Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Tinjauan Pustaka

5 Latar sosial yang akan dianalisis dari novel Putri Cina adalah hegemoni kerajaan Demak dan Majapahit terhadap kaum Tionghoa. Hegemoni ini digambarkan melalui konflik-konflik yang terjadi di dalam cerita.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka masalah-masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.2.1 Bagaimana unsur alur yang ada dalam novel Putri Cina ? 1.2.2 Bagaimana dominasi dan hegemoni kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa dalam novel Putri Cina?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan-rumusan masalah di atas, maka tujuan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.3.1 Mendeskripsikan alur yang terdapat dalam novel Putri Cina ? 1.3.2 Mendeskripsikan dominasi dan hegemoni kerajaan Demak terhadap kehidupan kaum Tionghoa dalam novel Putri Cina ?

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka dapat disimpulkan manfaat dari penelitian ini yaitu: 1.4.1 Dalam dunia sastra, khususnya sastra Indonesia sapat menambah khazanah sosiologi sastra. 6 1.4.2 Dari segi praktis, penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan apresiasi kesusastraan Indonesia yaitu apresiasi terhadap novel Putri Cina. 1.4.3 Penelitian ini diharapkan dapat memotivasi pembaca sastra untuk meninjau fenomena kehidupan sosial dalam novel yang ada di Indonesia.

