MEDIA DAN WACANA PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN

(1)

commit to user SKRIPSI

MEDIA DAN WACANA PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN (Sebuah Studi Critical Discourse Analysis Wacana Pendidikan Pondok Pesantren

Yang Direpresentasikan Dalam Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi)

Diajukan Sebagai Tugas Akhir dan Untuk Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Disusun Oleh :

Sulis Dian Martanti D 1208619

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2011


(2)

(3)

commit to user ii

PERSETUJUAN

MEDIA DAN WACANA PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN (Sebuah Studi Critical Discourse Analysis Wacana Pendidikan Pondok Pesantren

Yang Direpresentasikan Dalam Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi)

Disusun Oleh : SULIS DIAN MARTANTI

NIM : D 1208619

Telah disetujui oleh Dosen Pembimbing I dan Dosen Pembimbing II untuk diuji dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta.

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof.Drs. H. Pawito, Ph.D. Mahfud Anshori, S.Sos. M.Si NIP. 19540805198503 1 002 NIP. 19790908 200312 1 001


(4)

commit to user iii

PENGESAHAN

Skripsi ini telah diuji dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta.

Pada hari : ... Tanggal : Maret 2011

Dewan Penguji:

1. Dra. Prahastiwi Utari. M.Si,Ph.D ( ) NIP. 19600813198702 2 001

2. Drs. Hamid Arifin. M.Si ( )

NIP. 19600517198803 1 002

3. Prof.Drs. H. Pawito, Ph.D. ( )

NIP. 19540805198503 1 002

4. Mahfud Anshori, S.Sos. M.Si ( )

NIP. 19790908 200312 1 001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Negeri Sebelas Maret

Surakarta

Drs. H. Supriyadi SN, SU NIP. 19530128 198103 1 001


(5)

commit to user

iv

MOTTO

Dan berperanglah kamu di jalan Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Mengetahui

-QS: Al-Baqarah ayat 244-

Success is how high you bounce when you hit bottom.

- George Smith Patton –

Seandainya aku tahu yang kita lakukan itu salah, maka itu tidak akan disebut penelitian, bukan?

- Albert Einstein -

Sesiapa yang harinya lebih baik dari hari kemarinnya maka dia seorang yang beruntung, dan sesiapa yang harinya seperti hari kemarinnya maka dia seorang yang merugi. Dan barang siapa yang harinya lebih buruk dari

hari kemarinnya maka dia seorang yang tercela. - Pondok Modern Gontor-

Cara untuk Bisa, ya Lakukanlah ! - Sulis Dian Martanti -


(6)

commit to user

v

PERSEMBAHAN

Untuk Mu ya Rabb... Ucap syukur atas rahmat dan karunia Mu..

Untuk Bapak dan ibu Tercinta Terima kasih atas untaian doa, kasih sayang dan dukungan yang tak pernah berhenti mengalir selama ini.

My Sister Family (Bowo&Susi, Dhila, Gilang) My Brothers (Alek dan Andi) Terima kasih atas dukungan dan motivasinya selama ini .. Kalianlah senyum dan warna di keluarga kita ...

untuk Zai Terima kasih atas cinta, dukungan dan kesetiannya..

Zai’s Family (Tanwir&Rifatun, Mudika, Faruq) Terima kasih atas kehangatan keluarga, cinta dan kasih sayang serta do’a kalian semua.


(7)

commit to user vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah, rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulisan skripsi dengan judul Wacana Pendidikan Pondok Pesantren Gontor (Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Teks Novel Negeri 5 Menara

karya Ahmad Fuadi dalam Wacana Pendidikan Pondok Pesantren Gontor) ini merupakan sebuah karya sederhana yang tidak luput dari kekurangan dan kesalahan. Namun demikian penulis berharap penulisan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi yang membacanya.

Dalam menyusun skripsi ini, penulis tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Drs. H. Pawito, Ph.D. sebagai dosen pembimbing pertama dan Mahfud Anshori, S.Sos. M.Si, sebagai pembimbing kedua atas waktu, perhatian dan diskusi-diskusi yang dicurahkan untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Selanjutnya penulis juga ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Drs. H. Supriyadi, SN. SU, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Dra. Prahastiwi Utari. M.Si,Ph.D, selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta.


(8)

commit to user vii

3. Drs. Surisno Satrijo Utomo, M.Si, Sekretaris Non Reguler Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

4. Nora Nailul Amal, S.Sos. M.MLED, Hons. Selaku pembimbing akademik penulis. 5. Dra. Prahastiwi Utari. M.Si,Ph.D dan Drs. Hamid Arifin. M.Si selaku dosen

penguji yang telah memberikan masukan dan saran kepada penulis.

6. Seluruh Dosen, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis. 7. Ahmad Fuadi, sebagai penulis dari novel Negeri 5 Menara.

8. Keluarga tercinta, Bapak dan Ibu serta saudara-saudaraku yang senantiasa memberikan dukungan kepada penulis selama ini.Teman-teman seperjuangan Suci, Wira, Santri, Ika, Fira, Arum, Widha, Mira, Irindra dan Sahabat-sahabat Upik, Army, Albert, Dauf, Destri, Bella, Serly, Bowo, Lea. Dan yang tidak dapat tersebut satu persatu, Terima kasih atas dukungan, semangat dan persahabatan yang indah

9. Dan seluruh pihak yang membantu terselesaikannya penulisan ini.

Surakarta, Maret 2011

Penulis,


(9)

commit to user

vii

DAFTAR ISI

JUDUL ...i

PERSETUJUAN ...ii

PENGESAHAN ...iii

MOTTO ...iv

PERSEMBAHAN ...v

KATA PENGANTAR ...vi

DAFTAR ISI...viii

DAFTAR BAGAN ...xi

ABSTRAK ...xii

ABSTRCT ...xiii

BAB I PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Perumusan Masalah ...11

C. Tujuan Penelitian ...11

D. Manfaat Penelitian ...12

E. Telaah Pustaka ...12

F. Kerangka Kerja Penelitian ...45

G. Konsep... 46

H. Metodologi Penelitian ...47

1. Pendekatan Penelitian ...47


(10)

commit to user

viii

3. Sumber Data...55

4. Analisis Data ...55

BAB II PONDOK PESANTREN GONTOR DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA... 59

A. Pondok Modern Darussalam Gontor ...59

B. Latar Belakang Terbentuknya ...60

C. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren Gontor ...66

1. Pondok Tegalsari ...66

2. Pondok Gontor Lama ...69

3. Berdirinya Pondok Gontor ...71

4. Pembukaan Tarbiyatul Athfal, 1926 ...72

5. Pembukaan Sullamu-l-Muta'allimin, 1932 ...73

6. Pembukaan Kulliyyatu-l-Mu'allimin Al-Islamiyyah,1936...75

D.Kepemimpinan Generasi Pertama...79

1. Terciptanya "Hymne Oh Pondokku" dan Peringatan 15 Tahun... 78

2. Masa Penjajahan Jepang... 79

3. Perang Merebut Kemerdekaan dan Pemberontakan PKI 1948... 80

4. Pembentukan IKPM dan Pembentukan YPPWPM... 81

5. Peringatan Seperempat Abad, Peringatan Empat Windu dan Pewakafan Pondok... 81

6. Pembukaan Perguruan Tinggi Pesantren... 82

7. Peringatan Lima Windu dan Peristiwa Sembilan Belas Maret... 83


(11)

commit to user

ix

E. Kepemimpinan Generasi Kedua... 84

1. Pembentukan PLMPM... 85

2. Peringatan Delapan Windu dan Peringatan 70 Tahun... 86

3. Pendirian Pondok-Pondok Cabang... 86

F. Estefet Kepemimpinan Pada Generasi Kedua... 87

1. Pendirian Gontor 6 Darul Qiyam Magelang... 87

2.Kampus Gontor Putri 2... 87

3. Gontor buka cabang di Kendari... 88

4.Kampus Gontor Putri III di Karangbanyu... 88

BAB I I I

PESAN PENDIDIKAN DALAM NOVEL: TEKS DAN KONTEKS SITUASI... 90

A. Analisis Model Halliday... 93

1. Kurikulum pendidikan di Pondok Pesantren Gontor ... 93

2. Metode pendidikan dalam praktek pengajaran... 98

3. Disiplin... 106

4. Keteladanan sebagai bentuk dari motivasi... 112

BAB IV IDEOLOGI DALAM KATA DAN KALIMAT: MODEL ROGER FOWLER DKK... 118

A. Kosakata... 119

B. Hasil Analisis Model Roger Fowler dkk... 122

1. Kurikulum pendidikan di Pondok Pesantren Gontor ...123

2. Metode pendidikan dalam praktek pengajaran... 128


(12)

commit to user

x

4. Keteladanan sebagai bentuk dari motivasi... 134

BAB V PENUTUP... 139

A. Kesimpulan ...139

B. Saran ...144

DAFTAR PUSTAKA ...146


(13)

commit to user

xii

Sulis Dian Martanti, Wacana Pendidikan Pondok Pesantren Gontor (Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadapTeks Novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi dalam Wacana Pendidikan Pondok Pesantren Gontor )

ABSTRAK-Atas dasar pemikiran teoritikal, metodologi, serta metode yang mendiami ranah paradigma teori-teori kritis, penelitian yang berjudul “Wacana Pendidikan Pondok Pesantren Gontor (Sebuah Studi Critical Discourse Analysis

terhadap Teks Novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi dalam Wacana Pendidikan Pondok Pesantren Gontor ) merupakan sebuah tipe analisis wacana. Penelitian ini mencoba memahami bagaimana praktek ideologi dilibatkan, di propagandakan dan menjadi wacana budaya baru di dalam suatu struktur sosial yang dijalankan dan direproduksi melalui teks novel.

Dengan asumsi epistemologis bahwa pemahaman kepada suatu realitas selalu di jembatani oleh nilai-nilai tertentu (value mediated finding), maka tipe analisis wacana yang dipakai, yaitu Critical Discourse Analysis. Analisis ini berdiri di atas pendekatan subjektif, yang memiliki bahwa realitas dan atau pengetahuan sosial tidak memiliki sifat yang obyektif, melainkan interpretatif. Penggunaan tiap bahasa dianggap mengandung pesan tersembunyi (laten), serta cenderung membawa konsekuensi ideologis komunikatornya.

