Latar Belakang Negara-Negara Menerapkan Kebijakan Kandungan

c. Pendistribusian pendapatan kepada pemegang saham kreditor lokal. Singkatnya, input disediakan oleh pihak lokal ke industri ekstraktif adalah dalam bentuk barang dan jasa. Kebijakan kandungan lokal antara satu negara dengan negara lain biasanya berbeda. Misalnya, perusahaan asing mungkin perlu bermitra dengan perusahaan lokal untuk melakukan bisnis di negara setempat. Sebagai alternatif perusahaan asing diharuskan untuk memiliki cabang di negara setempat dan melalui cabang tersebutlah, perusahaan asing dapat menjalankan usaha danatau kegiatan komersialnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar perusahaan asing memiliki partisipasi lokal danatau kepemilikan lokal pada keseluruhan operasi. 49 Sebuah perusahaan minyak internasional perlu bermitra dengan pihak lokal yang biasanya perusahaan minyak nasional. Dalam rangka mengoperasikan kebijakan kandungan lokal di negara tuan rumah, perusahaan asing harus beradaptasi dengan dan menyetujui persyaratan ini baik dalam mempekerjakan tenaga kerja, pengadaan barang, materi maupun jasa-jasa, atau pun bermitra dengan perusahaan lokal, persyaratan penggunaan kandungan lokal akan mempengaruhi cara perusahaan asing melakukan bisnis di negara tuan rumah.

B. Latar Belakang Negara-Negara Menerapkan Kebijakan Kandungan

Lokal Penanaman modal adalah bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional upaya untuk meningkatkan akumulasi modal, menyediakan lapangan 49 Derek J Anchodo, “Local Content Requirements In The Oil and Gas Sector: A Way Of Life Or An Emerging Trend?”, Oil and Gas Newsletter, October 2010, hlm. 16. Universitas Sumatera Utara kerja, menciptakan transfer teknologi, melahirkan tenaga-tenaga ahli baru, memperbaiki kualitas sumber daya manusia dan menambah pengetahuan serta membuka akses kepada pasar global. Penanaman modal asing dapat memberikan keuntungan cukup besar terhadap perekonomian nasional, misalnya menciptakan lowongan pekerjaan bagi penduduk tuan rumah sehingga dapat meningkatkan penghasilan dan standar hidup, menciptakan kesempatan bekerjasama dengan perusahaan lokal sehingga mereka dapat berbagi manfaat, meningkatkan ekspor sehingga meningkatkan cadangan devisa negara dan menghasilkan alih teknologi. 50 Peraturan penanaman modal asing masing-masing negara pada dasarnya berisi ketentuan tentang persyaratan-persyaratan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh investor asing, seperti kewajiban kandungan lokal local content requirement, kewajiban menggunakan komponen tertentu buatan dalam negeri , kewajiban alih teknologi technology transfer requirement, kebijakan keseimbangan perdagangan trade balancing policy, pembatasan bidang usaha, pemilikan saham, penggunaan tenaga kerja asing, dan lain sebagainya. Adakalanya persyaratan penanaman modal tersebut dapat menghambat perdagangan internasional. Tolok ukur yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi apakah suatu persyaratan penanaman modal menghambat perdagangan internasional adalah dampak diskriminatif terhadap produk impor dan hambatan kuantitatif terhadap aliran barang yang ditimbulkan persyaratan-persyaratan 50 Penanaman Modal Asing di Indonesia, http:www.academia.edu4870433Penanaman_Modal_Asing_di_Indonesia?login=email_was_t aken=true diakses pada tgl 25 Februari 2014 pukul 23.22 WIB. Universitas Sumatera Utara tersebut. 51 Kewajiban bagi investor untuk menggunakan barang-barang buatan dalam negeri host country yang dijadikan sebagai syarat untuk dapat melakukan penanaman modal atau untuk kemudahan pajak, menyebabkan adanya perlakuan khusus terhadap barang buatan dalam negeri. 52 Salah satu prinsip persyaratan penanaman modal yang paling sering diterapakan oleh negara host country adalah kebijakan kandungan lokal. Kebijakan kandungan lokal dapat ditemukan dalam kebijakan penanaman modal asing di Brazil, India, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Umumnya kewajiban tersebut divariasikan dengan insentif pengurangan atau pembebasan tarif bea masuk dan kewajiban perpajakan. 