Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman

164 Pasal 29 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Pasal-pasal dalam UU ITE tersebut pada dasarnya memuat konteks larangan terhadap perbuatan-perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai ancaman terhadap kebebasan berekspresi. Artinya bahwa implementasi atas kebebasan berekspresi pada UU ITE mengarah pada bentuk-bentuk larangan terhadap perbuatan yang dianggap menciderai kebebasan berekspresi pada beberapa hal yang terkait, yakni: a kesusilaan, b perjudian, c penghinaan danatau pencemaran nama baik, d pemerasan danatau pengancaman, e kerugian konsumen, f rasa kebencian atau permusuhan individu danatau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan SARA, dan g ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.

d. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman

Undang-undang ini dibentuk sebagai respon terhadap perkembangan film di Indonesia, yang kemudian harus direspon 165 secara akomodatif. Undang-Undang No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan aktivitas film di Indonesia. Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman disusun dengan maksud sebagai peraturan yang merespon adanya reformasi di bidang politik dan kebudayaan, dimana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong terciptanya paradigma baru, khususnya mengenai film. Dalam undang- undang ini pula, aspek-aspek yang menjadi perhatian adalah perlindungan hukum terhadap aktivitas perfilman, sensor danatau penyensoran film, serta peran serta masyarakat luas di bidang perfilman yang difasilitasi negara. Sebagai karya seni kebudayaan, film dapat ditampilkan dengan atau tanpa suara yang mengandung arti bahwa film menjadi media komunikasi massa yang dapat menyampaikan pesan dan gagasan kepada publik. Film juga menjadi bentuk ekspresi yang mempunyai fungsi pendidikan, hiburan, informasi, dan pendorong karya kreatif. Oleh karena fungsi tersebut, maka film dapat berfungsi ekonomi yang mampu memajukan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan prinsip persaingan usaha yang sehat. Film menyentuh berbagai segi kehidupan manusia dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 166 Undang-undang ini hendak mengatur segala aktivitas di dunia film, yang diselenggarakan di Indonesia. Baik aspek tata kelola, produksi, pemasaran, pembuatan dan aktivitas-aktivitas stakeholders di bidang film di Indonesia. Film memang produk kesenian yang berbeda dengan produk seni yang lain, yang di dalamnya hampir memuat segala ekspektasi dari pembuatnya dan ditujukan kepada khalayak yang berasal dari berbagai latar belakang. Film memuat hal-hal yang merupakan wujud ekspresi pembuatnya dan segala pihak yang terlibat untuk mencapai suatu pesan tertentu yang hendak disampaikan kepada masyarakat penikmatnya. Film adalah bagian dari kebudayaan yang mampu menjadi sarana untuk tujuan-tujuan pencerdasan bangsa, sebagai pengembangan kualitas manusia yang berpotensi budaya, film juga dianggap dapat menjadi alat penetrasi kebudayaan sehingga perlu untuk mendapatkan perhatian khusus dalam hal substansinya yang mudah terkontaminasi dengan nilai-nilai asing yang bersifat negatif. Hal-hal tersebut menjadi latar belakang alasan dibentuk dan diterbitkannya undang-undang perfilman di Indonesia, selain karena alasan bahwa undang- undang yang lama sudah tidak sesuai dengan perkembangan era global. 167 Film dapat diproduksi di dalam negeri dan dapat pula merupakan film-film yang diproduksi oleh pembuatnya di luar negeri. Maka dari itu film dapat diedarkan dari luar negeri ke dalam negeri. Pemerintah sebagai pelindung atas beredarnya film, harus mampu untuk memberikan perlindungan bagi peredaran film di Indonesia yang dimaksudkan untuk tetap dapat mewujudkan kecerdasan kehidupan bangsa, terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa,meningkatnya harkat dan martabat bangsa, berkembangnya dan lestarinya nilai budaya bangsa, meningkatnya kesejahteraan masyarakat, dan berkembangnya film berbasis budaya bangsa yang hidup dan berkelanjutan. Film sebelum beredar dan dipertunjukkan di Indonesia wajib disensor dan memperoleh surat tanda lulus sensor yang dikeluarkan oleh lembaga khusus yakni lembaga sensor film. Sensor pada dasarnya diperlukan untuk melindungi masyarakat dari pengaruh negatif film dari adanya dorongan kekerasan, perjudian, penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, serta penonjolan pornografi,penistaan, pelecehan danatau penodaan nilai-nilai agama atau karena pengaruh negatif budaya asing. 129 Adapun mekanisme penyensoran dilaksanakan dengan 129 Pasal 60 ayat 2 Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. 168 prinsip dialog dengan pemilik film yang disensor yaitu pelaku kegiatan perfilman, pelaku usaha perfilman, perwakilan diplomatik atau badan internasional yang diakui Pemerintah. Sedangkan film yang mengandung tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor dikembalikan kepada pemilik film untuk diperbaiki sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor. Di dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman memuat bahwa peran strategis perfilman, pembiayaan pengembangan perfilman, lembaga sensor film, dan badan perfilman Indonesia dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah. Selain itu masyarakat wajib dilindungi dari pengaruh negatif film, masyarakat juga diberi kesempatan untuk berperan serta dalam perfilman, baik secara perseorangan maupun secara kelompok. Adanya latar belakang pemikiran-pemikiran tersebut di atas, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan perfilman dan semangat zamannya sehingga perlu dicabut dan diganti. Penyusunan UU Perfilman yang baru UU No. 33 Tahun 2009 169 dilakukan sesuai persyaratan penyusunan Undang-undang, dengan melibatkan seluruh elemen ataupun stake holder yang terlibat dalam dunia perfilman baik itu budayawan kemudian akademisi, praktisi-praktisi perfilman, para pengamat film dan kebudayaan, bahkan juga para artis serta pengusaha-pengusaha perfilman. Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 secara substansial mengatur hal-hal yang berkaitan dengan film, yakni tentang bagaimana proses pembuatan film, mengatur tentang masalah- masalah yang berkenaan dengan pendidikan atau skill tentang perfilman, isi film, metode penayangan dan cara mengedarkan film. Pada undang-undang ini diperkenalkan kategorisasi film yang yang layak dikonsumsi oleh penikmatnya, yakni golongan umur tertentu, waktu tertentu. Tentang cara peredaran film juga diatur agar tidak terjadi monopoli oleh salah satu pihak tertentu saja. Berkaitan dengan isu kebebasan, maka undang-undang ini mengatur hal-hal yang terkait dengan isi dengan menghadirkan satu lembaga yang disebut dengan Lembaga Sensor Film yang peranannya diperkuat untuk mengukur atau menilai suatu substansi film. Isi film diawasi oleh lembaga ini dengan tujuan agar produk film dapat memenuhi standar- 170 standar kualitas tertentu yang ditetapkan agar tidak memberikan dampak negatif terhadap konsumennya. Satu hal yang menarik dalam undang-undang ini yang berkaitan dengan isi dalam kebebasan berekspresi adalah tentang adanya self sensor sebagai isu yang banyak dibahas. Pengguntingan film yang ditiadakan, dikarenakan para pembuat film dibebaskan untuk memproduksi filmnya sendiri untuk kemudian diajukan ke lembaga sensor. Lembaga sensor kemudian memberikan penilaian sesuai dengan kriteria. Bilamana tidak sesuai dengan kriteria, maka lembaga sensor mengembalikan film dimaksud kepada pembuatnya, disertai dengan permintaan untuk memperbaikinya sendiri. Inilah yang disebut dengan self sensor. Mengembangkan kebebasan berekspresi di bidang perfilman, undang-undang mengatur mengenai isi film yang terdapat pada Pasal 6 UU No. 33 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang mengandung isi: a. mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psiko- tropika, dan zat adiktif lainnya; b. menonjolkan pornografi; 171 c. memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antar suku, antar ras, danatau antargolongan; d. menistakan, melecehkan, danatau mendoai nilai-nilai agama; e. mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum; danatau f. merendahkan harkat dan martabat manusia. Isi yang diatur di dalam perfilman juga menyangkut iklan dalam film yang disebut iklan film, yang pada dasarnya secara substansi tidak boleh bertentangan dengan Pasal 6 tersebut di atas. Secara otentik undang-undang ini menggunakan kalimat larangan, sehingga mengindikasikan ada ruang batasan bagi pelaksanaan isi film. Sejalan dengan itu, pada pasal-pasal lainnya juga dibatasi isi film yang berkaitan dengan beredarnya film, yakni: adanya kewajiban bagi pemerintah untuk mencegah masuknya film impor yang bertentangan dengan nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa Pasal 41. Tentang beredarnya film atau iklan film ini, juga harus mendapatkan dengan tanda lolos uji yang disebut dengan surat tanda lulus sensor dari lembaga sensor film Pasal 57-58. 172 Ada yang menarik yang dapat menjadi perhatian juga, yakni bahwa pada Pasal 2 dan 3, pemerintah berkewajiban melindungi dan memfasilitasi setiap produksi film. Sedangkan pada Pasal 17 tertera bahwa pembuat film wajib melaporkan judul, isi, dan rencana produksi film kepada Kementerian Kebudayaan dan pariwisata sebelum memulai proses produksi. Jadi semenjak awal ada upaya untuk membuka ruang produksi film kepada pemerintah dengan maksud agar ada kejelasan tentang hal apa yang hendak dibuat film.

B. Kebebasan Berekspresi dalam Peraturan Tentang Media di Indonesia