Hegemoni Agama Kerajaan Demak

53 kaum Tionghoa tergambar dalam pembentukan kaum Tionghoa sebagai kaum yang eksklusif yang pada ujungnya akan menjadikan kaum Tionghoa sebagai pihak yang dibenci oleh masyarakat pribumi melalui motif ekonomi. Hegemoni budaya kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa tergambar pada pelarangan kerajaan Demak terhadap kegiatan budaya leluhur kaum Tionghoa. Hegemoni-hegemoni tersebut di atas akan diuraikan lebih lanjut dalam sub-sub bab di bawah ini.

3.1.2.1 Hegemoni Agama Kerajaan Demak

Hegemoni agama berfungsi untuk menciptakan common sense terhadap suatu golongan tertentu. Common sense meliputi sistem-sistem kepercayaan meneyeluruh, tahayul, dan opini-opini Faruk 2005: 70-71. Menurut Girard 2006:211 agama berfungsi untuk menundukkan kekerasan, dan menjaga supaya kekerasan itu tidak liar. Akan tetapi agama dijadikan kedok permainan kekuasaan politik oleh Kaum Jawa untuk membuat suatu tatanan kehidupan baru di Majapahit. Tatanan yang tentunya sesuai dengan apa yang menjadi kehendak pihak penguasa. Agama telah menjadi alat bagi kaum Jawa untuk melanggengkan kekuasaan suatu rezim. Demak merupakan kerajaaan Islam pertama di Pulau Jawa. Kerajaan Demak lahir karena Raden Patah yang pada saat itu sedang dalam perjalanan ke Pulau Jawa bersama dengan adik tirinya yaitu Raden Kusen untuk menghadap Prabu Brawijaya V sebagai kewajibannya atas telah diberikannya kekuasaan di Palembang. Di dalam 54 perjalanan mereka menuju Majapahit, mereka bertemu dengan seseorang tokoh agama Islam yang kemudian dikenal dengan Sunan Ampel Bong Swi Hoo di daerah Ngampeldenta. Di sana mereka berdua memeluk agama baru yaitu agama Islam seperti yang digambarkan dalam kutipan berikut ini : Kapal singgah di Sura Pringga. Raden Patah dan Raden Kusen turun, terus berjalan ke Ngampeldenta. Di sana mereka memeluk agama baru, dan berguru kepada Sunan Ngampeldenta Sindhunata, 2007: 28. Dalam kutipan di atas, terlihat jika Raden Patah dan Raden Kusen telah memeluk agama baru yaitu Islam dari sebelumnya memeluk agama Hindu. Perubahan agama yang dianut oleh keduanya membuat perubahan paradigma mind set keduanya berubah mengenai kepercayaan. Di bawah bimbingan dan arahan dari Sunan Ampel mereka berdua kemudian mempunyai pandangan berbeda mengenai Kerajaan Majapahit yang bernafaskan dengan nuansa Agama Hindhu. Agama Hindhu yang kental dengan kegiatan ritus pemujaan dewa dan hal-hal yang mistis tentu sangat bertolak belakang dengan Agama Islam. Di Ngampeldenta mereka berdua mendapat doktrin baru yaitu agama Islam. Seiring pendalaman agama baru selama di Ngampeldenta, Raden Kusen kemudian berpikir bahwa dia bersama Raden Patah harus kembali menghadap Prabu Brawijaya V sebagai raja Majapahit. Raden Kusen merasa bahwa ia harus segera menghadap Prabu Brawijaya di Majapahit sebagai bukti dharma bakti diri seorang hamba kepada rajanya. Dia takut bahwa raja Brawijaya akan marah apabila mereka tidak kembali menghadap dirinya lagi. 55 Lain halnya dengan Raden Kusen, Raden Patah tetap ingin berada di sana untuk lebih memperdalam agama Islam dan meninggalkan agama Hindhu sepenuhnya. Menurut Mulyana 2008:50 Sunan Ngampel memberi nasihat kepada Raden Patah untuk menetap di Bintara alias Gelagah wangi. Nasihat itu diindahkan oleh Raden Patah. Raden Patah lebih memilih tetap tinggal di Ngampeldenta untuk mendalami agama Islam yang telah diajarkan oleh Sunan Ampel seperti yang dideskripsikan dalam kutipan berikut : Setelah beberapa lama, Raden Kusen mengingatkan, mereka masih harus pergi ke Majapahit. Raden Patah menolak. Ia tak mau lagi ke sana, karena tak ingin mengabdi kepada raja yang lain agamanya dari dia Sindhunata, 2007: 28. Berdasarkan kutipan di atas, Raden Patah telah berubah dan berhasil didoktrin penuh oleh Sunan Ampel. Raden Patah menganggap semua agama di luar agama Islam adalah „kafir‟. Oleh karena itu, dia memilih untuk tetap tinggal di Ngampeldenta guna „memerangi‟ orang „kafir‟ di Majapahit yang tidak lain adalah ayah kandungnya sendiri yaitu raja Brawijaya kelak. Untuk memuluskan langkahnya mengkudeta Prabu Brawijaya, ia