terjadi force majeure pada saat masa pembangunan rumah dalam hal KPR Indent dan keadaan tersebut masih memungkinkan untuk dipenuhinya prestasi maka hal
ini menjadi resiko developer apabila tidak diperjanjikan sebelumnya.
105
Sebagian besar perjanjian Kredit Pemilikan Rumah KPR tidak ada menyebutkan klausul mengenai force majeure yang terjadi sebelum serah terima
kunci dikarenakan konsumen pada umumnya mengambil KPR setelah rumah selesai dibangun atau siap pakai. Hal ini sering dilupakan oleh pengembang
developer dan bisa saja merugikan pihak pengembang jika hal seperti ini terjadi. Ditambah lagi kondisi alam yang semakin tidak bisa diprediksi. Namun,
pengembang lazim mengiterpretasikan force majeure adalah berupa kebakaran, dimana konsumen memang diwajibkan untuk menggunakan asuransi kebakaran,
meskipun pada prakteknya tidak sedikit konsumen yang bersedia menulis surat pernyataan untuk tidak menggunakan asuransi kebakaran karena merasa keberatan
untuk membayar premi sehingga pengembang tidak lagi bertanggung jawab atas hal tersebut. Hal inilah yang salah satunya dapat merugikan konsumen.
106
B. Upaya Menyelesaikan Hak Konsumen Perumahan yang Tidak
Terpenuhi Akibat
Force majeure
Besarnya tingkat pertumbuhan konsumsi masyarakat tidak seimbang dengan meningkatnya kesadaran hak konsumen dan perlindungan konsumen. Hal
ini karena di Indonesia tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah disebabkan minimnya edukasi terhadap konsumen. Faktor lain minimnya
kesadaran akan hak seorang konsumen juga terlihat dari rendahnya laporan
105
Wawancara dengan Bapak Gustian Danil, Direktur Utama PT.Daya Prima Indonesia dan Wakil Ketua Umum bidang penelitian dan pengembangan APERSI Asosiasi Perumahan dan
Pemukiman Seluruh Indonesia pada Senin, 14 Mei 2013
106
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
pengaduan konsumen. Jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia termasuk negara yang tingkat pengaduannya paling rendah. Bandingkan dengan Malaysia
yang jumlah aduannya mencapai 32.369. Namun ini juga kecil dibandingkan dengan Amerika Serikat yang pengaduan konsumennya mencapai 1,2 juta.
107
Padahal dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen diatur akan hak konsumen dan perlindungan konsumen. UU tersebut juga menjadi
payung hukum, dimana konsumen berhak tahu, apakah produk yang dibeli sudah sesuai standar nasional Indonesia, apakah barang yang dibeli dijamin
kehalalannya dan aman untuk dikonsumsi atau dipakai, berhak melakukan pengaduan keluhan jika barang tidak sesuai dan berhak pula mendapatkan layanan
yang terbaik.
108
Menurut Prof. Subekti, risiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan kejadian di luar kesalahan salah satu pihak. Persoalan risiko
berpangkal pada terjadinya suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang mengadakan perjanjian. Dengan kata lain, persoalan risiko adalah buntut dari
kaadaan memaksa atau force majeure. Dalam Bagian Umum Buku ke III KUH Perdata sebenarnya hanya dapat ditemukan satu pasal yang sengaja mengatur
persoalan risiko, yaitu dalam Pasal 1237. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa ”Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu maka
107
Neraca, Cerdas Berbelanja Cerdas Pula Akan Haknya, http:
www.neraca.co.idharianarticle27606Cerdas.Berbelanja.Cerdas.Pula.Akan.Haknya, diakses pada Senin, 20 Mei 2013
108
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
barang itu semenjak perikatan dilahirkan adalah atas tanggungan si berpiutang”.
109
Persoalan mengenai unsur force majeure, eksistensi perjanjian, dan risiko yang merupakan akibat dari force majeure juga mengalami perkembangan dalam
Dalam hal ini, perkataan ”tanggungan” dipersamakan dengan ”risiko”. Jika ditilik dari redaksinya, pasal tersebut hanya mengatur mengenai perjanjian
sepihak, yaitu perjanjian di mana hanya ada suatu kewajiban pada satu pihak, yaitu kewajiban untuk memberikan suatu barang tertentu, dengan tidak
memikirkan bahwa pihak yang memikul kewajiban ini juga dapat menjadi pihak yang berhak atau dapat menuntut sesuatu. Pasal 1237 KUH Perdata tidak
memikirkan perjanjian yang bertimbal balik sehingga untuk menentukan risiko harus mencari pasal-pasal dalam Bagian Khusus. Dalam bagian khusus, ada
beberapa pasal yang mengatur persoalan risiko, misalnya Pasal 1460 mengenai risiko dalam perjanjian jual-beli, Pasal 1545 mengenai risiko dalam perjanjian
tukar-menukar, dan Pasal 1553 yang mengatur risiko dalam perjanjian sewa- menyewa. Sebagai catatan, pasal-pasal di atas mengatur persoalan risiko secara
berbeda. Pasal 1460 misalnya, meletakkan risiko pada pundak si pembeli, yang merupakan kreditur terhadap barang yang dibelinya. Pasal 1545 mengatur secara
berbeda karena meletakkan risiko pada pundak masing-masing pemilik barang yang dipertukarkan. Pemilik dalam hal ini adalah debitur terhadap barang yang
dipertukarkan dan musnah sebelum diserahkan.