Analisis wacana kritis bersifat holistik dan subyektif. Analisis wacana kritis, berupaya melihat nilai-nilai yang mendasari pernyataan seorang komunikator. Nilai-nilai itu yang menjadi moral concern analisis wacana kritis, sekaligus menjadi dasar aksiologis lewat prinsip-prinsip emansipatoris, kritik, transformasi, atau pun penguat sosial. Penelitian ini mengangkat permasalahan tentang wacana Pendidikan Pondok Pesantren Gontor dalam Teks Novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi. Fokus pernyataannya adalah bagaimana Ahmad Fuadi mengkonstruksikan wacana tersebut dalam bangunan kata dan kalimat. Serta bagaimana bahasa dan simbol yang digunakan dalam merepresentasikan maksud dari novel. Tiap kata dan kalimat yang dipergunakan dimaknai menunjukkan sebuah praktek ideologi.

Hal ini mengacu pada analisis yang ditawarkan Roger Fowler dkk. Dalam novel ini terdapat wacana-wacana yang muncul seperti Kurikulum pendidikan di Pondok Pesantren Gontor, Metode pendidikan dalam praktek pengajaran, Disiplin, dan Keteladanan sebagai bentuk dari motivasi. Setelah dianalisis dengan CDA model Fowler dkk.diperoleh hasil bahwa kata-kata dan kalimat yang di pakai oleh Ahmad Fuadi, dalam bercerita cenderung atau bahkan lebih berpihak pada pendidikan yang diajarkan di Pondok Pesantren Gontor. Fuadi menceritakan bagaimana kurikulum yang jauh berbeda dengan sekolah umum, dengan metode-metode pengajaran yang lebih intensif, disiplin tinggi dan dengan memberikan motivasi dan atau keteladanan seta dukungan penuh terhadap pendidikan dalam kata-kata dan kalimat provokatif, persuasif, propagandis, dan subyektif. Disebabkan Fuadi mempunyai latar belakang pernah belajar dan nyantri di Pesantren Gontor. Dengan hasil yang di perolehnya sekarang dan pencapaian ilmu yang terus mengalir yang sangat bermanfaat dalam berbagai kehidupannya. Disinilah, bentuk praktek ideologi pengarang telah bermain.


(14)

commit to user

xiii

Sulis Dian Martanti, Wacana Pendidikan Pondok Pesantren Gontor” (A Critical Discourse Analysis of the Text Novel Negeri 5 Menara of Ahmad Fuadi at Educational Discourse in Gontor Boarding Schools)

ABSTRACT- Based on theoretical of thinking, methodologies, and all methods that has inhabited at realm of critical theory paradigm, a study titled "WACANA PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN GONTOR (a Critical Discourse Analysis at Novel Negeri 5 Menara’s text that has wrotten by Ahmad Fuadi at the Educational Discourse on Gontor Boarding Schools) as an analysis discourse. This research attempts to understood how the practical involved ideology, propagated to be a new cultural discourse within at social structure and be reproduced through the novel text.

With the epistemological assumption to understanding a reality that always bridged by certain values (value mediated finding), Critical Discourse Analysis type had used as the discourse analysis. This analysis has been stand upon a subjective approach, which has reality and social science without an objective nature, but interpretative. The language usage deemed contain a hidden message (latent), and tended the ideological consequences to the comunicators.

Critical discourse analysis was a holistical and subjective. Critical discourse analysis, trying to saw the values that being to be foundation statement of a communicator. These values are the morality concern of critical discourse analysis, as well as the basic axiological through emancipatory principles, critique, transformation, or even social reinforcement. This study raised issues about the Islamic Educational discourse at Novel Gontor Negeri 5 Menaras Text of Ahmad Fuadi. The focus of the statement is how Ahmad Fuadi construct discourse at words building and sentences. And how language and symbols used to representing the intention of novel. Each word and sentence that use to interpreted show an ideological practice.

This refers to the offered analysis by Roger Fowler et al. In this novel there are discourses that emerged as the educational curriculum at the Gontor boarding house, educational methods to teach, discipline, and Modeling as a motivation form. After the analyzed by Fowler et al CDA model, it showed that the words and phrases that used by Ahmad Fuadi in his story was tell or even more likely to the educational side that is taught at Gontor Boarding School. Fuadi was telling how the curriculum has much different from public schools, with teaching methods that more intensive, high discipline and to provide motivation with an exemplary with the support to the educational in words and sentences provocate, persuade, propaganded, and subjective. It’s caused that Fuadi has backgrounds education and “nyantri” at Gontor. With his obtained results with the achievement of science that continues and flew was usefully in a variety of his life. Here, the ideological form practices of the author has been played.


(15)

commit to user BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan pendidikan di Indonesia pada kenyataannya masih

tertinggal dengan negara-negara maju dalam dunia internasional. Ini dapat

dibuktikan dengan sampai saat ini pendidikan di Indonesia masih belum diakui

keunggulannya di wilayah Asia Tenggara sekalipun.1 Menurut survey Political

and Economic Risk Consultan (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada

pada urutan ke 12 dari 12 negara di Asia. Data yang dilaporkan The World

Economic Forum Swedia (2000), Indonesia mempunyai daya saing yang rendah,

yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei dunia. Masih

menurut survey dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai

pengikut bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di Indonesia.2

Pendapat para pakar, mulai dari Jules Simon, Pestalozzy, Herbart

Spencer, Sully, John Dawey, Mj, Langeveld, William Chandler Bugle, Ki Hajar

Dewantoro, dan sebagainya. Dalam mendefinisikan pendidikan sangatlah beragam

mengingat berbedanya latar belakang mereka dan orientasi tujuan yang dimaksud.

Namun demikian, mereka sepakat bahwa obyek dari penelitian itu adalah

1

Satiadarma,Monty P. Pendidikan Kreativitas ataukah Pendidikan Moral? Dalam jurnal PROVITAE, Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara Jakarta bekerjasama dengan Yayasan Obor Indonesia Vol.1, No.1 tahun 2004, hal 3

2

Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 136.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The primary Years program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dalam kategori The Diploma Program(DP). Dapat dilihat di www.khilafah1924.org


(16)

commit to user

2 manusia, dilaksanakan secara sengaja dan penuh tanggung jawab, serta memiliki

tujuan jelas.3 Dalam dunia pendidikan terjadi juga pergulatan simbol-simbol sebab

menurut Kuntowijoyo, sebuah simbol tidak dapat dipisahkan dari struktur sosial,

gaya hidup, sosialisasi, agama, mobilitas sosial, organisasi kenegaraan, dan

seluruh perilaku sosial.4 Salah satu wilayah dunia simbolik yang tidak lepas dari

dunia pendidikan sekaligus sebagai media transformasi adalah bahasa. Bahasa

dalam dunia pendidikan yaitu sebagai pengantar komunikasi. Sepanjang yang

berkaitan dengan keefisienan komunikasi, bahasa apapun dapat dipakai dan

seperti halnya dengan penyelenggaraan pemerintahan. Tidak menjadi masalah

apakah bahasa itu berasal dari luar wilayah negara ataupun bahasa setempat.5

Di Indonesia sistem pendidikan Islam sudah berkembang sejak

berabad-abad pertama Islam datang ke Indonesia. Sejalan dengan tumbuhnya berbagai

macam kesadaran lain di kalangan umat Islam di seluruh dunia, di Indonesia

tumbuh pula kesadaran yang mendalam untuk mencari suatu sistem pendidikan

Islam baru yang dapat membantu umat untuk mencapai tujuannya sebagai hamba

Allah dan terhindar dari himbauan atau perangkap Sekularisme, kemusyikkan dan

keterbelakangan. Hal itu merupakan usaha lanjutan yang terus menerus

disempurnakan sejak beberapa abad yang lalu. Bisa dilihat perubahan dari sistem

3

Dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu usaha secara sengaja untuk mempersiapkan anak didik dengan menumbuhkan kekuatan kepribadiannya baik jasmani maupun rohani agar kelak menjadi manusia dewasa yang bermanfaat bagi dirinya, masyarakatnya, serta dapat hidup bahagia. Dapat dilihat dalam buku Sasono,Adi. Solusi Islam atas Problematika Umat (Ekonomi, pendidikan, dan Dakwah) Jakarta: Gema Insani, cet I, 1998: 122-123)

4

Kasiyanto, Analisis Wacana dan Teoritis Penafsiran Teks, dalam Burhan Bungin (ed.), Analisis Data Penelitian Kualitatif Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, (Jakarta: Rajagrafindo, 2005:150)

5

Purwo, Bambang Kaswanti ,Kajian serba Linguistik: Untuk Anton Moeliono pereksa bahasa,cet.I, Jakarta; Gunung Mulia, 2000 hal.53-56


(17)

commit to user

3 pendidikan pesantren ke sistem pendidikan madrasah dan dari sistem pendidikan

sekolah Islam termasuk sistem pendidikan agama islam di sekolah-sekolah umum.

Sementara sistem pendidikan pesantren tetap berjalan yang seringkali

berdampingan baik dengan sistem pendidikan madrasah atau sistem pendidikan

sekolah Islam dalam satu kampus.6 Pengaruh masyarakat santri terhadap

masyarakat Indonesia masih kuat, baik dalam peran pesantren sebagai pusat

tarekat7 maupun pendidikan anak-anak.

Sebagaimana diuraikan Thomas Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam, sistem pendidikan di Indonesia sudah berkembang sejak abad-abad pertama Islam datang ke Indonesia sekitar 614M. Seperti halnya di negara-negara lain,

sistem pendidikan Islam dalam perkembangannya sangat di pengaruhi oleh aliran

atau paham keislaman maupun oleh keadaan dan perkembangan sistem

pendidikan Barat. Pengaruh sistem pendidikan Barat terhadap sistem pendidikan

Islam terbukti mengakibatkan tidak hanya pendidikan Islam tidak lagi berorientasi

sepenuhnya pada tujuan Islam (yaitu membentuk manusia takwa yang

melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan Allah) tetapi juga

tidak mencapai tujuan pendidikan Barat yang bersifat sekuler.8

Jarang yang mau mengakui dengan jujur, sistem pendidikan kita adalah

sistem yang sekuler-materialistik. Biasanya yang dijadikan argument adalah UU

Sisdiknas no.29 tahun 2003 pasal 4 ayat 1 yang berbunyi, “ Pendidikan nasional

bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan Yang

6

Feisal, Jusuf Amir.Reorientasi Pendidikan Islam, cet. I, Jakarta: Gema Insani, 1995 hal.112-114 7

Lihat di Howe II, Julia Day (2001) Sufism and the Indonesia Islamic Revival, di Journal of Asian Studies. Vol.60.no.3(Aug.),hl.701-729.khususnya hl.33,50.

