 0,c. Dari pemaparan di atas, nampak bahwa guru menggunakan hasil pekerjaan siswa tersebut sebagai landasan untuk masuk pada konsep matematika yang hendak dituju. Dalam pertemuan selanjutnya, guru menggunakan gambar garis lurus hasil pekerjaan siswa yang menggambar di depan untuk menjelaskan kepada siswa yang lain mengenai koordinat dari 0,500, karena ketika guru berkeliling, guru mendapati beberapa siswa salah dalam menggambarkan titik koordinat tersebut. Siswa diminta menyebutkan titik-titik koordinat yang telah digambarkan oleh siswa yang maju ke depan. Beberapa siswa menyebutkan titik-titik koordinat yang ditunjuk oleh guru. Berikut cuplikan interaksi tersebut. C114. G : “Coba perhatikan dulu. Ya, tadi bu Ajeng sempat melihat ya, ada yang nol koma lima ratus itu, ininya nol sambil menunjuk pada bilangan 1di sumbu x , ininya lima ratus sambil menunjuk bilangan 500 pada sumbu y . Tempat nol kan disini sambil menunjuk pada titik nol . Kalau ini koordinatnya adalah nol koma nol sambil menunjuk pada titiik koordinat 0,0 pada sumbu kartesius . Tapi letak titik nol itu di sini ya. Kemudian bu Ajeng tanyakan, lha kalau kamu menentukan titik disini sambil menunjuk pada titik koordinat 1,1500 , titik ini adalah titik apa ini? Koordinatnya apa ini?” C115. Sbs : “Satu koma seribu lima ratus.” C116. G : “Satu koma seribu lima ratus. Ini?” sambil menunjuk pada titik koordinat 2,2500 C117. Sbs : “Dua koma dua ribu lima ratus.” C118. G : “Ya, artinya, kamu membaca yang absis itu dari sini ya menunjuk pada sumbu x . ordinatnya yang sumbu y. sekarang kalau nol koma lima ratus, absisnya berapa?” C119. S : “Nol.” C120. G : “Nol. Ordinatnya?” C121. Sbs : “Lima ratus.” C122. G : “Oh absisnya nol sambil menunjuk pada titik nol , ordinatnya lima ratus menarik spidol ke atas sampai pada titik ordinat 500 , ya titiknya berarti disini. Siapa mau bertanya?” Kemudian guru menyimpulkan dari jawaban siswa tersebut bahwa membaca titik koordinat itu diawali dari sumbu absis baru ditarik naik menuju sumbu ordinat. Dari interaksi di atas, terlihat bahwa guru mencoba menggunakan hasil pekerjaan siswa yang meletakkan titik koordinat dan menggambarkan garis lurus di papan tulis untuk menjelaskan kepada siswa yang lain cara meletakkan dan membaca titik koordinat pada bidang koordinat kartesius. Untuk melatih siswa supaya siswa terbiasa melihat dan menemukan konsep matematika dari hasil pekerjaan mereka, guru berusaha untuk memberikan banyak soal yang mengarah pada hal tersebut. Guru meminta siswa untuk menggambarkan empat persamaan garis lurus pada satu bidang koordinat cartesius. Keempat garis itu adalah . Semua siswa mencoba menggambarkannya pada bidang cartesius. Guru membimbing siswa dalam menggambarkan persamaan garis lurus tersebut. Dari