berusaha untuk mengumpulkan massa melalui diri Sunan Ampel yang saat itu dikenal sebagai ulama Islam yang disegani di Demak. Selain mengumpulkan massa dari pengikut Sunan Ampel, Raden Patah juga memiliki cara untuk merebut hati dari Sunan Ampel. Dia berusaha untuk menjadi bagian dari keluarga guru agamanya tersebut. Berkat pendekatan yang intens, akhirnya Raden Patah berhasil meluluhkan hati dari salah seorang cucu Sunan 56 Ngampel. Di Ngampeldenta Raden Patah menikah dengan cucu Sunan Ampel, yaitu Nyai Ageng Mendaka. Hal ini dijelaskan dalam kutipan berikut ini : Sementara itu, Raden Patah tetap mendalami ilmunya di Ngampeldenta Sunan Ngampeldenta kemudian mengambilnya menjadi menantu. Ia mengawinkan Raden Patah dengan cucunya, Nyai Ageng Mendaka, anak Nyai Ageng Manyura, putri sulungnya Sindhunata, 2007: 28. Setelah menikah, Raden Patah sebagai murid dari Sunan Ampel menjadi lebih terlegitimasi dan lebih aktif dalam penyebaran agama Islam. Ia telah mendapat pengakuan dari Sunan Ampel sendiri. Oleh sebab itu, Sunan Ampel menilai Raden Patah layak untuk menyebarkan agama Islam ke seluruh Pulau Jawa. Untuk mengumpulkan pengikut di Ngampeldenta, Sunan Ampel membangun sebuah tempat padepokan. Padepokan itu terletak di daerah Bintara yang kelak akan menjadi cikal bakal kerajaan Demak Bintara. Demak Bintara lahir setelah Raden Patah mendapat petunjuk dari Sunan Ngampel seperti dituliskan dalam kutipan berikut ini: Raden Patah berjalan sesuai dengan pesan gurunya. Di sebuah hutan, ia mencium bau yang amat harum. Bau yang berasal dari gelagah. Inilah tempat yang yang dicarinya. Maka di sinilah ia mendirikan padepokannya. Dan dinamainya tempat itu Bintara Sindhunata, 2007: 28. Di bawah pimpinan Raden Patah Bintara menjadi jaya dan terkenal sampai ke seluruh pulau Jawa. Kabar kemasyuran Bintara itu pun sampai juga di telinga Prabu Brawijaya. Prabu Brawijaya mengetahui bahwa Demak Bintara dipimpin oleh anaknya sendiri. Maka dia mengutus Raden Kusen yang saat itu telah menjabat sebagai seorang adipati di Terung untuk mengajak Raden Patah menghadap kepadanya. Raden Kusen pun bergegas menemui kakaknya tersebut di Bintara. 57 Setibanya di Bintara Raden Kusen membujuk Raden Patah untuk menghadap Prabu Brawijaya di Majapahit. Akhirnya setelah bujukan Raden Kusen berhasil, mereka berdua lalu pergi ke Majapahit. Setibanya di Majapahit Raden Patah disambut dengan baik oleh Prabu Brawijaya. Prabu Brawijaya bangga atas apa yang ditunjukkan oleh Raden Patah, anaknya sendiri. Tak henti-hentinya pujian dilontarkan oleh Prabu Brawijaya terhadap Raden Patah. Akhirnya, kerajaan Demak pun diakui kekuasaan oleh Prabu Brawijaya setelah anaknya sendiri menghadap kepada dirinya Prabu Brawijaya. Hal tersebut terdeskripsikan dalam kutipan berikut ini : Betapa girang hati Prabu Brawijaya, setelah ia melihat Raden Patah berada di hadapannya. “Nyata bagus bocah iki, teka memper lawan panjenenganingsun Sungguh tampan anak ini, persis mirip dengan diri saya”, kata sang raja bangga. Maka Prabu Brawijaya memaklumkan, Raden Patah adalah anaknya. Diakuinyalah kekuasaannya di Bintara. Malahan ia memujikan, kelak Bintara akan besar dan menjadi negara bernama Demak. Dengan tulus ikhlas ia diahadiahi pasukan berjumlah satu laksa Sindhunata, 2007: 29. Setelah menghadap dan mendapat pujian dari Prabu Brawijaya, Raden Patah kembali ke Bintara. Dia tidak mabuk pujian dan tetap setia dengan komitmennya untuk “mengislamkan” Majapahit. Dia malah menjadi semakin mantab dengan niatnya tersebut. Kemudian dia menghadap Sunan Ngampel untuk mengutarakan keinginannya itu. Sunan berusaha untuk menenangkan hati Raden Patah supaya ia tidak terburu-buru mewujudkan niatnya tersebut. Sunan Ampel memberikan nasihat bahwa apabila Raden Patah ingin mewujudkan impiannya tersebut, berarti ia juga harus “mengislamkan” ayahnya juga yaitu Prabu Brawijaya. Beliau mengingatkan Raden Patah supaya ia berpikir ulang 58 dengan niatnya tersebut. Ia mengingatkan bahwa Prabu Brawijaya telah sangat baik kepada dirinya dengan memberikan pengakuan terhadap berdirinya kerajaan yang dipimpin oleh Raden