Hegemoni Budaya Kerajaan Demak

67 Kaum Tinghoa yang gila dagang memungkinkan mereka untuk memonopoli kehidupan ekonomi. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut ini: “Begitu pecah pertikaian, orang Cina menjadi salah karena gila dagang, sehingga tak memberi kesempatan pada oran g lain untuk juga berdagang” Sindhunata, 2007: 80. Kaum Tionghoa yang telah memonopoli kehidupan ekonomi kerajaan Demak menjadikan kaum Tionghoa leluasa memegang kendali atas keadaan perekonomian di kerajaan Demak khususnya dalam lingkungan masyarakatnya. Ini mendeskripsikan jika Kaum Tionghoa didskripsikan sebagai bangsa yang kaya secara materil. Akan tetapi, Kaum Tionghoa tidak memiliki hak monopoli yang melawati batas teritorial ekonomi kerajaan Demak. Hal ini berdampak kepada hak politik Kaum Tionghoa yang tidak dapat menjaga kekayaan materilnya karena dominasi hak ekonomi yang dikuasai oleh kerajaan Demak bangsa jawa.

3.1.2.4 Hegemoni Budaya Kerajaan Demak

Kekuasaan yang dimiliki oleh keraajaan Demak juga telah mampu mengatur aspek kehidupan dan adat-istiadat kaum Tionghoa. Kerajaan Demak melarang penyelenggaraan kegiatan budaya leluhur kaum Tionghoa. Kejadian tersebut tampak dalam kutipan berikut ini: “Tak ada lagi barongsai, samsi, liong atau leang-leong, serta wayang potehi yang dulu pernah menghibur banyak orang, dan bahkan disukai juga oleh orang-orang pribumi. Orang-orang Cina juga tidak mudah menjalankan ibadat mereka di kelenteng-kelenteng. Bahkan mereka tidak diperbolehkan merayakan tahun baru Cina. Orang Cina yang nekat terpaksa merayakan tahun barunya dengan sembunyi- sembunyi”Sindhunata 2007:110. 68 Dari kutipan di atas, terlihat bahwa kaum Tionghoa dilarang untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan budaya mereka sendiri. Kerajaan Demak dengan segala otoritasnya tidak memperbolehkan kaum Tionghoa untuk tetap melestarikan budaya leluhur mereka sendiri. Kaum Tionghoa dengan segala keterbatasannya berusaha untuk tetap hidup rukun berdampingan dengan kaum Jawa sebagai golongan minoritas di tanah Jawa. Akan tetapi, kaum Jawalah kerajaan Demak yang tidak mau bertoleransi kepada mereka. Kerajaan Demak berusaha untuk merepresi kaum Tionghoa. Kehausan kerajaan Demak atas kekuasaan telah mengakibatkan kaum Tionghoa sebagai pihak yang dipersalahkan. Sikap represif kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa juga disesalkan oleh Putri Cina. Putri Cina sebagai ibu dari Raden Patah merasa sedih dengan apa yang dilakukan oleh Raden Patah terhadap Kaum Tionghoa leluhurnya sendiri. Hal tersebut digambarkan dalam kutipan berikut ini: “Sungguh sedihlah hati Putri Cina memikirkan itu semua. Ia merasa ikut bersalah, karena dialah ibunda Raden Patah. Hidup manusia memang harus berubah. Karena itu sejarah juga senantiasa berubah, seperti yang sekarang dibuat Raden Patah. Tapi mestikah ini semua membuat adat-istiadat menghormati orang tua yang diwarisinya dari Cina juga ikut patah? Akankah perbuatan yang salah ini kelak membuat hidupnya sendiri terkena musibah? Mana lagi inti dan pokok hidup yang bisa membuatnya bahagia, jika hormat pada orangtua sudah bubrah?” Sindhunata, 2007:37. Berdasarkan kutipan di atas, sikap dan perbuatan Raden Patah terhadap kaum Tionghoa disayangkan oleh Putri Cina. Raden Patah sudah tidak mempedulikan