8


(18)

commit to user

4 Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi

warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan

masyarakat dan tanah air”. Namun diakui atau tidak, sistem pendidikan kita

adalah sistem pendidikan yang sekuler-materialistik. Hal tersebut dapat dibuktikan

antara lain pada UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang

dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: Jenis

pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi,

keagamaan, dan khusus.9

Sistem pendidikan pesantren ketika dinilai melalui parameter modernisasi

selalu di pandang negatif karena terlalu mempertahankan tradisi dan kurang

tanggap terhadap perkembangan dan perubahan zaman. Tetapi, belakangan ini

aspek tertentu yang secara jujur diakui sebagai kelebihan pesantren. Pesantren

adalah sistem pendidikan yang tumbuh dan lahir dari kultur Indonesia yang

bersifat indigeous. Lembaga inilah yang dilirik kembali sebagai model dasar pengembangan konsep pendidikan (baru) Indonesia. Pesantren dengan demikian

mulai diperhatikan dari multi perspektif sehingga tidak selalu dinilai negatif. Ada

9

Dari pasal tersebut tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umu. Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia salih yang berkepribadian Islam sekaligus mampu mejawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi. Perlu diingat juga sekularis itu tidak otomatis selalu anti agama. Tidak selalu anti “iman” dan anti “taqwa”. Sekularisme itu hanya menolak peran agama untuk mengatur kehidupan public, termasuk aspek pendidikan. Jadi, selama agama hanya menjadi masalah privat dan tidak dijelaskan asas untuk menata kehidupan publik seperti sebuah sistem pendidikan, maka sistem pendidikan itu tetap sistem pendidikan sekuler, walaupun para individu pelaksana sistem itu beriman dan bertaqwa (sebagai pelaku individu. Dapat dibaca di www.khilafah1924.org


(19)

commit to user

5 segi-segi kelemahan sistem pendidikan pesantren sehingga harus dikritik, tetapi

ada juga kelebihan-kelebihan tertentu yang perlu ditiru bahkan dikembangkan.10

Pondok atau asrama, meskipun dalam batas tertentu ada perbedaannya

secara mendasar dapat memberikan alternatif dalam proses pembelajaran bila

diberdayakan secara optimal, sehingga menjadi kecenderungan sekolah-sekolah

uggulan. Kehidupan pondok atau asrama memberikan berbagai manfaat antara

lain interaksi antara murid dengan guru bisa berjalan secara intensif, memudahkan

sesama murid yang memiliki kepentingan sama dalam mencari ilmu,

menimbulkan stimulasi belajar. Dan memberi kesempatan bagi pembiasaan

sesuatu.11

Pada manfaat pemberian kesempatan bagi pembiasaan sesuatu ini, pondok

atau asrama terbukti menjadi sasaran yang efektif bagi penerapan pembiasaan

sesuatu kegiatan seperti pembentukkan lingkungan bahasa (bi’ah lughawiyah). Hal itu pula yang diajarkan di pesantren Gontor, Jawa timur. Kebesaran Gontor

sebagai sebuah lembaga pendidikan bukan hanya karena besarnya bangunan,

bukan pula besarnya area yang dimiliki atau karena kebesaran para pemimpinnya.

Akan tetapi, kebesaran Pondok Pesantren Modern Gontor dikarenakan kebesaran

para alumninya yang menyebar ke berbagai sudut wilayah di Indonesia, bahkan

mancanegara. 12

Kemasyurannya bahkan sampai keluar Indonesia. Namun, tidak banyak

orang yang mengetahui rahasia dibalik kebesaran pondok pesantren Modern yang

10

Qomar, Mujamil. Pesantren: Dari Transformasi Metodologi menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga, 2002, hal. 81-82

11

Qomar, Mujami Ibid hal. 83 12


(20)

commit to user

6 telah berusia hampir satu abad ini. Hal ini lah yang akan diceritakan oleh Ahmad

Fuadi Penulis Novel Negeri 5 Menara, Alumnus Pondok Modern Gontor dan George Washington University. Penulis pernah tampil di KickAndy, Metro TV

bulan Mei 2010 dan Tatap Muka TVOne bulan Agustus lalu.13

Novel Negeri 5 Menara menceritakan kisah lima orang sahabat yang mondok di sebuah pesantren, dan kemudian bertemu lagi ketika mereka sudah

beranjak dewasa. Uniknya, setelah bertemu, ternyata apa yang mereka bayangkan

ketika menunggu Azhan Maghrib di bawah menara masjid benar-benar terjadi.

Ahmad Fuadi yang berperan sebagai Alif di novel itu berkisah, ia tak menyangka

dan tak percaya bisa menjadi seperti sekarang ini.

Pemuda asal Desa Bayur, Maninjau, Sumatera Barat itu adalah pemuda

desa yang diharapkan bisa menjadi seorang guru agama seperti yang diinginkan

kedua orangtuanya. Keinginan kedua orangtua Fuadi tentu saja tidak salah.

Sebagai “amak” atau Ibu kala itu, menginginkan agar anak-anaknya menjadi

orang yang dihormati di kampung seperti menjadi guru agama. seperti yang

dikatakan Ahmad Fuadi mengenang keinginan Amak di kampung waktu itu.

“Mempunyai anak yang sholeh dan berbakti adalah sebuah warisan yang tak ternilai, karena bisa mendoakan kedua orangtuanya mana kala sudah tiada,”

Namun ternyata Fuadi alias Alif mempunyai keinginan lain. Ia tidak ingin

seumur hidupnya tinggal di kampung. Ia mempunyai cita-cita dan keinginan

untuk merantau. Ia ingin melihat dunia luar dan ingin sukses seperti sejumlah

tokoh yang ia baca di buku atau mendengar cerita temannya di desa. Semangatnya

13


(21)

commit to user

7 dicoba ditularkan kepada para pembaca dengan bukti dituliskannya kata-kata

mutiara yang dapat membuka wawasan di halaman awal novelnya, Seperti yang

dikutipkannya kata mutiara dari ulama Imam Syafii’ berikut,

Orang Berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang

Merantaulah, kau akan mendapatkan pengganti dari kerabat dan kawan Berlelahlelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang

Aku melihat Air mengalir menjadi rusak karena diam tertahan Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang

Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran

Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang

Biji emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa

Jika didalam lautan14

Namun, keinginan Alif tidaklah mudah untuk diwujudkan. Kedua

orangtuanya bergeming agar Fuadi tetap tinggal dan sekolah di kampung untuk

menjadi guru agama. Namun berkat saran dari ”Mak Etek” atau paman yang

sedang kuliah di Kairo, akhirnya Fuadi kecil bisa merantau ke Pondok Madani,

Gontor, Jawa Timur. Dan disinilah cerita kemudian bergulir. Ringkasnya Fuadi

kemudian berkenalan dengan Raja alias Adnin Amas, Atang alias Kuswandani,

Dulmajid alias Monib, Baso alias Ikhlas Budiman dan Said alias Abdul Qodir.

Kelima bocah yang menuntut ilmu di Pondok Pesantren Gontor ini setiap

sore mempunyai kebiasaan unik. Menjelang Azan Maghrib berkumpul di bawah

menara masjid sambil melihat ke awan. Dengan membayangkan awan itulah

14


(22)

commit to user

8 mereka melambungkan impiannya. Misalnya Fuadi mengaku jika awan itu

bentuknya seperti benua Amerika, sebuah negara yang ingin ia kunjungi kelak

lulus nanti. Begitu pula lainnya menggambarkan awan itu seperti negara Arab

Saudi, Mesir dan Benua Eropa. Melalui lika liku kehidupan di pesantren yang

tidak dibayangkan selama ini, ke lima santri itu digambarkan bertemu di London,

Inggris beberapa tahun kemudian. Dan, mereka kemudian bernostalgia dan saling

membuktikan impian mereka ketika melihat awan di bawah menara masjid

Pondok Pesantren Gontor, Jawa Timur.

Belajar di pesantren bagi Fuadi ternyata memberikan warna tersendiri bagi

dirinya. Ia yang tadinya beranggapan bahwa pesantren adalah konservatif, kuno,

”kampungan” ternyata adalah salah besar. Di pesantren ternyata benar-benar

menjujung disiplin yang tinggi, sehingga mencetak para santri yang bertanggung

jawab dan berkomitmen. Di pesantren mental para santri itu ”dibakar” oleh para

ustadz agar tidak gampang menyerah. Setiap hari sebelum masuk kelas selalu

didengungkan kata-kata mantera ”Manjadda Wajadda” jika bersungguh-sungguh

akan berhasil.15 Pondok Pesantren Modern Gontor yang pada umumnya

bergantung kepada kebesaran pimpinan atau kyai, Gontor memiliki sistem khusus

dan dasar pengajaran yang disiplin, tegas, dan berdasarkan syariat islam sehingga

mampu mengkader dai yang bermanfaat bagi umat. 16

Buku-buku (baca: novel) sebagai bagian dari media massa berperan dalam

sebuah pembentukan persepsi. Bagaimana pengarang melalui buku mencoba

melakukan konstruksi peristiwa dan kejadian yang telah lampau dimana

15

Sumber Resensi Novel Negeri 5 Menara hasil publikasi di KickAndy.com 16


(23)

commit to user

9 pengarang berada. Pengarang melakukan penciptaan karya sastra, meski dalam

bentuk fiksi atau non fiksi dirinya juga memiliki dimensi pembentukan persepsi

yang berdampak pada pembentukan opini. Buku seperti halnya novel diciptakan

tidak hanya sekedar sebagai sebuah fiksi atau khayali yang tidak mempunyai

kaitan apa-apa dengan dunia realitas atau hanya menjadi sebuah pelarian dari

pengkhayal yang sudah muak dengan keadaan sekitar. Seolah-olah novel tidak

memberikan kontribusi apa pun dalam kehidupan ini; hanya memunculkan dunia

yang di dalamnya tak pernah bisa dianggap logis dan rasional.

Novel tidak bisa dikatakan menjadi representasi yang sempurna dari

realitas. Akan tetapi, novel hidup dalam realitas dan ikut dalam keseluruhan

realitas ini. Meski apa yang diangkat dalam realitasnya adalah sebuah realitas

khayali atau rekaan, itu pun semua bersandar pada realitas yang tak jauh darinya.

Bagaimanapun, pengarang novel tidak langsung bisa melepaskan dunia nyatanya

karena dari sanalah sebuah dunia rekaan atau sebuah karya sastra tampil.

