196
undang yang mengatur media internet di Indonesia. Substansinya
sebenarnya mengacu
pada perkembangan
lalu-lintas perdagangan
yang menggunakan media internet sebagai sarananya.
Akan tetapi, perlu dicermati bahwa ada muatan isi media yang diatur di dalam Pasal 27, Pasal 28 dan
Pasal 29, yang memberikan batasan terhadap isi internet dalam bentuk informasi dan dokumen
elektronik, dimana isi ini akan dikonsumsi secara luas oleh masyarakat pengguna internet.
3. Struktur dalam Jaminan Hukum terhadap Kebebasan Berekspresi
Dibentuknya peraturan perundang-undangan tentang media, mempunyai implikasi yuridis yang
berakibat pada pembentukan struktur di dalam bidang yang diatur. Struktur di bidang media
muncul beriringan dengan situasi dan kondisi yang hendak dibentuk oleh negara. Pentingnya struktur
ini dimaksudkan terutama untuk memberikan kontrol terhadap substansi media yang makin
berkembang
seiring dengan
perkembangan teknologi media. Struktur berkaitan dengan
keberadaan perangkat lembaga serta aparat yang memiliki tugas dan wewenang tertentu.
Isi media yang menjadi kunci dalam implementasi kebebasan berekspresi, perlu diawasi
oleh negara, sebagai pelindung hak. Mekanisme pengawasan dapat dilakukan dengan metode
197
preventif maupun represif. Metode-metode tersebut digunakan dengan menghadirkan lembaga tertentu
yang dapat menjadi representasi negara untuk melaksanakan perlindungan hukum atas hak.
Masing-masing undang-undang
pula, membentuk lembaganya sendiri sesuai bidang
media untuk sekaligus juga menjadi lembaga terdepan dalam menjamin perlindungan. Lembaga-
lembaga ini dibentuk oleh undang-undang dengan maksud agar negara dapat dihadirkan secara fisik,
yang secara etis dan norma memiliki kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap isi media.
Berikut lembaga-lembaga dimaksud:
Tabel 3.4. Lembaga Negara di Bidang Media
Lembaga Tugas pokok terkait isi media Dewan
Pers
Dibentuk berdasarkan Pasal 15 UU Pers, yang pada pokoknya dimaksudkan untuk
mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, yang
bersifat independen. Salah satu fungsi penting lembaga ini adalah
memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas
kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
Komisi Penyiaran
Indonesia
Dibentuk berdasarkan Pasal 7 UU Penyiaran, sebagai lembaga negara independen yang
mengatur hal-hal mengenai penyiaran. Dalam wewenangnya, KPI dapat menetapkan Pedoman
Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran sekaligus menjadi pengawas yang dapat
memberikan sanksi pula terhadap para pelanggar peraturan KPI tersebut.
198
Lembaga Sensor
Film
Dibentuk berdasarkan Pasal 57-58 UU Perfilman. Lembaga ini bersifat tetap dan
lembaga independen yang bertugas untuk melakukan penyensoran terhadap film
berdasarkan pedoman dan kriteria sensor film vide Pasal 6 dan Pasal 7.
Pembentukan lembaga-lembaga
khusus tersebut mengindikasikan bahwa negara perlu
memberikan pengawasan langsung secara mandiri, yang melibatkan peran serta subyek-subyek yang
memiliki keahlian. Kompetensi lembaga menjadi penting karena obyek yang hendak diawasi adalah
produk-produk media yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi khalayak.
