BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM PERJANJIAN
KREDIT PEMILIKAN RUMAH APABILA TERJADI FORCE MAJEURE
STUDI PADA PT. DAYA PRIMA INDONESIA
A. Hak Konsumen Perumahan yang Tidak Terpenuhi Akibat
Force majeure
Memiliki rumah merupakan kebutuhan utama yang menjadi salah satu tujuan hidup manusia dan prioritas. Menangkap kebutuhan masyarakat tersebut,
banyak pengembang berlomba menyediakannya. Rumah murah dengan harga terjangkau ditawarkan oleh beberapa pengembang. Mahal atau murahnya sebuah
rumah tergantung dari harga tanahnya. Harga murah yang ditawarkan oleh pengembang, biasanya terletak di tepi kota besar, karena harga tanah yang masih
terjangkau untuk rumah murah.
94
Rumah sederhana merupakan salah satu tipe rumah sangat diminati oleh masyarakat Indonesia. Dikarenakan harganya yang tidak terlalu mahal dengan
cicilan yang ringan, sehingga secara langsung memperkecil biaya sehari-hari yang akan dikeluarkan.
95
94
Wawancara dengan Bapak Gustian Danil, Direktur Utama PT.Daya Prima Indonesia dan Wakil Ketua Umum bidang penelitian dan pengembangan APERSI pada Senin, 14 Mei 2013
95
Ibid.
Saat ini banyak perumahan rumah sederhana yang ditawarkan oleh developer perumahan. Dalam memasarkan produk propertinya, pengembang
tidak hanya bertarung konsep proyek tapi juga berperang strategi pemasaran. Guna menarik banyak konsumen tak jarang pengembang memberikan promo-
Universitas Sumatera Utara
promo yang menggiurkan. Salah satu contohnya adalah dengan memberikan kemudahan biaya booking atau pemesanan.
96
Force majeure atau keadaan memaksa, istilah ini cukup sering diucapkan dalam peristiwa sehari-hari terutama terkait dengan peristiwa hukum. Klasul
mengenai force majeure ini sering dicantumkan dalam pasal-pasal sebuah kontrak. Istilah keadaan memaksa berasal dari bahasa Inggris, yaitu force
majeure, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan overmacht. Menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro S.H. keadaan memaksa dalam hukum adalah
keadaan yang menyebabkan bahwa suatu hak atau suatu kewajiban dalam suatu perhubungan hukum tidak dapat dilaksanakan
. 97
Secara general, peristiwa force majeure sering dikaitkan dengan suatu kejadian yang disebabkan oleh kekuatan yang lebih besar biasanya berupa gempa
bumi, banjir, gunung meletus acts of god, perang, kerusuhan, tindakan pemerintah, tindakan teroris, dan lain-lain yang menghalangi pihak untuk
berprestasi terkait suatu perjanjian.
98
Hingga saat ini belum ada definisi yang tegas terhadap force majeure, beragam interpretasi muncul termasuk dari para ahli hukum sehingga tidak jarang
perbedaan interpretasi itu berujung masalah di kemudian hari. Biasanya, salah satu upaya para pihak untuk mencegah perbedaan interpretasi mengenai force
96
Nur Januarita, Teliti Sebelum Membeli Rumah dengan Promo Manis, http:property.okezone.comread20130511471805468teliti-sebelum-membeli-rumah-dengan-
promo-manis, diakses pada Rabu, 29 Mei 2013
97
Oemiy, Keadaan Memaksa Overmacht dalam hukum Perdata,
http:oemiy.wordpress.com20101230keadaan-memaksa-overmacht-dalam-hukum-perdata, diakses pada Rabu, 29 Mei 2013
98
Chandra Kurniawan, Force majeure, http:stef
anuschandrakurniawan.blogspot.com201105force-majeure.html, diakses pada Rabu, 29 Mei 2013
Universitas Sumatera Utara
majeure adalah dengan memasukkan secara terperinci mengenai keadaan-keadaan yang dianggap sebagai force majeure. Hal tersebut ternyata tidak cukup malah
cenderung semakin mengaburkan gambaran mengenai force majeure. Ditambah lagi
perkembangan teori force majeure relatif dan absolut. Hal ini menyebabkan force majeure memiliki dimensi yang luas dan harus dilihat secara
kasus per kasus untuk penetapannya.
99
1. Pasal 1244:
Menurut Hasanuddin Rahman, SH, Ada beberapa Pasal dalam KUH Perdata yang dapat digunakan sebagai pedoman ketentuan force majeure, antara
lain:
“Jika ada alasan untuk itu, si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tidak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau
tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena suatu hal yang tidak terduga, pun tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya. Kesemuanya itupun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.”
2. Pasal 1245:
“Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tidak disengaja siberhutang
berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.”
3. Pasal 1545:
“Jika suatu barang tertentu, yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah diluar salah pemiliknya, maka persetujuan dianggap sebagai gugur, dan
siapa yang dari pihaknya telah memenuhi persetujuan, dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar-menukar.”
99
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
4. Pasal 1553:
“Jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tidak disengaja, maka persetujuan sewa gugur
demi hukum.”