53 Hasil pengamatan badan GATT yang mengawas kebijakan perdagangan negara-negara anggotanya, yaitu TPRM Trade Policy Review Mechanism, terdapat 19 negera dari 27 negara sedang berkembang yang menerapkan kewajiban kandungan lokal ini. Bidang industri yang paling jelas terlihat adalah industri otomotif, tetapi juga terdapat cabang-cabang industri lainnya yang menyangkut mesin-mesin. 54 Hubungan yang tidak terpisahkan antara peraturan penanaman modal dan peraturan perdagangan dalam negeri sebenarnya telah menjadi pembahasan masyarakat internasional pada saat berlangsungnya United Nations Confrence on Trade and Employment tahun 1948 di Havana. Konvensi yang menghasilkan Havana Charter ini meminta kepada negara-negara peserta agar menghindari 51 Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal: Studi Kesiapan Indonesia Dalam Perjanjian Invesstasi Multilateral , hlm. 35. 52 Asmin Nasution, Op.cit, hlm. 75. 53 Mahmul Siregar, Op. cit., hlm. 119. 54 An An Chandrawulan, Op.cit, hlm. 147. Universitas Sumatera Utara perlakuan diskriminatif terhadap investor asing. Namun kegagalan ratifikasi menyebabkan kajian ini kurang mendapat perhatian. Masalah ini kembali menarik perhatian pada saat Parlemen Kanada mengesahkan Canada’s Foreign Investment Review Act pada tanggal 12 Desember 1973. 55 Kasus ini kemudian sangat terkenal dengan sebutan FIRA Case. FIRA Case berawal dari tindakan Parlemen Kanada yang melakukan perubahan atas Undang-Undang Penanaman Modal Kanada. Perubahan undang- undang ini ditujukan terutama untuk menjamin bahwa kegiatan bisnis perusahaan asing di wilayah Kanada menghasilkan kentungan yang signifikan bagi kemajuan Kanada. Pemerintah Kanada akan mengizinkan kegiatan operasi perusahaan investasi asing hanya jika menurut Pemerintah Kanada perusahaan investasi asing tersebut dapat memberikan keuntungan yang signifikan bagi kemajuan pembangunan ekonomi Kanada. Untuk memastikan tercapainya keuntungan yang signifikan tersebut, Pemerintah Kanada menetapkan syarat bagi investor yang melakukan permohonan penanaman modal asing di Kanada untuk melakukan hal- hal berikut: 56 a. Membeli sejumlah presentase tertentu barang-barang dari Kanada; b. Menggantikan produk impor dengan produk buatan Kanada; c. Membeli barang-barang dari Kanda jika barang-barang tersebut dapat bersaing dengan barang impor misalnya jika harga atau persyaratannya sama, maka investor harus membeli produk dari Kanada; 55 Asmin Nasution, Op. Cit., hlm. 73. 56 Mahmul Siregar, Op. Cit., hlm. 36. Universitas Sumatera Utara d. Membeli dari supplier Kanada menyebabkan investor harus membeli barang secara langsung dari produser dalam negeri tetapi tidak dapat membeli langsung dari perusahaan asing. Pemerintah Kanada dalam membantah tuntutan Pemerintah Amerika Serikat mempergunakan pendekatan tentang kedaulatan dan kompetensi GATT sebagai dasar argumentasi penolakan. Pemerintah Kanada mendalilkan bahwa ketentuan ketentuan GATT tidak meliputi masalah investasi. GATT sejak saat pembentukannya diterima sebagai sebuah kesepakatan multilateral yang menyangkut masalah pengaturan liberalisasi perdagangan barang, tidak termasuk di dalamnya masalah investasi. Penataan investasi asing menyangkut langsung pada persoalan kedaulatan negara Kanada sebagai sebuah negara merdeka. Oleh karena itu ketentuan-ketentuan GATT tidak dapat diterapkan atas persyaratan penanaman modal yang ditetapkan oleh Pemerintah Kanada bagi perusahaan- perusahaan investasi asing di wilayah hukum mereka. Keberatan Pemerintah Kanada berkenaan dengan masalah kedaulatan negara Kanada untuk menerapkan tindakan-tindakan tertentu di wilayah hukumnya pada dasarnya diterima oleh Panel Penyelesaian Sengketa GATT yang memeriksa dan mengadili FIRA Case ini, akan tetapi alasan tersebut tidak menyebabkan Pemerintah Kanada menyampingkan kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan perjanjian internasional yang telah mereka sepakati, khususnya dalam hal ini adalah General Universitas Sumatera Utara Agreement on Tariffs and Trade. Pendapat ini tercermin dari pertimbangan hukum Panel yang diputuskan pada tahun 1984 yang menyatakan sebagai berikut: 57 ... in view of the fact that the General Agreement does not prevent Canada from