Pembatasan oleh karena Eksistensi Hak Lain

219 b. melakukan perbuatan-perbuatan tercela dan hal-hal yang bersifat amoral; c. melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban umum dan perbuatan-perbuatan melawan hukum lainnya; atau d. bersimpati terhadap sikap-sikap anti Tuhan dan anti agama, serta melakukan penghinaan terhadap salah satu agama yang dapat merusak kerukunan hidup antar-umat beragama. Penyensoran dimaksudkan pula sebagai sarana pemelihara tata nilai dan budaya bangsa agar dapat terjaga dan berkembang sesuai dengan kepribadian nasional Indonesia, mengingat melalui film dan reklame film dapat masuk pengaruh- pengaruh budaya dan nilai-nilai negatif. Demikian diatur oleh negara, namun seharusnya tetap menyesuaikan dengan konsepsi tentang three-part test sebagaimana ditetapkan dalam Article 19 Section 3 ICCPR yang menjadi acuan dalam memberikan batasan.

b. Pembatasan oleh karena Eksistensi Hak Lain

Pembatasan demi tujuan untuk melindungi kepentingan umum menjadi landasan bagi pemerintah untuk membatasi praktek-praktek 220 kebebasan berekspresi. Sementara berbagai putusan dan keputusan yang dikeluarkan oleh institusi internasional semacam International Commission of Human Rights ICHR dan European Commission of Human Rights ECHR, memberikan dasar penjelasan bahwa pembatasan harus didasarkan pada dua hal, yakni tuduhan-tuduhan yang konkrit tentang bagaimana pelaksanaan kebebasan berekspresi si tertuduh subyek mengancam kepentingan umum, dan bahwa pembatasan tersebut diperlukan untuk melindungi kepentingan umum. Meskipun hukum kemudian menyatakan bahwa kepentingan umum bisa terganggu, namun hukum diadakan untuk mengantisipasi keadaan- keadaan yang secara efektif dapat mengancam atau menyerang ketertiban umum. Kewajiban untuk tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip equality dan non-diskriminasi harus dilakukan oleh Pemerintah, khususnya dalam upaya melakukan pembatasan yang sesuai dengan ruang lingkup seperti dimengerti bersama dalam hukum internasional. Pembatasan memang layak dilakukan dengan sejumlah prasyarat, yang kemudian secara teknis dirinci dalam sejumlah prinsip hak asasi manusia. Secara normatif kemudian pembatasan harus diatur di dalam peraturan perundang-undangan 221 sebagaimana prinsip yang dianut semenjak diratifikasinya konvensi hak asasi manusia. Pembatasan melalui larangan-larangan tersebut di dalam peraturan perundang-undangan media, menyiratkan kepentingan lain yang harus diperhatikan. Article 19 Section 3 ICCPR menyatakan bahwa: The exercise of the rights provided for in paragraph 2 148 of this article carries with it special duties and responsibilities. It may therefore be subject to certain restrictions, but these shall only be such as are provided by law and are necessary: a For respect of the rights or reputations of others; b For the protection of national security or of public order ordre public, or of public health or morals. Dalam pernyataan tersebut ada situasi dimana kebebasan berekspresi berhadap-hadapan dengan hak lain yang eksis. Bahwa kebebasan berekspresi berhadapan dengan ‘rigths or reputations of others’ dan ‘national security or of public order ordre public, or of public health or morals’. 149 Pembatasan dalam Article 19 Section 3 148 Article 19 Section 2 berbunyi: Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice. 149 Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 menerjemahkan bahwa ‘rigths or reputations of others’ sebagai menghormati hak atau nama baik orang lain; dan ‘protection of national security or of public order ordre public, or of public health or morals’ sebagai melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum. 222 berkaitan erat dengan Article 20 ICCPR, yakni bahwa: 1 Any propaganda for war shall be prohibited by law. 2 Any advocacy of national, racial or religious hatred that constitutes incitement to discrimination, hostility or violence shall be prohibited by law. Pernyataan di dalam Article 19 Section 3 dan Article 20 ICCPR merupakan implementasi Article 19 UDHR 150 , dimana ketentuan tentang batas- batas kebebasan berekspresi menyangkut eksistensi hak lain. Hak lain ini yang pertama adalah penghormatan terhadap nama baik orang lain. Masing-masing undang-undang mengatur perlindungan terhadap nama baik orang lain dengan muatan dalam pasal yang bervariasi. Menarik untuk dilihat bagaimana arah kebebasan berekspresi, khususnya keempat peraturan perundang-undangan mengatur kepentingan- kepentingan dalam Article 19 ICCPR. Prinsip prescribed by lawconformity with the law secara mandiri, pengertiannya dapat diketemukan dalam berbagai panduan yang mengimplementasikan maksud dari Article 19. Menurut Siracusa Principle dan Johannesburg 150 Article 19 UDHR menyatakan: setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas. 223 Principle, tentang hal tersebut dimengerti sebagai berikut 151 : a Pembatasan hanya dapat dilakukan berdasarkan hukum nasional. Namun hukum yang membatasi hak tersebut tidak boleh sewenang-wenang dan tanpa alasan. b Aturan hukum yang membatasi pelaksanaan hak asasi harus menyediakan upaya perlindungan dan pemulihan yang memadai terhadap penetapan ataupun penerapan pembatasan yang bersifat sewenang-wenang terhadap hak-hak tersebut. c Hukum tersebut harus dapat diakses, tidak bersifat ambigu, dan dibuat secara hati-hati dan teliti, yang memungkinkan setiap individu melihat apakah suatu tindakan bertentangan dengan hukum atau tidak. Kebebasan berekspresi di Indonesia dibatasi secara normatif oleh keberadaan hak-hak lain yang dapat terancam. Setiap undang-undang mencantumkan hak-hak yang dapat terancam dengan perwujudan kebebasan berekspresi, diantaranya yang dimuat dalam beberapa muatan otentik berikut. Tabel 3.7. Larangan Muatan Isi Media UU Pers Dalam Pasal 5 dimuat bahwa pers berkewajiban untuk memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Disamping itu, dalam Pasal 13 disinggung pula bahwa iklan dilarang memuat hal-hal yang merendahkan martabat agama danatau kelompok tertentu, 151 Tim ELSAM, Buku Saku Kebebasan Berekspresi di Internet: Seri Internet dan HAM. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ELSAM; Jakarta, 2012. Hal. 47. 224 minuman keras dan narkotika, serta eksistensi rokok. UU Penyiaran Isi siaran termasuk di dalamnya adalah siaran iklan, terutama siaran iklan, dilarang untuk mempromosikan hal-hal yang berhubungan dengan ajaran suatu agama, baik dalam konteks menyinggung atau memaksakan ajaran agama tertentu. Di samping itu, iklan juga dilarang bertentangan dengan kesusilaan, nilai agama, dan bahkan eksploitasi anak di bawah umur. Pasal 46-47. Secara teknis isi siaran juga diatur agar memenuhi standar tertentu yang ditetapkan KPI melalui P3SPS yang menjadi acuan agar isi siaran tidak mengancam keberadaan hak lain. UU ITE Dalam UU ITE secara tegas diberikan larangan terhadap isi atau muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan danatau pencemaran nama baik, dan pemerasan danatau pengancaman Pasal 27. Berkaitan dengan konsumen dalam transaksi elektronik, muatan materi dalam informasi elektronik juga dilarang mengandung berita bohong dan menyesatkan secara sengaja Pasal 28 ayat 1. Dan bahkan dilarang juga secara sengaja ada muatan dalam informasi elektronik yang isinya ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu danatau kelompok masyarakat tertentu, berdasarkan SARA. Ancaman kekerasan terhadap pribadi juga dilarang. UU Perfilman Pasal 6 menyatakan hal-hal yang dilarang untuk ditampilkan dalam isi film, diantaranya kekerasan dan perjudian, narkotika- psikotropika, pornografi, provokasi pada kelompok-kelompok tertentu, memperolok-olok nilai-nilai agama, merendahkan harkat dan martabat manusia. 225 Pada umumnya, pembatasan akan sesuatu tindakan yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan, selalu menggunakan kata “dilarang” sebagai bentuk wujud ketegasan batasan. Akan tetapi, makna lain yang dapat ditemukan adalah bahwa larangan tersebut menjadi pijakan utama bagi pelaku untuk tidak boleh menyinggung eksistensi hak-hak lain yang dimiliki oleh individu maupun anggota masyarakat lainnya. Larangan- larangan tersebut membatasi ruang gerak hak atas kebebasan berekspresi agar tidak merusak keberadaan hak lain yang diatur di dalam undang- undang. Penghargaan terhadap nama baik di dalam UU Pers, tidak diatur dengan lugas. Yang menarik adalah bahwa pemberitaan isi berita bila dinilai telah mencemarkan nama baik seseorang atau sekelompok orang, pers selalu cenderung dibawa ke ranah pengadilan. Umumnya oleh pengadilan, pers dikenai pasal-pasal yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KHUP dikarenakan Undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999 tidak mengatur delik pencemaran nama baik. Undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sendiri mengatur penyelesaian delik pers melalui Hak Jawab. 152 Hal ini berarti bahwa prinsip 152 Pasal 1 Angka 11 UU No. 40 Tahun 1999 menyatakan bahwa Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. 