Kata “tidak disengaja” dalam Pasal 1245 dan Pasal 1553 pada dasarnya kurang tepat, karena kata “tidak disengaja” berkonotasi kelalaian negligence
yang dalam Hukum Perdata, juga diatur dalam ketentuan hukum tersendiri. Sehingga kata yang tepat adalah “diluar kesalahan”.
100
Menurut Munir Fuady, force majeure dapat dibedakan dalam berbagai jenis.
Bila dilihat dari segi sasaran yang terkena force majeure, maka force majeure
sering dibedakan dalam:
101
1. Force majeure yang obyektif, yaitu force majeure yang terjadi atas benda
yang merupakan obyek kontrak tersebut. Artinya, keadaan benda tersebut sedemikian rupa sehingga tidak mungkin lagi dipenuhi prestasi sesuai
kontrak, tanpa adanya unsur kesalahan dari pihak debitur. Misalnya benda tersebut terbakar, maka pemenuhan prestasi sama sekali tidak mungkin
dilakukan, karena yang terkena adalah benda yang merupakan obyek kontrak. Force majeure seperti ini disebut juga dengan physical
impossibility. 2.
Force majeure yang subyektif, yaitu force majeure yang terjadi dalam hubungannya dengan perbuatan atau kemampuan debitur itu sendiri.
100
Hasanuddin Rahman, Contract Drafting Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, Hal. 206
101
Munir Fuadi, Hukum Kontrak dari sudut pandang hukum bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, Hal. 87-88
Universitas Sumatera Utara
Misalnya jika si debitur sakit berat sehingga tidak mungkin berprestasi lagi.
Selanjutnya, bila dilihat dari segi kemungkinan pelaksanaan prestasi dalam kontrak, suatu force majeure dapat dibedakan dalam:
1. Force majeure yang absolut, yaitu suatu force majeure yang terjadi
sehingga prestasi dari kontrak sama sekali tidak mungkin dilakukan. Misalnya, barang yang merupakan obyek kontrak musnah.
2. Force majeure yang relatif, yaitu suatu force majeure di mana pemenuhan
prestasi secara formal tidak mungkin dilakukan, walaupun secara tidak normal masih mungkin dilakukan. Misalnya, terhadap kontrak ekspor
impor, dimana setelah kontrak di buat, terdapat larangan impor atas barang tersebut.
Sedangkan apabila dilihat dari segi jangka waktu berlakunya keadaan yang menyebabkan terjadinya force majeure, maka force majeure dapat dibedakan
dalam: 1.
Force majeure permanen, yaitu jika sama sekali sampai kapanpun suatu prestasi yang terbit dari kontrak tidak mungkin dilakukan lagi. Misalnya
jika barang yang merupakan obyek dari kontrak tersebut musnah di luar kesalahan debitur.
2. Force majeure temporer, yaitu jika terhadap pemenuhan prestasi dari
kontrak tersebut tidak mungkin dilakukan untuk sementara waktu. Atau dengan kata lain, karena terjadi peristiwa tertentu di mana setelah
peristiwa tersebut berhenti, prestasi tersebut dapat dipenuhi kembali.
Universitas Sumatera Utara
Misalnya, jika barang yang menjadi obyek kontrak tersebut tidak mungkin dikirim karena terjadi pergolakan sosial. Akan tetapi, nanti pada saat
kondisi sudah aman, maka barang tersebut dapat dikirim kembali. Force majeure sangat erat hubungannya dengan masalah ganti rugi dari
suatu kontrak. Dimana dalam hal ini salah satu hak konsumen adalah untuk mendapatkan kompensasi atau ganti rugi apabila barang yang diterima tidak
sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Karena force majeure membawa konsekuensi hukum bukan saja hilangnya atau tertundanya kewajiban-kewajiban
untuk melaksanakan prestasi yang terbit dari suatu kontrak, melainkan juga suatu force majeure dapat juga membebaskan para pihak untuk memberikan ganti rugi
akibat tidak terlaksananya kontrak yang bersangkutan. Didalam pengaturan mengenai ganti rugi yang terdapat didalam Pasal
1244 KUH Perdata dapat dilihat bahwa hanya ada pengaturan ganti rugi oleh debitur. Namun, bagaimana jika yang terhalang untuk berprestasi adalah pihak
pengembang dalam perjanjian kredit pemilikan rumah KPR? Hal ini bisa terjadi dalam program KPR Indent. KPR Indent adalah produk pembiayaan dalam rangka
pembelian rumah, ruko, rukan, rusunapartemen secara inden atas dasar pesanan, bagi nasabah perorangan dengan menggunakan prinsip akad Istishna’ Jual Beli
atas dasar pesanan, dengan pengembalian secara tangguh cicilan bulanan dalam jangka waktu tertentu.