gambar siswa tersebut, disimpulkan suatu konsep baru tentang gradient garis. Berikut adalah cuplikan perkataan guru ketika selesai mengoreksi beberapa pekerjaan siswa. D57. G : “Ya, coba semuanya duduk. Nah, sudah ada satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan. Delapan anak yang betul.” Setelah beberapa siswa selesai mengerjakan, guru kemudian menggunakan hasil pekerjaan siswa untuk menunjukkan bahwa ketika gradient itu sama, maka garis-garis itu akan sejajar. Namun guru tidak secara langsung meminta siswa untuk maju dan menggambarkan hasil pekerjaannya di depan, melainkan guru menggunakan software geogebra untuk mempersingkat waktu. Berikut ini adalah interaksi antara guru dengan para siswa. D77. G : “Sudah? Lihat kesini. Karena nanti waktunya termakan habis kamu nggambar. Lihat, cocokkan ya guru memperlihatkan gambar grafik pada layar LCD proyektor . Kamu lihat, yang terjadi apa disini? Empat garis dalam satu bidang, ya. Empat garis dalam satu bidang. Lihat, perhatikan, apa yang kelihatan dari empat garis itu, seperti apa? Empat garis itu?” D78. S : “Sejajar.” D79. G : “Sejajar, betul, sejajar. Sekarang Bu Ajeng tanya, kemarin kamu sudah diterangkan dan mencatat itu ya, ada persamaan garis bentuk umumnya, ada yang . m itu apa to? M apa? Boleh buka catetannya. M itu apa?” D80. S : “Gradien.” D81. G : “Gradien, betul. Nah, kalau itu sekarang ada . gradiennya berapa itu?” D82. S : “Dua.” D83. G : “Dua, betul, karena disitu m-nya adalah dua ya? Koefisien dari x- nya sama dengan dua.” D84. G : “Kalau ? Gradiennya berapa itu? D85. S : “Dua.” D86. G : “Dua, betul. , m- nya berapa?” D87. S : “Dua.” D88. G : “Dua juga, brarti gradiennya dua ya?” D89. G : “Yang trakhir, . M- nya berapa?” D90. S : “Dua.” D91. G : “Artinya, gradien garis itu?” D92. S : “Dua.” D93. G : “Dua, betul. Loh kok sama semua ya gradiennya? Nah, disini kamu bisa lihat, bahwa kalau gradiennya sama, maka garis itu akan sejajar. Itu bisa kamu lihat disini ya. Keempat garis sejajar. Kamu lihat, ternyata oh, m-nya sama, gradiennya sama. Berarti kalau gradien sama, garis-garis itu pasti akan sejajar. Itu, yang kamu bisa dapatkan dari gambarmu, empat garis pada satu bidang. Yang membedakan apanya itu? ada , yang beda apanya ?” Data tersebut dapat menggambarkan bahwa guru tidak mengajari siswa secara langsung, guru hanya memberikan soal yang nantinya akan dapat mengarahkan siswa pada tujuan pembelajaran. Siswa diminta untuk menggambarkan keempat persamaan yang diberikan oleh guru, dan dari gambar tersebut guru membimbing siswa untuk menemukan konsep garis sejajar. Dari data yang telah di sampaikan tersebut, tampak bahwa guru sudah mulai menggunakan hasil pekerjaan dan konstruksi siswa sebagai landasan untuk menjelaskan konsep matematika.

4. Interaktivitas

Dalam kegiatan pembelajaran pada pertemuan pertama sudah terjadi interaksi di kelas, dimana siswa diberi kebebasan oleh guru untuk berdiskusi dengan teman-temannya dalam mengerjakan persoalan yang diberikan oleh guru. Interaksi yang terjadi tidak hanya antara siswa dengan siswa dalam kelompok kecil, namun juga antara guru dengan siswa dalam diskusi kelas. Berikut adalah interaksi yang terjadi pada saat guru meminta siswa untuk berdiskusi dalam mengerjakan soal. A161. G : “Ya semuanya diskusi.” A162. S : “Diskusi.” A163. G : “Vieri.” memberikan kode kepada siswa yang dipanggil untuk menggulung screen. A164. G : “Yuk.” guru mulai berkeliling untuk mendampingi siswa dalam berdiskusi dan mengerjakan tugas. A165. G : “Ayo, sana berempat itu.” sambil menunjuk ke arah kanan belakang. A166. G : “Kamu geser kesana.” guru meminta siswa yang duduk di paling belakang untuk bergeser ke kursi sebelah dan kemudian menyuruh pengamat untuk duduk. Dari dialog tersebut dapat dilihat bahwa guru berusaha menciptakan suasana kelas yang kondusif, dengan membantu siswa untuk berkelompok dalam diskusi. Dari diskusi tersebut, diharapkan siswa dapat saling mengemukakan hasil pemikirannya kepada siswa yang lain di dalam kelompok, sehingga didapat beragam ide atau gagasan untuk menyelesaikan masalah yang diberikan. Setelah selesai berdiskusi, guru meminta beberapa siswa dari perwakilan kelompok untuk menjawab pertanyaan mengenai hubungan antara banyaknya kertas dan harga fotocopy. Berikut adalah interaksi yang terjadi pada saat siswa mulai menjawab pertanyaan dari guru. A173. G : “Ya, coba perhatikan, dari table itu setelah kamu mengisikan. Setelah kamu mengisikan, coba masih ada yang bersuara sendiri. Setelah kamu mengisikan table ya, coba dari kelompoknya Ester dulu yang di sana itu sambil menunjuk ke arah pojok kiri belakang siapa yang akan mewakili ya. Ee siapa yang akan mewakili?” A174. G : “Dari table itu, hubungan apa yang terjadi dari banyaknya kertas dan harga fotocopy? Di sana dulu, siapa yang akan mewakili?” menunjuk ke arah kiri belakang. A175. S : “Korespondensi satu-satu.” A176. G : “Korespondensi satu-satu. Hubungan dari banyaknya kertas dan harga fotocopy. Jadi kalau korespondensi satu-satu itu sudah ke fungsi ya. Kita tinggalkan fungsi, dengan bukan gambarnya, bukan satu relasi apa, tapi kamu melihat di situ dari lembar kertas dan banyaknya. Ya memang dari fungsi korespondensi satu-satu itu, tidak salah. Hanya di sini yang diminta itu hubungan apa yang terjadi, lembar banyaknya kertas itu dengan harga fotocopy dengan kata- kata.” A177. S : “Oh bertambah.” A178. G : “Di sini? sambil menunjuk siswa yang duduk di bagian tengah . Apa sana ada yang mau nambahkan ?” menunjuk bagian kiri belakang A179. G : “Jawabannya korespondensi satu-satu? Ya, itu yang dikehendaki jawabannya bukan relasi dalam arti kemarin, fungsi kemarin, tetapi dengan kalimatmu, apa yang kamu lihat antara banyaknya lembar kertas dengan harga foto copy itu.” A180. S : “Dibagi seratus.” A181. G : “Dibagi seratus. Di sini.” sambil menunjuk siswa yang duduk di bagian tengah A182. SbS : “Perkalian Bu. dikali Bu dikali.” A183. G : “Sik sebentar kalau sudah stop lainnya.” A184. S : “Perkalian, kali seratus.” A185. G : “Perkalian, kali seratus. Yang dikalikan apa?” A186. S : “Banyaknya lembar kertas.” A187. G : “Sini.” menunjuk kelompok siswa yang duduk di kolom tengah bagian belakang A188. S : “Perkalian Bu.” A189. G : “Perkalian dari apa dengan apa? Perkalian harga fotocopy dengan banyaknya kertas. Harga foto copy yang mana itu?” Dari data di atas dapat dilihat bahwa siswa antusias dalam menjawab pertanyaan guru. Hal itu terlihat dari beberapa siswa yang mencoba mengutarakan pendapatnya. Namun dalam interaksi tersebut, tidak semua siswa berperan aktif dalam diskusi, hanya beberapa siswa saja yang terlibat dalam diskusi. Siswa-siswa yang lain cenderung hanya menjadi pendengar, atau bahkan ada yang memilih untuk berbicara dengan teman di sampingnya. Di sini guru harus mampu menciptakan suasana diskusi yang baik, dengan tetap memperhatikan para siswa yang tidak secara langsung ikut ambil bagian dalam diskusi, supaya mereka tetap dalam lingkup pembelajaran dan tidak mengalihkan perhatiannya pada hal yang lain. Dalam kegiatan pembelajaran, interaksi yang terjadi tidak hanya pada saat pembahasan soal seperti nampak pada cuplikan dialog di atas. Interaksi juga terjadi disaat guru berkeliling dan melihat hasil pekerjaan siswa. Sesekali guru bertanya kepada siswa mengenai hasil pekerjaan yang ditulisnya. Dari situ terjadi interaksi antara guru dengan siswa. Interaksi antara siswa dengan siswa terjadi pada saat siswa bertanya kepada temannya mengenai konsep yang baru saja dijelaskan oleh guru, namun ia belum terlalu memahaminya, pada saat mengerjakan soal, dan pada saat bertukar pikiran dalam menyelesaikan suatu masalah. Interaksi juga muncul dalam forum diskusi kelompok. Setiap siswa berusaha mengemukakan idegagasannya terhadap penyelesaian suatu masalah.

