Analisis Hasil wawancara dengan Guru Mengenai Hambatan yang

Kalau anak-anak itu kemampuannya menengah ke bawah, itu sulit membayangkan, harus dituntun, lha padahal PMRI kan dibiarkan dulu, supaya muncul ide dari anak-anak, nggak jalan mbak, malah ngobrol.”

4. Kurangnya Ketersediaan Sarana dan Prasarana

Dalam mempersiapkan kegiatan pembelajaran dengan menerapkan PMRI, maka dibutuhkan sarana dan prasarana yang mencukupi. PMRI identik dengan pembelajaran yang bertolak dari permasalahan dalam kehidupan sehari-hari yang dapat dibayangkan oleh siswa. Maka terkadang dibutuhkan alat peraga ataupun media yang lain untuk menunjang penerapan PMRI. Dalam hal ini, guru memaparkan kurangnya dukungan dari sekolah dalam hal sarana dan prasarana juga menjadi salah satu faktor penghambat implementasi PMRI pada kegiatan pembelajaran. Hal ini dikemukakan oleh guru dalam cuplikan wawancara berikut : 12. G : “….Tapi sebagai guru itu, waktu terbatas, apalagi sarana prasarana juga kan terbatas juga. …” Guru juga memaparkan mengenai ketidaktersedianya sarana prasarana dari sekolah guna menunjang penerapan PMRI pada kegiatan pembelajaran. berikut adalah cuplikan wawancaranya. 16. G : “…,sarana prasarana. Kalau kita mau minta dukungan sekolah, kalau kita sendiri yang minta kan nggak enak juga. Kalau kita mau keluar sendiri, mungkin bagi saya bisa, ….” Dalam penerapan karakteristik PMRI di kelas, selain hambatan yang dipaparkan oleh guru dalam wawancara, peneliti melihat adanya kendala lain yang menghambat penerapan karakteristik PMRI, diantaranya adalah : 1. Situasi kelas yang tidak kondusif Situasi kelas sangat tidak kondusif, dikarenakan letak kelas yang berada dekat dengan jalan raya dan batas antar kelas yang tidak memadahi, sehingga suara bising sangat dominan di dalam kelas. Hal ini tentunya akan menghambat kegiatan pembelajaran. Siswa yang duduk di belakang cenderung akan tidak memperhatikan pelajaran dikarenakan mereka tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang disampaikan oleh guru. 2. Strategi pembelajaran PMRI lebih sukar untuk dilaksanakan Pembelajaran PMRI bukan hanya berbeda dari cara mengajar guru pada umumnya, tetapi juga jauh lebih sukar dalam melaksanakannya. Memberikan bimbingan kepada siswa agar ia bisa memahami berbagai konsep matematika melalui berbagai macam kegiatan eksporatif tanpa harus terkesan menggurui, lebih sulit daripada mengajar secara langsung. 3. Siswa yang masih cenderung mengedepankan guru sebagai sumber ilmu Kecenderungan siswa yang menganggap guru sebagai sumber ilmu, menyebabkan siswa menjadi kurang aktif dalam kegiatan pembelajaran. Siswa menganggap guru sebagai pemimpin, sehingga siswa hanya tinggal mengikuti segala sesuatu yang diajarkan oleh guru. 4. Siswa masih berorientasi pada nilai, bukan pemahaman terhadap materi Para siswa yang berorientasi pada nilai dapat menghambat penerapan PMRI dalam pembelajaran. Hal ini dikarenakan para siswa tidak lagi terlalu mempedulikan mengenai pemahaman mereka terhadap suatu materi, namun mereka hanya berpikir bagaimana mereka akan mendapatkan nilai yang baik, sehingga metode PMRI tidak dapat berjalan dengan baik.

F. Analisis Soal Ulangan Harian Persamaan Garis Lurus

Pada pertemuan keenam, guru mengadakan ulangan harian yang pertama untuk materi Persamaan Garis Lurus. Pada ulangan harian ini, guru memberikan 5 soal bagi siswa untuk dikerjakan. Soal-soal tersebut ditampilkan oleh guru dalam LCD Projector dan siswa diminta untuk mencatat soal-soal tersebut, kemudian mengerjakannya. Berikut adalah soal ualngan harian yang dibuat oleh guru. ULANGAN 1. Salin dan lengkapilah tabel di bawah ini sehingga nilai x dan y memenuhi persamaan y=3x-4 x 4 5 6 - - y … … … … … 2. Gambarlah garis y=2x-1 pada sebuah bidang cartesius 3. Gambarlah garis yang melalui titik pangkal koordinat 0,0 dan - 2,5, kemudian tentukan persamaan garisnya 4. Gambarlah garis yang melalui titik R 0,3 dan S -4,0, kemudian tentukan persamaan garisnya 5. Diketahui A-3,a terletak pada garis yang persamaannya y=2x+3. Tentukan nilai A Dari soal ulangan tersebut, dapat dilihat bahwa semua soal yang dibuat oleh guru merupakan soal dalam bentuk formal matematika. Tidak tampak penggunaan konteks yang diharapkan dalam pengimplementasian PMRI. Soal-soal tersebut tidak sesuai dengan Standar Pembelajaran PMRI, dimana pembelajaran diawali dengan masalah realistik dan pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengeksplorasi masalah yang diberikan. Soal dalam bentuk matematika formal membatasi siswa dalam mengembangkan cara-cara untuk menyelesaikan soal. Dengan bentuk soal yang diberikan oleh guru, maka siswa cenderung akan mengerjakan soal tersebut hanya dengan cara yang sama yang sudah pernah diajarkan oleh guru. Hal itu nampak dalam hasil pekerjaan siswa, yang memiliki cara penyelesaian yang sama. Soal dalam bentuk matematika formal juga akan membatasi pola berpikir siswa untuk memodelkan permasalahan tersebut sesuai dengan tingkat kemampuan berpikir siswa. Semua siswa mengerjakan soal tersebut dengan cara yang sama, walaupun hasilnya berbeda-beda. Dari 27 siswa yang mengikuti ulangan harian tersebut, hanya ada 5 orang siswa yang mendapatkan nilai diatas 70, yang merupakan batas nilai Kriteria Ketuntasan Minimum.