Berbeda dengan UU ITE yang tidak membentuk lembaga apapun dalam memberikan
pengawasan terhadap konten-konten ITE. Oleh karena bilamana terjadi pelanggaran terhadap
ketentuan di dalam UU ITE, maka dapat dilakukan gugatan perdata atau tuntutan pidana yang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lembaga-lembaga ini memiliki kesamaan tugas dan wewenang, yakni memberikan penilaian
terhadap isi media. Tugas dan wewenang dilaksanakan dengan membentuk peraturan-
peraturan teknis yakni peraturan organik yang memberikan ukuran-ukuran bagaimana isi media
dapat ditampilkan dan disebarluaskan. Disamping itu, lembaga-lembaga ini dimunculkan oleh
199
peraturan perundang-undangan oleh karena alasan bahwa demi menjauhkan intervensi negara dalam
aktivitas media pers, penyiaran, internet yang terlalu dalam, sehingga menciderai makna
kebebasan itu sendiri. Pelibatan unsur masyarakat dan para ahli dalam lembaga ini dilakukan demi
menjaga arus informasi yang terbuka dan tepat sasaran. Lembaga ini juga berperan sebagai self
regulatory body untuk mengatur secara teknis perihal aktivitas di dunia media.
KPI misalnya, di dunia penyiaran Indonesia, berperan utama untuk menjamin perlindungan isi
dari materi siaran yang berdasarkan prinsip diversity of content dengan: membuat peraturan
penyiaran untuk menjamin kebebasan publik untuk menggunakan media, seperti yang terdapat pada
Pasal 23 ayat 2 UU No. 391999 tentang HAM yang menyatakan bahwa setiap orang bebas untuk
mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan
atau tulisan melalui media cetak maupun elektonik dengan
memperhatikan nilai-nilai
agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan
keutuhan bangsa. Disamping
itu KPI
juga mendukung
kebebasan dan
kemerdekaan pers
yang bertanggung jawab, sesuai dengan Pasal 6 UU No.
401999 tentang
Pers, yakni
diantaranya memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan
200
menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi
Manusia, serta menghormati kebhinekaan. Bahkan dalam kontek yang lebih jauh, KPI juga harus
mampu menjamin kebebasan berkarya dengan tetap berpegang teguh pada nilai – nilai dan norma,
serta budaya yang berkembang di Indonesia, sesuai dengan Pasal 3 UU No. 81992 tentang
Perfilman
139
. Melalui UU No. 401999 dibentuklah lembaga
yang disebut dengan Dewan Pers, yang memiliki fungsi dan tugas untuk menetapkan standar-
standar tertentu bagi ‘rasa’ profesionalitas para insan pers. Dewan Pers menyusun sistem kerja
berupa: 1 Kode Praktik bagi Media Pers, yang dimaksudkan sebagai upaya pengakuan kebebasan
pers dengan fungsi menjamin berlakunya etika pers dan standar jurnalistik profesional serta media yang
bertanggung jawab; 2 Standar Operasional, yang difungsikan sebagai landasan dalam memberikan
penilaian
dan rekomendasi
menyangkut pelanggaran kode etik, penyalahgunaan profesi, dan
kebebasan pers; dan 3 Etika Bisnis Pers, yang menekankan bahwa kebebasan pers sebagai
institusi bisnis harus mengutamakan kepentingan publik, menghormati kode etik profesi, kejujuran
139
Pada saat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran disahkan, masih berlaku Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman yang
masih berlaku, sehingga KPI bertindak juga berdasarkan nilai-nilai dan asas-asas yang diatur di undang-undang tersebut.
201
dan keadilan; mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan institusi dan perorangan, setia
kepada profesi dan bidang tugasnya; serta mengutamakan supremasi hukum.
140
Dewan Pers dalam hubungan dengan isi media khususnya media pers, menekankan pada
hal-hal yang harus dilakukan oleh pembuat berita pers, bukan kepada muatan yang hendak
ditampilkan. Bahwa kemudian yang dilindungi adalah kebebasan pers, Dewan Pers tidak serta
merta turut campur memberikan batasan-batasan tentang isi pers. Berbeda dengan KPI yang
membentuk standar-standar tentang isi program, Dewan Pers lebih kepada mengarahkan pelaku-
pelaku pers untuk membuat berita yang bertanggungjawab. Yakni berita yang dibuat dengan
etika dan standar jurnalistik para pelakunya. Hal ini juga menjadi masalah tersendiri karena Dewan
Pers seharusnya mampu memfasilitasi dan mengatur distribusi media dan kesesuaian dengan
segmen yang dituju sehingga mereka yang menjadi sasaran berita atau konsumen pers tidak
mendapatkan dirinya sebagai korban.