Imajinasi menjadikan dunia nyata terkonstruksi sedemikan rupa, ditambahi atau

pun dikurangi, sehingga lahir dalam sebuah bentuk yang menarik. Validitas fiksi

atas wacana realitas sosial sering diperdebatkan, karena dirinya mengandung fakta

imajiner atau semu. Fakta setelah diramu secara kreatif menjadi tidak faktual pada

wilayah resepsi. Akan tetapi, kehadiran karya sastra dengan begini justru menarik

untuk mempengaruhi segi emosi pembaca.

Ahmad Fuadi sebagai seorang praktisi konservasi, novelis dan wartawan

adalah salah satu pihak yang berkomitmen dalam mengangkat suatu wacana


(24)

commit to user

10 publik. Novel pertamanya adalah Negeri 5 Menara yang merupakan buku pertama dari trilogi novelnya, Karya fiksinya dinilai dapat menumbuhkan semangat untuk

berprestasi. Walaupun tergolong masih baru terbit, novelnya sudah masuk dalam

jajaran best seller tahun 2009. Pada tahun 2010 Novel ini menerima penghargaan

Buku dan Penulis Fiksi Terfavorit 2010 dari Anugerah Pembaca Indonesia,

tepatnya yaitu pada bulan desember 2010. Karyanya diterbitkan oleh PT.

Gramedia Pustaka Utama, dengan tebal 423 halaman. Ada ideologi yang diusung

oleh Ahmad Fuadi yang hendak ia propagandakan ke masyarakat terkait dengan

wacana pendidikan podok pesantren yaitu dalam hal ini yang bersinggungan

dengan pesantren Gontor.17 Pendidikan pondok pesantren dalam hal ini pesantren

Gontor fokus pada penanaman nilai-nilai beragama dan keseimbangan dengan

dunia pendidikan baik standarnya pendidikan didalam maupun diluar negri.

Bagaimana pendidikan akan menjadi bekal nantinya dalam pengabdian pada

agama dan masyarakat.

Setelah membaca keseluruhan teks novel tersebut peneliti menemukan

beberapa kategorisasi wacana seperti praktek sistem pendidikan pesantren,

disiplin waktu, metode pengajaran, peran ilmu umum dan ilmu agama dalam

kehidupan sehari-hari dan teladan pantang menyerah dalam bentuk motivasi.

` Dengan bersandar pada uraian di atas, meneliti teks novel Negeri 5 Menara tentunya penting untuk diangkat. Selain peneliti ingin mengetahui pesan

17

Dalam berbagai variannya, wacana mengandung kekuatan untuk memengaruhi kognisi, sikap, pandangan hidup, dan pola perilaku masyarakat, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai media indoktrinasi. Van Dijk pernah mengatakan bahwa kemampuan untuk mengontrol wacana dominan berkorelasi positif dengan kemampuan untuk mempengaruhi pemikiran dan tindakan kelompok lain. Wacana yang ada dikatakan Van Dijk sering disalahgunakan untuk menggiring pengetahuan, pikiran, dan pola tindakan suatu masyarakat berdasarkan kepentingan kelompok dominan, dipetik dari Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana, (Yogyakarta: LKiS, 2001:128-129)


(25)

commit to user

11 apa yang ada dibalik teks novel tersebut, peneliti juga ingin menyelidiki

bagaimana wacana-wacana tersebut dikonstruksi dalam kata-kata dan kalimat.

B. Rumusan Masalah

Peneliti tertarik pada wacana Pendidikan di pondok Pesantren Gontor yang

di ceritakan dalam Novel. Oleh karena itu, penelitian ini mempunyai rumusan

masalah:

1. Bagaimana Pendidikan di pondok Pesantren Gontor diwacanakan oleh

Ahmad Fuadi dalam novel Negeri 5 Menara?

2. Bagaimana bahasa yang digunakan oleh Ahmad Fuadi dalam wacana

Pendidikan pondok Pesantren Gontor dalam novelnya yang berjudul

Negeri 5 Menara dan apa fungsi dari bahasa tersebut?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan:

1. Mengetahui bagaimana wacana realitas Pendidikan di pondok Pesantren

Gontor, yang dilakukan Ahmad Fuadi dalam novelnya Negeri 5 Menara. Strategi representasi ini tentunya bergantung pada diri Ahmad Fuadi.

2. Mengetahui bagaimana representasi bahasa yang digunakan oleh Ahmad

Fuadi dalam mengembangkan wacana Pendidikan di pondok Pesantren

Gontor dalam novelnya yang berjudul Negeri 5 Menara dan apa fungsi dari bahasa tersebut


(26)

commit to user

12 D. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi bidang akademik, yaitu sebagai salah satu sumbangsih bagi perkembangan ilmu komunikasi

terutama penggunaan metode analisis wacana kritis terhadap karya novel

yang notabene adalah suatu bentuk penyampaian pesan.

2. Dalam bidang praktis, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan penulisan berkenaan dengan penyampaian pesan-pesan

komunikasi dalam bentuk karya novel bahwa karya novel ternyata

mengandung wacana-wacana tertentu yang ingin disampaikan oleh

penulis/pengarang.

E. Telaah Pustaka

1. Komunikasi Sebagai Proses Pertukaran Makna

Manusia sebagai makhluk sosial tentunya tidak dapat hidup sendiri.

Kehidupan manusia sudah dikodratkan untuk saling bergantung antar manusia

dalam suatu tatanan kehidupan yang disebut kehidupan sosial. Dalam menjalani

kehidupan sosialnya, manusia senantiasa harus berinteraksi satu sama lain. Untuk

itu komunikasi sangat penting untuk menunjang kehidupan sosial masyarakat.

Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari

kata Latin communicatio, dan berasal dari kata communis yang berarti sama. Komunikasi akan berlangsung dengan lancar apabila terdapat kesamaan


(27)

commit to user

13 pengertian antara bentuk komunikasi yang digunakan dan makna yang

dimaksud.18

Dalam studi komunikasi terdapat dua mazhab utama yang sering dijadikan

landasan berpikir para ilmuwan komunikasi dalam meneliti berbagai fenomena

komunikasi. John Fiske, membagi studi Komunikasi dalam dua Mahzab Utama19.

Mahzab pertama melihat komunikasi sebagai suatu transmisi pesan. Fiske tertarik dengan bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan menerjemahkannya (decode), dan dengan bagaimana transmiter menggunakan saluran dan media komunikasi.

Fiske melihat komunikasi sebagai suatu proses yang dengannya seorang

pribadi mempengaruhi perilaku atau state of mind pribadi yang lain. Jika efek tersebut berbeda dari atau lebih kecil daripada yang diharapkan, mahzab ini

cenderung berbicara tentang kegagalan komunikasi, dengan melihat tahap-tahap

dalam proses tersebut guna mengetahui dimana kegagalan tersebut terjadi.

Selanjutnya kita akan menyebut mahzab ini sebagai “Mahzab Proses”.20

Sedangkan mahzab kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna, berkenaan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang-orang dalam kebudayaan kita. Fiske menggunakan istilah-istilah

seperti pertandaan (signification), dan tidak memandang kesalahpahaman sebagai bukti yang penting dari kegagalan komunikasi––hal itu mungkin akibat dari

perbedaan budaya antara pengirim dan penerima. Bagi mahzab ini, studi

18

Mulyana, Deddy, Ilmu Komunikasi Suatu Penganta, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1999 Hlm 69-71.

19

John Fiske, Cultural and Communication Studies, Yogyakarta, Jalasutra, hlm 8 20


(28)

commit to user

14 komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan.21 Mahzab ini

mendefinisikan interaksi sosial sebagai yang membentuk individu sebagai anggota

dari suatu budaya atau masyarakat tertentu.

Lantas, pesan bukanlah sesuatu yang dikirim dari A ke B, melainkan suatu

elemen dalam sebuah hubungan terstruktur yang elemen-elemen lainnya termasuk

realitas eksternal dan produser/pembaca. Memproduksi dan membaca teks

dipandang sebagai proses yang peralel, jika tidak identik, karena mereka

menduduki tempat yang sama dalam hubungan tersetruktur ini. Kita bisa

menggambarkan model struktur ini sebagai sebuah segitiga dengan anak panah

yang menunjukan interaksi yang konstan; struktur tersebut tidaklah statis,

melainkan suatu praktik yang dinamis22. Termasuk juga bagaimana Fuadi

mencoba membangun (komunikator) penyampaian tujuan dari pesan pendidikan

lewat media teks, dalam hal ini novel.

BAGAN 1 Pesan dan Makna

Pesan

Teks

Makna

Produser referent

Pembaca

21

Ibid. hal 9 22


(29)

commit to user

15 Menurut pada mazhab komunikasi produksi dan pertukaran makna di

atas23, penerima atau pembaca teks dipandang memainkan peran yang lebih aktif

dibandingkan dalam kebanyakan model mazhab komunikasi proses yang lebih

menonjolkan pada pihak pengirim pesan teks.

2. Komunikasi dan Novel

Ketika novel lahir kita tidak akan pernah tahu, dirinya mempunyai maksud

apa. Kita tidak pernah tahu apakah pengarang ingin berkomunikasi dengan kita

atau barangkali hanya ingin mengemukakan pemikiran atau gagasan saja, agar

diketahui oleh orang lain. Novel kemudian dibaca dan dimaknai oleh pembaca. Di

sini, baru sebuah karya novel dimengerti dan dipahami akan keberadaan dan

kehadirannya. Peran pembaca yang masuk dalam karya novel cukup besar. Sikap

dan interpretasi pembacalah yang menyebabkan karya novel itu dianggap

melakukan tindak komunikasi, melakukan dialog tentang persoalan atau

pemikiran tertentu.24 Mengadopsi dari pendapat Roman Jakobson, secara

sederhana proses komunikasi yang dilakukan antara pengarang dan pembaca,

dapat digambarkan sebagai berikut:

23

Ibid. H.61. 24

Dalam proses komunikasi, kata Onong Uchjana Effendi, seorang komunikator itu menyampaikan suatu pesan kepada komunikan, di mana pesan itu sendiri terdiri atas pikiran (isi pesan) dan lambang (bahasa). Walter Lippman menyebut isi pesan sebagai “picture ini our head”. Proses “mengemas” atau “membungkus” pikiran dalam bahasa yang dilakukan oleh komunikator disebut encoding, komunikan yang menerima pikiran itu kemudian melakukan decoding. Jika keduanya saling mengerti dengan apa yang disampaikan, itu berarti proses komunikasi telah terjadi, jika seorang komunikan tidak bisa memahaminya berarti komunikasi telah gagal. Prof. Drs. Onong Uchjana Effendi, M.A, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993: 31-32.


