karena wanita yang menjadi hamil, sehingga banyak metode kontrasepsi yang didesain untuk wanita, sedangkan metode kontrasepsi bagi pria sangat terbatas
pengembangannya. Selanjutnya Rob, dkk 1999 mengatakan bahwa eksklusi pria dari program KB menjadi faktor penentu keterbatasan program KB yang dapat
dicapai.
Penggunaan alat kontrasepsi merupakan bentuk perilaku seseorang yang didasari penilaian positif pada kegiatan tersebut, baik dengan tujuan tertentu maupun
sekedar mengikuti lingkungannya. Hal tersebut menekankan pentingnya sebuah niat dan pemikiran yang positif terhadap perilaku seseorang. Fishben dan Ajzein dalam
Notoatmodjo 2007, menyebutkan bahwa keyakinan akibat perilaku merupakan pengetahuan yang berasal dari diri sendiri yang positif maupun negatif. Dari hal
tersebut akan menghasilkan sikap yang selanjutnya akan menumbuhkan minat seseorang untuk melakukan perilaku tertentu.
5.7. Faktor Nilai Budaya terhadap Kesediaan Suami sebagai Akseptor KB MOP
Adat kebiasaan atau adat dari suatu masyarakat yang memberikan nilai anak laki-laki lebih dari anak perempuan atau sebaliknya. Hal ini akan memungkinkan satu
keluarga mempunyai banyak anak. Bagaimana kalau keinginan untuk mendapatkan anak laki-laki atau perempuan tidak terpenuhi mungkin akan menceraikan istrinya
dan kawin lagi agar terpenuhi keinginan memiliki anak laki-laki atau perempuan. Disini norma adat istiadat perlu diluruskan karena tidak banyak menguntungkan
bahkan banyak bertentangan dengan kemanusiaan.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa suami yang bersedia mean 25,24 menjadi akseptor KB MOP memiliki kepercayaan tentang KB MOP jauh lebih
baik daripada suami yang tidak bersedia mean 19,97 menjadi akseptor KB MOP. Hasil analisis menggunakan independent samples t test diperoleh p-value sebesar
0,001 p-value ≤ 0.05, yang berarti bahwa nilai budaya yang diyakini suami
memengaruhinya untuk menjadi akseptor KB Medis Operasi Pria MOP. Tidak mudah masyarakat menerima agar pria berpartisipasi aktif dalam program KB karena
berbagai alasan. Hambatan budaya masih dominan terhadap kontrasepsi pria, khususnya kontrasepsi mantap. Hal tersebut didukung BKKBN 2007, bahwa
kesertaan ber KB pria rendah terjadi karena faktor sosial budaya yang beranggapan bahwa KB adalah urusan perempuan sehingga pria tidak perlu berperan.
Rendahnya partisipasi pria dalam keluarga berencana dan kesehatan reproduksi pada dasarnya tidak terlepas dari operasional program KB yang selama ini
dilaksanakan mengarah kepada wanita sebagai sasaran. Demikian juga masalah penyediaan alat kontrasepsi yang hampir semuanya untuk wanita, sehingga terbentuk
pola pikir bahwa para pengelola dan pelaksana program mempunyai persepsi yang dominan yakni yang hamil dan melahirkan adalah wanita, maka wanitalah yang harus
menggunakan alat kontrasepsi Sumadi, 2007. Budaya dan unsur-unsur yang terdapat di dalamnya merupakan suatu pola
yang bersifat dinamis, artinya dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan jaman. Perubahan budaya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya melalui proses yang
lama dan melibatkan individu-individu yang dianggap sebagai sosok yang
Universitas Sumatera Utara
berpengaruh di dalam masyarakat. Dalam hal budaya dalam masyarakat yang memandang nilai anak laki-laki lebih “berharga” daripada perempuan, banyak anak
banyak rejeki, serta urusan KB adalah urusan perempuan saja, ini pun akan mengalami pergeseran. Peran tokoh masyarakat dan tokoh agama membawa peranan
penting untuk mengubah nilai budaya ini ke arah yang lebih mendukung pemerintah dalam program keluarga berencana khususnya program KB MOP.
5.8. Faktor Sarana dan Prasarana terhadap Kesediaan Suami sebagai Akseptor KB MOP