Sementara itu, undang-undang perfilman memberikan wewenang kepada LSF untuk
memotong atau menghapus bagian gambar, adegan, suara dan teks terjemahan dari suatu film dan
140
Wahyu Wibowo, Menuju Jurnalisme Beretika: Peran Bahasa, Bisnis, dan Politik di Era Mondial. PT. Kompas Media Nusantara; Jakarta, 2009. Hal.
100.
202
reklame film yang tidak layak untuk dipertunjukkan danatau ditayangkan kepada umum ditiadakan
karena dalam undang-undang yang baru pelaku usaha perfilman melakukan self sensor. LSF
kemudian mengembalikan film yang mengandung tema, gambar adegan, suara, dan teks terjemahan
yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor kepada pemilik film yang disensor untuk
diperbaiki. Diantara eksistensi lembaga, yakni Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia dan
Lembaga Sensor Film, hanya LSF yang memiliki jangkauan kewenangan yang dapat mengatur
sampai ke dalam substansi isi media yang hendak disebarkan.
LSF berwenang berdasarkan undang-undang, mengawasi isi film semenjak film tersebut hendak
diproduksi sampai
dengan film
tersebut disebarluaskan. LSF juga memiliki kewenangan
untuk menerbitkan surat tanda lulus sensor, yang menjadi bentuk legalitas bahwa sebuah hasil dari
produksi film dapat diedarkan dan disebarluaskan di Indonesia. Hanya saja pelaksanaan penyensoran
ini berdasarkan prinsip dialog yang dimaksudkan agar LSF tidak ikut campur terlalu jauh dalam
sebuah produksi film, khususnya dalam hal isi.
Sebagai bagian dari struktur, lembaga- lembaga ini dimungkinkan untuk bertemu dalam
satu waktu. Pertemuan kewenangan tersebut berada pada ranah publik public sphere yang
203
menyediakan fasilitas bagi masing-masing lembaga menunjukkan eksistensinya dalam mengatur isi
media. Ranah publik menjadikan isi media menjadi bahan utama bagi Dewan Pers, KPI dan LSF untuk
menyatakan bahwa isi media telah diawasi dan disebarluaskan dengan standar tertentu.
Persinggungan yang terkait dengan kinerja lembaga-lembaga tersebut, yang disebabkan oleh
saluran danatau sarana media yang digunakan untuk menyebarluaskan isi, adalah sarana yang
sama. LSF dan KPI menerbitkan Memo Bersama Nomor 03NKKPIX2012 atau 2273LSFX2012
yang mengatur tentang Penyensoran dan Kewajiban Pencantuman Klasifikasi Usia Penonton Film di
Layar Televisi, yang salah satu klausulnya menyatakan bahwa KPI dan LSF menegaskan
pemberlakuan ketentuan dan syarat bagi lembaga penyiaran televisi bahwa isi siaran dalam bentuk
film danatau iklan film bagi jasa penyiaran televisi, sebagaimana ditetapkan peraturan perundang-
undangan, wajib memperoleh tanda lulus sensor dari LSF.
Disamping itu, KPI dan Dewan Pers juga senantiasa bersinggungan dengan masalah isi
siaran yang seringkali melibatkan hasil dari kegiatan jurnalistik, yang dilakukan oleh jurnalis
wartawan, kemudian disiarkan melalui lembaga- lembaga penyiaran. Dua lembaga ini secara
bersama-sama melakukan pengawasan agar isi
204
siaran, tunduk pada ketentuan pada UU Pers dan UU Penyiaran yang mengakomodasi kepentingan
yang sama di bidang media, terutama dalam hal produk jurnalistik yang disebarluaskan melalui
media penyiaran.
4. Limitasi Kebebasan Berekspresi dalam Isi Media