5. Keterkaitan

Sebagai apersepsi untuk masuk pada persamaan garis lurus, siswa diingatkan kembali mengenai bidang koordinat cartesius dan titik koordinat cartesius. Guru juga mengingatkan kembali mengenai cara menggambar bidang koordinat cartesius, meletakkan sumbu koordinat cartesius, dan cara membaca titik koordinat cartesius. Materi mengenai menggambar bidang koordinat cartesius dan menentukan titik koordinat cartesius ini sudah diajarkan pada tingkat Sekolah Dasar. Namun guru ingin mengajak siswa untuk mengingat kembali mengenai bidang koordinat cartesius, supaya nantinya siswa tidak mengalami kesulitan untuk menggambarkan bidang koordinat cartesius ketika sudah masuk pada materi persamaan garis lurus. Berikut adalah interaksi yang terjadi pada saat pembelajaran. A12. G : “Tolong ya, ayo. Coba perhatikan cara melukisnya, cara mengambarkan. Coba perhatikan, kira-kira Bu Ajeng mau menggambar apa ini?” A13. SbS : “Diagram kartesius.” A14. G : “Diagram kartesius, iya. Nah inilah yang dinamakan kemarin itu adalah bidang kartesius, dimana di bidang kartesius itu kamu akan melukiskan, eh menggambarkan diagram kartesius dengan meletakkan titik-titik ya. Dimana tititk-tititk itu nanti diberikan suatu koordinat yang namanya koordinat kartesius yang terdiri dari absis dan ordinat.” Guru kemudian menggambarkan beberapa titik koordinat kartesius dan meminta beberapa siswa untuk menyebutkan titik koordinatnya. A30. G : “X Y, betul. Absis dan ordinat. Tidak usah dicatat sudah kok ya kelas VII, dibukumu juga ada, tidak perlu. Lihat sini saja, perhatikan baik-baik ya. Sekarang kita mengingat lagi ya, kemarin soalnya ada beberapa yang mungkin tidak memperhatikan atau lupa, Bu Ajeng tidak tahu.” guru menuliskan beberapa titik koordinat. A31. G : “Kalau kamu akan melihat koordinat dari A, B, C, D, E, kamu supaya mudah bagaimana?” A32. S : “Digaris” A33. G : “Ya, dibuat garis bantu, betul. Sehingga kamu mudah untuk melihat, kecuali kamu pakai buku kotak-kotak atau millimeter. Banyak kemarin yang menggambar koordinat kartesius tidak pakai penggaris.” sambil membuat garis bantu pada titik-titik koordinat. A34. G : “Ya ini hanya mengulang sehingga Bu Ajeng supaya kamu tahu caranya untuk menggambarkan, sehingga tidak hanya melihat gambar yang sudah jadi, tetapi kamu bisa menggambarkan. Perhatikan, vieri memenggil nama salah satu siswa , koordinat A?” A35. S : “Dua koma satu.” A36. G : “Dua ya. Pinter jane.” Keterkaitan kembali muncul pada saat guru memberikan contoh soal dan siswa diminta mencari gradien dari persamaan tersebut. Guru mengingatkan siswa kembali pada materi kelas VII mengenai persamaan linear satu variabel, dimana ketika ruas kanan dibagi dengan sebuah bilangan, mak ruas kiri juga harus dibagi dengan bilangan yang sama. Berikut adalah cuplikan penjelasan guru. B53. G : “Sekarang kalau misalnya , beda bentuknya lho ya, nya kamu amati di sini tidak ada tiganya