109
Surah Winarni, “Pembatalan Perjanjian Kredit”, disampaikan dalam Focus Group Discussion FGD: Overmacht dalam Ketentuan Perundang-undangan, Yurisprudensi, dan
Doktrin, kerja sama antara Pusat Kajian Dampak Regulasi dan Otonomi Daerah FH UGM dengan National Legal Reform Program, 13 Maret 2010, Yogyakarta, dapat diakses pada
http:id.scribd.comdoc9069248911F-Akibat-Force-Majeure, diakses pada Senin, 27 Mei 2013
Universitas Sumatera Utara
berbagai putusan pengadilan yang diteliti. Salah satu unsur force majeure menurut Putusan MA RI No. Reg. 24 KSip1958 yaitu tidak ada lagi kemungkinan-
kemungkinan alternatif lain yang legal atau tidak melanggar peraturan bagi pihak yang terkena force majeure untuk memenuhi perjanjian
.
110
Menurut Gustian Danil dalam upaya menyelesaikan permasalahan hak konsumen yang tidak terpenuhi akibat terjadinya force majeure adalah dimulai
dari melihat klasifikasi force majeure itu sendiri dan membuat konsumen sadar akan hak dan kewajibannya. Apakah force majeure yang terjadi bersifat sementara
atau sebaliknya, apakah prestasi masih memungkinkan untuk dipenuhi atau tidak dan apakah konsumen sudah memenuhi kewajiban untuk menggunakan asuransi
yang diwajibkan dalam perjanjian akad kredit. Seperti yang pernah terjadi pada salah satu proyek pembangunan PT. Daya Prima Indonesia di kabupaten Asahan
pada tahun 2006 yang tertimpa banjir. Banjir merupakan salah satu bentuk force majeure dan konsumen tidak tertutupi dengan asuransi atas bencana ini dan rumah
juga masih dalam tahap pembangunan yang masih menjadi tanggung jawab developer meskipun akad kredit sudah dijalankan. Sebagai pengembang, PT.
Daya Prima Indonesia bertanggungjawab atas pembangunan selagi masih ada kemungkinan untuk meneruskannya. PT. Daya Prima Indonesia mengirimkan
surat pemberitahuan kepada konsumen atas tertundanya pembangunan unit rumah yang terkena banjir dan juga menyampaikan permohonan penambahan waktu
pembangunan rumah.
111
110
Ibid.
111
Wawancara dengan Bapak Gustian Danil, Direktur Utama PT.Daya Prima Indonesia dan Wakil Ketua Umum bidang penelitian dan pengembangan APERSI Asosiasi Perumahan dan
Pemukiman Seluruh Indonesia pada Senin, 14 Mei 2013
Universitas Sumatera Utara
Hal ini sesuai dengan 3 tiga unsur yang harus di penuhi untuk force majeure ini, yaitu:
112
1. Tidak memenuhi prestasi;
2. Ada sebab yang terletak di luar kesalahan yang bersangkutan;
3. Faktor penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada yang bersangkutan. Selain itu, dalam suatu force majeure harus dapat dibuktikan oleh orang
atau pihak yang bersangkutan, mengenai:
113
1. Bahwa ia tidak bersalah;
2. Bahwa ia tidak dapat memenuhi kewajibannya dengan jalan lain
sekalipun; 3.
Ia tidak dapat menanggung risiko. Namun, jika force majeure yang terjadi sama sekali memusnahkan barang
yang diperjanjikan dan tidak lagi memungkinkan untuk dipenuhinya prestasi dalam hal diluar kemampuan salah satu pihak maka hal ini tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban dari pihak manapun sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam KUH Perdata sebagai berikut :
1. Pasal 1244:
“Jika ada alasan untuk itu, si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tidak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau
tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena suatu hal yang tidak terduga, pun tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya. Kesemuanya itupun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.”
112
Hasanuddin Rahman, Loc.Cit.
113
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
2. Pasal 1245:
“Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tidak disengaja siberhutang
berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.”
3. Pasal 1545:
“Jika suatu barang tertentu, yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah diluar salah pemiliknya, maka persetujuan dianggap sebagai gugur, dan
siapa yang dari pihaknya telah memenuhi persetujuan, dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar-menukar.”
4. Pasal 1553:
“Jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tidak disengaja, maka persetujuan sewa gugur
demi hukum.”
Khusus terhadap Perjanjian Kredit, terjadinya force majeure tidak serta merta membebaskan debitur melaksanakan kewajibannya membayar utang.
Dalam kasus bencana tsunami di Aceh dan gempa bumi di Yogyakarta misalnya, terjadinya peristiwa alam tidak dijadikan sebagai suatu alasan oleh debitur untuk
meminta permohonan pembatalan perjanjian kredit. Sebaliknya, pihak kreditur pun tidak memberikan perlakuan yang berbeda dengan debitur pada umumnya.
Pada prinsipnya, kredit haruslah tetap dibayar sesuai dengan kemampuan debitur.
114
Terkait dengan hal ini, Bank Indonesia membuat kebijakan bahwa mereka debitur korban bencana alam diperlakukan sebagai debitur kolektibilitas
lancar sampai dengan tiga tahun. Apabila sampai tiga tahun tetap tidak membayar kewajibannya maka Bank akan melakukan langkah-langkah penagihan sampai
penjualan agunan. Khusus bagi korban tsunami yang secara nyata debitur telah
114
Surah Winarni, Loc.Cit.
Universitas Sumatera Utara
meninggal atau agunan telah musnah dan usaha juga tidak mungkin lagi dijalankan maka Bank membuat kebijakan untuk dihapus bukukan atau tidak lagi
ditagih. Selanjutnya, pemerintah akan menanggung utang tersebut dan menjadi beban Anggaran Pendapatan Belanja Negara APBN.
115
Begitu pula dalam hal KPR Indent, Bank Indonesia membuat kebijakan untuk menghapus bukukan hutang debitur dan pembangunan rumah tetap
dilanjutkan dan menjadi tanggungan pemerintah. Dalam hal ini tsunami digolongkan kedalam bencana nasional yang merugikan banyak masyarakat
Indonesia, sehingga pemerintah langsung turun tangan dan membuat kebijakan untuk membantu meringankan beban para korban.
116
Penyelesaian sengketa konsumen seperti yang telah dibahas sebelumnya sesuai dengan Undang –Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menetapkan dua cara penyelesaian yaitu di luar pengadilan dan melalui pengadilan. Melalui peradilan umum
dimana konsumen dapat mengajukan kepada pengadilan negeri untuk menuntut ganti rugi dari pelaku
usaha, atau bila masih ada unsur pidana, dapat melapor kepada polisi sebagai aparat penyidik umum. Selanjutnya berdasarkan laporan tersebut akan dilakukan
penyidikan tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap tindak pidana perlindungan konsumen. Pemeriksaan di pengadilan menggunakan hukum acara
yang berlaku di Pengadilan Negeri. Dapat pula melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen disingkat sebagai BPSK yaitu salah satu lembaga peradilan
konsumen berkedudukan pada tiap Daerah Tingkat II kabupaten dan kota di
115
Ibid.
116
Wawancara dengan Bapak Petrus, Staf Bagian Analis KPR Bank Tabungan Negara pada Jumat, 13 September 2013
Universitas Sumatera Utara
seluruh Indonesia sebagaimana diatur menurut Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bertugas utama menyelesaikan persengketaan
konsumen di luar lembaga pengadilan umum, BPSK beranggotakan unsur perwakilan aparatur pemerintah, konsumen dan pelaku usaha atau produsen yang
diangkat atau diberhentikan oleh Menteri, dalam menangani dan mengatur permasalahan konsumen, BPSK memiliki kewenangan untuk melakukan
pemeriksaan atas kebenaran laporan dan keterangan dari para pihak yang bersengketa, melihat atau meminta tanda bayar, tagihan atau kuitansi, hasil test
lab atau bukti-bukti lain, keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK bersifat mengikat dan penyelesaian akhir bagi para pihak.
117
Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK dengan cara Konsiliasi atau Mediasi atau
Arbitrase, ganti rugi yang dapat dituntut konsumen dari pelaku usaha, yaitu berupa pengembalian uang pengganti, barang sejenis atau setara nilainya atau
perawatan kesehatan atau pemberian santunan atau keduanya.
118
C. Hambatan yang Dihadapi Dalam Menyelesaikan Permasalahan