commit to user
28 Bagi Paulo Freire kegiatan mengajar sendiri dipahami bukan sebagai
proses memindahkan pengetahuan dengan hapalan, melainkan melalui proses mengajar suatu bidang itulah seorang guru diharapkan mampu mengajarkan
siswa-siswinya untuk sungguh-sungguh belajar dan bukan untuk menghapal.
48
Sebab pada dasarnya, proses mengajar adalah tindakan kreatif dan kritis dan bukan hanya mekanis belaka. Sedangkan belajar adalah belajar untuk belajar dan
bukan belajar untuk menghapal, di mana dituntut keaktifan siswa untuk mengolah sendiri secara kritis bahan yang dipelajari serta memahami alasan why dari objek
dan isi yang dipelajari.
49
Dengan demikian setelah proses pembelajaran itu selesai, siswa sendiri akan tetap terus belajar dan mengembangkan diri hingga akhirnya
mengubah diri. Dalam praktik pembelajaran problem posing, pembelajaran sekaligus menjadi proses konsientisasi, penyadaran akan hidup, situasi siswa, dan
dengan demikian menemukan cara memajukan atau mengubah hidup mereka. Proses belajar bisa dengan cara dan lembaga yang bermacam-macam. Di
tambah lagi begitu banyaknya lembaga pendidikan yang dibuat untuk mendidik lulusan yang berkompeten. Keberhasilan komunikasi tergantung dari bagaimana
proses penyampaian tujuan dari pesan pendidikan tersebut dapat diterima sebagai proses keberhasilan dari pertukaran makna dalam proses terjadinya komunikasi.
7. Ideologi dan Wacana
Teks dapat dilihat dari berbagai sisi sebab teks dibuat dari pikiran seseorang; diproduksi dan ada di dunia sebagai sesuatu yang dapat diuji secara
bebas. Teks ditafsirkan dengan jalan yang berbeda oleh masing-masing dari
48
Paul Suparno, Relevansi dan Reorientasi Pendidikan di Indonesia, artikel Edisi Paulo Freire di Majalah Basis, Januari-Februari 2001, hal 25.
49
Ibid,.hal.26
commit to user
29 pembaca dan mengambil suatu kehidupan pada setiap pikiran pembacanya.
Sesungguhnya, teks mempunyai makna lebih dari satu komunikator memaknai lain dan komunikan mungkin mengambil teks untuk sesuatu yang berbeda.
Pemaknaan terhadap teks terjadi karena ada suatu kerja pikiran yang panjang, sehingga makna tidaklah muncul dari dalam teks tersebut artinya dia
datang dari luar teks. Pembaca menemukan teks, tapi dia tidak langsung menemukan makna dalam teks tersebut, yang ia temukan adalah pesan. Makna itu
kemudian diproduksi lewat proses aktif, dinamis baik dari sisi pembuat maupun pembaca. Pembaca dan teks secara bersama-sama mempunyai andil dalam
memproduksi permaknaan; melakukan politik pemaknaan. Hubungan ini, kemudian, menempatkan seseorang sebagai satu bagian dari hubungannya dengan
sistem tata nilai yang lebih besar. Maka di sinilah, ideologi itu bekerja. Ideologi selalu mewarnai produksi wacana. Seperti kata Aart van Zoest,
bahwa teks tak pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi.
50
Wacana di sini tidaklah dipahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi menurut Foucault
adalah sesuatu yang memproduksi yang lain, diantaranya sebuah gagasan konsep atau efek. Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini,
konsep dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu.
51
50
Sobur. Alex, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001: 60
51
Salah satu yang menarik dari konsep Foucault adalah tesisnya mengenai hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Foucault mendefinisikan kuasa agak berbeda dengan beberapa ahli
lain. Kuasa di sini tidak dimaknai dalam term “kepemilikan”, dimana seseorang mempunyai sumber kekuasaan tertentu. kuasa, menurut Foucault tidak dimiliki tetapi dipraktikkan dalam suatu
commit to user
30 Ideologi dapat diartikan sebagai sistem ide-ide yang diungkapkan dalam
komunikasi atau terkadang hanya dipahami sebagai sebuah pemikiran saja. Menyitir pendapat dari Aminuddin bahwa ideologi merupakan wawasan, harapan,
maupun sistem kepercayaan yang secara ideal mewarnai sikap dan perilaku individu, kelompok kemasyarakatan, maupun dalam menjalani aktivitas
kehidupannya.