guru menunjuk y pada persamaan y= mx yang tampak pada slide , tidak ada koefisien apapun, berarti koefisien satu.” B54. G : “Kalau kamu ini menemukan itu kamu bisa menyebutkan gradiennya adalah dua sesuai dengan bentuk ini guru menunjuk pada persamaan y= mx pada slide , tetapi ketika itu kamu diberikan persamaan , kamu harus merubah dulu, membawa ke bentuk . sama dengan berapa ? sehingga ruas kiri harus kamu bagi tiga, ruas kanan juga harus bagi tiga. Ingat kelas tujuh ya?” B55. G : “Sehingga nanti akan ketemu . Dengan demikian gradiennya berapa? . gradiennya?” B56. S : “Dua per tiga.” Kemudian, pada saat siswa hendak menggambarkan persamaan garis lurus , siswa diingatkan kembali mengenai skala. Siswa diingatkan untuk memperhatikan skala yang hendak dibuat pada bidang koordinat kartesius yang akan digunakan untuk menggambar persamaan garis , sehingga gambar persamaan garis tersebut dapat mewakili gambar persamaan garis yang dibuat tanpa menggunakan skala. Berikut adalah cuplikan dialog pada saat pembelajaran. C100. G : “Kalau kamu membuat skalanya satu senti, satu senti terus, yang juga. Jangan sampai berbeda ya. Kalau yang itu satu sentimeter satu, dua, tiga, empat, kalau yang nya kamu akan seperti apa? Dari nol terus kemudian? Dari nol, terus kamu mau ke bilangan berapa?” C101. S : “Seratus.” C102. G : “Seratus? Nanti kamu banyak sekali.” C103. S : “Lima ratus.” C104. G : “Lima ratus aja ya. Jadi kalau satu sentimeter lima ratus, dua sentimeter?” C105. S : “Seribu.” C106. G : “Harus seribu. Jangan kok lima ratus terus seribu lima ratus. Lha nanti skalanya gimana. Ya, semuanya menggambar.” Pada saat guru dan siswa sedang membahas soal latihan dari buku paket, siswa diingatkan kembali mengenai operasi pembagian pada bilangan pecahan. Berikut adalah dialog ketika siswa diingatkan mengenai operasi pembagian pada bilangan pecahan. D114. G : “Y, nol, terus sama dengan? Gini ya? guru menuliskan 0= 13x-1 . Terus, langkah berikutnya apa ini? Langkah berikutnya apa kalau akan mencari -nya? . Berarti sama dengan berapa ini 0+1?” D115. S : “Satu.” D116. G : “Satu. Terus -nya berapa ini? . Iya dibagi?” D117. S : “Dikali.” D118. G : “Dikali apa dibagi? Bagi apa kali? D119. Sbs : “Bagi.” D120. G : “Dibagi. Bagi berapa?” D121. Sbs : “13.” D122. G : “Ini hasilnya berapa ini kalau gini? sama dengan?” D123. S : “Tiga, tiga.” D124. G : “Ya, prosesnya gimana?” D125. Sbs : “Satu dikali tiga per satu.” Dari data di atas dapat dilihat keterkaitan antara satu konsep dengan konsep yang lain. Dengan mengaitkan satu konsep dengan konsep yang lainnya, siswa akan lebih memaknai bahwa konsep matematika saling terkait satu sama lain, konsep matematika bukan merupakan hal yang terpisah-pisahkan, sehingga siswa dapat menerima konsep baru yang diajarkan dan menstrukturkannya kembali dalam pikiran. Hal ini diharapkan dapat mengembangkan dan membangun konsep tersebut menjadi lebih baik.

