Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik

156 penyiaran, peraturan teknis tersebut, secara substantive dibuat dengan mengacu berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2002.

c. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik

Akhirnya pada tanggal 25 Maret 2008 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disahkan oleh DPR-RI yang kemudian diundangkan secara resmi oleh Presiden RI pada tanggal 21 April 2008. Undang-undang ini lahir dari proses dirancangnya dua Naskah Akademik dan dua Rancangan Undang-Undang RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi dan RUU Transaksi Elektronik. 121 Bahwa kedua rancangan undang- undang tersebut merupakan respon dari perkembangan dunia teknologi, khususnya yang berkaitan dengan perkembangan teknologi jaringannetworking melalui internet. Dipahami juga bahwa perkembangan ini harus mendapatkan tempat untuk diperhatikan oleh negara, oleh karena implikasi teknologi ini dapat mempengaruhi dimensi-dimensi perekonomian, 121 RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi disusun dan dibahas oleh Fakultas Hukum Universitas Padjajaran dan Tim Asistensi Institut Teknologi Bandung. Sedangkan RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik disusun oleh Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi Universitas Indonesia yang dilakukan melalui jalur Departemen Perindustrian dan Perdagangan. 157 perdagangan, bahkan juga sampai pada kehidupan ekonomi dan sosial. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 adalah merupakan undang-undang yang pertama di Indonesia yang secara khusus mengatur mengenai kegiatan yang menggunakan sarana internet. Dua muatan besar yang diatur di dalam undang-undang ini sebenarnya hanya mengenai pengaturan transaksi elektronik dan tentang tindak pidana cyber. Materi muatan itu merupakan implementasi dari perkembangan global tentang penggunaan media internet sebagai sarana teknologi yang memungkinkan penyebaran informasi dan kegiatan lainnya yang dapat dilakukan. Prinsip-prinsip di dalam instrumen hukum internasional yang menjadi referensi adalah UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce, UNCITRAL Model Law on Electronic Signature, Convention on Cybercrime, EU Directives on Electronic Commerce, dan EU Directives on Electronic Signature. Di dunia cyber, diberlakukanlah asas ekstrateritorial karena jangkauan cyber merupak dunia virtual yang bersifat lintas negara, sehingga perlu dipertimbangkan bagaimana yurisdiksi yang berlaku atas perbuatan atau tindakan yang menggunakan 158 cyber sebagai domainnya. 122 Undang-undang ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur di dalam undang-undang tersebut, baik yang berada di luar Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah Indonesia danatau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan bersama. 123 Adapun yang dimaksud dengan merugikan kepentingan Indonesia adalah meliputi, tetapi tidak terbatas pada, kerugian yang ditimbulkan terhadap kepentingan ekonomi nasional, perlindungan data strategis, harkat dan martabat bangsa, pertahanan dan keamanan negara, kedaulatan negara, warga negara serta badan hukum negara. Secara yurisdiksi, undang-undang ini juga menjangkau setiap perbuatan hukum tidak hanya dilakukan di Indonesia, namun di luar wilayah Indonesia, dilakukan oleh warga negara Indonesia, maupun warga negara asing, badan 122 Asas ekstrateritorial yang terdapat di UU ITE dikembangkan dari pemberlakuan asas teritorialitas, asas nasionalitas aktif, dan asas nasionalitas pasif yang terdapat dalam KUHP. Bahwa asas tersebut merupakan prinsip-prinsip yang berlaku di undang-undang pidana suatu negara berlaku bagi setiap orang-pribadi kodrati, baik warga negara itu maupun warga negara asing yang berada di dalam wilayah negara itu-baik yang melakukan perbuatan pidana di dalam wilayah negara tersebut, baik wilayah darat maupun laut. Di dalam KUHP, asas territorial terdapat pada Pasal 2 yang menyatakan bahwa aturan pidana dalam perundang- undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam Indonesia. Sedang perluasan dari asas ini sebagaimana terdapat pada Pasal 3 KUHP yang menyatakan ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara. 123 Lihat Pasal 2 UU No. 11 Tahun 2008. 159 hukum Indonesia maupun badan hukum asing, dimana perbuatan hukum tersebut memiliki akibat hukum di Indonesia, oleh karena pemanfaatan informasi teknologi intik informasi elektronik dan transaksi elektronik dapat bersifat lintas territorial atau universal. 124 keberlakuan undang-undang ini yang menjangkau semua orang yang melakukan perbuatan hukum khususnya tindak pidana baik di dalam dan di wilayah negara Indonesia, memberikan ruang yang lebih luas bagi negara sendiri untuk memastikan bahwa ada perlindungan bagi perkembangan teknologi informasi yang bertanggung jawab. Dalam konsep ini diperluaslah makna prinsip universality: universal interest jurisdiction, dari dimana setiap orang berhak menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan, menjadi kejahatan kemanusiaan crime against humanity, genocide, pembajakan pesawat, dapat diperluas: internet privacy, hacking, cracking, viruses sepanjang termasuk very serious crime 124 Lihat Pasal 4 KUHP yang memuat asas nasionalitas pasif. Bahwa undang- undang pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia sepanjang perbuatan itu melanggar kepentingan Indonesia. Dan Pasal 5 KUHP dinyatakan bahwa perundang-undangan Indonesia berlaku terhadap warga negara Indonesia dimanapun ia berada. Pasal ini mengandung dan memuat asas nasional aktif. 