209
pelaksanaan hak asasi manusia. Di samping itu, negara harus melindungi hak asasi manusia
obligation to protect yang menekankan pada tindakan-tindakan untuk menghadapi human rights
abuse pelanggaran hak asasi yang dilakukan oleh pihak lain. Pemenuhan terhadap kewajiban-
kewajiban tersebut adalah dengan menekankan adanya upaya-upaya positif negara melalui
mekanisme pembentukan peraturan perundang- undangan legislated, pengadilan yang efektif,
danatau aspek administratif yang dilakukan untuk memberikan jaminan terhadap implementasi atau
perwujudan hak asasi manusia sampai pada tingkat yang paling konkrit. Inilah kewajiban negara untuk
memenuhi yang disebut obligation of fulfil.
Tentang pembatasan terhadap hak atas kebebasan berekspresi di Indonesia, berdasar pada
ketentuan dalam Article 19 ICCPR, dapat dilihat pada dua hal berikut.
a. Pembatasan berdasar ketentuan otentik
Secara otentik,
setelah dilakukannya
ratifikasi, di
dalam konstitusi
Indonesia, dicantumkan tentang bagaimana pembatasan
harus dilakukan dan pembatasan itu adalah sah. Pembatasan terhadap kebebasan berekspresi
memang diperkenankan dengan syarat bahwa undang-undang mencantumkan secara tertulis,
yang berarti ada landasan hukum yang jelas.
210
Sebagaimana temuat dalam Pasal 28J UUD 1945
Amandemen, yang
pada pokoknya
menyatakan bahwa:
1 Setiap orang wajib menghormati hak asasi
manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2 Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,
setiap orang
wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata- mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Disamping pembatasan yang ditentukan secara otentik di dalam konstitusi, Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sebagai payung hukum hak asasi
manusia, memberikan pengaturan dalam beberapa pasal sebagai berikut:
Pasal 70
Dalam menjalankan hak dan kewajiban, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh
Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adli sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Pasal 73
Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-
undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan
211
penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban
umum, dan kepentingan bangsa.
Jangkauan pembatasan ini merupakan ketentuan normatif yang berhubungan erat dengan
tujuan pembatasan sebagaimana termuat dalam Article 19 section 3 ICCPR. Bahwa konvensi
tersebutlah yang memberikan klausul pembatasan hak, yang sejatinya tidak hanya diterapkan secara
umum, namun penerapannya diatur hak per hak. Konstitusi dan UU HAM memang memberikan
batasan serupa dengan maksud dalam Article 19 section 3 ICCPR pada dua hal yang penting, yakni
bahwa pembatasan hak dilakukan dengan ditetapkan melalui undang-undang,
146
dan dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Dua ketentuan ini layak menjadi inspirasi bagi pembatasan-pembatasan terhadap isi media,
yakni bahwa peraturan perundang-undangan harus mampu memberikan batasan yang tepat.
Demikian dapat dilihat perbandingan pembatasan yang dilakukan oleh masing-masing ketentuan
sebagaimana dalam tabel berikut:
146
Lihat Article 19 ICCPR.
212
Tabel 3.5. Perbandingan Pembatasan ICCPR
UUD 1945 UU No. 391999
ditetapkan oleh hukumundang-undang dalam suatu masyarakat yang demokratis
ketertiban umum, kesehatan publik,
moral publik, keamanan
nasional dan keamanan publik,
hak dan kebebasan orang
lain, hak atau reputasi orang
lain, kepentingan kehidupan pribadi
orang lain yang berkaitan dengan
pembatasan terhadap pers dan
publik pada pengadilan
pengakuan serta penghormatan atas
hak kebebasan orang lain, moral,
nilai-nilai agama, keamanan,
ketertiban umum pengakuan serta
penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain,
pertiumbangan moral,
keamanan, ketertiban
umum, kesusilaan dan
kepentingan bangsa
Dasar perlindungan terhadap hak atas kebebasan berekspresi tidak melulu berada pada
ruang lingkup perwujudan hak yang sebebas- bebasnya, namun juga membatasi implementasi
hak yang dapat dianggap membahayakan. Terbukti bahwa secara otentik, masing-masing
ketentuan yang menjadi acuan, memiliki kesamaan visi untuk memberikan ruang bagi
adanya intervensi terhadap hak atas kebebasan berekspresi.
Klausul pembatas
di dalam
ketentuan-ketentuan di atas ditujukan pada pembatasan yang berbasiskan pada dua hal yang
213
sama, yakni bahwa secara normatif, pembatasan harus ditetapkan oleh hukum atau undang-
undang, dan pembatasan itu dimungkinkan di adakan pada suatu lingkungan masyarakat yang
demokratis.
