BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pesatnya perkembangan perekonomian yang ada di Indonesia menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan barang dan jasa pada masyarakat
Indonesia. Perkembangan ekonomi yang terjadi di Indonesia ini tidak terlepas dari pengaruh lingkungan ekonomi negara-negara di kawasan Asia dalam cakupan
terbatas dan lingkungan ekonomi dunia dalam perspektif yang lebih luas.
1
Hal ini dikarenakan sistem perekonomian Indonesia yang bersifat terbuka sehingga lebih
mudah dipengaruhi oleh prinsip-prinsip perekonomian global.
2
Perkembangan perekonomian global yang pesat mendongkrak angka permintaan dan penawaran
dari masyarakat Indonesia. Pola pikir masyarakat yang dahulunya berorientasi hanya kepada kebutuhan primer kini berubah menjadi kebutuhan yang bersifat
lebih konsumtif. Ditambah lagi, pada awal 80-an pemerintah Indonesia melakukan liberalisasi sistem keuangannya yang ditandai dengan pemberian
kelonggaran dalam pengawasan arus modal asing, lalu lintas devisa dan kebebasan dalam menentukan jumlah kredit yang akan disalurkan. Implikasi dari
liberalisasi keuangan ini adalah tersedianya banyak pilihan bagi masyarakat akan jasa-jasa keuangan dan persaingan usaha yang makin ketat.
3
1
Bank Indonesia, Studi Ekonomi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Bank Indonesia, Jakarta, 2002, Hal. 6
2
Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I, BooksTerrace Library, Bandung, 2007, Hal. 2
3
Bank Indonesia, Op.Cit., Hal. 6
Universitas Sumatera Utara
Hal ini didukung pula oleh setiap program yang dibentuk oleh pemerintah yang pada hakikatnya untuk meningkatkan pembangunan di segala bidang
terutama di bidang perdagangan dan perindustrian. Dari pesatnya perkembangan perekonomian dan pembangunan di Indonesia terbukalah peluang usaha bagi para
pengusaha dalam memproduksi barang dan jasa. Namun, dalam prakteknya banyak pengusaha yang melakukan monopoli yang dapat merugikan konsumen
bahkan tidak sedikit diantaranya yang memanfaatkan kebutuhan masyarakat ini menjadi suatu kegiatan yang merugikan konsumen seperti dalam bentuk
penipuan–penipuan ataupun kegiatan yang menyangkut keselamatan dan keamanan konsumen dalam mengkonsumsi barang dan jasa.
Salah satu dampak dari liberalisasi keuangan yang terlihat dalam bidang perdagangan adalah pengaduankomplain dari masyarakat atas barang atau jasa
yang dikonsumsinya.
4
Hal ini sesungguhnya tidak terlepas dari minimnya pengetahuan dan kurang pedulinya konsumen terhadap hak–haknya sebagai
konsumen serta kurang kuatnya kedudukan konsumen terhadap pengusaha sehingga menyebabkan ketidakberdayaan konsumen dalam menuntut tanggung
jawab pengusaha.
5
Berdasarkan banyaknya pengaduan masyarakat akan barang dan jasa yang dikonsumsinya, pemerintah membentuk suatu peraturan mengenai perlindungan
konsumen yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Lahirnya Undang- Undang Perlindungan Konsumen ini diharapkan dapat mendorong dibentuknya
4
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen Instrumen-Instrumen Hukumnya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, Hal. 10
5
Sugondo, Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Pemilikan Rumah KPR Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen, Skripsi, Universitas Sumatera Utara, 2008, Hal.3
Universitas Sumatera Utara
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, akan dapat menempatkan posisi konsumen pada posisi yang seharusnya, yaitu menjadi seimbang.
6
Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen secara khusus mengatur permasalahan konsumen dan memberi wadah bagi
aspirasi dan advokasi yang akan dilakukan konsumen jika terjadi tindakan tidak bertanggung jawab yang dilakukan oleh produsen. Harapan terhadap UUPK jelas
sangat besar. Walaupun belum sempurna, akan tetapi adanya undang-undang ini merupakan suatu langkah maju dalam rangka menciptakan kegiatan usaha yang
sehat di Indonesia pada umumnya, dalam upaya memberikan perlindungan kepada konsumen pada khususnya.
7
Pada setiap kegiatan usaha yang sehat semestinya terdapat keseimbangan perlindungan hukum antara konsumen dengan pengusaha. Tidak adanya
perlindungan yang seimbang menyebabkan konsumen berada dalam posisi yang lemah. Lebih–lebih jika produk yang dihasilkan bersifat terbatas, pengusaha dapat
menyalahgunakan posisinya yang monopolistis tersebut. Hal ini tentu saja akan merugikan konsumen.
8
Indonesia sebagai negara berkembang, yang industrinya baru mengalami tahap permulaan, perkembangan hukum perlindungan konsumennya belum
Kerugian-kerugian yang dialami konsumen tersebut dapat timbul sebagai akibat dari adanya hubungan hukum perjanjian antara produsen
dan konsumen maupun dari adanya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh produsen.
6
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, Hal. 101
7
Abdi Darwis, Hak Konsumen Untuk Mendapat Perlindungan Hukum dalam Industri Perumahan di Kota Tangerang , Tesis, Universitas Diponegoro, 2010, Hal. 14
8
Ibid., Hal.1
Universitas Sumatera Utara
berkembang sebagaimana di negara–negara maju. Hal ini disebabkan karena lazimnya perkembangan perlindungan konsumen merupakan akibat dari
perkembangan industri suatu negara.
9
Lambannya perkembangan perlindungan konsumen di negara berkembang yang perkembangan industrinya baru pada tahap permulaan karena sikap
pemerintah pada umumnya masih melindungi kepentingan industri yang merupakan faktor yang esensial dalam pembangunan suatu negara. Akibat dari
perlindungan kepentingan industri pada negara berkembang, termasuk indonesia tersebut, maka ketentuan-ketentuan hukum yang bermaksud untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen atau anggota masyarakat kurang berfungsi karena tidak diterapkan secara ketat. Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa
usaha pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada konsumen telah dilakukan sejak lama, hanya saja kadang tidak disadari bahwa pada dasarnya
tindakan tertentu yang dilakukan oleh pemerintah merupakan usaha untuk melindungi kepentingan konsumen.
10
Sejak berlaku efektifnya Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada 20 April 2000 hingga dikeluarkannya sejumlah
peraturan pelaksanaan Undang–Undang Perlindungan Konsumen, belum banyak perubahan sikap perlakuan pelaku usaha terhadap konsumen. Hampir pada semua
komoditas terdapat dugaan pelanggaran-pelanggaran hak-hak konsumen di Indonesia.
11
9
Ibid., Hal. 67
10
Ibid., Hal. 68
11
Yusuf Shofie, Op.Cit., Hal. 6
Yang dimaksud dengan kata seimbang dalam tujuan dibentuknya Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini adalah hak dan kewajiban
Universitas Sumatera Utara
konsumen dan produsen, salah satunya adalah pemberian ganti rugi sesuai dengan ketentuan Pasal 19 UUPK yang berisi :
1 Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, danatau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang
danatau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. 2 Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa pengembalian
uang atau penggantian barang danatau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan danatau pemberian santunan yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Walaupun dalam UUPK telah tampak adanya upaya untuk mengembangkan kedudukan antara konsumen dengan produsen, namun dalam
UUPK tersebut masih terdapat beberapa kekurangan, baik berupa pembatasan ruang gerak produsen secara berlebihan, maupun ketentuan-ketentuan hukum
yang sulit diterapkan dengan baik.
12
Dapat dilihat bahwasanya pelaksanaan dari perlindungan konsumen ini diperlukan pembinaan sikap, baik dari para pelaku usaha maupun para konsumen.
Salah satu bentuk dari pembinaan sikap dapat dilakukan melalui pendidikan sebagai media sosialisasi. Melalui pendidikan, mahasiswa ataupun orang awam
dapat mengerti dan memahami hak-haknya sebagai konsumen dan melakukannya dalam praktek di masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan pendidikan konsumen
sangat dibutuhkan dalam hal pelaksanaan perlindungan konsumen.
13
Ruang lingkup pembahasan mengenai perlindungan konsumen sangat luas, salah satunya adalah perlindungan terhadap konsumen perumahan. Pesatnya
peningkatan kepadatan penduduk di Indonesia merupakan salah satu alasan mendasar yang mendongkrak permintaan masyarakat atas rumah.
