188
pada Pasal 23 ayat 2 yang menyatakan bahwa setiap
orang bebas
untuk mempunyai,
mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan
melalui media cetak maupun elektonik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan,
ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa. Hal ini berarti bahwa undang-undang
tentang hak asasi manusia juga memberikan landasan hukum sebagai jaminan terhadap
kebebasan berekspresi di dalam hukum nasional.
2. Menjamin Hak atas Kebebasan Berekspresi di dalam Hukum Nasional
Memberikan jaminan terhadap kebebasan berekspresi melalui peraturan perundang-undangan
memberikan tantangan tersendiri bagi para pembentuk
undang-undang. Selain
harus memperhatikan struktur dan bentuk perlindungan,
yang paling harus menjadi perhatian adalah bagaimana substansi undang-undang mampu
secara komprehensif menjangkau semua prinsip nilai yang berkembang secara universal dan secara
potensial dapat memenuhi ekspektasi perlindungan hukum bagi masyarakat adresaat, yakni warga
negara Indonesia.
189
Dalam hal ini ada tiga konsepsi mendasar di dalam konvensi yang harus menjadi perhatian,
yakni: pertama, hak untuk menyampaikan pendapat tanpa dibatasi. Kedua, hak untuk
mencari, menerima dan memberikan informasi dan gagasan. Dan ketiga, jenis informasi dan gagasan
yang dilindungi. Peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang media, terbagi
atas undang-undang tentang pers, penyiaran, cyber, dan perfilman. Masing-masing mengatur secara
tersendiri tentang bagaimana mengimplementasikan isi media.
Mengenai muatan isi media, khususnya isi pers sendiri, sebenarnya ada prakondisi tertenty
yang harus diciptakan pers, yaitu pertama informasi yang disampaikan mampu menciptakan komunikasi
yang efektif. Artinya penyampaian informasinya memenuhi kebutuhan khalayak dan mencapai
sasaran sesuai dengan kehendak penyaji informasi. Kedua, informasi yang disampaikan pers mampu
melampaui fungsi pers yang sebenarnya. Artinya bahwa pers tidak hanya memberikan fakta,
menerjemahkannya ke dalam bahasa yang dapat dimengerti, tapi menerjemah-kannya ke dalam
bahasa yang dapat dimengerti, tapi juga mmepromosikan sesuatu sehingga khalayak jadi
190
berpikir, yang pada gilirannya mampu bertindak memperbaiki hidupnya dari hari ke hari.
135
Pengakuan terhadap kebebasan berekspresi menjadi kunci dalam pelaksanaan perlindungan
hak tersebut. Substansi dasar “Everyone shall have the right to freedom of expression” menyiratkan
bahwa pelaksanaan kebebasan berekspresi dapat dimuat dan diatur baik dalam konstitusi maupun di
dalam
undang-undang tentang
media. Kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat
melalui berbagai saluran yang tersedia, yang kemudian dijamin di dalam konstitusi dan undang-
undang,
memberikan kesempatan
kepada masyarakat untuk memperoleh informasi. Tentang
pengakuan atas kebebasan berekspresi dapat dilihat dalam tabel berikut:
135
Ana Nadhya Abrar, Analisis Pers: Teori dan Praktik. Cahaya Atma Pustaka; Yogyakarta, 2011. Hal. 39.
191
Tabel 3.3. Pengakuan Kebebasan Berekspresi sebagai Hak UDHR dan
ICCPR UUD
1945 Undang-
Undang
Pengakuan “Everyone
shall have the right to
freedom of expression”
Dimuat dalam
Pasal 28, dan
terutama Pasal 28F
UU Pers Pernyataan bahwa
kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi
manusia yang berdasar prinsip demokrasi,
keadilan, dan supremasi hukum. Pasal 4
UU Penyiaran
Dinyatakan dalam bagian “Menimbang” bahwa
kemerdekaan menyampaikan pendapat
dan memperoleh informasi melalui
penyiaran sebagai wujud hak asasi manusia.
UU ITE Tidak ada dan tidak
diatur. UU
Perfilman Tidak tegas diatur
namun dinyatakan bahwa kegiatan
perfilman dan usaha perfilman dilakukan
dengan berdasar kebebasan berkreasi,
berinovasi, dan berkarya Pasal 5
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menjadi undang-undang pertama yang
menekankan adanya kebebasan pers yang bertanggung jawab. Kebebasan adalah suatu yang
bersifat asasi, pada umumnya dipahami bahwa kebebasan harus ada pada setiap insane manusia.
Undang-undang ini juga memberi jaminan bahwa terhadap
pers nasional
tidak dikenakan
penyensoran, pembredelan
atau pelarangan
192
penyiaran. UU Pers menjamin tiga lingkup kegiatan dalam
kebebasan berekspresi,
diantaranya: mencari,
memperoleh dan
menyebarluaskan gagasan dan informasi. Hak tolak diperkenalkan
sebagai hak yang dijamin oleh undang-undang, yang
digunakan oleh
wartawan untuk
mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum.
Sejalan dengan hal tersebut, disusun dan diterbitkan pula Undang-Undang No. 32 Tahun
2002 tentang Penyiaran. Salah satu isu utama dalam pembentukan undang-undang ini adalah
mengenai diversity of content atau keberagaman media, disamping isu lain yakni diversity of
ownership.
Bagi kebebasan
berekspresi, keberagaman media yang diatur di dalam UU
Penyiaran penting untuk diamati, yakni bagaimana perlindungan dilakukan terhadap pengguna media
termasuk kelompok minoritas agar dapar menerima gagasan dan informasi yang tersedia. Di sisi lain,
perkembangan media massa modern juga menuntut negara untuk mencegah adanya monopoli dan
menjamin
adanya keberagaman
media.
136
Manifestasi kebebasan berekspresi di dalam UU Penyiaran, mengindikasikan karakter konsep
perlindungan terhadap kebebasan berekspresi di ranah penyiaran.
136
Lihat Putusan MK No. 78PUU-IX2011.
193
Dalam perkembangan penyiaran, beberapa hal menjadi perhatian, yakni bagaimana siaran
dilakukan dan muatan-muatan siaran. Terdapat syarat-syarat tertentu yang secara konseptual,
mendasari tentang muatan siaran. Salah satunya dalam kutipan berikut ARTICLE 19 memberikan
gambaran:
Furthermore, the public service remit of these broadcaster must be clearly set out in law and
must include the following requirements: 1 provide quality, independent programming
which contributes to a plurality of opinions and an informed public;
2 provide comprehensive news and current affairs programming which is impartial,
accurate and balanced; 3 provide a wide range of broadcast material
which strikes
a balance
between programming of wide appeal and specialized
programmes that serve the needs of different audiences;
4 be universally accessible and serve all the people and regions of the country, including
minority groups; 5 provide
educational programmes
and programmes directed towards children; and
6 promote
local programme
production, including through minimum quotas for
original productions and material produced by independent producers.
137
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2003 tentang Penyiaran mengatur bahwa isi siaran harus
sesuai dengan asas, tujuan, fungsi dan arah siaran yang sesuai dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan
137
Access to the Airwaves, note 31 on page 21, Principle 37.
194
Pasal 5 undang-undang tersebut. Asas dan arah tersebut penting untuk menjadi koridor utama
bahwa penyiaran akan dilaksanakan dengan tetap memperhatikan kepentingan-kepentingan nasional
yang terpengaruh oleh perkembangan penyiaran di Indonesia.
Demokratisasi penyiaran yang menjadi isu utama sehingga perlu dibentuk undang-undang ini,
tidak hanya mengeliminasi terpusatnya kekuatan monopoli ekonomi pada satu kelompok, tetapi juga
dapat mencegah terjadinya pemusatan opini dan rekayasa sosial sesuai dengan yang dikehendaki
oleh kelompok tertentu. Demokratisasi penyiaran juga memberikan peluang bagi adanya keterbukaan
ruang publik yang jauh lebih luas, dengan keberagaman opini dan kemudahan akses bagi
seluruh pihak.
138
Pantas menjadi fokus apakah ketentuan di dalam undang-undang penyiaran, khususnya pada
bagian ketentuan mengenai isi siaran, mampu menyediakan jaminan yang cukup bagi kebebasan
berekspresi. Perlu diperhatikan bahwa secara otentik undang-undang penyiaran memuat
mengenai hal-hal apa saja yang dapat disiarkan oleh lembaga-lembaga penyiaran. Isu yang sentral
yang didengungkan tentang isi siaran adalah tentang diversity of content, dimana undang-undang
ini mampu menjadi payung perlindungan akan
138
Judhariksawan. Op. cit. Hal. 93.
195
keberagaman isi. Kebebasan untuk mewujudkan hak kebebasan berekspresi pada beragamnya isi
yang disiarkan atau disebarluaskan oleh lembaga- lembaga penyiaran, merupakan hak subyek media.
Isu ini juga berkaitan erat dengan isi yang diatur di dalam Undang-Undang Perfilman, yakni
bahwa secara substansial ada usaha untuk memberikan kebebasan kepada subyek untuk
berkreasi, berinovasi, dan berkarya lihat Pasal 5 UU No. 33 Tahun 2009. Bagian yang sangat
mendasar adalah bahwa menampilkan isi oleh pers, penyiaran dan perfilman sebagaimana diatur dalam
undang-undang, memberikan jaminan kebebasan untuk menuangkan segala hal tentang ekspresi
subyek. Penekanan ini ada pada bagaimana titik tolak pengembangan prinsip konvensi yakni hak
untuk menyampaikan pendapat tanpa dibatasi.
Pers yang memiliki fungsi untuk media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial,
berbarengan dengan penyiaran yang memiliki fungsi sebagai penyedia saluran untuk mendapatkan
informasi, dari sarana elektronik radio, televisi serta film yang sebagai produk kebudayaan yang
disebarkan.
Hal berbeda adalah bahwa UU ITE tidak menyatakan
adanya pengakuan
terhadap kebebasan berekspresi sebagai hak. UU ITE sendiri
dilibatkan dalam konteks hukum media oleh karena UU ITE masih menjadi satu-satunya undang-
196
undang yang mengatur media internet di Indonesia. Substansinya
sebenarnya mengacu
pada perkembangan
lalu-lintas perdagangan
yang menggunakan media internet sebagai sarananya.
Akan tetapi, perlu dicermati bahwa ada muatan isi media yang diatur di dalam Pasal 27, Pasal 28 dan
Pasal 29, yang memberikan batasan terhadap isi internet dalam bentuk informasi dan dokumen
elektronik, dimana isi ini akan dikonsumsi secara luas oleh masyarakat pengguna internet.
3. Struktur dalam Jaminan Hukum terhadap Kebebasan Berekspresi