Perbedaan konsepsi hanya terletak pada jangkauan
pemahaman terhadap
makna kepentingan lain yang bersinggungan terhadap
hak. Cakupan terhadap kepentingan lain ini mengarah pada eksistensi hak dan juga
kepentingan umum yang berhadap-hadapan dengan
hak atas
kebebasan berekspresi.
Permasalahannya adalah bagaimana peraturan perundang-undangan
mampu mengimplementasikan apa yang sudah tertuang
dalam konsep pembatasan yang diatur di dalam ICCPR, UUD 1945 dan UU HAM.
Materi muatan di dalam undang-undang yang teknis kemudian harus menyesuaikan dengan
yang diatur oleh konvensi dan norma dasarnya. Hal ini secara sederhana dapat dilihat di masing-
masing asas yang tercantum di masing-masing undang-undang. Di dalam tabel berikut dapat
dilihat asas-asas yang mendasari peraturan:
214
Tabel 3.6. Asas dalam Undang-Undang Media UU Pers
Pasal 2 dan 3
Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-
prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol
sosial.
UU Penyiaran
Pasal 2
Penyiaran diselenggarakan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dengan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum,
keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab.
UU ITE Pasal 3
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas
kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi
atau netral teknologi.
UU Perfilman
Pasal 5
Kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilakukan berdasarkan kebebasan berkreasi,
berinovasi, dan berkarya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan,
dan budaya bangsa.
Asas-asas yang menjadi dasar di peraturan perundang-undangan tersebut, secara prinsip
memberikan pembatasan yang tersirat. Bahwa kebebasan berekspresi dapat dilakukan dengan
tetap melakukan penghormatan terhadap nilai- nilai yang ada di dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, sehingga masyarakat menjadi subyek yang mengontrol terhadap kebebasan berekspresi.
215
Asas tersebut berfungsi memberikan koridor terhadap ruang kebebasan berekspresi yang
hendak diwujudkan dalam isi media. Terhadap isi pula, asas-asas ini adalah inspirasi, sehingga
menunjukkan bagaimana peraturan perundang- undangan menyerap prinsip-prinsip universal yang
disediakan oleh konvensi-konvensi internasional. Keberadaan asas-asas ini di dalam undang-
undang menjadi prinsip pembatasan pertama yang dapat dilihat. Implementasi dari maksud dalam
frasa “…to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of
frontiers..” menjadi inspirasi bahwa kebebasan berekspresi yang terdapat pada peraturan
perundang-undangan tentang media, sejalan dengan maksud dari konvensi. Indikasinya dari
cakupan asas-asas yang dimuat dan menjadi dasar
pengembangan wujud
kebebasan berekspresi di dalam undang-undang.
Pembatasan yang dapat dilihat melalui asas, dapat diketahui dimana pers dan kemerdekaannya
dibatasi oleh koridor prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum serta ada kewajibannya
menjadi kontrol sosial. Penyiaran secara prinsip dibatasi oleh keamanan, etika dan tanggung
jawab. ITE juga dibatasi oleh kehati-hatian dan itikad baik serta perfilman yang harus menjunjung
tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan dan budaya bangsa.
216
Selain dari asas, terdapat batasan otentik yang lain ada pada pasal-pasal yang termuat di
masing undang-undang
tentang media.
Maksudnya adalah bahwa isi media itu sendiri, secara implementatif, diberikan batasan oleh
undang-undang. Baik berdasarkan pengertiannya maupun berdasarkan muatan yang diperbolehkan
dan tidak diperbolehkan untuk dilakukan.
Sekali lagi bahwa sebagai isi, maka berita atau informasi, siaran, internet dan film, menjadi
komoditas dalam dunia bisnis yang tidak boleh dikembangkan secara luas tanpa ada batasan
pengertian masing-masingnya. Segala saluran yang tersedia tidak diperkenankan menjadi sarana
bagi isi media yang di luar batas. Pemaknaan terhadap isi media, adalah penting. Pada titik ini,
makna ‘prescribed by law’ ditempatkan sebagai prinsip yang mendasari bahwa secara otentik,
pembatasan harus jelas dan dapat dipahami.
147
Dengan demikian, pembatasan tersebut maknanya juga harus jelas dan memiliki alasan yang sesuai.
Menarik ditemukan dalam Pasal 4 ayat 2 UU Pers, yang menyatakan bahwa terhadap pers
nasional tidak
dikenakan penyensoran,
pembredelan atau
pelarangan penyiaran.
