Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers

140 medianya masing-masing. Hanya saja kemudian apakah ada singgungan dan atau bahkan kesepahaman yang sama, yakni bagaimana kebebasan berekspresi dikonstruksikan dalam wujud isi media yang memenuhi ekspektasi hak asasi manusia.

a. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers

Salah satu embrio kebebasan berekspresi pada tataran peraturan perundang-undangan teknis adalah dengan disahkannya Undang- Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang ini membuka kesempatan bagi seluruh adresaat-nya untuk bebas untuk mengaktualisasikan diri, melalui media pers, cetak maupun non-cetak. Undang-undang ini dibentuk sebagai respon atas upaya untuk melaksanakan prinsip demokrasi dan keadilan di bidang hukum, khususnya menjadi upaya pengejawantahan perlindungan kebebasan setelah dirubahnya UUD 1945 pada era reformasi. Undang-undang ini juga menggantikan kedudukan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 yang dianggap membelenggu kemerdekaan pers. Di samping itu UU No. 40 Tahun 1999 dianggap sebagai produk hukum yang merupakan hasil dari lembaga perwakilan rakyat yang demokratis. Pada bagian 141 konsideran undang-undang ini menyebutkan latar belakang kelahirannya, yaitu: a. Kemerdekaan pers, merupakan perwujudan kedaulatan rakyat dan unsur penting dalam kehidupan demokrasi, sesuai dengan amanat Pasal 28 UUD 1945; b. Kemerdekaan pers, yang merupakan perwujudan dan kemerdekaan menyatakan pendapat secara lisan dan pendapat, merupakan hak asasi manusia; c. Kemerdekaan pers harus bebas dari campur tangan kekuasaan; d. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 yang mengharuskan adanya SIUPP, harus dicabut, karena menghambat kebebasan pers. 110 Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, maka 110 Terdapat persamaan antara UU No. 401999 dengan UU No. 111966 dimana keduanya lahir pada gejala awal suatu rezim yang sama-sama memimpikan diwujudkan proses demokrasi dengan menggunakan kemerdekaan pers sebagai salah satu pilarnya. Adapun prinsip dasar dalam kedua undang-undang tentang pers tersebut menjanjikan pencabutan semua belenggu yuridis pada rezim represif yang sebelumnya mendera kehidupan pers. Ketentuan-ketentuan yang identik diantaranya: sensor dan pembredelan pers, ketentuan tentang SIT dan SUPP, perlindungan terhadap tugas jurnalistik, dan pembebasan pers dari belenggu yuridis dan politis. Lihat Wikrama Iryans Abidin, Politik Hukum Pers Indonesia. PT. Grasindo; Jakarta, 2005. Hal.56-57. 142 dimulailah era baru kebebasan pers, telah membawa banyak perubahan bagi dinamisasi kehidupan media di Indonesia. 111 Bagi insan media, dengan adanyanya undang-undang baru ini memberikan peluang baru untuk mendapatkan keragaman informasi yang bersumber dari adanya keragaman isi maupun keragaman kepemilikan media. Selain memberikan peluang bagi munculnya berbagai lembaga pers baru, UU No. 40 Tahun 1999 juga memberikan dampak lain yang signifikan. Kemerdekaan dan keterbukaan para pelaku media pers semakin terlindungi dalam hal menjalankan aktivitas jurnalistik, yakni mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengilah dan menyampaikan informasi melalui berbagai saluran yang tersedia. Disamping itu, undang-undang ini menjadi tonggak baru sejarah kebebasan pers yang kemudian dikenal sebagai kemerdekaan pers. Kemerdekaan pers sebagai konsep yang diperkenalkan melalui undang-undang ini, bermaksud untuk memberikan jaminan hak asasu manusia yang merupakan salah satu ujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang 111 Indikator awal meningkatnya jumlah penerbitan lembaga pers. Data Direktorat Pembinaan Pers pada 23 September 1999, menyatakan bahwa jumlah penerbitan media cetak di Indonesia yang meliputi suratkabar, tabloid, majalah, dan bulletin mencapai 1.687 buah. Padahal pada tahun 1997 hanya 289 media, yang menunjukkan bahwa hanya sekitar seperlima dari jumlah penerbitan media setelah terbitnya UU No. 40 Tahun 1999. 