160 dikembangkan menjadi extra territorial jurisdiction. 125 Pengembangan asas territorial menjadi asas ekstrateritorial dikarenakan bahwa asas territorial dirasa belumlah cukup untuk menjerat seseorang yang melakukan perbuatan hukum di luar wilayah suatu negara. Dengan perkembangan teknologi informasi yang berbasiskan dunia cyber mendorong banyak negara untuk menambahkan keberlakukan prinsip-prinsip atau asas-asas lain agar peraturan perundang-undangan tetap berlaku dalam kondisi-kondisi yang tidak dapat dijangkau dengan asas teritorialitas. Dunia cyber memerlukan asas ekstrateritorialitas karena pelaku perbuatan hukum belum tentu hadir dalam wilayah negara yang bersangkutan. Pasal 1 angka 1 UU ITE menyatakan bahwa Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange EDI, surat elektronik electronic mail, telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah 125 Sigid Suseno dalam Soemarno Partodihardjo, Tanya Jawab Sekitar Undang- Undang No, 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. PT. Gramedia Pustaka Utama; Jakarta, 2008. Hal. 9. 161 diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Di UU ITE diberikan pengertian mengenai Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, danatau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Secara khusus, dapat dilihat bagaimana UU ITE mengatur tentang konten media, namun karakternya lebih kepada substansi media yang dilarang. Konten 126 pada dasarnya merupakan informasi yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang. 127 Oleh karena itu, konten perlu 126 Istilah “konten” merupakan terjemahan dari bahasa Inggris: content yang diartikan sebagai adalah informasi yang tersedia melalui media atau produk elektronik. Konten ini dapat disampaikan melalui berbagai medium seperti internet, televisi, CD audio, bahkan acara langsung seperti konferensi dan pertunjukan panggung. Istilah ini digunakan untuk mengidentifikasi dan menguantifikasi beragam format dan genre informasi sebagai komponen nilai tambah media. Lihat: Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2008. 127 Josua Sitompul. Cyberspaces, Cybercrimes, Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum Pidana. Cet. Pertama. PT. Tatanusa; Ciputat, 2012. Hal.149. 162 diatur karena alasan penting, yakni pertama, perlunya perlindungan hukum seperti perlindungan seperti perlindungan yang diberikan dalam dunia nyata atau fisik realspace. Meskipun di dunia virtual, faktanya adalah kumpulan orang-orang dari dunia fisik dan ada dampak dari semua jenis transaksi elektronik via dunia virtual cyber tersebut yang dirasakan secara nyata. Sedangkan alasan yang kedua adalah bahwa dengan adanya internet, informasi dapat disebar dan diteruskan ke berbagai penjuru dunia dengan seketika serta dapat diakses dari berbagai negara. Misalnya saja pengguna internet seringkali menggunakan nama alias atau anonym. Konten yang disebarkan apapun akibatnya, dapat berasal dari subyek-subyek yang belum tentu bisa diketahu identitas aslinya. 128 Di dalam UU ITE ada perbuatan-perbuatan yang dilakukan subyek pengguna media teknologi informasi, yang dapat dikategorikan sebagai tindakan pidana. Perbuatan-perbuatan tersebut berkaitan erat dengan substansi atau isi media, yakni yang disebut sebagai konten- konten yang dilarang, diantaranya dalam beberapa pasal berikut: 128 Josua Sitompul, ibid. Hal. 148-149. 163 Tabel 3.2. Ketentuan tentang Isi dalam UU ITE Pasal 27 ayat 1 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Pasal 27 ayat 2 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian. Pasal 27 ayat 3 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan danatau pencemaran nama baik. Pasal 27 ayat 4 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan danatau pengancaman. Pasal 28 ayat 1 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. Pasal 28 ayat 2 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu danatau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan SARA. 164 Pasal 29 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Pasal-pasal dalam UU ITE tersebut pada dasarnya memuat konteks larangan terhadap perbuatan-perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai ancaman terhadap kebebasan berekspresi. Artinya bahwa implementasi atas kebebasan berekspresi pada UU ITE mengarah pada bentuk-bentuk larangan terhadap perbuatan yang dianggap menciderai kebebasan berekspresi pada beberapa hal yang terkait, yakni: a kesusilaan, b perjudian, c penghinaan danatau pencemaran nama baik, d pemerasan danatau pengancaman, e kerugian konsumen, f rasa kebencian atau permusuhan individu danatau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan SARA, dan g ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.

d. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman