60 Berdasarkan  kutipan  di  atas  Raden  Patah  menjadi  semakin  mantab  untuk
menyebarkan  agama  Islam  sebagai  agama  baru  di  tanah  Jawa.  Raden  Patah  bahkan sudah tidak takut kepada Prabu Brawijaya yang merupakan raja Majapahit, kerajaan
yang menguasai tanah Jawa. Sesuai kutipan di atas, Raden Patah beranggapan bahwa menyebarkan  agama  Islam  sebagai  agama  baru  di  Jawa  merupakan  suatu  kewajiban
dan untuk menggenapi jangka ramalan yang telah ada. Bahkan, Raden Patah berani menganggap agama selain agama Islam adalah agama yang „kafir‟ halaman 44.
Kemunculan  agama  baru  Islam  ini  telah  mendeskripsikan  hegemoni  Islam terhadap  Hindu,  bahkan  hal  ini  dipertegas  oleh  serangan  Raden  Patah  terhadap
kekuasaan sang Ayah Majapahit. Imbas lain dalam pergeseran corak kekuasaan ini adalah berubahnya sistem sosial di Jawa, termasuk kaum Tionghoa. Hal ini berakibat
kepada  kaum  Tionghoa  yang  menjadi  hidup  dalam  ketidaknyamanan.  Kaum Tionghoa  merasa  menjadi  tidak  sebebas  dulu  lagi  untuk  berinteraksi  dengan
masyarakat pribumi seperti pada masa Prabu Brawijaya.
3.1.2.2 Hegemoni Politik Kerajaan Demak
Hegemoni  politik  merujuk  pada  pengertian  bahwa  masyarakat  sipil  yang menentukan jalannya suatu negara melalui tangan suatu kelompok yang mendominasi
dengan  seperangkat  aturan  hukum.  Hukum  dan  aturan  politik  digunakan  untuk menjalankan suatu roda pemerintahan Patria- Arif 2005: 133.
Kerajaan  Demak  di  tangan  Raden  Patah  berusaha  untuk  memperluas kekuasaannya  di  pulau  Jawa.  Raden  Patah  dari  Ngampeldenta  adalah  putera  dari
61 Prabu  Brawijaya  V  yang  berasal  dari  salah  seorang  selirnya  yaitu  Putri  Cina.  Kaum
Tionghoa pada masa kerajaan Demak  dipaksa tunduk pada aturan yang telah dibuat oleh kerajaan Demak. Pelarangan tersebut nampak dalam titah perintah Raden Patah
kepada kaum Tionghoa seperti dalam kutipan berikut ini: “Tak ada lagi barongsai, samsi, liong atau leang-leong, serta wayang potehi
yang  dulu  pernah  menghibur  banyak  orang,  dan  bahkan  disukai  juga  oleh orang-orang pribumi. Orang-orang Cina juga tidak mudah menjalankan ibadat
mereka di kelenteng-
kelenteng”. Sindhunata, 2007:110.
Berdasarkan  kutipan  di  atas,  titah  Raden  Patah  menyatakan  bahwa  kaum Tionghoa  dilarang  untuk  menyelenggarakan  akitivitas  sosial  budaya  leluhur  mereka
sendiri. Pelarangan ini merupakan bentuk dari kekuasaan politik yang telah diperoleh Raden  Patah  setelah  berhasil  menaklukkan  kerajaan  Majapahit.  Kaum  Tionghoa
diarahkan oleh kerajaan Demak menjadi suatu golongan yang ekslusif sehingga dapat menimbulkan kebencian serta stereotype oleh kalangan rakyat biasa.
Melalui  hegemoni  politik  yang  telah  diperoleh  Raden  Patah,  pihak  penguasa membuat  stereotype  terhadap  Kaum  Tionghoa.  Stereotype  terbentuk  berdasarkan
suatu  pendapat  yang  sudah  ada  sebelumnya  kemudian  diperkuat  oleh  pengamatan pribadi  secara  sepintas  dan  biasanya  berkonotasi  negatif.  Stereotype  bisa
menumbuhkan  fanatisme  dan  kecurigaan  yang  akhirnya  akan  semakin  menutup  diri masing-masing  kelompok  dan  memperkuat  stereotype  itu  sendiri  Hariyono
:1994:57. Stereotipe ini tergambar dalam kutipan berikut ini:
62 “Begitu  terjadi  pertikaian,  orang  Cina  menjadi  salah  karena  gila  dagang
sehingga  tak  memberi kesempatan  pada  orang  lain  untuk  berdagang”.  Sindhunata,
2007: 80.
Stereotype manusia Cina biasa disebutkan sebagai orang yang memiliki sikap tertutup, angkuh, egoistis, dan materialistis.  Tapi kadang-kadang menunjukkan sikap
ramah,  murah  hati,  rajin,  ulet,  namun  juga  dengan  mudah  menghambur-hamburkan materi, suka berpesta dan berspekulasi Hariyono: 1994: 58.
Selain melalui pembuatan aturan pelarangan penyelenggaraan kegiatan  sosial budaya, kerajaan Demak dengan cerdik menggunakan hegemoni politik yang mereka
miliki dengan cara memperalat Raden Patah yang merupakan anak dari seorang kaum Tionghoa untuk melawan ayahnya sendiri yaitu Prabu Brawijaya.
Raden  Patah  yang  telah  berhasil  didoktr in  oleh  Sunan  Ampel  secara  „tidak
sengaja‟  dijodohkan  dengan  sanak  keluarganya  sendiri.  Dia  diusahakan  untuk menjadi bagian dari keluarga guru agamanya tersebut. Di Ngampeldenta Raden Patah
menikah  dengan  cucu  Sunan  Ampel  yaitu  Nyai  Ageng  Mendaka,  seperti  yang dijelaskan dalam kutipan berikut ini :
Sementara itu, Raden Patah tetap mendalami ilmunya di Ngampeldenta Sunan Ngampeldenta  kemudian  mengambilnya  menjadi  menantu.  Ia  mengawinkan
Raden  Patah  dengan  cucunya,  Nyai  Ageng  Mendaka,  anak  Nyai  Ageng Manyura, putri sulungnya Sindhunata, 2007: 28.
Setelah menikah kemudian Raden Patah menjadi lebih terlegitimasi dan  lebih
aktif  dalam  penyebaran  agama  Islam.  Raden  Patah  telah  mendapat  pengakuan  dari Sunan Ampel sendiri.  Oleh sebab itu, Sunan Ampel menilai Raden Patah layak untuk
menyebarkan  agama  Islam  ke  seluruh  pulau  Jawa.  Kerajaan  Demak  ingin
63 melanggengkan  hegemoni  yang  telah  mereka  miliki  untuk  selama-lama,  meskipun
kekuasaan  itu  diperoleh  dengan  cara  pertumpahan  darah.  Keadaan  yang  demikian membuat kehidupan  kaum Tionghoa menjadi tidak nyaman lagi.
Kerajaan  Demak  yang  menebar  konflik  di  bumi  Majapahit  berusaha  untuk lepas  tangan  atas  apa  yang  mereka  perbuat.  Mereka  berusaha  untuk  mencari  pihak
yang  layak  dipersalahkan  atas  kekacauan  yang  terjadi.  Kerajaan  Demak menggunakan kekuasaan politik yang mereka miliki. Oleh sebab itu, kerajaan Demak
menjadikan kaum Tionghoa sebagai tameng untuk melegitimasi perbuatannya. Keadaan  ini  diperparah  dengan  sikap  dan  perilaku  kaum  Tionghoa  yang
dianggap  tidak  sesuai  dengan  pandangan  hidup  Jawa.  Kaum  Tionghoa  dirasa  hanya mau  mementingkan  dirinya  sendiri  dan  kelompoknya.  Hal  tersebut  ditunjukkan
dengan kutipan berikut ini: Harta.  Kekayaan.  Pelit.  Gila  dagang.  Apa  salahnya  orang  Cina  dengan  itu
semuanya?  Tidak,  mereka  tidak  salah  karena  mereka  memiliki  harta, kekayaan,  pelit,  dan  gila  dagang.  Mereka  bersalah,  karena  mereka  lupa  dan
tidak  peduli,  bahwa  sewaktu-waktu  mereka  bisa  disalhkan  dan  dikorbankan, bila sedang terjadi pertikaian Sindhunata, 2007: 80.
Perilaku  kaum  Tionghoa  yang  mementingkan  dirinya  sendiri  membuat mereka  semakin  menjadi  terpinggirkan.  Rasa  toleransi  terhadap  kaum  Tionghoa
menjadi  hilang  sehingga  dengan  mudah  pihak  penguasa  menghasut  rakyat  untuk membenci kaum Tionghoa. Berbagai propaganda dan hasutan yang diprakasai pihak
penguasa menemui titik temunya. Momentum kebencian kalangan bawah kaum Jawa terhadap  kaum  Tionghoa  dengan  lihai  dipergunakan  oleh  pihak  penguasa  untuk
64 mengorbankan  kaum  Tionghoa  sebagai  kambing  hitam atas  kekacauan  yang  terjadi.
Hal tersebut dituliskan dalam kutipan berikut ini: “Mudah, Sinuwun. Sekali lagi hamba katakan, itu sungguh mudah Alihklan
saja segala kekerasan yang mau pecah itu kepada orang-orang Cina. Setelah itu Sinuwun akan mengendalikan keadaan dengan lebih mudah” kata Patih
Wrenggono. Ia tersenyum tanpa perasaan Sindhunata, 2007: 134.