226 ‘respect of the rights or reputation of others’ tidak secara tegas dimuat di dalam ketentuan undang- undang pers. Penghormatan terhadap nama baik orang lain, dapat dimaknai secara meluas. Pemaknaan berbeda adalah dengan adanya persinggungan antara UU Pers dengan UU Penyiaran. Pelaksanaan keduanya yang memberikan perlindungan terhadap nama baik, tidak dicantumkan secara otentik. Kejelasan terhadap perlindungan nama baik menjadi penting oleh karena keberadaannya sebagai lex specialis dalam konteks kebebasan berekspresi. UU Pers dan UU Penyiaran pada kenyataannya selalu bersinggungan, dikarenakan kebebasan berekspresi selalu melibatkan kegiatan jurnalistik dan saluran yang sering digunakan adalah media atau lembaga-lembaga penyiaran. Pasal 18 UU Pers sendiri mengancam siapapun yang menghambat dan menghalangi kemerdekaan pers dengan ancaman hukum pidana penjara maksimal dua tahun dan pidana denda maksimal Rp 500 juta. Akan tetapi, klausul ini menjadi kontradiktif dikarenakan proses hukum terhadap sengketa pemberitaan pers lebih mengacu pada undang- undang lain, khususnya KUHP yang memuat pasal 227 yang dapat menjerat pekerja pers dengan pasal- pasal pidana. 153 Pasal 54 UU Penyiaran menyatakan bahwa Pimpinan badan hukum lembaga penyiaran bertanggungjawab secara umum atas penyelenggaraan penyiaran dan wajib menunjuk penangungjawab atas tiap-tiap program yang disiarkan. Ada persoalan tanggung jawab yang dibebankan kepada pimpinan lembaga penyiaran, terutama bilamana ada isi siaran yang melanggar Pasal 36 UU Penyiaran. 154 Pertanggungjawaban ini pun diarahkan menjadi perbuatan yang merupakan tindak pidana karena pelanggaran Pasal 36 dapat dikenai pidana 5 tahun danatau denda paling banyak satu milyar rupiah untuk penyiaran radio, dan pidana penjara lima tahun danatau denda paling banyak 10 miliar rupiah untuk penyiaran televisi. Jadi, prinsip perlindungan terhadap nama baik dan reputasi orang lain, melalui UU Pers dan UU Penyiaran, diarahkan pada mekanisme ancaman pidana. 153 Di dalam KUHP terdapat beberapa pasal yang berkaitan erat dengan pencemaran nama baik yang selama ini masih digunakan oleh hakim saat memutus perkara pers. Diantaranya Pasal 310 tentang pencemaran, Pasal 311 tentang fitnah, Pasal 315 tentang penghinaan ringan, Pasal 317 tentang pengaduan fitnah, Pasal 318 tentang persangkaan palsu, Pasal 320 tentang pencemaran nama baik orang mati, dan Pasal 321 tentang pencemaran nama baik orang mati dengan tulisan atau gambar. 154 Pasal 36 ayat 5 UU Penyiaran yang mengatur bahwa isi siaran dilarang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan danatau bohong. Juga dilarang menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau mempertentangkan suku, agama, ras dan antar golongan. 228 Sejalan dengan konsep pemikiran yang sama, UU ITE melalui Pasal 27 ayat 3 menyatakan bahwa orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan danatau mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik danatau dokumen elektronik yang muatan penghinaan danatau pencemaran nama baik, merupakan perbuatan yang dilarang. Pasal ini hanya merupakan salah satu pasal diantara pasal lain di dalam UU ITE yang memberikan larangan. Secara tegas, Pasal 27 ayat 3 menekankan pada ‘muatan penghinaan danatau pencemaran nama baik’ yang dapat dituntut secara pidana. Bahwa pasal ini sebenarnya mengacu pada KUHP, khususnya Pasal 311 KUHP yang memberikan dasar pemahaman atau esensi mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik. Esensinya adalah adanya tindakan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan maksud untuk diketahui oleh umum. Informasi elektronik danatau dokumen elektronik yang memuat hal demikian, secara normatif tidak dapat serta merta dikategorikan sebagai perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Alasannya adalah penghinaan atau delik penghinaan harus bersifat subyektif, yakni perbuatan mendistribusikan danatau mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik danatau 229 dokumen elektronik dimaksudkan untuk menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan maksud diketahui oleh umum. Ketentuan tentang penghormatan terhadap nama baik seseorang ini ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No. 14PUU-VI2008. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa nama baik, martabat, atau kehormatan seseorang adalah satu kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana karena merupakan bagian dari hak konstitusional setiap orang yang dijamin baik oleh UUD 1945 maupun hukum internasional. 155 Bilamana kemudian hukum pidana memberikan sanksi tertentu terhadap perbuatan yang menyerang nama baik, martabat, atau kehormatan seseorang, hal itu tidaklah bertentangan dengan konstitusi. Pertimbangan MK terhadap sifat konstitusionalitas Pasal 27 ayat 3 UU ITE antara lain: penghargaan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan tidak boleh tercederai oleh tindakan- tindakan yang mengusik nilai-nilai kemanusiaan melalui tindakan penghinaan danatau 155 Lihat Kutipan Lengkap Amar Putusan MK No. 14PUU-VI2008, hal. 287. Putusan MK ini memutus perkara mengenai diajukannya pengujian terhadap Pasal 310 ayat 1 dan ayat 2, Pasal 311 ayat 1, Pasal 316, dan Pasal 207 KUHP.MK berpendapat bahwa ketentuan pasal-pasal itu berfungsi untuk melindungi kehormatan sebagai salah satu fungsi hukum. Menurut MK hal itu merupakan argumentasi yang mempersoalkan penerapan norma, bukan mempersoalkan konstitusionalitas norma. Kelemahan atau kekurangan yang terjadi dalam proses penerapan norma tidaklah benar jika diatasi dengan jalan mencabut norma itu. MK menyatakan bahwa pasal-pasaltersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945. 