Patah di Ngampeldenta. Salah satu nasehat Sunan Ampel dijabarkan dalam kutipan berikut ini: Sampai sekarang aku tak halangi untuk menyebarkan agama baru di Tanah Jawa. Jika ayahmu belum ngrasuk agama kita, itu hanya karena Allah Pangeran belum memperkenankannya. Janganlah kamu nggege mangsa, tunggu sampai waktunya tiba, semuanya akan terlaksana dengan sendirinya Sindhunata, 2007:30. Dari kutipan di atas terlihat bahwa sebetulnya Sunan Ampel sudah merasa yakin bahwa Raden Patah akan berusaha untuk “mengislamkan” Majapahit. Sunan Ampel memilih untuk bersikap pragmatis dengan tidak menyetujui terlebih dahulu keinginan Raden Patah tersebut. Ia mencoba untuk melihat situasi dan memanfaatkan kondisi harmonis yang terjadi diantara Demak dan Majapahit. Hubungan yang harmonis tersebut merupakan jalan yang aman tanpa harus mengad akan “perang” dengan agama Hindu. Kemasyuran Raden Patah dan kerajaan Demak dinilai Sunan Ampel sebagai credit point nilai tambah yang sangat berguna bagi proses penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Demak yang sudah mendapat pengakuan secara resmi dari Majapahit seakan mendapat angin segar merasa kian bebas untuk menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Karena perkembangan kerajaan Demak yang tumbuh menjadi sebuah kerajaan pusat penyebaran agama Islam, Raden Patah pun lupa dengan kewajibannya rutin untuk menghadap Prabu Brawijaya. Seiring dengan kemajuan pesat yang dialami oleh 59 keraajaan Demak, Raden Patah menjadi gelap mata dan sudah tidak lagi menganggap Prabu Brawijaya sebagai rajanya lagi. Hegemoni agama itu semakin nampak ketika imam pertama dari masjid Demak adalah Sunan Bonang yang merupakan anak dari Raden Patah Raden Rahmat dari Ngampeldenta hasil pernikahannya dengan cucu Sunan Ampel yaitu Nyai Ageng Mendaka De Graaf- Pigeaud 1974: 53. Akan tetapi untuk mengislamkan Majapahit, Demak tidak bisa berjuang sendiri. Demak membutuhkan dukungan dari berbagai pihak supaya dapat menjadi lebih kuat dalam menghadapi Majapahit, seperti yang digambarkan dalam kutipan berikut ini: Kecuali Adipati Terung, mereka adalah Bupati Madura, Arya Teja dari Tuban, Bupati Sura Pringga, dan penguasa Giri. Mereka membawa semua pasukan mereka dan pergi menyerang Majapahit Sindhunata, 2007: 31. Dari kutipan di atas terlihat bahwa Demak telah berhasil mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Adipati Terung yang semula setia kepada raja Brawijaya pun membelot kepada Demak. Demak yang menjelma menjadi kerajaan Islam yang besar mulai menunjukkan kekuasannya di tanah Jawa. Raden Patah mulai mantap untuk menyebarkan agama Islam sebagai agama baru di tanah Jawa. Kemantapan Raden Patah ini sejalan dengan jangka ramalan yang telah ada sebelumnya seperti kutipan di bawah ini: Raden Patah tetap menolak untuk datang menghadap sang raja. Katanya Raden Patah sudah menjadi jangka ramalan yang pasti terjadi, Demak akan menjadi kerajaan baru, yang menjadi pusat tanah Jawa, dengan agama yang baru pula Sindhunata, 2007: 30. 60 Berdasarkan kutipan di atas Raden Patah menjadi semakin mantab untuk menyebarkan agama Islam sebagai agama baru di tanah Jawa. Raden Patah bahkan sudah tidak takut kepada Prabu Brawijaya yang merupakan raja Majapahit, kerajaan yang menguasai tanah Jawa. Sesuai kutipan di atas, Raden Patah beranggapan bahwa menyebarkan agama Islam sebagai agama baru di Jawa merupakan suatu kewajiban dan untuk menggenapi jangka ramalan yang telah ada. Bahkan, Raden Patah berani menganggap agama selain agama Islam adalah agama yang „kafir‟ halaman 44. Kemunculan agama baru Islam ini telah mendeskripsikan hegemoni Islam terhadap Hindu, bahkan hal ini dipertegas oleh serangan Raden Patah terhadap kekuasaan sang Ayah Majapahit. Imbas lain dalam pergeseran corak kekuasaan ini adalah berubahnya sistem sosial di Jawa, termasuk kaum Tionghoa. Hal ini berakibat kepada kaum Tionghoa yang menjadi hidup dalam ketidaknyamanan. Kaum Tionghoa merasa menjadi tidak sebebas dulu lagi untuk berinteraksi dengan masyarakat pribumi seperti pada masa Prabu Brawijaya.

3.1.2.2 Hegemoni Politik Kerajaan Demak