G. Pembahasan Implementasi Karakteristik PMRI

Pada saat pembelajaran guru sudah menerapkan penggunaan konteks sebagai titik awal dari pembelajaran. Permasalahan kontekstual yang diberikan oleh guru adalah permasalahan yang dekat dalam kehidupan sehari-hari siswa, sehingga hal tersebut mudah dibayangkan dalam benak siswa. Namun penggunaan konteks dalam pembelajaran ini dapat dikatakan belum optimal. Hal ini disebabkan karena siswa belum dilibatkan secara aktif untuk mengeksplorasi permasalahan dan mengkonstruksikan idegagasannya untuk menyelesaikan dan menemukan konsep dari masalah kontekstual tersebut. Siswa nampak tidak terbiasa mengkonstruksi pemikirannya untuk mengeksplorasi permasalahan yang ada. Siswa cenderung pasif dalam pembelajaran dan hanya menunggu penjelasan yang diberikan oleh guru. Hal ini bertolak belakang dengan pendapat Bruner dalam Teorema Konstruksi. Ia mengatakan bahwa siswa harus mengkonstruksikan sendiri ide-ide tersebut, lebih baik lagi bila siswa menggunakan benda-benda konkret dalam merumuskan ide-ide tersebut. Sehingga apabila di dalam merumuskan dan mengkonstruksikan ide-ide itu, siswa-siswa dibantu dengan benda-benda konkret, mereka akan cenderung ingat ide-ide itu dan kemudian mengaplikasikannya dalam situasi yang tepat. Pada saat proses pembelajaran matematika di kelas, tidak nampak penggunaan model matematika sebagai jembatan bagi siswa dari pengetahuan matematika konkret menuju ke bentuk matematika formal. Dalam Pembelajaran Matematika Realistik, siswa diberikan permasalahan kontekstual yang dekat dengan pengalaman kehidupan sehari-hari siswa. Siswa dengan bimbingan guru, diharapkan dapat mengeksplorasi permasalahan tersebut, dan mulai memodelkan permasalahan tersebut untuk menuju ke bentuk formal matematika. Bruner juga mengemukakan hal tersebut dalam dua tahapan dari tiga tahapan perkembangan siswa, yaitu tahap ikonik dan tahap simbolik. Dalam tahap ikonik, Bruner mengemukakan bahwa pada tahap ini siswa sudah dapat menggambarkan gambaran dari sifat-sifat pada benda alat peraga tersebut. Sedangkan dalam tahap simbolik, siswa tidak lagi terikat dengan obyek-obyek pada tahapan sebelumnya. Siswa telah mampu menggunakan simbol atau notasi tanpa perlu mengandalkan obyek real. Pemanfaatan hasil konstruksi siswa sudah mulai nampak dalam kegiatan pembelajaran. Guru memberikan stimulus kepada siswa dengan menggunakan soal. Dari hasil pekerjaan siswa, siswa dapat melihat konsep matematika yang terdapat didalamnya. Guru mendampingi dan membimbing siswa untuk menemukan konsep dari hasil pekerjaan siswa. Dalam Pendidikan Matematika Realistik, siswa ditempatkan sebagai subyek belajar, dikarenakan matematika tidak diberikan kepada siswa sebagai produk siap pakai, melainkan sebagai suatu konsep yang dibangun oleh siswa. Siswa diberi kebebasan untuk menentukan strategi pemecahan masalah yang akan digunakan untuk menyelesaikannya. Dari hasil kerja siswa tersebut, selanjutnya dapat digunakan sebagai landasan pengembangan konsep matematika. Bruner juga mengungkapkan bahwa ketika konsep-konsep yang dipelajari siswa merupakan hasil dari konstruksi pemikirannya sendiri, hal tersebut akan memudahkan siswa dalam memahami konsep tersebut dan ide tersebut akan melekat dalam ingatan siswa. Dalam kegiatan pembelajaran yang berlangsung di kelas, sudah tercipta interaksi antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa dalam diskusi kelompok. Namun belum ada siswa yang mau