exercising its sovereign right to regulate foreign direct investment, the panel examined the purchase and export undertaking by investors solely in the light of Canadas trade obligation under the General Agreement. Thus, the Panel clearly stated that this is not an inquiry into a sovereign states right to regulate foreign investment in Canoda s territory, but is only designed to determine whether or not the regulation effected Canada s trade obligations within the framework of the GATT.” Dengan memperhatikan keterkaitan antara persyaratan penanaman modal dan kewajiban-kewajiban Kanada di bawah ketentuan GATT selanjutnya Panel memutuskan bahwa tindakan Pemerintah Kanada yang menjadikan syarat pembelian dan atau penggunaan produk buatan dalam negeri Kanada serta menentukan jumlah tertentu dari hasil produksi yang wajib diekspor, dijadikan sebagai pertimbangan utama untuk memberikan ijin operasi bagi investasi asing, maka secara meyakinkan Perubahan Undang-Undang Penanaman Modal Asing Kanada tersebut telah melanggar ketentuan Artikel III.4 GATT tentang national treatment . 58 Panel tersebut menyimpulkan bahwa persyaratan kandungan lokal tidak konsisten dengan prinsip National Treatment berdasarkan Article III: 4 GATT 1, sedangkan persyaratan ekspor tidak konsisten dengan ketentuan di bawah GATT. Keputusan panel dalam FIRA Case ini signifikan karena menegaskan bahwa ketentuan berdasarkan GATT berlaku terhadap persyaratan yang diberlakukan 57 Mahmul Siregar, “Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal”, USU Repository, 2005, hlm. 5. 58 Ibid. Universitas Sumatera Utara oleh pemerintah dalam konteks penanaman modal sejauh persyaratan tersebut membedakan barang impor dari barang lokal. 59 Selain Kanada, Indonesia juga pernah bersengketa dengan WTO terkait dengan kasus mobil nasionalmobnas pada tahun 1996. Awal mula muncul kasus ini karena inisiatif pemerintah Indonesia dalam mendukung dan ingin meningkatkan industri mobil nasional. Oleh karena itu, pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan program Mobil Nasional melalui Inpres No.2 tahun 1996 mengenai Program Mobil Nasional sebagai terobosan di sektor otomotif Indonesia. Tujuan Mobnas adalah sebagai embrio kemajuan dan kemandirian bangsa Indonesia dalam industri otomotif. Program Mobnas ini yang menunjuk PT Timor Putra Nusantara TPN sebagai pelopor yang memproduksi Mobnas. Namun karena Mobnas masih belum dapat memproduksi di dalam negeri, maka perlu dikeluarkan Keputusan Presiden No. 42 tahun 1996 yang mengizinkan PT TPN mengimpor Mobnas yang kemudian diberi merek “Timor” baik dalam bentuk jadi atau completely build-up CBU dari Korea Selatan. 60 Perusahaan atau produsen mobil asing yang berada di Indonesia, yaitu perusahaan dari Jepang, Masyarakat Eropa ME, dan Amerika Serikat AS protes. Mereka mengklaim bahwa program Mobnas ini diskriminatif dan telah melanggar aturan perdagangan internasional antara lain: Pasal I dan III GATT, Pasal 2 Perjanjuian TRIMs, Pasal 3, 6, dan 28 Perjanjian SCM Subsidi dan Bea 59 Agreement on Trade Related Investment Measures, http:www.wto.orgenglishtratop_einvest_einvest_info_e.htm diakses pada tgl 26 Februari 2014 pukul 00.06. 60 Sengketa Mobil Nasional Timor Di WTO, http:www.scribd.comdoc129547242Sengketa-Mobil-Nasional-Timor-Di-WTO diakses pada tgl 25 February 2014 pukul 00.49 WIB. Universitas Sumatera Utara Masuk Imbalan, serta Pasal 3, 20, dan 65 TRIPS. Mereka memohon konsultasi terpisah dengan Pemerintah RI pada bulan Oktober 1966. Setelah konsultasi gagal, mereka mengajukan pembentukan panel yang kemudian terbentuk pada bulan Juni dan Juli 1997. 61 Dalam putusannya, panel menyimpulkan bahwa kebijakan Program Mobnas di Indonesia telah melanggar ketentuan-ketentuan perdagangan internasional yaitu: 62 1. GATT Art. I:1 most-favoured-nation treatment: yaitu adanya perlakuan khusus impor mobil dari KIA Motor Korea yang hanya memberi keuntungan pada satu negara, misalnya perlakuan bebas tarif masuk barang impor. 2. GATT Art. III:2, first and second sentences national treatment-taxes and charges: Perlakuan bebas pajak atas barang mewah yang diberikan kepada produsen mobil nasional selama 2 tahun. 