102
102
BTN, Pembiayaan KPR Indensya BTN iB,
http:www.btn.co.idSyariahProdukProduk-PembiayaanPembiayaan-KPR-Indensya-BTN- Syariah.aspx, diakses pada Sabtu, 14 September 2013
Universitas Sumatera Utara
Dalam pengaturan mengenai force majeure untuk kontrak jual beli, khususnya mengenai resiko sebagai akibat dari force majeure tersebut yang diatur
dalam pasal 1460 KUH Perdata. Pasal 1460 KUH Perdata tersebut menyatakan :
“jika kebendaan yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang ini sejak saat pembelian adalah atas tanggungan
si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan dan si penjual berhak menuntut harganya.”
Dengan demikian, menurut pasal 1460 tersebut maka setelah kontrak jual beli tersebut ditandatangani resiko beralih kepada pihak pembeli, sungguhpun
benda tersebut belum diserahkan atau belum masanya diserahkan. Ini merupakan ketentuan yang tidak tepat, sebab pengalihan risiko akibat
dari force majeure tersebut semestinya terjadi sejak saat penyerahan seharusnya dilakukan. Dalam sistem KUHPerdata suatu kontrak hanya bersifat obligator saja.
Artinya, setelah kontrak tersebut dilakukan, masih memerlukan tindakan hukum lainnya, yaitu yang disebut dengan “penyerahan” yang dapat dilakukan setelah
kontrak jual beli dilakukan. Mestinya resiko baru beralih sejak saat seharusnya penyerahan benda tersebut dilakukan, bukan pada saat kontrak jual beli dilakukan.
Ketidaktepatan pengaturan resiko dalam pasal 1460 KUH Perdata tersebut sebenarnya hanya kesalahan histories semata-mata. Sebab KUH Perdata Indonesia
diambil alih dari KUHPerdata belanda yang mempunyai sistem yang sama dengan KUH Perdata Indonesia. Sementara KUH Perdata Belanda diambil alih
dari KUH Perdata prancis, yang mempunyai sistem yang berbeda. Menurut sistem KUH Perdata Perancis, hak milik segera beralih setelah kontrak jual-beli
dilakukan bukan setelah penyerahan. Ketika KUH Perdata belanda mengambil
Universitas Sumatera Utara
alih KUH Perdata prancis, perbedaan sistem jual beli ini tidak diperhitungkan. Sehingga muncullah pengaturan resiko dalam jual beli seperti di Perancis, yang
merupakan ketentuan yang tidak sinkron dengan sistem KUH Perdata belanda itu sendiri. Kesalahan yang sama diulang kembali ketika KUH Perdata Indonesia
mengambil alih KUH Perdata Belanda.
103
Karena pasal 1460 KUH Perdata ini berada diluar sistem dan dirasakan sangat tidak adil bagi pihak penjual, maka Mahkamah Agung Republik Indonesia
melalui Surat Edarannya No.3 Tahun 1963 memintakan agar para hakim tidak memberlakukan pasal 1460 tersebut. Karena itu pula, pengaturan resiko sebagai
akibat dari force majeure dari pasal 1460 tersebut tidak dapat dipakai sebagai pedoman untuk mengartikan resiko dalam hukum kontrak secara umum.
104
Disinilah peran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2009 tentang Perlindungan Konsumen diharapkan dapat digunakan sebagai acuan bagi pihak
konsumen dalam menuntut haknya. Dalam perjanjian Kredit Pemilikan Rumah tentu saja salah satu hak konsumen yang tercantum dalam kewajiban pelaku usaha
pada pasal 7 UUPK adalah memberi kompensasi, ganti rugi danatau penggantian apabila barang danatau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian. Dan konsumen juga berhak mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang danatau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Selama belum terjadi serah terima kunci oleh pihak pengembang kepada konsumen maka pembangunan
rumah sepenuhnya masih menjadi tanggung jawab pengembang. Sehingga apabila
103
Dewi, Force majeure dan Akibat Hukumnya, makalah, Hal. 7-8, dapat diunduh pada www.google.com, diakses pada Rabu, 29 Mei 2013
104
Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
terjadi force majeure pada saat masa pembangunan rumah dalam hal KPR Indent dan keadaan tersebut masih memungkinkan untuk dipenuhinya prestasi maka hal
ini menjadi resiko developer apabila tidak diperjanjikan sebelumnya.
105
Sebagian besar perjanjian Kredit Pemilikan Rumah KPR tidak ada menyebutkan klausul mengenai force majeure yang terjadi sebelum serah terima
kunci dikarenakan konsumen pada umumnya mengambil KPR setelah rumah selesai dibangun atau siap pakai. Hal ini sering dilupakan oleh pengembang
developer dan bisa saja merugikan pihak pengembang jika hal seperti ini terjadi. Ditambah lagi kondisi alam yang semakin tidak bisa diprediksi. Namun,
pengembang lazim mengiterpretasikan force majeure adalah berupa kebakaran, dimana konsumen memang diwajibkan untuk menggunakan asuransi kebakaran,
meskipun pada prakteknya tidak sedikit konsumen yang bersedia menulis surat pernyataan untuk tidak menggunakan asuransi kebakaran karena merasa keberatan
untuk membayar premi sehingga pengembang tidak lagi bertanggung jawab atas hal tersebut. Hal inilah yang salah satunya dapat merugikan konsumen.
106
B. Upaya Menyelesaikan Hak Konsumen Perumahan yang Tidak