1.5 Tinjauan Pustaka

Novel ini pernah diresensi oleh Maria Hartiningsih di harian Kompas 23 September 2007.Hartiningsih menceritakan bahwa Putri Cina mengisahkan adanya pengkambinghitaman etnis Cina oleh etnis Jawa yang disusun secara rapi dan sistematis.Novel ini menggambarkan peralihan kekuasaan di tanah Jawa yang selalu berlumur darah dan pengkhianatan. Ketika raja tak mampu menghadapi beragam persoalan, akan selalu diperlukan kambing hitam. Identitas menjadi permainan politik. Di situ, memakukan identitas tunggal tak hanya berbahaya,tetapi juga kejam. Manusia terus mengulang sejarah itu dalam konteks kekuasaan yang berbeda-beda.Pemerkosaan terhadap perempuan etnis Cina juga terjadi waktu itu.Sejarah kontemporer mencatat pengkambinghitaman etnis Cina sejak 1740. Novel Putri Cina pernah dibahas di dalam Jurnal ilmiah kebudayaan SintesisVolume 6. Nomor 1, Maret 2008.Di dalam jurnal tersebut, Novita Dewi menulis makalah berjudul “Putri Pewarta Perdamaian”.Dewi mencoba melihat 7 rekonsiliasi masyarakat pasca-konflik lewat imajinasi historis dalam novel karya Sindhunata Putri Cina. Rekonsiliasi akan pesan perdamaian dalam novel Putri Cina ditunjukkan pada bagaian awal dan akhir novel. Bahwa tokoh menerima ketidakjelasan identitasnya.Pesan ini menjadi mengena karena dikemas secara riuh dengan kisah- kisah peperangan, balas dendam, dan tentu saja pengkambinghitaman.Kisah-kisah tadi diangkat dari sejarah, mitos, cerita rakyat dan realitas politik modern yang menggarisbawahi kengerian dan kesia-siaan perang antarsaudara.Lebih-lebih, adanya narasi tokoh Putri Cina yang menerima takdirnya dan bersedia mengampuni musuh yang telah menfitnah dan memporakporandakan keluarganya.Hal ini merupakan narasi-narasi perdamaian dan rekonsiliasi yang dibayar oleh cinta dan kematian. Aroma cinta dan kematian juga tersirat dalam kisah perjalan cinta berujung maut antara dua anak manusia berbeda warna kulit Gurdo Paksi-Giok Tien yang menjadi titik bidik buku ini berdiri di atas lapisan- lapisan kisah lain yang secara beragam melibatkan cinta dan kematian sebagai tema. Karya ini juga menghadirkan ruang untuk berkontemplasi bahwa “melindungi semua orang, Jawa maupun Cina” tidak hanya dibebankan pada senapati, tetapi merupakan tugas semua manusia yang masih peduli akan kemanusiaannya. Adanya hibriditas, identitas mengambang, warga dunia dan istilah muluk lainnya diidealkan tidak hanya cocok untuk budaya, tetapi diharapkan bisa bersenyawa dengan ekonomi dan atau politik lintas etnis Dewi, 2008. 8 Novel Putri Cina pernah dibahas dalam peluncuran dan bedah novel Putri Cina dengan tema “Narasi dan Identitas Putri Cina” di Bandung pada tanggal 11 Desember 2007 yang dimuat dalam majalah BASIS edisi Januari-Februari 2008 oleh Karlina Supelli dan Bambang Sugiharto. Karlina Supelli, dosen STF Driyakara Jakarta membahas novel Putri Cina dengan judul Putri Cina: Tragedi dan Transendensi. Karlina Supelli menyatakan bahwa Putri Cina adalah perjalanan memasuki problematika eksistensi dengan ketidakpastian hakikat diri serta kegamangan identitas hanyalah merupakan bagian. Novel ini Putri Cina adalah penelusuran terhadap situasi manusia sekaligus kondisi eksistensinya dengan pencabangan pokok-pokoknya ke banyak sekali peristiwa, tetapi semuanya mengerucut ke satu hal: kekerasan bukan perkara yang menyergap manusia secara gaib Putri Cina halaman 63. Kekerasan mengakar dalam kondisinya sebagai manusia BASIS, 2008: 36. Putri Cina membawa pesan yang lama sudah ada bersama kita, bahkan sejak mitos kejatuhan Adam.Yang pertama, kondisi asali manusia adalah konflik yang tak berkesudahan.Kedua, kondisi eksternalnya tidak mungkin berubah, kecuali manusia mengenali sosok tersembunyi yang paling mencemaskan, yaitu kerapuhan hatinya.Putri Cina menghasilkan ledakan emosional pembacanya.Kesedihannya terasa senyap. Mungkin karena kita pembaca terbiasa dengan emosi mentah sebagaimana ditampilkan sinetron, debat para politisi, tayangan berita, dan peristiwa sehari-hari di jalan raya. Kita hanya terpicu secara emosional jika pengarang menyuguhkan kepada kita informasi lengkap mengenai tokoh-tokoh utama, baik karakter, tampilan fisik, masa lalu, maupun 9 jatuh bangun emosinya.Putri Cina memaksa kita pembaca mengimajinasikan itu semua melalui dialog-dialog batinnya, dalam penafsirannya atas peristiwa, atau dalam langkah berikut yang ia Putri Cina pilih setiap kali ia selesai mendengarkan dongeng, atau kala dongeng menjelma di dalam dirinya BASIS: 2008: 41. Bambang Sugiharto dalam makalahnya yang berjudul Putri Cina : Semacam Genealogi Kekerasan menyatakan bahwa novel Putri Cina adalah novel yang tidak lazim. Ketidaklaziman disebabkan karena tokoh Putri Cina adalah sosok perempuan anonim, representasi simbolik perempuan Tionghoa umumnya, namun sekaligus juga konkret, sebab ia muncul dalam setiap zaman dalam sosok- sosok perempuan berbeda, yang terpintal dalam aneka peristiwa. Novel ini Putri Cina tak lazim juga karena pada akhirnya agaknya semua tokoh di sana hanyalah konfigurasi konseptual untuk membangun wacana tentang hakikat kekerasan dan mekanisme pengkambinghitaman, sekaligus pula ia novel Putri Cina semacam penulisan ulang sejarah dalam rangka merumuskan kerumitan masalah identitas BASIS, 2008: 43. Novel Putri Cina menggunakan kerangka, bahasa dan gaya bercerita ala dongeng motologis. Maka, apapun bisa menjadi apapun.Alur cerita bisa menjadi surealis, peristiwa-peristiwa yang mungkin nyata sengaja dipandu dengan keyakinan dan metafora yang tak mesti sepenuhnya logis.Kepala bisa tiba-tiba menjadi mawar hitam, wajah bisa dijinjing di tangan, orang terbang ke Cina hanya naik layangan, anjing beribu manusia, dan sebagainya.Alhasil, membaca novel 10 Putri Cina adalah bagaikan membaca tulisan purba babad Jawa.Di dalamnya fakta dan fiksi saling berkelit dan dengan amat bebasnya BASIS, 2008: 45. Yang menonjol dari novel ini adalah upaya pelacakan identitas, yang berakhir pada semacam genealogi kekerasan beserta mekanisme kambing hitamnya.Genealogi kekerasan di sini dalam arti pelacakan akar-akar yang telah membentuk situasi-situasi penuh dilemma dan kekerasan hingga hari ini. Kepentingan reflektif-filosofis ini memang membuat gaya dan kerangka mitologis menjadi siasat yang strategis BASIS, 2008: 45. Novel Putri Cina pernah dianalisis dalam bentuk skripsi oleh Christhoper Woodrich 2011 dengan judul Pengaruh Kerusuhan Mei 1998 dalam Putri Cina. Woordrich 2011: 106 mengatakan bahwa Kerusuhan Mei 1998 telah sangat mempengaruhi pikiran warga Cina di Indonesia. Perkosaan, pembunuhan, dan penjarahan massal itu telah meninggalkan bekas di hati mereka yang tidak mudah hilang. Penulisan Putri Cina bukanlah sekadar penulisan novel, tetapi pengabadian suatu pengalaman dalam bentuk tulisan. Hal-hal yang terjadi di dalam novel mempunyai maksud untuk mencatat pengalaman dan keterjadian untuk masa depan, supaya orang dapat memahami apa yang dialami. Meskipun ditulis secara alegoris, kenyataan sangat menonjol. Putri Cina mengemukakan kenyataan pahit yang harus dipahami. Novel ini juga menyampaikan suatu pesan,bahwa perlu ada kebhinekatunggalikaan supaya negeri ini Indonesia. Berdasarkan berbagai analisis di atas, terlihat bahwa novel Putri Cina bukanlah sebuah karya satra biasa. Novel ini sengaja ditulis oleh Sindhunata untuk menggambarkan bagaimana sejarah kelam yang dialami oleh kaum 11 Tionghoa sejak zaman dahulu. Penguasa pada zaman dulu menggunakan kaum Tionghoa sebagai pihak yang dikorbankan untuk melanggengkan kekuasaan yang telah dimiliki oleh pihak penguasa. Putri Cina merupakan gabungan antara tragedi dengan peristiwa sejarah Jawa. Hal inilah yang menarik penulis untuk mengangkat novel Putri Cina dengan dominasi dan hegemoni kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa.

1.6 Landasan Teori