12
Ahmadi Miru, Op.Cit., Hal. 70
13
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Rencana Pembangunan Jangka Menengah RPJM Nasional Tahun 2010 – 2014 mencantumkan bahwa salah satu prioritas pembangunan di Indonesia yang
akan dilakukan adalah Perumahan Rakyat berupa pembangunan 685.000 Rumah Sederhana Sehat Bersubsidi, 180 Rusunami dan 650 twin block berikut fasilitas
pendukung kawasan permukiman bagi keluarga yang kurang mampu. Hal ini membuktikan bahwa perumahan dan permukiman merupakan salah satu
kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya terus diupayakan agar semakin besar lapisan masyarakat dapat menempati rumah dengan lingkungan pemukiman
yang layak, sehat, aman dan serasi. Pembangunan perumahan dan pemukiman pada dasarnya merupakan tugas
dan tanggung jawab masyarakat sendiri. Dalam hubungan ini, negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui
penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam
perumahan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini tercantum di dalam poin b konsideran Undang-Undang No. 1
Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, rumah merupakan suatu
kebutuhan yang penting dan paling utama. Rumah yang berdiri di atas lahankavling masih merupakan pilihan utama sebagian besar orang, karena
merupakan suatu yang membawa kepuasan tersendiri untuk dihuni bersama keluarga. Mewujudkan rumah yang sehat bagi tiap-tiap keluarga rakyat
Universitas Sumatera Utara
merupakan tujuan pembangunan yang mendasari kebijakan-kebijakan yang diambil. Kebijaksanaan umum pembangunan perumahan diarahkan untuk :
14
a. Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dalam lingkungan yang sehat,
secara adil dan merata, serta mampu mencerminkan kehidupan masyarakat yang berkepribadian Indonesia.
b. Mewujudkan pemukiman yang serasi dan seimbang, sesuai dengan pola tata
ruang kota dan tata daerah, serta tata guna tanah yang berdaya guna dan berhasil guna.
Pembangunan perumahan dan pemukiman, perlu diperhatikan kondisi dan pengembangan nilai-nilai sosial budaya masyarakat, laju pertumbuhan penduduk
dan penyebarannya, pusat-pusat produksi dan tata guna tanah dalam rangka membina kehidupan masyarakat yang maju. Pembangunan perumahan dan
pemukiman harus dapat pula mendorong perilaku hidup sehat dan tertib serta ikut mendorong kegiatan pembangunan di sektor lain.
15
Untuk membiayai pembangunan perumahan dan pemukiman, maka lembaga pembiayaan yang melayani pembangunan perumahan perlu ditingkatkan
dan dikembangkan peranannya sehingga dapat mendorong terhimpunnya modal yang memungkinkan pembangunan rumah milik dan rumah sewa dalam jumlah
besar. Sejalan dengan itu, perlu diciptakan iklim yang menarik bagi pembangunan perumahan baik oleh masyarakat maupun orang perorangan antara lain dengan
penyediaan kredit yang memadai, pengaturan persewaan dan hipotik perumahan.
14
Hotman Nainggolan, Aspek Hukum Perjanjian Dalam Pembelian Rumah Melalui Kredit Pemilikan Rumah KPR Bank Tabungan Negara BTN Medan Pada Perumnas Simalingkar
Medan, Skripsi, Universitas Sumatera Utara, 2000 Hal. 2
15
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Disamping itu perlu didorong partisipasi masyarakat dalam pemupukan dana bagi perumahan.
16
Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia jelas menghadapi masalah dimana sebagian besar masyarakat masih berpenghasilan rendah.
Pemerintah perlu mengambil kebijaksanaan untuk meningkatkan taraf hidup rakyatnya dengan jalan memberikan kredit kepada anggota masyarakat yang
sederhana salah satunya kredit pemilikan rumah. Pemberian kredit pemilikan rumah tersebut diberikan pemerintah diwakili oleh Bank Tabungan Negara BTN
berdasarkan Surat Menteri Keuangan RI No.B. 49MKIVI1974, tanggal 29 Januari 1974. Adapun tujuan pemberian kredit pemilikan rumah tersebut adalah
memberikan bantuan kepada golongan masyarakat ekonomi lemah yang berpenghasilan rendah dan menengah untuk dapat membeli rumah sederhana
dengan pembayaran secara angsuran untuk ditempati dan dihuni oleh masyarakat itu sendiri yang belum mampu mempunyai rumah.
Namun, pada prakteknya, dapat dilihat bahwasanya kepadatan penduduk dari tahun ke tahun semakin bertambah dan menyebabkan kebutuhan akan lahan
perumahan semakin besar sehingga lahan menjadi semakin terbatas yang menyebabkan harga tanah menjadi semakin tinggi. Sehingga saat dibangun
perumahan maka harganya sulit untuk dijangkau masyarakat biasa yang berpenghasilan rendah.