(30)

commit to user

16 BAGAN 2

Model komunikasi oleh Roman Jacobson25

Buku atau sebuah karya novel diasumsikan sebagai sebuah kerangka

penyampaian pesan dari seorang komunikator (pengirim atau adresser), dalam media novel di sini yaitu pengarang buku tersebut, kepada komunikan

(penerima/adressee) yaitu diri pembaca secara individu melalui media, yaitu karya sastra, baik cerpen, novel, maupun puisi, guna mengirim pesan (message). Agar dapat beroperasi, pesan memerlukan konteks (context) yang diacu. Kode

(code) yang dapat ditangkap sepenuhnya, atau setidaknya sebagian, dikenal oleh pengirim dan penerima (atau pada yang memberi kode pesan dan yang diberikan

kode pesan). Akhirnya sebuah kontak (contact) menghubungi si pengirim dan si penerima secara fisik atau psikis yang memungkinkan keduanya melakukan

komunikasi.

Novel lahir dari sebuah proses penciptaan atau tindak kreatif. Tindakan

mencipta ini, terkait dengan keberadaan seorang pengarang sebagai “ibu

kandung”-nya. Pengarang menjadi sentral atas karya novel yang lahir, dari situ

mewujud bagaimana teks-teks novel mentransformasikan atas apa yang menjadi

25


(31)

commit to user

17 arah dan tujuan pengarang. Tidaklah mungkin sesuatu karya lahir tanpa tujuan

atau tanpa ambisi tertentu. Seperti pendapat Vollsinov Pengarang dianggap

sebagai pembawa perspektif tertentu atas permasalahan dalam karyanya, sehingga

karya novel hadir tidaklah sebagai sebuah pepesan kosong, buku karyanya adalah

simbol (sign) atas dirinya dan realitas sosial tertentu.

Jika kita kaitkan dalam teori komunikasi, dalam penelitian ini, karya novel

sebagai sebuah buku juga dapat dikategorikan atau diperlakukan layaknya media

massa.26 Jika Denis McQuail dalam Mass Communication Theory: an Introduction mengatakan bahwa media massa memiliki peran perantara

(mediating) antara realitas sosial yang objektif dengan pengalaman pribadi.27 Penelitian terhadap isi buku karya Ahmad Fuadi ini pun atas dasar keyakinan

bahwa isi media merupakan dokumen sosial yang bisa menjadi bukti keadaan

masyarakat dan kebudayaan di mana media tersebut dibuat, para produsen dan

tujuan mereka, termasuk audiens yang dituju dan minat mereka.

Seperti yang dikatakan oleh Charles W. Wright bahwa isi pesan media

massa menarik untuk diteliti karena walau sehari-hari diterpa arus komunikasi,

kita jarang termotivasi untuk menganalisis aspek-aspek berharga dari isi pesan

secara sosiologis.28 Isi media itu sebenarnya kumpulan data yang paling berisi dan

mudah diakses yang bisa memberikan banyak petunjuk tentang masyarakat. Dan

aksesisbilitasnya melewati batas waktu dan adakalanya menyeberangi batas

26

Dalam Denis McQuails, Mass Communication Theory: an Introduction, 2nd edition, terj. Agus Dharma, S.H., M.Ed dan Drs. Aminuddin Ram, M.Ed, Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar Edisi Kedua, (Jakarta: Erlangga: 1987: 9, 22-23)

27

Ibid., hal. 52 28

Indah S. Pratidina, Fakta dalam Fantasi dalam komunitas ruang baca Tempo, tanggal 01-08-2005, diakses melalui search engine: www.google.com.


(32)

commit to user

18 negara. Isi media juga muncul dalam bentuk-bentuk yang kelihatan lebih konstan

sejalan dengan waktu dibandingkan gejala budaya lainnya. Karena alasan ini isi

media dihargai ahli sejarah, sosiolog, dan antropolog.29

Oleh karenanya, teori tersebut dapat diaplikasikan pada semua tipe isi

(content), termasuk dalam karya novel. Karya novel yang bersifat imajiner, di dalamnya terlibat tindak pengekspresian dan komunikasi yang dilakukan dengan

baik melalui usaha meniru kejadian nyata, mengajukan kasus khusus, atau dengan

menyediakan kekontrasan dari yang dianggap normal. Dengan kata lain, karya

novel hendak berkomentar tentang kenyataan melalui representasi. Dalam hal

hubungan fantasi dan representasi ini, kiranya dapat dipetik ungkapan dari

Humphrey Carpenter, sebagai berikut:

"...Sisi lain dari menulis... adalah representasi, dan dideskripsikan secara umum sebagai “fantasi”. Walaupun tidak secara terbuka bersifat realistis dan dianggap tidak punya hubungan apa-apa dengan dunia “nyata”, dalam usaha menulis karya-karya fantasi ini ditemukan beberapa observasi mendalam tentang karakter manusia dan masyarakat masa kini dan (sering kali) tentang agama." 30

3. Novel dalam Konstruksi Realitas

Mengenai proses konstruksi realitas, prinsipnya setiap upaya

“menceritakan” (konseptualisasi) sebuah peristiwa, keadaan, atau benda adalah usaha mengkonstruksikan realitas. Dunia ini, tidaklah semata-mata sebagai

kenyataan diterima begitu saja. Kehidupan sehari-hari menampilkan diri sebagai

kenyataan yang telah ditafsirkan oleh manusia dan mempunyai makna subjektif

bagi mereka sebagai satu dunia yang koheren. Dunia ini berasal dari

29

Denis McQuails, Op.cit. hal. 177. 30


(33)

commit to user

19 pikiran dan tindakan-tindakan manusia dan dipelihara sebagai “yang nyata” oleh

pikiran dan tindakan itu.31

Bisa dikatakan bahwa konsep tentang dunia ini terwakili dalam konsep

Karl R. Popper;32 dunia ini menjadi tiga, Dunia 1 yaitu kenyataan fisis dunia,

Dunia 2 yaitu segala kejadian dan kenyataan psikis dalam diri manusia, dan Dunia 3 yaitu segala hipotesis, hukum, dan teori ciptaan manusia dan hasil kerja sama antara Dunia 1 dan Dunia 2, serta seluruh bidang kebudayaan, seni, metafisik, agama dan lainnya. Dunia 3 itu hanya ada selama dihayati, seperti sebuah karya novel yang sedang dibuat oleh pengarang, adanya transformasi ide/gagasan dari perpaduan antara Dunia 1 dan Dunia 2, yang pada akhirnya semua itu ‘mengendap’ dalam bentuk karya buku dan menjadi bagian dari Dunia 1.

Dalam proses konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama. Ia

merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa sudah menjadi

alat konseptualisasi dan alat narasi, sehingga penggunaan bahasa (simbol) tertentu, juga akan menentukan format narasi dan makna tertentu. Keberadaan bahasa tidak

lagi sebagai alat semata untuk menggambarkan sebuah realitas, melainkan bisa

menentukan gambaran/citra (image) mengenai suatu realitas. Manakala kita bercerita atau melakukan komunikasi dengan orang lain sesungguhnya esensi

31

Proses konstruksi realitas dimulai ketika seorang konstruktor melakukan objektifikasi terhadap suatu kenyataan yakni melakukan persepsi terhadap suatu objek. Selanjutnya, hasil dari pemaknaan melalui proses persepsi itu diinternalisasikan ke dalam diri seorang konstruktor. Dalam tahap inilah dilakukan konseptualisasi terhadap suatu objek yang dipersepsi. Langkah terakhir adalah melakukan eksternalisasi atas hasil dari proses permenungan secara internal tadi melalui pernyataan-pernyataan. Alat yang digunakan adalah kata-kata atau konsep atau bahasa. Karenanya bahasa adalah sarana penting atau utama dalam proses konstruksi realitas.Peter L Berger dan Thomas Luckman, Tafsir Sosial atas Kenyataan, Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, (Jakarta: LP3ES, 1990:28-29).

32

Dr. C. Verhaak S.J. dan Drs. R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Atas Cara Kerja Ilmu-llmu, seri filsafat Driyarkara 1, (Jakarta: Gramedia, 1989: 162)


(34)

commit to user

20 yang ingin kita sampaikan adalah sebuah makna maka dari itu penggunaan bahasa

dengan demikian berimplikasi pada bentuk konstruksi realitas dan makna yang

dikandungnya.

Pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas ikut menentukan struktur

konstruksi realitas dan makna yang muncul darinya. Dari perspektif ini, bahasa

bukan lagi mencerminkan realitas, tapi sekaligus menciptakan realitas, seperti

bagan di bawah ini:

BAGAN 3

Hubungan Bahasa, Realitas, dan Budaya (christian dan christian, 1996) 33

Konstruksi realitas dalam novel juga bersandar pada kehidupan

sehari-hari.34 Masalahnya, pengarang dan karyanya adalah bagian dari masyarakatnya

dan tidak lepas dari hubungan ekonomi, sosial, dan politik di masyarakat. Dasar

dari gerak dan hubungan masyarakat adalah hubungan produksi, hubungan kerja

dan kepemilikan alat-alat produksi. Fungsi novel sebagai bagian dari hubungan itu

33

Dalam Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap berita-berita politik, (Jakarta: Granit, (2004: 13)

34

Dalam ranah sastra ada dua pendapat yang menyatakan, sebenarnya sastra itu mimises (hanyalah sebuah tiruan dari alam semesta ini), sedangkan yang satu berpendapat, sastra, seperti halnya novel adalah creatio (karya seni hakekatnya adalah sesuatu yang baru, asli, ciptaan dalam arti yang sungguh-sungguh. Pandangan pertama dicetuskan oleh Plato dan dianut oleh para kaum strukturalis, yang menganggap sastra adalah dunia dalam kata (heterokosmos). Pandangan kedua, dianut oleh kaum Marxis, kadang juga para peneliti menganggap karya sastra sebagai dokumen sosial. Lihat dalam Prof. Dr.A.Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, Jakarta: Pustaka Jaya, 1984: 219-371)


(35)

commit to user

21 mau tak mau – meski tidak selalu adalah sebagai penyebar nilai dan kesadaran

yang akan mewarnai pertarungan ideologi dan sosial politik antara kelas-kelas

sosial yang ada dalam hubungan produksi itu. Pengarang secara sadar atau tidak

bernafsu ingin menyajikan realitas dalam novel atau cerpennya. Realitas sosial

kemudian dikonstruksikan sedemikian rupa, dengan intervensi subjektivitas

imajinasi pengarang menjadi sebuah bentuk baru yaitu fiksi.

Maka dari itu novel dianggap sebagai sebuah dokumen sosial budaya,

sebab lahir ditengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta

refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Kehadiran novel

merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Pengarang sebagai subjek

individual, dimaknai oleh Tri Adi Nugroho, yaitu mencoba menghasilkan

pandangan dunianya (vision du monde) kepada subjek kolektifnya lewat penghadapan yang intens, keras terhadap realitas. Signifikasi yang dielaborasikan

subjek individual terhadap realitas sosial di sekitarnya menunjukkan sebuah karya

berakar pada kultur dan masyarakat tertentu.35 Ia hadir sebagai dokumen sosial

budaya, yang pada tingkat kesadaran yang tinggi apa yang diajukan sastrawan

adalah hasil dari dialog antara dirinya dengan lingkungan realitas sedangkan pada

kesadaran rendah karya novel itu adalah pantulan dari lingkungan realitas.

4. Strategi Novel Melakukan Konstruksi Realitas

Elemen dasar seluruh isi karya sastra novel adalah bahasa sebagai alat vital

dalam proses komunikasi antara pengarang dengan pembacanya. Dengan bahasa

pengarang hendak menyampaikan maksud dan tujuannya, melalui apakah itu

35

Tri Adi Nugroho, “Ketika Ilmu Sosial Bersanding dengan Sastra”, dalam Jurnal Solid LPM Solidaritas, (Banyumas: 2004: 94-95)


(36)

commit to user

22 representasi sosial (hasil dari konstruksi pengarang atas realitas sosial), ada yang

menyebutnya novel sejarah, jika itu bersandar pada realitas historis, atau novel sosial, yang mengambil peristiwa sosial saat itu sebagai konsep dasar bercerita atau mungkin lebih bersifat imajiner, tanpa sangkut pautnya dengan realitas sosial.

Novel sosial bisa juga berisi pesan-pesan sosial seperti; kemanusiaan, pendidikan,

kesenjangan sosial.dsb.

Pengarang sebuah novel memunyai strategi atau pola-pola tersediri untuk

menyampaikan pesan ceritanya. Di sini, tentunya adanya pemilihan-pemilihan

bahasa atau gaya bahasa, yang bersifat simbolik. Jika, misalnya novel sejarah atau

novel sosial hendak berbicara, pengarang pun harus mempertimbangkan

simbol-simbol, misalnya yang berkaitan dengan peristiwa sejarah atau sosial di

masyarakat itu. Pemakaian simbol-simbol ini sebagai bentuk komunikasi, di mana

pengarang sebagai komunikator membentuk citra-citra atau makna-makna melalui

sistem simbolik. Pemilihan kata, penyusunan kalimat, gaya yang dipakai, atau

penokohan oleh pengarang dipilih secara cermat, guna maksud dan tujuannya.

Misalnya saat karakater tokoh dalam menghardik, membentak, menangis,

sombong, membantai, mengejek atau bentuk lainnya, benar-benar didasarkan pada

pertimbangan tertentu.

Simbol-simbol yang dipakai tersebut, sangat mempengaruhi makna yang

muncul. Simbol-simbol ini dapat dijelaskan melalui teori semiotika.36 Pandangan

semiotika, teks (misal, novel) dipandang penuh sebagai tanda entah dari

36

Semiotik berasal dari kata Yunani: Semeion (tanda). Semiotika adala ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda (signs) berdasarkan kode-kode tertentu. Tanda tersebut dianggap sebagai representasi dari objek Bahasa dimaknai sebagai sistem tanda. Fenomena sosial dan kebudayaan diartikan juga sebagai tanda-tanda, lihat dalam Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra Epsitemologi, Model, Teori, dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Wedyatama, 2003: 64)


(37)

commit to user

23 pemakaian kata, istilah, frase, atau gaya bahasanya pun. Teks sastra dimaknai

sebagai sarana komunikasi novel antara pengarang dan pembacanya melalui

kode-kode tertentu.

Dalam semiotik, tanda mempunyai dua aspek yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh

petanda itu yaitu artinya misalnya kata “ibu” merupakan tanda berupa satuan

bunyi yang menandai arti: “orang yang melahirkan kita”. Dalam tanda masih

dijabarkan lagi dalam tiga macam yaitu ikon, indeks, dan simbol.

Hubungan antara tanda, rujukan dan pikiran sehingga menimbulkan makna

lazim diilustrasikan dalam Hubungan Segitiga Makna (Triangle Meaning). Menurut Pierce (bagan 3) salah satu bentuk tanda adalah kata. Sedangkan objek

adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sementara interpretan adalah tanda yang ada

dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Apabila ketiga

elemen itu berinteraksi dalam benak seseorang, maka muncullah makna tentang

sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. 37. Hubungan ketiganya dapat

digambarkan sebagai berikut:

BAGAN 4

Elemen Makna Peirce 38

37

John Friske, Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra, 2004: 63

38


(38)

commit to user

24 Fungsi tanda adalah mencapai suatu tujuan; untuk kepentingan

komunikator, tanda berfungsi (a) untuk menyadarkan (sense) pendengar akan sesuatu yang dinyatakannya untuk kemudian supaya memikirkannya, (b) untuk

menyatakan perasaan (feeling) atau sikap dirinya terhadap suatu objek, (c) untuk memberitahukan (convey) sikap sang pembicara terhadap khalayaknya, dan (d) untuk menunjuk tujuan dan hasil yang diinginkan oleh si pembicara atau penulis

baik disadari atau tidak disadari.39

Bagi komunikan, tanda berfungsi (a) menunjukkan (indicating) pusat perhatian, (b) memberi ciri (characterizing), (c) membuat dirinya sadar akan permasalahannya (realizing), (d) memberi nilai (value) positif atau negatif, (e) memengaruhi (influencing) khalayak untuk menjaga atau mengubah status quo,

(f) untuk mengendalikan suatu kegiatan atau fungsi, (g) untuk mencapai suatu

tujuan (purposing) yang ingin dicapainya dengan memakai kata-kata tersebut.40 5. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Pada Pembentukan Wacana Novel

Seperti halnya sebuah media massa, novel pun hadir dalam pertarungan

idealis pengarangnya. Dirinya hendak berbicara atau mengungkapkan persoalan

tertentu dalam perspektif subjektif seorang pengarang. Bagaimana wacana yang

dikemukakan merupakan pergulatan panjang seorang pengarang, untuk sampai

pada keputusan bahwa teks tersebut sudah menjadi final decision. Terdapat sebuah motif amat penting dalam menulis novel. Jean Paul Sartre pernah

39

Ibnu Hamad, Ibid. hal. 19 40


(39)

commit to user

25 mengatakan sebagai berikut: “Mengapa saya mengarang? Untuk siapa saya

mengarang? Apa yang saya inginkan dengan karangan itu?41 Pernyataan tersebut

cukup membuat kita sadar bahwa apa yang dimunculkan pengarang, sangat

dipengaruhi berbagai faktor.

Faktor internal dan eksternal yang ada disekitar pengarang sangat

menentukan bagaimana bentuk sebuah wacana akan dipaparkan nantinya. Faktor

internal, seperti ideologi yang dipegang pengarangnya, bahan-bahan bacaan,

pengalaman dan pengetahuan hidup, latar belakang pendidikan, agama, gologan,

ras, dan sebagainya.42 Faktor yang berasal dari dalam tubuh pengarangnya tak lain

juga transformasi dari wacana yang berkembang di masyarakat umumnya, ini

yang kemudian disebut sebagai faktor eksternal. Kondisi sosial politik

pemerintahan, sejarah perkembangan negara, ideologi masyarakatnya atau negara

yang berkuasa, ikut memberi kontribusi dalam membentuk perspektif seorang

pengarang dalam menulis sebuah wacana dalam novel. Pengarang tidak akan

pernah bisa lepas dari kehidupan masyarakatnya, karena dirinya pun berasal dari

sana. Bagaimanapun apa yang dikatakan dalam sebuah novel adalah sebuah

representasi realitas dan peristiwa yang terjadi dalam batin seorang pengarang

yang sering menjadi bahan sastra adalah pantulan hubungan seseorang dengan

Tuhan, alam semesta, masyarakat, manusia lainnya, dan dirinya sendiri.

41

H. Bahrum Rangkuti, Imajinasi, Observasi, dan Intuisi pada Cerpen Langit Makin Mendung, lihat pada Dahlan, Muhidin M dan Mujib Hermani (ed.). Pledoi Sastra: Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung Ki Pandjikusmin. Yogyakarta: Melibas, 2004., hal.327

42

Sastra merupakan suatu eksperimen moral yang tuangkan oleh pengarang melalui bahasa, dan kehidupan itu sendiri merupakan kenyataan social. Dirinya juga sebuah refleksi transformasi pengalaman hidup dan kehidupan manusia, baik secara nyata ada maupun hanya rekaan semata, yang dipenggal-penggal dan kemudian dirangkai kembali dengan imajinasi, persepsi, dan keahlian pengarang serta disajikan sebuah media. Diambil dari Puji Santosa, Kekuasaan, Ideologi, dan Politik dalam Dunia Kesusastraan, dalam Dr. Soediro Satoto dan Drs. Zainuddin Fananie (ed.), Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan, (Surakarta: Muhammadiyah University Press: 2000:251)


(40)

commit to user

26 6. Pendidikan sebagai Komunikasi

Manusia bukan hanya makhluk biologis seperti halnya hewan. Manusia

adalah makhluk sosial dan budaya. Di samping kepandaian-kepandaian yang

bersifat jasmaniah (skill, motor ability), seperti merangkak, duduk, berjalan tegak, lari, naik sepeda, makan dengan sendok, dan sebagainya, anak (manusia) juga

membutuhkan kepandaian-kepandaian yang bersifat rohaniah. Maka jelaslah

kemudian, apabila belajar menjadi sangat penting bagi kehidupan seorang

manusia.43 Anak (manusia) membutuhkan waktu yang lama untuk belajar

sehingga menjadi manusia dewasa, kapanpun dan dimanapun berada. Manusia

dilahirkan dengan tugas, panggilan dan tanggung jawab untuk menjadi

pembelajar, pemimpin, dan guru bangsa, sebagai wujud dari tri-tugas

kemanusiaan universal.44

Sebagai landasan penguraian mengenai kebutuhan belajar, berikut ini akan

dikemukakan secara ringkas beberapa definisi belajar:45

6.Hilgard dan Bower, dalam buku Theories of Learning (1975) mengemukakan bahwa belajar berhubungan dengan perubahan tingkah

laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh

pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu.

7.Gagne, dalam buku The Conditions of Learning (1977) menyatakan bahwa belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi

43

M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004, hal 84. 44

Andrias Harefa, Mutiara Pembelajar, Yogyakarta: Gloria Cyber Ministries, 2001, hal 19. 45


(41)

commit to user

27 ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya

berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu sesudah

ia mengalami situasi tadi.

8.Morgan, dalam buku Introduction to Psychology (1978) mengatakan bahwa belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam

tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau

pengalaman.

9.Witherington, dalam buku Educational Psychology mengemukakan bahwa belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang

menyatakan diri sebagai suatu pola baru dari pada reaksi yang berupa

kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian, atau suatu pengertian.

Di samping berbagai pengertian dan faktor dalam belajar di atas, Paulo

Freire menegaskan bahwa belajar (studying) itu sendiri merupakan pekerjaan yang cukup berat dan menuntut sikap kritis-sistematik (systematic critical attitude) dan kemampuan intelektual yang hanya dapat diperoleh dengan praktik langsung,

sehingga sikap kritis manusia sama sekali tidak dapat dihasilkan oleh pendidikan

yang bergaya bank (banking education).46 Dalam pendidikan gaya bank ini, yang dibutuhkan pembaca bukanlah pemahaman akan isi, tetapi sekedar hafalan

(memorization). Lain halnya dengan visi pendidikan kritis, di mana seorang pembaca merasa tertantang oleh teks yang disodorkan sehingga tujuan membaca

adalah untuk memahami (appropriate) makna yang lebih dalam.47

46 Paulo Freire , Politik Penddikan, Yogyakarta: REaD & Pustaka Pelajar, 2000,hal 28. 47


(42)

commit to user

28 Bagi Paulo Freire kegiatan mengajar sendiri dipahami bukan sebagai

proses memindahkan pengetahuan dengan hapalan, melainkan melalui proses

mengajar suatu bidang itulah seorang guru diharapkan mampu mengajarkan

siswa-siswinya untuk sungguh-sungguh belajar dan bukan untuk menghapal.48

Sebab pada dasarnya, proses mengajar adalah tindakan kreatif dan kritis dan

bukan hanya mekanis belaka. Sedangkan belajar adalah belajar untuk belajar dan

bukan belajar untuk menghapal, di mana dituntut keaktifan siswa untuk mengolah

sendiri secara kritis bahan yang dipelajari serta memahami alasan (why) dari objek dan isi yang dipelajari.49 Dengan demikian setelah proses pembelajaran itu selesai,

siswa sendiri akan tetap terus belajar dan mengembangkan diri hingga akhirnya

mengubah diri. Dalam praktik pembelajaran problem posing, pembelajaran sekaligus menjadi proses konsientisasi, penyadaran akan hidup, situasi siswa, dan

dengan demikian menemukan cara memajukan atau mengubah hidup mereka.

Proses belajar bisa dengan cara dan lembaga yang bermacam-macam. Di

tambah lagi begitu banyaknya lembaga pendidikan yang dibuat untuk mendidik

lulusan yang berkompeten. Keberhasilan komunikasi tergantung dari bagaimana

proses penyampaian tujuan dari pesan pendidikan tersebut dapat diterima sebagai

proses keberhasilan dari pertukaran makna dalam proses terjadinya komunikasi.

7. Ideologi dan Wacana

Teks dapat dilihat dari berbagai sisi sebab teks dibuat dari pikiran

seseorang; diproduksi dan ada di dunia sebagai sesuatu yang dapat diuji secara

bebas. Teks ditafsirkan dengan jalan yang berbeda oleh masing-masing dari

48

Paul Suparno, Relevansi dan Reorientasi Pendidikan di Indonesia, artikel Edisi Paulo Freire di Majalah Basis, Januari-Februari 2001, hal 25.

49


(43)

commit to user

29 pembaca dan mengambil suatu kehidupan pada setiap pikiran pembacanya.

Sesungguhnya, teks mempunyai makna lebih dari satu komunikator memaknai

lain dan komunikan mungkin mengambil teks untuk sesuatu yang berbeda.

Pemaknaan terhadap teks terjadi karena ada suatu kerja pikiran yang

panjang, sehingga makna tidaklah muncul dari dalam teks tersebut artinya dia

datang dari luar teks. Pembaca menemukan teks, tapi dia tidak langsung

menemukan makna dalam teks tersebut, yang ia temukan adalah pesan. Makna itu

kemudian diproduksi lewat proses aktif, dinamis baik dari sisi pembuat maupun

pembaca. Pembaca dan teks secara bersama-sama mempunyai andil dalam

memproduksi permaknaan; melakukan politik pemaknaan. Hubungan ini,

kemudian, menempatkan seseorang sebagai satu bagian dari hubungannya dengan

sistem tata nilai yang lebih besar. Maka di sinilah, ideologi itu bekerja.

Ideologi selalu mewarnai produksi wacana. Seperti kata Aart van Zoest,

bahwa teks tak pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan

memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi.50 Wacana di sini tidaklah dipahami

sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi menurut Foucault

adalah sesuatu yang memproduksi yang lain, diantaranya sebuah gagasan konsep

atau efek. Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini,

konsep dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga

mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu.51

50

Sobur. Alex, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001: 60)

51

Salah satu yang menarik dari konsep Foucault adalah tesisnya mengenai hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Foucault mendefinisikan kuasa agak berbeda dengan beberapa ahli lain. Kuasa di sini tidak dimaknai dalam term “kepemilikan”, dimana seseorang mempunyai sumber kekuasaan tertentu. kuasa, menurut Foucault tidak dimiliki tetapi dipraktikkan dalam suatu


(44)

commit to user

30 Ideologi dapat diartikan sebagai sistem ide-ide yang diungkapkan dalam

komunikasi atau terkadang hanya dipahami sebagai sebuah pemikiran saja.

Menyitir pendapat dari Aminuddin bahwa ideologi merupakan wawasan, harapan,

maupun sistem kepercayaan yang secara ideal mewarnai sikap dan perilaku

individu, kelompok kemasyarakatan, maupun dalam menjalani aktivitas

kehidupannya.52

Teoritisi ideologi yang paling terkenal adalah Perancis Leuis Althusser,

baginya ideologi hadir dalam struktur sosial itu sendiri dan muncul dari

praktek-praktek aktual yang dilaksanakan oleh institusi-institusi di dalam masyarakat.

53

Ideologi sebenarnya membentuk kesadaran individu dan menciptakan kesadaran

subyektif orang tersebut tentang pengalaman. Dengan begitu suprastruktur

(organisasi sosial) menciptakan ideologi, yang pada gilirannya mempengaruhi

pemikiran-pemikiran individu tentang realita. Teori-teori Marxis cenderung melihat masyarakat sebagai dasar perjuangan antar kepentingan melalui dominasi

sebuah ideologi terhadap ideologi lainya. Hegemoni merupakan sebuah proses

dominasi, dimana sekumpulan pemikiran merongrong atau menekan yang lain.

Sedangkan, Raymond William memaknai ideologi dengan membaginya

dalam tiga ranah. Pertama, sebagai sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh

ruang lingkup dimana banyak posisi yang strategis berkaitan satu sama lain. Jika kekuasaan banyak dimaknai berhubungan dengan Negara, maka Foucault seperti dikutip Bartens, strategi kuasa berlangsung dimana-mana. Dimana-mana terdapat aturan, system regulasi. Dengan kata lain dimana saja manusia berhubungan satu sama lain, disitulah kuasa sedang bekerja. Lihat Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta, LKis, 2006 hal 65

52

Aminuddin, Pembelajaran Sastra sebagai Proses Pemberwacanaan dan Pembangunan Perubahan Ideologi dalam Dr. Soediro Satoto dan Drs. Zainuddin Fananie (ed.), Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan, (Surakarta: Muhammadiyah University Press: 2000: 47-48)

53

di lihat, Litlejohn, 2001 dalam tesis Marhaeni. Dian, Wacana Kapitalis dalam Iklan anak-anak di media Televisi. Universitas Sebelas Maret, 2006


(45)

commit to user

31 kelompok tertentu. Meski di sini terlihat sebagai sikap seseorang, tapi ideologi

tidak dipahami sebagai diri individu tapi diterima oleh masyarakat, di mana ia

hidup, posisi sosialnya, pembagian kerjanya dan lain-lain. Kedua, sistem kepercayaan yang dibuat – ide palsu/kesadaran palsu - yang dilawankan dengan

pengetahuan ilmiah. Ideologi diartikan sebagai seperangkat kategori yang dibuat

dan kesadaran palsu di mana kelompok yang berkuasa atau dominan

menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain. Di sini, ideologi disebarkan

lewat berbagai instrumen seperti pendidikan, politik juga media massa. Tanpa

sadar kita menerimanya sebagai kebenaran yang wajar, tanpa mempertanyakan

kembali. Ketiga, proses umum produksi makna dan ide. Ideologi didefinisikan untuk menggambarkan produksi makna.54

Ini seperti yang ditegaskan oleh Aminuddin, mengutip Terry Eagleton

dalam bukunya Ideology, An Introduction (1991) bahwa ideologi dapat dipahami sebagai cara dan sikap anggota kelompok masyarakat dalam menyikapi diri dan

kelompoknya sendiri maupun dalam menyikapi orang/kelompok lain.55 Maka dari

itu, ditinjau dari segi kognitif, ideologi merupakan bentuk kesadaran mental yang

tersusun berdasarkan perolehan pemahaman dan pengalaman. Di sini, dapat

dimaknai bahwa ideologi yang dimiliki seseorang kurang lebih sama dengan

ideologi orang tua ataupun lingkungan keluarganya. 56

Hal ini memberikan gambaran bahwa aspek internal pembentuk ideologi

mengacu pada lingkungan, kegiatan keseharian, informasi dan pesan yang didapat

dalam komunikasi sehari-hari, maupun pada kegiatan sosial yang dilakukannya.

54

Dalam Eriyanto (b), Op.cit., hal 87-93. 55

Aminuddin, Ibid., hal. 49. 56


(46)

commit to user

32 Selanjutnya, ideologi tersebut akan menentukan sikap, keputusan, bentuk relasi,

dan perilaku dalam kehidupan.

Sedangkan secara negatif, ideologi dilihat sebagai suatu kesadaran palsu, yaitu suatu kebutuhan untuk melakukan penipuan dengan cara memutarbalikkan

pemahaman orang mengenai realitas sosial.57 Dengan kata lain, karena begitu

banyak pengertian, ideologi dalam pengertian paling umum dan lunak adalah

pikiran yang terorganisir, yakni nilai, orientasi, dan kecenderungan yang saling

melengkapi sehingga membentuk perspektif-perspektif ide yang diungkapkan

melalui komunikasi dengan media teknologi dan komunikasi antarpribadi.58

Novel sebagai sebuah teks juga mengandung sebuah ideologi dari

pengarangnya. Kata-kata, klausa, kalimat atau paragraf yang tersusun di dalamnya

dipandang oleh kaum Marxis tidaklah sebagai sesuatu yang netral, tapi penuh

motif. Teks-teks yang ada di dalamnya bisa menjadi wacana populer bahkan

kontroversial. Sebab teks-teks tersebut muncul dari pikiran dan pemahaman

seorang pengarang yang tak lepas dari berbagai terpaan ideologi sosial di

lingkungan sosialnya.

Makna kata dalam teks novel dibangun dalam kaitan dan oposisinya

dengan makna kata yang digunakan secara umum dalam masyarakat. Kata-kata

dalam teks sastra dipungut dari kata umum, dicipta dan dirangkai dalam susunan

yang baru sebagai sarana mengatakan satu hal dan cara lain. Ungkapan kata dalam

novel dibedakan dengan bahasa biasa. Jika dalam bahasa biasa ungkapan langsung

bisa ditangkap maknanya (mempercepat makna), sementara dalam novel, makna

57

Alex Sobur, Drs., Op.Cit., hal 61. 58


(1)

commit to user

140 beberapa teman santri sebayanya mulai memasuki proses pendafataran, seleksi siswa baru, pengenalan lingkungan pesantren dan pada awal masa sekolah di mulai. Teks lainnya juga tampak bagaimana sistem pendidikan yang berlaku selama 24 jam di pesantren, proses ujian akhir semester yang berat yang diumpamakan seperti ujian terberat yang bahkan di temui seumur hidup, serta pada narasi yang membandingkan antara tokoh utama dengan teman sebaya nya, jika teman sebaya nya kelas 3 SMA. Maka tokoh utama (Alif) baru kelas 5 di PM, saat teman sebaya nya masuk kuliah, tokoh utama (Alif) masih kelas 6.

2. Metode pendidikan dalam praktek pengajaran . Wacana ini tampak pada bagian saat tokoh Alif belajar bahasa Arab, yang diajarkan dengan cara sederhana yaitu dengan menggunakan metode dengar, ikuti, teriakan dan ulangi lagi, tidak ada terjemahan bahasa Indonesia sama sekali. Sistem bahasa yang membuat Pesantren terkenal dengan kemampuan muridnya berbicara aktif. Selain itu, tampak juga pada teks saat ujian berlangsung, energi dan suasana positif yang diciptakan menggarahkan pada kegiatan belajar ekstra dimana-mana, misalnya ditangga masjid, di kantin, di lapangan, di kamar mandi, di kelas, di pinggir sungai, di kamar mandi, dapat terdengar suara santri yang sedang menghapal dan berdiskusi.

3. Disiplin. Wacana ini dapat ditemukan pada cerita bagaimana kedisiplinan di tegakkan tanpa pandang bulu dan melihat apapun alasan yang mendasarinya, melanggar adalah hukuman bagi peraturan Pesantren. Siapapun bisa menerima hukuman bahkan kehilangan jabatan. Kemudian,


(2)

commit to user

141 terkait dengan peraturan ini, diceritakan peraturan tersebut tidak di tempel, tetapi sekali di bacakan para santri wajib hafal sehingga tidak ada alasan apapun untuk melanggar ataupun tidak tahu.

4. Keteladanan sebagai bentuk dari motivasi. Wacana ini, hampir di setiap sub tema di ceritakan. Semuanya terlihat dan di gambarkan oleh hampir setiap tokoh di dalam novel ini mempunyai sisi keteladanan dan motivasi yang membangun. Mulai dari Kyai Rais sebagai pimpinan Pondok Pesantren, para pengajar, teman-teman asrama, orang tua bahkan tokoh utama sendiri (Alif) di ceritakan memiliki motivasi yang membangun dalam meniti kehidupan, menghadapi masalah dan hambatan dalam keseharianya. Banyak motivasi yang dapat di petik sebagai renungan dalam novel ini. Contoh saja satu yang menjadi novel ini cukup terkenal yaitu “Man jadda wajadda; Siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses” Konstruksi wacana yang dikembangkan oleh Ahmad Fuadi juga ditandai oleh beberapa karakteristik sebagai berikut:

1. Ahmad Fuadi menempatkan diri nya berada pada posisi pembelaan terhadap pendidikan yang dilakukan di pesantren. Teks yang ada lebih dominan bercerita tentang bagaimana pesantren mampu membangun, mendidik, dan membentuk santrinya menjadi manusia seutuhnya yang berguna bagi agama dan masyarakat. Semuanya, begitu jelas dalam rangkaian narasi dan bahasa yang digunakannya. Ini dapat dilihat dalam wacana kurikulum pendidikan, wacana metode pengajaran, dan wacana keteladanan sebagai bentuk dari motivasi.


(3)

commit to user

142 2. Apa yang Ahmad Fuadi lakukan dalam mengkonstruksi teks novel tampak sekali bentuk orientasi dan batasan pandangan pada persoalan wacana pendidikan yang berlangsung di pesantren Gontor. Ahmad Fuadi dalam novelnya bermain dengan tuturan bahasa yang berupa; kata dan kalimat yang lebih menonjolkan bagaimana sistem pendidikan berlangsung, serta pembaca di bawa seolah-olah ikut terlibat didalamnya dengan penggunaan bahasa yang ringan namun tetap santun tetapi dapat mewakili maksud pandangan dari Ahmad Fuadi. Dalam seluruh teks sangat jelas sekali bagaimana manfaat pendidikan di pesantren ini dapat dinilai, dan tampaknya Ahmad Fuadi lebih cenderung menyenangi penonjolan sistem pendidikan nya, dimana tokoh yang diceritakan sebagai lima menara mampu mencapai keberhasilannya. Ini terlihat dari beberapa pernyataan dalam teks novel setelah dilakukan analisis, yang menunjukkan implied

author dari Ahmad Fuadi.

3. Dalam novel ini pun terdapat sisipan-sisipan cerita Alif (Fuadi) dan teman-temannya masa usai dari pesantren Gontor seperti,kutipan saat berada di

Washington DC dan bertemu teman lama di negara yang diimpikan. Dan

sisipan cerita ini, dianggap sebagai sebuah bentuk pembenar atau penguat dalam fungsi propaganda yaitu sebagai sebuah penumpukan fakta yang mendukung (card stacking). Jika dalam fungsi mitos, dirinya dapat dianggap sebagai myth concern (pengukuhan mitos). Fungsi sisipan-sisipan cerita tersebut dianggap bahwa Ahmad Fuadi mencoba me-recall


(4)

commit to user

143

frame inti dari cerita lima menara tersebut dan ini membuat Ahmad Fuadi

sendiri tampak lebih “berpihak” pada Pesantren Gontor.

4. Ditegaskan bahwa teks yang diteliti adalah novel bersifat nonfiksi, jadi berkenaan dengan realitas sesungguhnya hanya ada sedikit perubahan nama-nama pelaku dan lokasi serta alur yang dibuat dapat menyesuaikan konstruksi atas suatu realitas dari Ahmad Fuadi. Ahmad Fuadi membangun pembaca dengan untuk berempati melalui kata dan kalimat yang provokatif yang di ceritakan secara detail dalam keseharian di Pesantren. Bagaimana dilema yang dialami, pengorbanan dan perjuangan yang di rasakan dalam penokohannya. Hal tersebut bagi peneliti wajar terjadi, dengan maksud membangun alur cerita yang hidup sehingga pembaca dapat memahami maksud yang hendak di bangun Ahmad Fuadi. 5. CDA adalah metode yang dapat dipakai untuk membedah dan memahami

sebuah teks, tidak hanya dalam tataran struktur gramatikal tapi sampai tingkat ideologi. Sebab susunan atau konstruksi sebuah teks berawal mula dari pergulatan pikiran dan ideologi juga bermain di sini. Pendekatan Roger Fowler dkk. dikenal sebagai Critical Linguistics, yang memandang bahasa sebagai praktek sosial, melalui mana suatu kelompok memantapkan dan menyebarkan ideologi. Apa yang dilakukan Roger Fowler dkk. adalah meletakkan tata bahasa dan praktek pemakaiannya tersebut untuk mengetahui praktek ideologi.

6. Temuan dari analisis Halliday bukan dalam tataran CDA. Dalam penelitian ini dipakai untuk lebih melihat secara teks dan konteksnya.


(5)

commit to user

144 Ternyata, ditemukan pemahaman lebih detil tentang siapa yang dibicarakan, apa yang dibicarakan dan bagaimana hal itu dibahasakan.

A. SARAN

1. Model analisis dalam CDA banyak ragamnya dan ketika penelitian ini menggunakan model Roger Fowler dkk. dan mendapatkan hasilnya, ternyata tidak mencapai suatu kepuasan. Ketidakpuasan ini adalah tidak mencantumkan perspektif dari penulisnya langsung tentang pembuatan novelnya. Memang dalam model Fowler dkk. persoalan indept-interview

kurang mendapat perhatian. Meski begitu, itu semua mempunyai dasar tersendiri dan karakter masing-masing peneliti pun beragam. Jadi, ketika ada peneliti yang cenderung tidak puas dalam meneliti wacana pada tataran teks, lebih disarankan menggunakan model CDA lainnya yang mempunyai tahapan wawancara, misalnya Model Teun van Dijk atau Norman Fairclough. Jika tetap dengan model Fowler dkk. terus memaksakan dengan wawancara, hasil wawancara pun tidak begitu dilibatkan dalam analisis mungkin hanya sebagai deskripsi saja.

2. Menggunakan CDA dalam membaca sebuah teks memberikan keuntungan tersendiri, dibanding metode-metode lainnya. Dengan CDA, pembacaan terhadap suatu teks lebih kritikal dan holistik. Metode CDA tidak sekedar pada teks novel saja, tapi bisa juga pada berita atau laporan jurnalistik. Oleh karena itu, kiranya diharapkan para mahasiswa, dosen, dan pihak lainnya yang menaruh perhatian pada pembacaan atau pembedahan sebuah


(6)

commit to user

145 teks, bisa menggunakan metode ini. Disebabkan, dalam penelitiannya, tidak sekedar untuk melihat pada tataran teks, tapi juga sifat historisnya, ideologi pembuat teks, serta konteks yang ada.