52
Teoritisi ideologi yang paling terkenal adalah Perancis Leuis Althusser, baginya ideologi hadir dalam struktur sosial itu sendiri dan muncul dari praktek-
praktek aktual yang dilaksanakan oleh institusi-institusi di dalam masyarakat.
53
Ideologi sebenarnya membentuk kesadaran individu dan menciptakan kesadaran subyektif orang tersebut tentang pengalaman. Dengan begitu suprastruktur
organisasi sosial menciptakan ideologi, yang pada gilirannya mempengaruhi pemikiran-pemikiran individu tentang realita. Teori-teori Marxis cenderung
melihat masyarakat sebagai dasar perjuangan antar kepentingan melalui dominasi sebuah ideologi terhadap ideologi lainya. Hegemoni merupakan sebuah proses
dominasi, dimana sekumpulan pemikiran merongrong atau menekan yang lain. Sedangkan, Raymond William memaknai ideologi dengan membaginya
dalam tiga ranah. Pertama, sebagai sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh
ruang lingkup dimana banyak posisi yang strategis berkaitan satu sama lain. Jika kekuasaan banyak dimaknai berhubungan dengan Negara, maka Foucault seperti dikutip Bartens, strategi
kuasa berlangsung dimana-mana. Dimana-mana terdapat aturan, system regulasi. Dengan kata lain dimana saja manusia berhubungan satu sama lain, disitulah kuasa sedang bekerja. Lihat Eriyanto,
Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta, LKis, 2006 hal 65
52
Aminuddin, Pembelajaran Sastra sebagai Proses Pemberwacanaan dan Pembangunan Perubahan Ideologi dalam Dr. Soediro Satoto dan Drs. Zainuddin Fananie ed., Sastra: Ideologi,
Politik, dan Kekuasaan, Surakarta: Muhammadiyah University Press: 2000: 47-48
53
di lihat, Litlejohn, 2001 dalam tesis Marhaeni. Dian, Wacana Kapitalis dalam Iklan anak-anak di media Televisi. Universitas Sebelas Maret, 2006
commit to user
31 kelompok tertentu. Meski di sini terlihat sebagai sikap seseorang, tapi ideologi
tidak dipahami sebagai diri individu tapi diterima oleh masyarakat, di mana ia hidup, posisi sosialnya, pembagian kerjanya dan lain-lain. Kedua, sistem
kepercayaan yang dibuat – ide palsukesadaran palsu - yang dilawankan dengan pengetahuan ilmiah. Ideologi diartikan sebagai seperangkat kategori yang dibuat
dan kesadaran palsu di mana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain. Di sini, ideologi disebarkan
lewat berbagai instrumen seperti pendidikan, politik juga media massa. Tanpa sadar kita menerimanya sebagai kebenaran yang wajar, tanpa mempertanyakan
kembali. Ketiga, proses umum produksi makna dan ide. Ideologi didefinisikan untuk menggambarkan produksi makna.
54
Ini seperti yang ditegaskan oleh Aminuddin, mengutip Terry Eagleton dalam bukunya Ideology, An Introduction 1991 bahwa ideologi dapat dipahami
sebagai cara dan sikap anggota kelompok masyarakat dalam menyikapi diri dan kelompoknya sendiri maupun dalam menyikapi orangkelompok lain.
55
Maka dari itu, ditinjau dari segi kognitif, ideologi merupakan bentuk kesadaran mental yang
tersusun berdasarkan perolehan pemahaman dan pengalaman. Di sini, dapat dimaknai bahwa ideologi yang dimiliki seseorang kurang lebih sama dengan
ideologi orang tua ataupun lingkungan keluarganya.
56
Hal ini memberikan gambaran bahwa aspek internal pembentuk ideologi mengacu pada lingkungan, kegiatan keseharian, informasi dan pesan yang didapat
dalam komunikasi sehari-hari, maupun pada kegiatan sosial yang dilakukannya.
54
Dalam Eriyanto b, Op.cit., hal 87-93.
55
Aminuddin, Ibid., hal. 49.