Berdasarkan  kutipan  di  atas  terlihat  jelas  bahwa  pihak  penguasa  berusaha untuk  menjadikan  Kaum  Tionghoa  sebagai  kambing  hitam  atas  kekacauan  yang
mereka  perbuat.  Pihak  penguasa  menghasut  golongan  rakyat  Jawa  untuk menimbulkan  api  kebencian  terhadap  Kaum  Tionghoa  yang  berada  di  dalam
ketakutan  dan berhati- hati dalam beraktivitas. Selain  sebagai  diposisikan  sebagai  kambing  hitam  Kaum  Tionghoa
dideskripsikan memiliki harga diri di mata rakyat pribumi. Kaum Jawa dalam hal ini direpresentasikan oleh kerajaan Demak menjadikan kaum Tionghoa layaknya sebuah
boneka  mainan  belaka.  Kaum  Tionghoa  diperlakukan  semena-mena  oleh  pihak penguasa  untuk  menjadikan  kaum  Tionghoa  sebagai
“sapi  perahan”  seperti  dalam kutipan berikut ini:
“Mereka  memang  menjadi  luar  biasa  kaya.  Tapi  mereka  tidak  ingat,  bahwa dengan demikian mereka ditaruh di titik rawan yang paling gawat. Ya, mereka
tidak  sadar  bahwa,  mereka  dijadikan  sandaran  yang  enak  bagi  keluarga  dan pengikut  Prabu  Amurco  Sabdo  dalam  menambah  nikmat.  Mereka  bangga,
karena  mau  bekerja  keras,  padahal  keringat  mereka  sedang  diperas. Kelihatannya  mereka  kaya,  dan  hidup  mewah  padahal  diam-diam  mereka
habis-
habisan diperah” Sindhunata, 2007: 104. Harga diri kaum Tionghoa yang sudah tidak ada lagi di mata rakyat pribumi.
Eksistensi  Kaum  Tionghoa  dalam  kehidupan  masyarakat  pribumi  menjadi  tidak
65 terlihat  lagi.  Strata  sosial  kaum  Tionghoa  yang  dahulunya  menjadi  golongan  yang
dipandang  dalam  sistem  sosial  masyarakat  pribumi menjadi tidak  dihiraukan.  Kaum Tionghoa  menjadi  tidak  berpengaruh  lagi  dan  hal  ini  merupakan  dampak  dari
politisasi yang dilakukan oleh penguasa Medang Kamulan. Kedudukan kaum Tionghoa yang telah lemah di hadapan rakyat memudahkan
pihak  penguasa  untuk  memperlakukan  kaum  Tionghoa  sesuai  dengan  kehendak pengu
asa.  Kaum  Tionghoa  menjadi  “kambing  hitam”  ketika  keadaan  politik  di kerajaan tidak stabil seperti kutipan di bawah ini:
“Senapati,  kuakui  memang  aku  memberi  kesempatan  kepada  orang-orang Cina.  Kuakui  mereka  telah  banyak  membantu  aku  dengan  kekayaan  mereka.
Kupuji  mereka  sebagai  orang-orang  yang  mau  bekerja  keras.  Semata-mata hanya  supaya  kekayaan  mereka  bisa  kuperas.  Sementara  kubiarkan  mereka
terus  menumpuk  harta,  dan  menjadi  semakin  kaya,  menuruti  keserakahan mereka.  Dengan  demikian  mereka  menjadi  kelompok  yang  menimbulkan
kecemburuan dan iri. Kecemburuan dan keirian terhadap mereka itu sudah ada di dalam diri rakyat negeri ini. Sekarang, negeri ini sedang dilanda kekacauan.
Kalau  menyulut  api  kebencian  dan  keiirian  terhadap  orang  Cina  itu  adalah satu-satunya jalan dan celah untuk menyelamatkan negeri ini dari kekacauan,
mengapa  hal  itu  tidak  kita  kerjakan?”  kata  Prabu  Amurco  Sabdo” Sindhunata, 2007:135.
Berdasarkan  kutipan  di  atas,  Kaum  Tionghoa  menjadi “Kambing  hitam”
untuk  menyelamatkan  keadaan  kerajaan  Medang  Kamulan  dari  kekacauan.  Kaum Tionghoa  dimanfaatkan  oleh  Prabu  Amurco  Sabdo  untuk  menstabilkan  kembali
keadaan politik di Medang Kamulan. Prabu Amurco Sabdo tidak lagi mempedulikan kehidupan kaum Tionghoa.
66
3.1.2.3 Hegemoni Ekonomi Kerajaan Demak