E. Analisis Hasil wawancara dengan Guru Mengenai Hambatan yang

dihadapi Guru dalam Mengimplementasikan PMRI Berdasarkan hasil pengamatan pada kegiatan pembelajaran matematika di SMP BOPKRI 3 Yogyakarta selama lima kali pertemuan, peneliti mengamati bahwa karakteristik PMRI yang ada, belum sepenuhnya dapat diterapkan dalam proses pembelajaran. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor penghambat, yang menghambat penerapan PMRI dalam kegiatan pembelajaran matematika di SMP BOPKRI 3 Yogyakarta. Sesuai dengan salah satu tujuan penelitian, yaitu “Mengetahui kendala atau hambatan yang dialami oleh guru dalam menerapkan PMRI pada kegiatan pembelajaran matematika di kelas VIII SMP BOPKRI 3 Yogyakarta”, maka untuk mengetahui hambatan yang dihadapi guru dalam mengimplementasikan PMRI pada kegiatan pembelajaran matematika, peneliti melakukan wawancara dengan guru dan kemudian melakukan analisis dari hasil wawancara tersebut. Dari hasil wawancara tersebut ditemukan beberapa faktor penghambat implementasi PMRI, yaitu :

1. Keterbatasan Waktu

Guru mengeluhkan bahwa untuk menerapkan PMRI dalam kegiatan pembelajaran, dibutuhkan waktu yang lebih banyak dibandingkan dengan cara mengajar guru pada umumnya. Guru juga harus meluangkan waktu yang lebih untuk mempersiapkan materi yang akan diajarkan dengan pendekatan PMRI. Disamping itu guru harus melaksanakan kurikulum yang ada, dan guru juga harus menyelesaikan serta menjelaskan materi kepada siswa sesuai dengan batas waktu yang diberikan. Sehingga guru pun tidak dapat memilih PMRI seutuhnya sebagai metode yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran matematika. Hal ini ditunjukkan dalam hasil wawancara berikut : 12. G : “Tapi sebagai guru itu, waktu terbatas. saya pernah ditanya Pak Marpaung, pilih pelan-pelan nggak selesai tapi anak bisa atau selesai tapi anak nggak bisa. Ya kita nggak bisa pilih itu, karena kan ada kurikulum, ada UNAS. Memang kurikulumnya KTSP, tapi UNASnya? Itu sulit. Nek bagusnya bagus PMRI. Tapi ya itu tadi. Kalau mau full dipakai terus semuanya, pertama, mengacu UNAS, itu ya sulit. Tahu sendiri kan anak-anaknya begitu kan, nggak mungkin akan selesai.”

2. Kurangnya Ketersediaan Materi dari Tim PMRI

Menurut guru, tidak adanya panduan atau acuan untuk pegangan guru dalam menerapkan PMRI pada kegiatan pembelajaran menjadi suatu hambatan untuk mengimplementasikan PMRI tersebut. Guru menyatakan kesiapannya untuk mengajar dengan pendekatan PMRI ketika materi memang sudah disediakan oleh tim PMRI, sehingga hal tersebut dapat mengurangi peluang kesalahan guru dalam mengajarkan materi kepada siswa terutama dalam penerapan soal-soal dengan menggunakan pendekatan PMRI, seperti yang dipaparkan oleh guru dalam cuplikan wawancara berikut : 42. G : “Kendala itu memang materi itu harus diisi nek menurut saya. Kalau itu tidak ada buku dari PMRI, kalau dilepas ke guru takutnya salah lho Mbak. Tidak semua guru, itu. menurut saya pribadi, ya kalau menerangkan bisa, tapi kalau soal-soal tertentu, kayak misalnya, toh tidak semua soal bisa diterapkan PMRI. Kalau masalah materi, menurut saya selagi ada acuannya, penuntunnya, ya nggak ada masalah. Menurut saya, jangan dilepas karena nanti bisa-bisa malah salah, itu tadi, nggak ada ujinya, ternyata diterapkan salah.” Guru juga mengemukakan pendapatnya demikian : 12. G : “….menurut saya, kalau mau ngambil contoh-contoh, sendiri lho ya, mbuat sendiri lho ya, beda dengan kalau sudah ada buku, oh ini cocok ini diambilkan dari ini, ini cocok dengan konsep PMRI. Tapi kalau dituntut kita mencari sendiri, itu kan butuh pengujian. Jangan-jangan ini nanti malah nggak bisa dipakai dalam soal yang lain. ….”