lagi adat-istiadat Cina untuk menghormati orang tua. Putri Cina khawatir bila nanti apa 69 yang telah dilakukan oleh Raden Patah menjadi efek yang tidak baik bagi kehidupan kaum Tionghoa di tanah Jawa. Kutipan di atas dapat dianggap sebagai dominasi budaya Jawa dalam hal ini budaya Islam dalam diri Raden Patah, seorang Tionghoa yang lebih memilih melanggar budaya Tionghoa, yaitu penghormatan kepada orangtua. Kaum tionghoa menjadi terasing di dalam kehidupan masyarakat Demak. Mereka kaum Tionghoa harus tunduk kepada pihak kerajaan Demak yang mengubah tatanan kehidupan sosial. Salah satu dari perubahan tatanan sosial tersebut adalah penggantian nama kaum Tionghoa menjadi nama pribumi seperti dalam kutipan berikut ini: “Memang sejak Prabu Amurco Sabdo menggulingkan penguasa sebelumnya seperti Ajisaka menggulingkan Dewata Cengkar, orang-orang Cina dilarang menjalankan kebudayaannya. Nama merekapun harus diganti dengan nama pribumi asli. Dihapuslah nama-nama Cina di Tanah Jawa ini. Padahal tidakkah nama itu adalah warisan yang mereka terima turun-temurun ? Dan dalam nama itu mereka menyimpan siapa diri mereka sesungguhnya ? Apa artinya mereka kaya, jika mereka tiada lagi bernama ? ” Sindhunta, 2007:110. Berdasarkan kutipan di atas, kaum Tionghoa dilarang untuk menggunakan nama asli mereka dan menggantinya dengan nama pribumi. Hal ini berakibat pada hilangnya identitas budaya asli kaum Tionghoa. Penyeragaman nama kaum Tionghoa mengakibatkan kaum pribumi sama dengan kaum Tionghoa sehingga mereka kaum Tionghoa tidak mempunyai identitas budaya asli Budaya Tionghoa. 70 Ada tiga tingkatan hegemoni yang dikemukakan Gramsci, yaitu hegemoni total integral, hegemoni yang merosot decandent, dan hegemoni yang minimum. Hegemoni integral ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati totalitas. Masyarakat menunjukkan tingkat kesatuan moral dan intelektual yang kokoh.Ini tampak dalam hubungan organis antara pemerintah dan yang diperintah. Hegemoni total integral Gramsci dalam kaitannya dengan analisis dominasi dan hegemoni kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa dalam novel Putri Cina karya Sindhunata tampak ketika kerajaan Demak telah berhasil menguasai kerajaan Majapahit sepenuhnya. Demak yang telah menjadi penguasa tunggal tanah Jawa menggantikan Majapahit di bawah pimpinan Prabu Brawijaya V. Seluruh rakyat baik yang belatar belakang agama Islam maupun tidak termasuk kaum Tionghoa tunduk kepada kerajaan Demak di bawah pimpinan Raden Patah. Kepatuhan itu ditunjukkan dengan tidak adanya perlawanan oleh kaum Tionghoa terhadap segala pelarangan aktivitas sosial budaya kaum Tionghoa. Kaum Tionghoa dilarang untuk melakukan untuk melakukan kegiatan-kegiatan adat-istiadat mereka seperti pertunjukkan barongsai, liong juga samsi. Kaum tionghoa menjadi terasing di dalam kehidupan masyarakat Demak. Mereka kaum Tionghoa harus tunduk kepada pihak kerajaan Demak yang mengubah tatanan kehidupan sosial. Salah satu dari perubahan tatanan sosial tersebut adalah penggantian nama kaum Tionghoa menjadi nama pribumi seperti dalam kutipan berikut ini: “Memang sejak Prabu Amurco Sabdo menggulingkan penguasa sebelumnya seperti Ajisaka menggulingkan Dewata Cengkar, orang-orang Cina dilarang menjalankan kebudayaannya. Nama merekapun harus diganti dengan nama 