230 pencemaran nama baik. Disamping itu masyarakat internasional juga menjunjung tinggi nilai-nilai yang memberikan jaminan dan perlindungan kehormatan atas diri pribadi, seperti dalam Article 12 UDHR 156 , Article 17 157 dan Article 19 ICCPR. 158 Sementara itu di dalam UU Perfilman, tentang perlindungan terhadap nama baik, undang- undang ini bahkan tidak mencantumkan ketentuan yang tersendiri. Tentang perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, hanya pada Pasal 6 yang menyatakan bahwa film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang mengandung isi yang f merendahkan harkat dan martabat manusia. Pasal ini menjadi satu-satunya pasal yang menentukan batasan bahwa isi film harus memperhatikan dan memperdulikan persoalan harkat dan martabat manusia, yang belum tentu juga didapat sebuah ketegasan bahwa ada persoalan nama baik termasuk di dalamnya. Penghargaan terhadap 156 No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation. Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks. 157 1 No one shall be subjected to arbitrary or unlawful interference with his privacy, family, or correspondence, nor to unlawful attacks on his honour and reputation. 2 Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks. 158 Lihat Kutipan Lengkap Amar Putusan MK No. 50PUU-VI2008 hal. 82-83. Tentang hak atas reputasi, dilindungi pula di dalam Article 12 UDHR dan Article 17 ICCPR, kemudian diperjelas dalam Pasal 28G UUD 1945. Akan tetapi menjadi perdebatan tersendiri karena asumsi dasar hukum pidana apakah tepat untuk menjadi satu-satunya pendekatan hukum untuk melindungi hak atas reputasi oleh negara. 231 kehormatan nama baik seseorang di dalam UU Perfilman tidak nampak tegas diatur secara otentik. Akan tetapi, sebenarnya melalui ketentuan tentang isi film tersebut dapat ditarik pengertian bahwa cakupan isi yang diperkenankan adalah hal-hal yang secara teknis tidak boleh mengungkapkan ekspresi yang dapat mengganggu harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu, di dalam Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film, pada Pasal 30 ayat 8 dinyatakan bahwa kriteria penyensoran terhadap isi film dan iklan film dari segi harkat dan martabat manusia meliputi adegan visual, dialog danatau monolog yang melanggar hak asasi manusia. Peraturan ini mengatur hal yang sifatnya teknis dengan LSF sebagai lembaga yang melakukan penilaian terhadap isi. Persoalan yang dapat muncul, implementasi dari konteks hak asasi manusia yakni harkat dan martabat manusia menjadi luas, dapat beragam persepsi. Dengan demikian, problematik hukum tentang penghormatan tentang nama baik dan reputasi seseorang, diatur secara berbeda-beda. Implementasi dari kovensi- konvensi internasional, khususnya yang terkait dengan Article 12 UDHR dan Article 19 ICCPR harus terus mendapat perhatian. 232 Keamanan nasional national security menjadi salah satu pertimbangan adanya pembatasan. Article 20 ICCPR menyatakan bahwa segala propaganda untuk perang harus dilarang oleh hukum. Dinyatakan juga bahwa Segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum. Ketentuan ini berkaitan erat dengan Article 19 ICCPR, yakni menjadi tembok pembatas yang dapat digunakan untuk menangkal segala bentuk ekspresi, baik yang tertulis, gambar, audio, dan sebagainya yang ditujukan untuk melakukan propaganda perang. Selain itu, membatasi ruang gerak kebebasan berekspresi yang mendorong adanya kebencian berdasar kebangsaan, ras, atau agama tertentu, yang merupakan bentuk hasutan untuk melakukan tindakan-tindakan yang diskriminatif, dorongan untuk melakukan kekerasan termasuk kekerasan terhadap kebebasan berpendapat hate speech. Di Indonesia, peraturan perundang-undangan tentang media, menjadi landasan bagi pembatasan terhadap kebebasan berekspresi yang berusaha memenuhi maksud dan tujuan kovenan-kovenan. Sebagai prinsip yang umum, kovenan perlu diperjelas dalam struktur yang lebih konkrit. Disinilah pentingnya softlaw untuk memberikan 233 gambaran yang lebih mudah dicerna oleh stakeholders. 159 Tentang keamanan nasional atau national security definisinya dapat dilihat sebagaimana dinyatakan pada Siracusa Principle dalam kutipan 160 : 29. National security may be invoked to justify measures limiting certain rights only when they are taken to protect the existence of the nation or its territorial integrity or political independence against force or threat of force. 30. National security cannot be invoked as a reason for imposing limitations to prevent merely local or relatively isolated threats to law and order. Adapun yang ditekankan oleh Siracusa Principle adalah pembatasan dengan basis ‘national security’ dimana suatu negara memiliki yurisdiksi untuk melakukan sesuatu tindakan tertentu yang sifatnya membatasi terhadap kebebasan berekspresi yang mengancam eksistensi negara, integritas atau kemerdekaan politik. Hal itu dapat dianggap sebagai ancaman 159 Siracusa Principles on the Limitation and Derogation Provisions in the International Covenant on Civil and Political Rights, lebih rinci mendefinisikan hal-hal yang berkaitan dengan implementasi pada Article 19 Section 3 yakni mengenai faktor-faktor penyebab kondisi darurat emergency seperti ancaman terhadap tatanan masyarakat public order, kesehatan masyarakat public health, moral publik public morals, keselamatan nasional national security dan keselamatan publik public safety. 160 Lihat Siracusa Principles on the Limitation and Derogation Provisions in the International Covenant on Civil and Political Rights. 234 kekerasan atau tindakan kriminal terhadap wilayah negara. Tidak jauh berbeda, melalui The Johannesburg Principles On National Security, Freedom of Expression And Access to Information menyatakan bahwa kebebasan berekspresi atau berpendapat baru dapat dikenai pembatasan atau dapat dihukum sejauh merupakan ancaman terhadap keamanan nasional dan hanya ketika negara dapat menunjukkan bahwa penyampaian pendapatekspresi tersebut ditujukan untuk memotivasi kekerasan yang akan terjadi atau dapat memotivasi terjadinya kekerasan, atau ada hubungan langsung dan dekat antara penyampaian pendapat dengan kemungkinan terjadinya atau kejadian kekerasan. 161 Namun Johannesburg Principle juga menyatakan bahwa tidak seorang pun boleh menjadi subyek pembatasan, pengurangan hak, dan sanksi, serta dirugikan karena pendapat atau kepercayaannya. Isi media sebagai komoditas bisnis, perlu untuk diawasi melalui peraturan perundang- undangan media. Permasalahan yang layak untuk dilihat adalah bagaimana peraturan perundang- 161 Lihat The Johannesburg Principles On National Security, Freedom of Expression And Access to Information, Principle 6, yang bunyi aslinya: “…expression may be punished as a threat to national security unity only if a government can demonstrate that: a the expression is intended to incite imminent violence; b it is likely to incite such violence, and; c there is a direct and immediate connection between the expression and the likehood or occurrence of such violence.” 235 undangan tersebut mengakomodasi substansi dalam Article 19 Section 3 ICCPR, yakni dalam hal membatasi ruang gerak kebebasan berekspresi khususnya yang berkaitan dengan keamanan nasional. Titik tolak utama dalam melakukan pembatasan terhadap kebebasan berekspresi adalah Pasal 28J UUD 1945, Pasal 70 dan Pasal 73 UU No. 39 Tahun 1999.Konstruksi di dalam pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan media di Indonesia untuk membatasi secara sah penting adanya. Terkait dengan keamanan nasional, UU Pers sejatinya tidak mencantumkan secara terperinci bagaimana keamanan nasional dilindungi dari perwujudan kebebasan berekspresi yang berlebihan. UU Pers sendiri tidak memperjelas bagaimana ketentuan-ketentuan tentang isinya, memberikan batasan terhadap keamanan nasional. Baik UU Pers, UU Perfilman, UU Penyiaran dan UU ITE, tidak menggambarkan dengan jelas bagaimana keamanan nasional yang di dalam konvensi diletakkan sebagai hal yang dapat membatasi kebebasan berekspresi. Akan tetapi, bukan berarti keamanan nasional tidak menjadi bagian yang dilindungi oleh hukum media. UU ITE melakukan pembatasan terhadap kepentingan ini, dengan dasar melanggar kesusilaan yang merujuk pada ketentuan dalam hukum pidana. Melalui UU ITE khususnya pada 236 Pasal 28 ayat 2 dan Pasal 29 dipandang dapat dimasukkan dalam klausul pembatas yang digunakan sebagai dasar pembatas hak atas kebebasan berekspresi, yaitu ketertiban umum dan menghormati hak atau nama baik orang lain serta melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral masyarakat. Pendekatan hukum yang dilakukan yaitu mengatur melalui instrumen hukum positif nasional yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi 162 yang merupakan turunan dari UU ITE, yakni PP No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronika PSTE yang salah satunya adalah kebijakan dan regulasi di bidang keamanan informasi. Peraturan ini menggarisbawahi bahwa perkembangan teknologi mendukung akses informasi yang beragam, sehingga perlu dibatasi tentang informasi-informasi apa saja yang layak untuk dikonsumsi atau disebarluaskan. Di samping itu, peraturan tersebut dapat digunakan untuk membatasi akses ilegal. 