3. TRIMs Agreement Art. 2.1 local content requirement: soal kandungan lokal yang ditentukan secara bertahap yakni 20 pada tahap pertama dan 60 tahun ketiga tidak terpenuhi. 4. ASCM Art. 5c serious prejudice. Dalam penyelesaian kasus mobnas, WTO memutuskan bahwa Indonesia telah melanggar Prinsip-Prinsip GATT yaitu National Treatment dan menilai kebijakan mobil nasional tersebutdinilai tidak sesuai dengan spirit perdagangan 61 Huala Adolf, Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum Perdagangan Internasional WTO, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 147. 62 Robby Adrian, “Kebijakan Otomotif Nasional “ Mobnas Timor “ ditinjau dari prinsip Most Favoured Nation”, hlm. 3. Universitas Sumatera Utara bebas yang diusung WTO, oleh karena itu WTO menjatuhkan putusan kepada Indonesia untuk menghilangkan subsidi serta segala kemudahan yang diberikan kepada PT. Timor Putra Nasional selaku produsen Mobil Timor dengan menimbang bahwa: 63 a. Penghapusan bea masuk dan penghapusan pajak barang mewah yang oleh pemerintah hanya diberlakukan pada PT. Mobil Timor nasional merupakan suatu perlakuan yang diskriminatif dan tentu saja akan sangat merugikan para investor yang telah terlebih dahulu menanamkan modalnya dan menjalankan usahanya di Indonesia. Dengan diberlakukannya penghapusan bea masuk dan pajak barang mewah terhadap mobil timor, hal ini dapat menekan biaya produksi sehingga membuat harga mobil timor di pasaran menjadi lebih murah, hal tersebut akan mengancam posisi investor asing yang tidak dapat menrunkan harga jual produknya,dalam persaingan pasar yang tidak sehat seperti itu, investor asing pasti akan sangat dirugikan. b. Untuk menciptakan suatu perdagangan bebas yang efektif dan efisien, GATT dalam aturanaturannya telah berusaha menghapuskan segala hambatan dalam perdagangan internasional,antara lain adalah hambatan- hambatan perdagangan Non Tarif. Oleh karena itu kebijakan Pemerintah Indonesia yang menetapkan keharusan aturan persyaratan kandungan lokal terhadap investor asing dinilai sebagai upaya pemerintah dalam menciptakan suatu hambatan peragangan non tarif guna memproteksi pasar dalam negeri dari tekanan pasar asing. Kebijakan 63 Sengketa Mobil Nasional Timor Di WTO, Loc.cit Universitas Sumatera Utara tersebut merupakan salah satu strategi pemerintah untuk memproteksi pasar Mobil Timor agar tidak kalah bersaing dengan produsen mobil dari luar negeri. Instrumen kebijakan tersebut tentunya sangat merugikan pihak produsen mobil dari luar negeri, dan dapat menciptakan suatu iklim persaingan yang tidak sehat. Sebagai respon Indonesia terhadap putusan panel, maka pada tgl 21 Januari 1998 dikeluarkan Keputusan Presiden No. 20 tahun 1998 tentang Pencabutan Keputusan Presiden No. 2 tahun 1996 tentang Pembuatan Mobil Nasional. Dengan dikeluarkannya Keppres No. 20 tahun 1998 ini, maka seluruh peraturan-peraturan yang melaksanakan Keppres No. 2 tahun 1996, termasuk di dalamnya Inpres No. 2 tahun 1996 tentang Pembangunan Industri Kendaraan Bermotor Nasional dinyatakan tidak berlaku. 64 Pada periode setelah berlakunya Agreement on Trade Related on Investment Measures hasil perundingan Putaran Uruguay bermunculan sengketa- sengketa perdagangan internasional yang lahir dari peraturan penanaman modal. Selain Kanada dengan “Fira Case” dan Indonesia dengan kebijakan “mobil nasional”, adapula beberapa negara yang kebijakan penanaman modalnya melanggar ketentuan GATT terutam prinsip national treatment antara lain Brazil dengan kebijakan investasi sektor otomotif, India dengan kebijakan local content requirement, Filipina dengan kebijakan foreign exchange limitation, dan berbagai negara lainnya. Sejumlah sengketa tersebut menunjukkan bahwa adakalanya peraturan penanaman modal suatu negara dapat menimbulkan sengketa bidang internasional ketika peraturan penanaman modal tersebut bertentangan dengan 64 Mahmul, Siregar, Op.Cit., hal 134. Universitas Sumatera Utara kewajiban internasional dari host country berdasarkan prinsip-prinsip perdagangan internasional yang diatur di dalam GATTWTO. 65

C. Prinsip Nondiskriminasi dalam WTO dan Kebijakan Kandungan