71 pribumi asli. Dihapuslah nama-nama Cina di Tanah Jawa ini. Padahal tidakkah nama itu adalah warisan yang mereka terima turun-temurun ? Dan dalam nama itu mereka menyimpan siapa diri mereka sesungguhnya ? Apa ar tinya mereka kaya, jika mereka tiada lagi bernama ?” Sindhunta, 2007:110. Berdasarkan kutipan di atas, kaum Tionghoa dilarang untuk menggunakan nama asli mereka dan menggantinya dengan nama pribumi. Hal ini berakibat pada hilangnya identitas budaya asli kaum Tionghoa. Penyeragaman nama kaum Tionghoa mengakibatkan kaum pribumi sama dengan kaum Tionghoa sehingga mereka kaum Tionghoa tidak mempunyai identitas budaya asli Budaya Tionghoa. Hegemoni yang merosot decandent adalah suatu keadaan ketika sistem yang ada telah memenuhi kebutuhan atau sasarannya Suatu kelompok massa tidak selaras dengan pemikiran yang dominan dari subjek hegemoni. Hegemoni merosot kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa ditunjukkan oleh rasa tidak nyaman yang dirasakan oleh kaum Tionghoa atas kebijakan yang telah dibuat oleh Raden Patah. Kaum Tionghoa sudah tidak merasakan kehidupan yang aman dan tentram lagi setelah Majapahit jatuh ke tangan Demak di bawah kepemimpinan Raden Patah. Kaum Tionghoa dengan segala keterbatasannya berusaha untuk tetap hidup rukun berdampingan dengan kaum Jawa sebagai golongan minoritas di tanah Jawa. Akan tetapi, kaum Jawalah kerajaan Demak yang tidak mau bertoleransi kepada mereka. Kerajaan Demak berusaha untuk merepresi kaum Tionghoa. Kehausan 72 kerajaan Demak atas kekuasaan telah mengakibatkan kaum Tionghoa sebagai pihak yang dipersalahkan. Sikap represif kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa juga disesalkan oleh Putri Cina. Putri Cina sebagai ibu dari Raden Patah merasa sedih dengan apa yang dilakukan oleh Raden Patah terhadap Kaum Tionghoa leluhurnya sendiri. Hal tersebut digambarkan dalam kutipan berikut ini: “Sungguh sedihlah hati Putri Cina memikirkan itu semua. Ia merasa ikut bersalah, karena dialah ibunda Raden Patah. Hidup manusia memang harus berubah. Karena itu sejarah juga senantiasa berubah, seperti yang sekarang dibuat Raden Patah. Tapi mestikah ini semua membuat adat-istiadat menghormati orang tua yang diwarisinya dari Cina juga ikut patah? Akankah perbuatan yang salah ini kelak membuat hidupnya sendiri terkena musibah? Mana lagi inti dan pokok hidup yang bisa membuatnya bahagia, jika hormat pada orangtua sudah bubrah?” Sindhunata, 2007:37. Berdasarkan kutipan di atas, sikap dan perbuatan Raden Patah terhadap kaum Tionghoa disayangkan oleh Putri Cina. Raden Patah sudah tidak mempedulikan lagi adat-istiadat Cina untuk menghormati orang tua. Putr Hegemoni minimum adalah kesatuan ideologis antara elit ekonomis, politis, dan intelektual yang berlangsung bersamaan dengan keengganan terhadap setiap campur tangan massa dalam hidup bernegara. Dalam kaitannya dengan analisis novel Putri Cina hegemoni minimum ditunjukkan oleh kediktatoran Raden Patah yang dirasakan sudah tidak lagi memandang kaun Tionghoa sebagai bagian dari rakyat kerajaan Demak. 73 Kaum Tionghoa merasa terasing dan hanya dijadikan kambing hitam atas kekacauan yang terjadi menjelang runtuhnya kerajaan Demak. Kekacauan yang timbul akibat ketamakan Raden Patah mengakibatkan terjadinya chaos di kerajaan Demak.

3.3 Rangkuman