162 Lihat Siaran Pers Kominfo NO. 83PIHKOMINFO112013 tanggal 16 November 2013, tentang Ancaman Cyber Attack dan Urgensi Keamanan Informasi Nasional, yang mendorong pendekatan yang komprehensif, yakni People, Process dan Technology. People meliputi kesadaran dan kepedulian pengetahuan, keahlian dari sumber daya manusia. Process meliputi pembangunan dan penerapan Sistem manajemen keamanan Informasi yang sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku, dan technology merupakan tools untuk mewujudkan metodologi, strategi dan perencanaan terhadap sistem keamanan informasi nasional. 237 Keamanan nasional menjadi perhatian tersendiri bagi pemerintah dengan mengajukan pembentukan undang-undang keamanan nasional 163 , yang dimaksudkan agar secara spesifik mengatur hal-hal apa saja yang perlu diatur untuk memberikan perlindungan terhadap keamanan nasional. Melalui ketentuan ini pula, dimungkinkan adanya pembatasan atau bahkan pengurangan berbagai hak asasi, dengan prasyarat tertentu. Pemenuhan hak asasi manusia, harus dikompromikan dengan hal-hal lain yang dapat terganggu, misalnya gangguan keamanan yang mungkin terjadi. Sebagaimana dimaksud gangguan dalam Article 19 yakni terhadap “public order”, gangguan kesehatan dan keselamatan publikmasyarakat, masalah bencana alam, dan lain sebagainya. Pembatasan dengan prasyarat ditujukan untuk mencapai masyarakat demokratis dan demi terwujudnya kesejahteraan sosial public goods. Di sisi lain, kepentingan umum adalah persoalan mengenai “the protection of national security or of public order ordre public, or of public health or morals” melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral 163 Sampai dengan saat ini masih dibahas mengenai penyusunan dan pembentukan Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional di tingkat legislative. RUU ini menjadi salah satu upaya pembentukan hukum yang mengatur hal-hal apa saja yang dapat mengancam keamanan nasional di Indonesia. 238 umum yang pada dasarnya cakupan maknanya sangat luas dan ukurannya relatif. Tentang hal ini, United Nations Committee menyatakan bahwa 164 : The Committee observed in general comment No. 22, that “the concept of morals derives from many social, philosophical and religious traditions; consequently, limitations... for the purpose of protecting morals must be based on principles not deriving exclusively from a single tradition”. Any such limitations must be understood in the light of universality of human rights and the principle of non-discrimination. Terkait dengan yang dimaksud dengan konsepsi moral, dalam pernyataan di atas, dapat berasal dari tradisi-tradisi yang hidup, baik sosial, filosofi dan religiusitas yang ada di dalam masyarakat. Namun, yang harus diperhatikan bahwa tidak boleh pembatasan itu didasarkan pada satu kepentingan saja. Prinsip dasar hak asasi manusia yang universal dan prinsip non- diskriminasi harus dijadikan landasan. Pembatasan terhadap kebebasan berekspresi adalah berdasarkan pada nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat yang sangat relatif. Aspek mekanisme pembatasan menjadi penting untuk dapat mengukur bahwa suatu perwujudan kebebasan berekspresi melukai nilai-nilai. 164 UN Human Rights Committee, General Comments No. 34 CCPRCGC34: Article 19 Freedom of Expression, issued 12 September 2011, point 32. 239 Mencantumkan kepentingan umum sebagai pembatas untuk implementasi kebebasan berekspresi menjadi persoalan yang dapat diperdebatkan. Definisi terhadap kepentingan umum menjadi sulit diperjelas, karena definisinya sangat relatif dan bergantung pada lingkungan masyarakat tempat hidupnya. Public order ordre public, or of public health or morals atau diterjemahkan sebagai ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum 165 juga tidak dapat diperjelas definisinya. Akan tetapi, Siracusa Principle dan Johannesburg Principle memberikan penjelasan tentang hal ini yang bilamana hendak digambarkan secara rinci, maka dapat dilihat dalam tabel berikut 166 : Tabel 3.8. Public Order, Public Health dan Public Moral public order ketertiban umum Dalam konteks ini harus diterjemahkan sebagai sejumlah aturan yang menjamin berfungsinya masyarakat atau seperangkat prinsip mendasar yang hidup di masyarakat, selain itu tujuan suatu hak asasi tertentu, dimana negara otoritas membentuk norma yang menjamin berfungsinya masyarakat, dan negara dalam melaksanakan wewenangnya diawasi oleh badan yang kompeten public health kesehatan masyarakat Merupakan hal-hal yang digunakan untuk mengambil langkah-langkah penanganan atas sebuah ancaman yang bersifat serius terhadap kesehatan masyarakat ataupun anggota 165 Menurut UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR. 166 Disarikan dari pernyataan dari Siracusa Principles on the Limitation and Derogation Provisions in the International Covenant on Civil and Political Rights dan The Johannesburg Principles On National Security, Freedom of Expression And Access to Information. Lihat pula Tim ELSAM, op. cit. Hal. 37-39. 