17
KPR adalah salah satu produk kredit yang sangat diminati oleh perbankan untuk ditawarkan kepada konsumen Indonesia. Potensi pasar rumah yang masih
16
Andi Hamzah dkk, Dasar-dasar Hukum Perumahan, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, Hal. 1-2
17
Hotman Nainggolan, Op.Cit., Hal. 53-54
Universitas Sumatera Utara
besar dengan tingkat suku bunga yang lumayan tinggi menjadikan produk ini memang sangat menjanjikan untuk meraih profit yang besar. Maka dari itu,
kucuran kredit di sektor perumahan terus meningkat setiap tahun. Kenaikan permintaan atas rumah yang terus melonjak dari tahun ke tahun
dipicu oleh tumbuh kembangnya perekonomian bangsa dan tingginya kepadatan penduduk. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya pengembang-pengembang
baru dengan berbagai fasilitas yang ditawarkan kepada masyarakat. Akan tetapi dalam praktek akhir-akhir ini ternyata banyak sekali timbul permasalahan di
bidang tersebut yang cenderung merugikan pihak konsumen. Permasalahan pemasaran perumahan di dalam praktek pembangunan yang terjadi itu sudah
dapat dikategorikan sebagai kejahatan.
18
Merebaknya kasus perumahan pada dasarnya diawali dengan ketidaksesuaian antara apa yang tercantum dalam brosur dengan realita yang
diterima konsumen saat menempati rumah tersebut. Seperti kualitas spesifikasi teknis rumah yang rendah, perbedaan luas tanah, keterlambatan penyerahan
bangunan, masalah fasilitas sosial dan umum, dan sebagainya. Pemasaran yang dilakukan developer sangat tendensius, sehingga tidak jarang informasi yang
disampaikan itu ternyata menyesatkan atau tidak benar, padahal konsumen sudah terlanjur menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual Beli PPJB dengan
pengembang, atau bahkan sudah akad kredit dengan Bank pemberi kredit pemilikan rumah.
19
18
Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, Citra Adiya Bakti, Bandung, 1999, Hal. 44
19
Yusuf Shofie, Op.Cit., Hal. 86
Universitas Sumatera Utara
Salah satu permasalahan konsumen Kredit Pemilikan Rumah KPR yaitu Force majeureOvermacht, yaitu keadaan memaksa di luar kemampuan kedua
belah pihak yang menghalangi penunaian perikatan sehingga membebaskan debitur untuk mengganti biaya, kerugian, dan bunga. Sayangnya keadaan
memaksa ini tidak diatur dalam perjanjian KPR. Keadaan memaksa ini dalam perjanjian KPR sering disebut sebagai kejadian tak terduga.
20
Digolongkan sebagai kejadian tak terduga, antara lain, perubahan peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah di bidang perbankan.
Selain itu, keputusan likuidasi bank atau pembekuan bank tampaknya dapat dimasukkan sebagai keadaan memaksa. Keadaan memaksa ini rupanya hanya
berlaku untuk kepentingan pihak bank saja dalam bentuk kenaikan suku bunga yang tidak rasional. Padahal, keadaan memaksa menghentikan bekerjanya
perikatan dan menimbulkan akibat hukum, antara lain :
21
a. Kreditor tidak lagi dapat meminta pemenuhan prestasi;
b. Debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai wanprestasi; dan
c. Risiko tidak beralih kepada debitur.
Karena lemahnya pengaturan mengenai force majeure ini di dalam perjanjian KPR itu sendiri menyebabkan timbulnya permasalahan dimana
konsumen dirugikan akibat terjadinya force majeure tersebut. Belum lagi keadaan memaksa ini hanya berlaku untuk kepentingan bank. Namun sesungguhnya
seluruh pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan perjanjian KPR ini, termasuk konsumen dapat dirugikan dengan adanya suatu keadaan memaksa atau force
20
Yusuf Shofie, Op Cit., Hal. 74
21
Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, 1994, Hal. 27
Universitas Sumatera Utara
majeure. Hal-hal tersebut diataslah yang akan menjadi pokok utama pembahasan
di dalam skripsi yang diberi judul “PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH KPR
APABILA TERJADI FORCE MAJEURE STUDI PADA PT. DAYA PRIMA
INDONESIA.” B. Permasalahan
Secara yuridis terdapat beberapa permasalahan dalam perjanjian Kredit Pemilikan Rumah KPR . Adapun pokok permasalahan dalam penulisan skripsi
ini adalah sebagai berikut : 1.
Apa sajakah hak-hak konsumen perumahan yang tidak terpenuhi akibat dari adanya Force majeure?
2. Bagaimana upaya penyelesaian masalah hak konsumen perumahan yang tidak
terpenuhi akibat Force majeure Studi pada PT. Daya Prima Indonesia? 3.
Apa saja hambatan yang dihadapi dalam menyelesaikan permasalahan hak konsumen perumahan yang tidak terpenuhi akibat Force majeure Studi pada
PT. Daya Prima Indonesia?
C. Tujuan Penulisan