56
Ibid., hal. 48-49.
commit to user
32 Selanjutnya, ideologi tersebut akan menentukan sikap, keputusan, bentuk relasi,
dan perilaku dalam kehidupan. Sedangkan secara negatif, ideologi dilihat sebagai suatu kesadaran palsu,
yaitu suatu kebutuhan untuk melakukan penipuan dengan cara memutarbalikkan pemahaman orang mengenai realitas sosial.
57
Dengan kata lain, karena begitu banyak pengertian, ideologi dalam pengertian paling umum dan lunak adalah
pikiran yang terorganisir, yakni nilai, orientasi, dan kecenderungan yang saling melengkapi sehingga membentuk perspektif-perspektif ide yang diungkapkan
melalui komunikasi dengan media teknologi dan komunikasi antarpribadi.
58
Novel sebagai sebuah teks juga mengandung sebuah ideologi dari pengarangnya. Kata-kata, klausa, kalimat atau paragraf yang tersusun di dalamnya
dipandang oleh kaum Marxis tidaklah sebagai sesuatu yang netral, tapi penuh motif. Teks-teks yang ada di dalamnya bisa menjadi wacana populer bahkan
kontroversial. Sebab teks-teks tersebut muncul dari pikiran dan pemahaman seorang pengarang yang tak lepas dari berbagai terpaan ideologi sosial di
lingkungan sosialnya. Makna kata dalam teks novel dibangun dalam kaitan dan oposisinya
dengan makna kata yang digunakan secara umum dalam masyarakat. Kata-kata dalam teks sastra dipungut dari kata umum, dicipta dan dirangkai dalam susunan
yang baru sebagai sarana mengatakan satu hal dan cara lain. Ungkapan kata dalam novel dibedakan dengan bahasa biasa. Jika dalam bahasa biasa ungkapan langsung
bisa ditangkap maknanya mempercepat makna, sementara dalam novel, makna
57
Alex Sobur, Drs., Op.Cit., hal 61.
58
Ibid., hal. 64.
commit to user
33 justru ditunda. Hal ini lantaran dalam novel berlaku kecenderungan untuk
melakukan defamiliarisasi dengan kehidupan riil sehari-hari.
59
Artinya untuk memahami karya novel perlu ada proses pembalikkan dunia rekaan ke dalam
sesuatu yang dikenal. Hal-hal yang menyimpang, yang aneh, yang mengejutkan, yang terdapat dalam cipta sastra dinaturalisasikan, dikembalikan kepada sesuatu
yang dikenal, dipahami supaya komunikatif. Pendek kata, proses pemahaman tersebut dari defamiliarisasi ke familiarisasi.
60
Novel dapat dikatakan sebagai sebuah bangunan pengetahuan, dalam arti dirinya menjadi sebuah bagian kepercayaan kognisi sosial dalam masyarakat
mitos. Sebagaimana yang diutarakan Van Dijk, bahwa ciri dan sifat dari pengetahuan adalah ciri kognitif, ciri sosial, ciri relatif, dan ciri subjektif.
61
Dengan kata lain, memiliki dimensi kognitif, sosial dan diskursif. Dalam bahasa psikologi sosial, teks novel bisa dipandang mempengaruhi atau menggerakkan
alam kognitif seseorang dalam tingkat sosialnya, sehingga perubahan sosial pun dapat pula terjadi. Dia pun berkedudukan tidaklah mutlak tapi melalui diskursus
pengarangnya. Wacana yang ada pada novel pun tidaklah sesuatu yang jatuh dari langit, bukan juga suatu ruang hampa yang mandiri, tapi dibentuk dalam suatu
praktik diskursus; suatu praktik wacana.
59
Agus Wibowo, “Esai: Makna di Balik Teks Sastra”, Seputar Indonesia, 30 September 2007.
60
Dilihat dari laporan skripsi Andi Sapto Nugroho.Konstruksi Wacana Tragedi 1965: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Teks Novel Kalatidha karya Seno Gumira
Ajidarma,2008.Zainuddin Fananie, Perspektif dalam Sastra Indonesia Kontemporer, dalam Dr. Soediro Satoto dan Drs. Zainuddin Fananie ed., Op.cit. hal. 19
61
M.E. Purnomo, Anilisis Wacana Kritis dan Penerapannya, dalam LINGUA, Jurnal Bahasa dan Sastra, Volume 5 No. 1 Desember 2005, hal. 72.
commit to user
34
8. Bahasa, Representasi dan Interpretasi