147
Untuk ‘prescribed by law’ sebagai prinsip dalam konvensi baik UDHR dan ICCPR dapat dikembangkan secara luas dalam beberapa softlaw seperti yang
termuat dalam Siracausa Principle. Tentang ‘prescribed by law’ ada beberapa hal yang diperjelas, yakni bahwa pembatasan dapat dilakukan dengan membentuk
undang-undang yang konsisten dengan substansi konvensi yang telah diratifikasi, dan dapat diterapkan pembatasan itu ketika undang-undang berlaku.
217
Ketentuan ini merupakan hal yang berbeda dengan undang-undang yang lain, dimana batasan
menjadi hilang, oleh karena demi tujuan kemerdekaan pers, pada sisi isi pers, dibebaskan
dari larangan-larangan. Dengan demikian, pers ini diberikan ruang yang sebebas-bebasnya agar pers
secara positif dikembangkan oleh para pelakunya. Kebebasan itu juga dimaksudkan agar peristiwa-
peristiwa pers pada masa lalu, yang terkait dengan penyensoran yang ketat, pembredelan dan
larangan-larangan tidak terjadi lagi.
Pada Pasal 35 UU Penyiaran dinyatakan bahwa isi siaran harus sesuai dengan asas,
tujuan, fungsi dan arah siaran, yang sebagaimana sudah tercantum pada pasal-pasal sebelumnya.
Pasal ini mengindikasikan bahwa isi siaran harus berada di ruang atau koridor undang-undang yang
memberikan
jaminan terhadap
kebebasan berekspresi di bidang penyiaran. Isi siaran juga
wajib mengandung substansi-substansi yang diperkenankan dalam Pasal 36 UU No. 32 Tahun
2002. Diantaranya adalah kewajiban bagi isi siaran yang harus mengandung informasi,
pendidikan, hiburan dan manfaat. Di sisi lain harus wajib memberikan perlindungan dan
pemberdayaan kepada khalayak khusus, serta isi siaran bersifat netral. Isi siaran sendiri harus
memiliki hak siar sebelum disebarluaskan melalui media penyiaran yang tersedia. Hak siar sendiri
218
masih menjadi problematika bagi pelaksanaan perwujudan kebebasan berekspresi.
Berbeda dengan cara atau metode teknis yang dimuat di dalam UU No. 33 Tahun 2009 tentang
Perfilman dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE yang memberikan batasan dengan mencantumkan
larangan. Pasal 6 UU No. 33 Tahun 2009 sendiri mencantumkan larangan-larangan pada substansi
isi film yang bersifat negatif, yakni hal-hal yang dapat menstimulasi khalayak untuk melakukan
perbuatan-perbuatan negatif dan mengancam diri sendiri serta orang lain. Sementara dalam UU No.
11 Tahun 2008 tentang ITE, pada Bab VII diatur tentang larangan-larangan terhadap muatan-
muatan dalam informasi elektronik danatau dokumen elektronik yang dapat merugikan.
Di bidang perfilman sendiri, penyensoran film dan reklame film dilakukan untuk melindungi
masyarakat dari kemungkinan dampak negatif yang timbul dalam peredaran, pertunjukan
danatau penayangan film dan reklame film yang tidak sesuai dengan dasar, arah dan tujuan
perfilman Indonesia.
Penyensoran dimaksudkan untuk mencegah agar film dan reklame film tidak mendorong
khalayak untuk: a.
bersimpati terhadap
ideologi yang
bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945;
219
b. melakukan perbuatan-perbuatan tercela
dan hal-hal yang bersifat amoral; c.
melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban umum
dan perbuatan-perbuatan
melawan hukum lainnya; atau
d. bersimpati terhadap sikap-sikap anti
Tuhan dan anti agama, serta melakukan penghinaan terhadap salah satu agama
yang dapat merusak kerukunan hidup antar-umat beragama.
Penyensoran dimaksudkan pula sebagai sarana pemelihara tata nilai dan budaya bangsa
agar dapat terjaga dan berkembang sesuai dengan kepribadian nasional Indonesia, mengingat melalui
film dan reklame film dapat masuk pengaruh- pengaruh budaya dan nilai-nilai negatif.
Demikian diatur oleh negara, namun seharusnya tetap menyesuaikan dengan konsepsi
tentang three-part test sebagaimana ditetapkan dalam Article 19 Section 3 ICCPR yang menjadi
acuan dalam memberikan batasan.
b. Pembatasan oleh karena Eksistensi Hak Lain