240 masyarakat, atau ancaman terhadap kesehatan populasi atau anggota populasi. Akan tetapi, langkah pembatasan ini harus diletakkan dalam konteks pencegahan penyakit atau kecelakaan dalam rangka menyediakan layanan kesehatan bagi yang terluka atau sakit dalam hal ini negara harus mengacu pada atuean kesehatan internasional dari Worl Health Organization. public moral moral publik Berkaitan dengan eksistensi negara yang harus menunjukkan bahwa pembatasan terhadap kebebasan berekspresi diupayakan untuk memlihara nilai-nilai mendasar dalam masyarakat. Alasan moral memang dapat dipergunakan untuk negara melakukan diskresi, namun harus tetap tunduk pada maksud dan tujuan konvensi, yakni membuktikan tujuan untuk menjaga penghormatan pada nilai-nilai fundamental dalam masyarakat. Permasalahan yang dapat diajukan adalah bagian mana tentang aturan isi media yang mengimplementasikan batasan-batasan tersebut di atas? Atau apa saja yang termasuk dalam public order, public health dan public moral di dalam pengaturan isi media di Indonesia? Secara intepretatif Siracusa Principle, Johannesburg Principle, dan Camden Principle memberikan gambaran mengenai ketiga hal tersebut di atas. UU Pers sendiri tidak secara pasti dan tegas memuat batasan isinya yang berkaitan dengan ketertiban umum. Pasal 5 dan Pasal 13 UU Pers hanya menyatakan adanya kewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa 241 kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Disamping itu, ada larangan untuk isi yang merendahkan martabat agama, mengganggu kehidupan beragama, minuman keras dan obat- obat berbahaya serta rokok. Agaknya di dalam UU Pers tidak memisahkan mana yang dapat disebut sebagai public order, public health dan public moral. Meskipun demikian, tersirat UU Pers hendak mengakomodasi kepentingan-kepentingan tersebut dalam ketentuan yang umum. Berbeda dengan UU Penyiaran di Pasal 36 mewajibkan bagi isi siaran mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia. Sementara larangannya adalah isi yang fitnah, menghasut, menyesatkan danatau bohong; serta menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan. Terhadap pelanggaran ketentuan ini, subyek pelanggar dapat dikenakan sanksi administratif. 167 Letak implementasi public order 167 Sanksi administratif berupa : a teguran tertulis; b penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu; c pembatasan durasi dan waktu siaran; d denda administratif; e pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu; f tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran; dan g pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran. Lihat Pasal 55 UU Penyiaran. 242 dapat dilihat dari substansi yang mengupayakan persatuan dan kesatuan baik dalam hal SARA maupun amalan terhadap nilai kebudayaan serta mendorong penguatan karakter masyarakat. Melalui pasal ini pula, public health diperjuangkan dengan melarang adanya isi siaran yang memuat penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang. Sementara di undang-undang ini juga menetapkan nilai-nilai agama, perlindungan terhadap khalayak tertentu khususnya anak-anak dan remaja, dan budaya Indonesia, tidak boleh diganggu gugat, yang dapat menjadi pembatasan oleh karena perlindungan terhadap public moral. Unsur moralitas yang ditekankan tidak melulu pada aspek kekerasan dan pornografi, namun juga pada pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan dan kekuatan bangsa. Sejalan dengan itu, UU ITE memberikan metode berbeda dengan memuat larangan- larangan, yang secara intepretatif menekan ruang kebebasan agar tunduk pada public order, public health dan public moral. Pasal 27 UU ITE oleh pembuat undang-undang, dijadikan patokan dasar perwujudan kebebasan berekspresi dalam muatan isinya. Public order tidak dapat dinyatakan secara tegas, karena hal yang dilarang adalah kesusilaan, perjudian, defamation, dan pemerasan pengancaman. 243 UU ITE cenderung menggunakan bahasa teknis secara tersirat untuk memastikan bahwa public order diberikan perlindungan hukum, yakni dengan melarang tindakan-tindakan seperti mengakses komputer milik orang lain atau informasi elektronik danatau dokumen elektronik tanpa ijin, merusak sistem keamanan, melakukan intersepsi untuk tujuan yang tidak diijinkan, melakukan tindakan yang merugikan informasi elektronik danatau dokumen elektronik milik publik, sampai merusak informasi elektronik danatau dokumen elektronik yang bersifat rahasia sehingga menjadi tidak utuh. 168 UU Perfilman menekankan poin penting dari kegiatan perfilman yang dilaksanakan dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa Pasal 5 UU Perfilman. Tujuan ini dapat dikaitkan dengan makna public order, public health dan public moral yang diamanatkan oleh konvensi. Arah kegiatan perfilman ini menjadi asas utama yang membatasi ruang gerak isi film. Salah satu yang paling terlihat untuk melindungi public order adalah isi film di Pasal 6 huruf e UU Perfilman, tidak diperkenankan mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum. 168 Lihat Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32 dan Pasal 33 UU ITE. 244 Keempat undang-undang secara prinsip memandang public order, public health dan public moral dengan caranya sendiri-sendiri. Tentang public health bila diinterpretasikan sebagai perlindungan terhadap ancaman yang bersifat serius terhadap kesehatan masyarakat ataupun anggota masyarakat, maka UU Pers, UU Penyiaran, dan UU Perfilman hanya menyinggung hal yang berkaitan dengan larangan isi yang memuat tentang penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang. Muatan ini menjadi satu-satunya pembatasan terhadap isi media demi melindungi public health. Sedangkan yang berkaitan dengan public morals, masing-masing undang-undang selalu mencantumkan penegasan bahwa isi dilarang memuat hal-hal yang merendahkan harkat dan martabat manusia, melecehkanmengabaikan nilai-nilai agama, mencederai rasa kesusilaan, serta bertentangan dengan sosial budaya masyarakat Indonesia. Determinasi hak atas kebebasan berekspresi, tidak diperkenankan melanggar public moral sebab masyarakatlah sebagai subyek yang mengerti dan memahami lingkungan hidupnya. Sehingga bilamana dirasa sesuatu hal isi media dirasa masyarakat tidak sesuai dengan lingkungannya, maka hak mereka untuk menolak. Demikian artinya bahwa isi media menjadi komoditas yang dipertaruhkan oleh para 245 anggota masyarakat karena akan mendorong pembentukan opini dan perubahan sosial. Inilah fungsi dari informasi yang bebas itu, yang merupakan salah satu unsur utama dalam kehidupan yang demokratis. Selain keterbukaan terhadap eksistensi hak, di sisi lain isi media memberikan akses kepada masyarakat untuk menikmati perkembangan teknologi dan pengetahuan untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. Dengan uraian-uraian tersebut, maka pemenuhan prinsip kebebasan berekspresi di dalam peraturan tentang isi media, dapat dilihat dalam simpulan sederhana melalui tabel berikut: 246 Tabel 3.9. Pemenuhan Prinsip Kebebasan Berekspresi dalam Isi Media Prinsip Konvensi UUD 1945 UU Pers UU Penyiaran UU ITE UU Perfilman Pengakuan: Kebebasan sebagai hak Dinyatakan: Kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan Dinyatakan: kemerdekaan pers Dinyatakan: dalam konsideran ‘menimbang’ Tidak diatur Tidak tegas diatur, hanya dinyatakan sebagai kebebasan berkreasi, berinovasi dan berkarya Cakupan: “freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds,” dan “orally, writing or print, the form of art, or through any other media of his choice mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, melalui berbagai saluran yang tersedia Berita peristiwa dan opini yang hormat pada norma agama, norma susila, asas praduga tak bersalah akurat, benar Siaran: rangkaian pesan suara, gambar, suara gambar, grafis, karakter interaktif atau tidak yang dapat diterima oleh perangkat penyiaran. Informasi dan dokumen elektronik yang dimuat di media internet Film: pranata sosial dan media komunikasi massa berdasar kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara yang dapat dipertunjukkan Pembatasan: prescribed by law, respect to reputations of others, national security, public order ordre public, or of public health or morals, propaganda for war shall be prohibited by law; racial or religious hatred that constitutes incitement to discrimination, hostility or violence pembatasan ditetapkan undang- undang: pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis Tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, pelarangan penyiaran. Isi iklan dilarang: merendahkan martabat agama, mengganggu kerukunan antar umat, bertentangan norma susila, minuman keras, narkotika, psikotropika, zat aditif lainnya, rokok Dilarang memuat: fitnah, hasutan, sesatbohong, kekerasan, cabul, perjudian, narkotika, obat terlarang, pertentangan SARA golongan, memperolokkan, merendahkan, melecehkan, mengabaikan nilai agama, martabat manusia Indonesia, merusak hubungan internasional Dilarang memuat: melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan pencemaran nama baik, pemerasan pengancaman, berita bohong, rasa kebencian individu kelompokSARA, ancaman kekerasan terhadap pribadi Dilarang memuat: kekerasan, perjudian, narkotika, psikotropika, zat adiktif, pornografi, provokasi SARA, antarkelompok, dsb, serangan pada agama, tindakan melawan hukum, merendahkan harkat martabat 247

C. Harmonisasi Pengaturan Isi Media