3. Kemampuan Siswa yang Cenderung Menengah ke Bawah

Guru mengemukakan bahwa PMRI tidak bisa diterapkan pada siswa-siswa yang mempunyai kemampuan menengah ke bawah. Hal ini disebabkan karena siswa yang mempunyai kemampuan menengah kebawah tidak mempunyai disiplin yang tinggi dalam mengikuti pelajaran. Sehingga ketika guru memberi waktu kepada siswa untuk mengeksplorasi kemampuannya dengan mencoba segala cara dalam menyelesaikan suatu permasalahan, yang terjadi adalah siswa ribut dan berbicara dengan temannya. Siswa yang mempunyai kemampuan menengah kebawah cenderung hanya menyerap hal yang mudah saja. Sebagai contoh, ketika diberikan penjelasan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, siswa merasa bahwa itu mudah, namun ketika siswa dihadapkan untuk mengerjakan soal, mereka tidak bisa mengaplikasikannya untuk menyelesaikan soal yang diberikan. Berikut cuplikan wawancara dengan guru. 24. G : “PMRI juga tidak bisa untuk anak-anak yang dibawah kemampuan, kemampuannya pas-pasan atau kurang. Karena dia akan menyerapnya ya mudah thok, tapi ketika dia dihadapkan pada soal yang bervariasi, tetep saja. ” 25. P : “Tapi kalau PMRI kan pembelajarannya mengacu pada kontekstual, kehidupan sehari-hari. Mungkin akan lebih mudah dibayangkan oleh siswa .” 26. G : “Betul. Makanya, itu bisa. Tapi pada saat ketemu soal yang lebih-lebih itu. Kalau pas menerangkannya, anak diminta aktifitasnya, itu lebih mudah. Makanya tak katakana itu bagus. Tapi nanti pada saat dikasih soal, blank anak-anak itu. Seneng pembelajarannya, tapi pada saat ketika dia mengaplikasikan itu ke soal yang disodorkan di buku-buku itu, sulit. Itu butuh dituntun, dibukakan jalan pemikirannya. Kalau anak-anak itu kemampuannya menengah ke bawah, itu sulit membayangkan, harus dituntun, lha padahal PMRI kan dibiarkan dulu, supaya muncul ide dari anak-anak, nggak jalan mbak, malah ngobrol.”

4. Kurangnya Ketersediaan Sarana dan Prasarana

Dalam mempersiapkan kegiatan pembelajaran dengan menerapkan PMRI, maka dibutuhkan sarana dan prasarana yang mencukupi. PMRI identik dengan pembelajaran yang bertolak dari permasalahan dalam kehidupan sehari-hari yang dapat dibayangkan oleh siswa. Maka terkadang dibutuhkan alat peraga ataupun media yang lain untuk menunjang penerapan PMRI. Dalam hal ini, guru memaparkan kurangnya dukungan dari sekolah dalam hal sarana dan prasarana juga menjadi salah satu faktor penghambat implementasi PMRI pada kegiatan pembelajaran. Hal ini dikemukakan oleh guru dalam cuplikan wawancara berikut : 12. G : “….Tapi sebagai guru itu, waktu terbatas, apalagi sarana prasarana juga kan terbatas juga. …” Guru juga memaparkan mengenai ketidaktersedianya sarana prasarana dari sekolah guna menunjang penerapan PMRI pada kegiatan pembelajaran. berikut adalah cuplikan wawancaranya. 16. G : “…,sarana prasarana. Kalau kita mau minta dukungan sekolah, kalau kita sendiri yang minta kan nggak enak juga. Kalau kita mau keluar sendiri, mungkin bagi saya bisa, ….”