143 sangat penting menciptakan kehidupan bermsyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis sehingga kemerdekaan mengeluarkan pendapat yang tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945 harus dijamin. 112 Selain itu, dinyatakan pula dalam Pasal 2 UU No. 40 Tahun 1999 bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip- prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Hal-hal yang diatur secara berbeda dibanding dengan peraturan perundangan yang sebelumnya 113 adalah pers dan kebebasan pers yang diakui sebagai kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasas prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum Pasal 2. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara Pasal 4 A1. Pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran Pasal 4 Ayat 2. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional berhak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi Pasal 4 Ayat 3. Serta dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan 112 Lihat konsideran UU No. 40 Tahun 1999. 113 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers dan Undang-Undang No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. 144 hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak Pasal 4 Ayat 4. Undang-Undang ini mengandung materi yang memberikan jaminan atas kebebasan pers sebagai hak asasi dan sebagai wujud atas adanya kedaulatan rakyat. Adanya ketentuan-ketentuan yang tegas yang menolak ancaman eksternal terhadap kebebasan pers seperti: a. penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, Pasal 4 ayat 2; b. tindakan yang menghambat atau menyebarluaskan gagasan dan informasi, Pasal 4 ayat 3; c. kepada siapa saja yang melakukan ancaman terhadap kebebasan pers dapat dipidana, Pasal 18 ayat 1; dan, d. pelanggaran-pelanggaran terhadap kewajiban penghormatan terhadap norma-norma agama, ras kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah Pasal 5 ayat 1, dapat diancam pidana, Pasal 18 ayat 2. Ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal tersebut mendorong agar kegiatan pers yang bebas dan dilindungi oleh undang-undang, tidak diintervensi oleh pihak manapun, sekaligus juga memberikan pengakuan bahwa kebebasan pers atau yang kemudian disebut sebagai 145 kemerdekaan pers seharusnya dapat dilaksanakan secara bertanggungjawab. Asas tanggung jawab responsibility media terhadap publik penikmat media, juga dimuat oleh karena pers memiliki potensi melakukan kekeliruan dalam melaksanakan aktivitasnya. Kekeliruan dapat berdampak negatif pada aspek kepentingan orang atau sekelompok orang, baik langsung maupun tidak langsung. Maka dari itu, diperlukan mekanisme pertanggungjawaban pers atas tindakan negatif yang dilakukannya. Mekanisme tanggung jawab pers kemudian dimunculkan dalam undang-undang, dengan maksud bahwa persoalan yang timbul oleh karena aktivitas pers sudah selayaknya diselesaikan melalui pertanggung jawaban pers yang diperuntukkan pers sendiri. Karya pers jurnalistik yang bermasalah mempunyai mekanisme tanggungjawabnya sendiri. Terkait dengan muatan pers, yang kemudian diatur di dalam UU No. 40 Tahun 1999, secara khusus terdapat pada Pasal 5 ayat 1 yang menyatakan bahwa pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan ras kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Pasal ini menjadi satu-satunya ketentuan di dalam UU No. 40 Tahun 1999 yang memberikan pernyataan bahwa muatan di dalam 146 pers harus memiliki syarat prakondisi tertentu. Pasal ini juga menjadi satu-satunya ketentuan yang secara eksplisit menyatakan kewajiban atas sesuatu muatan pers yang hendak disebarluaskan. Hal menarik berikutnya adalah bahwa dengan diundangkannya UU No. 40 Tahun 1999 ini, dipertegas adanya suatu lembaga yakni Dewan Pers yang dimaksudkan untuk menjadi pelindung kebebasan pers, yang tidak lagi menjadi penasihat Pemerintah. 114

b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran