Analisis Hukum Terhadap Penggunaan Kandungan Lokal Dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi Berdasarkan Kesepakatan Wto

(1)

ANALISIS HUKUM TERHADAP PENGGUNAAN KANDUNGAN LOKAL DALAM KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI

BERDASARKAN KESEPAKATAN WTO

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

VELLICHIA LAWRENCE 100200104

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ANALISIS HUKUM TERHADAP PENGGUNAAN KANDUNGAN LOKAL DALAM KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI

BERDASARKAN KESEPAKATAN WTO

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

VELLICHIA LAWRENCE NIM : 100200104

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Disetujui,

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

Windha, S.H., M.Hum. NIP. 197501122005012002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.Hum. Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum.

NIP :195603291986011001 NIP. 197302202002121001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunianya yang telah diberikan-Nya selama ini, sehingga Penulis bisa menyelesaikan karya tulis skripsi ini dengan baik dan benar.

Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada kedua orang tua saya, sehingga akhirnya Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Hukum Terhadap Penggunaan Kandungan Lokal Dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Berdasarkan Kesepakatan WTO” setelah sekian lama akhirnya Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat akademis untuk menyelesaikan Pendidikan Program S-1 di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa hasil Penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karenanya, Penulis sangat mengharapkan adanya saran dan kritik dari para pembaca skripsi ini. Kelak dengan adanya saran dan kritik

tersebut, maka diharapkan Penulis dapat menghasilkan karya tulis yang lebih baik dan berkualitas, baik dari segi substansi maupun dari segi cara Penulisannya.

Dengan ini izinkan Penulis mengucapkan rasa hormat dan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam proses Penulisan skripsi ini. Terima kasih Penulis kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A(K)., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah mengelola dan menyelenggarakan universitas sesuai dengan visi dan misi USU. 2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M. Hum., selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah memimpin penyelenggaraan pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, serta membina tenaga pendidik dan mahasiswa di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak


(4)

membantu Dekan dalam memimpin pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

4. Bapak Syarifuddin Hasibuan, S.H., M.Hum.,DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak membantu Dekan dalam memimpin pelaksanaan kegiatan di bidang administrasi umum.

5. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak membantu Dekan dalam pelaksanaan kegiatan di bidang pembinaan dan pelayanan kesejahteraan mahasiswa.

6. Ibu Windha, S. H., M. Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi dan Dosen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang selalu membantu Penulis dalam memberikan bimbingan bagi penuyusunan skripsi ini. Dalam kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala bantuan dan dukungan yang sangat bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.

7. Bapak Ramli Siregar, S.H., M. Hum., selaku Sekretaris Jurusan Departemen Hukum Ekonomi. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas ilmu yang telah diberikan dalam perkuliahan.

8. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.Hum., selaku Dosen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) dan Dosen Pembimbing I. Dalam kesempatan ini, Penulis juga mengucapankan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan dan dukungan Beliau


(5)

yang telah membantu Penulis dalam mencari referensi guna menyelesaikan Penulisan skripsi ini. Bagi Penulis, Beliau merupakan figur yang teladan, tekun, dan objektif dalam mendidik mahasiswa. Penulisan skripsi ini tidaklah mungkin dapat diselesaikan dengan baik tanpa bantuan, kritik, dan saran dari Beliau.

9. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., selaku Dosen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) dan Dosen Pembimbing II. Dalam kesempatan ini, Penulis juga mengucapankan terima kasih sebesar-besarnya atas ilmu yang dibagikan Beliau baik pada saat perkuliahan maupun sewaktu memberikan bimbingan bagi Penulisan skripsi ini. Bagi Penulis, Beliau merupakan figur yang teladan, tekun, dan objektif dalam mendidik mahasiswa. Penulis sangat mengagumi dedikasi Beliau dalam mengajarkan beberapa mata kuliah hukum ekonomi dengan sistem dan cara yang mudah dipahami oleh mahasiswa. Penulisan skripsi ini tidaklah mungkin dapat diselesaikan dengan baik tanpa bantuan, kritik, dan saran dari Beliau.

10. Ibu Dr. Keizerina Devi, S.H., M.Hum., selaku Dosen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU). Dalam kesempatan ini, Penulis juga mengucapkan terima kasih atas segala ilmu yang telah dibagikan Beliau selama menjadi dosen hukum ekonomi Penulis.

11. Ibu Joiverdia, S.H., M.H., selaku Dosen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU). Dalam kesempatan ini, Penulis juga


(6)

mengucapkan terima kasih atas segala ilmu yang telah dibagikan Beliau selama menjadi dosen hukum ekonomi Penulis.

12. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., selaku Dosen Penasihat Akademik Penulis. Di tengah kesibukan Beliau, Beliau masih meluangkan waktu untuk mengkaji perkembangan hasil studi Penulis. Untuk itu, dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesaar-besarnya atas segala bantuan dan dukungan yang telah Beliau berikan kepada Penulis selama kegiatan perkuliahan berlangsung mulai sejak Penulis pertama kali menjadi mahasiswa baru sampai dengan masa perkuliahan selesai.

13. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) atas segala ilmu yang telah diberikan sejak awal perkuliahan hingga selesainya Penulisan skripsi ini.

14. Seluruh staf pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU). 15. Orang tua tercinta, tersayang dan terkasih, Law Kok Kiong dan Mak Fong

Wo, terima kasih atas cinta, kasih, doa, perhatian, nasihat, dan bantuan yang sangat berarti dan tak terhingga nilainya, serta dukungan baik moril dan materil yang tiada pernah habis. Mudah-mudahan skripsi ini sebagai awal kesempatan untuk membahagiakan dan membalas atas pengabdian dan dedikasi orang tua selama ini.

16. Kedua Adik Penulis tercinta, Eurika Lawrence dan Helen Lawrence, yang selama ini banyak mendukung dan memotivasi Penulis dalam proses Penulisan skripsi ini.


(7)

17. Paulina Tandiono selaku senior dan guru les bahasa Inggris Penulis yang sangat membantu Penulis dalam menerjemahkan artikel-artikel bahasa asing yang Penulis kurang mengerti. Thank you so much, Miss.

18. Henjoko, Herbert, Jerry Thomas Maslo, Imelda Hoseinjaya, Sally Putri, dan Chyntia Stefany, yang merupakan teman stambuk 2010 dan sekaligus sahabat terbaik Penulis yang telah memberikan banyak dukungan, bantuan, dan motivasi selama Penulis mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Terima kasih banyak atas persahabatan yang telah terjalin selama ini, menjadi pendengar yang baik, memberi saran dan masukan, menjadi teman canda tawa dan sedih duka. Semoga persahabatan ini terjalin selama-lamanya. Best Friends Forever. 19. Teman-teman stambuk 2010, yang merupakan teman-teman akrab Penulis,

yaitu Febrina Sumardy, Steffy Chan, Diana Wijaya, Margaretha Octavia, Rivera Wijaya, Moria Gunawaty, serta yang lainnya yang tidak bisa Penulis ucapkan satu persatu. Rekan-rekan mahasiswa mulai dari Senior dan Junior serta khususnya teman-teman stambuk 2010 yang tidak bisa Penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih banyak atas dukungan yang diberikan sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan benar.

20. Semua pihak yang membantu Penulis dalam berbagai hal yang tidak dapat disebut satu-persatu.

Demikianlah yang dapat Penulis sampaikan, semoga apa yang telah kita lakukan mendapat Rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa.


(8)

Penulis memohon maaf kepada Bapak/Ibu Dosen Pembimbing, dan Dosen Penguji atas sikap dan kata yang tidak berkenan selama Penulisan skripsi ini.

Akhirnya sembari mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmat dan Karunia-Nya. Penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.

Medan, 30 Maret 2014 Penulis

Vellichia Lawrence NIM: 100200104


(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... vii

ABSTRAK ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Kepustakaan ... 11

F. Metode Penelitian ... 19

G. Sistematika Penulisan ... 22

BAB II KEBIJAKAN KANDUNGAN LOKAL MENURUT KESEPAKATAN WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) – AGREEMENT ON TRADE RELATED INVESTMENT MEASURES (TRIMS) A. Pengertian Kebijakan Kandungan Lokal ... 25

B. Latar Belakang Negara-Negara Menerapkan Kebijakan Kandungan Lokal ... 26

C. Prinsip Non-Diskriminasi Dalam World Trade Organization (WTO) dan Kebijakan Kandungan Lokal .. 37

D. Agreement on Trade Related Investment Measures (TRIMs) ... 45 1. Ruang Lingkup TRIMs ... 49


(10)

2. Penerapan Prinsip National Treatment dan

Quantitative Restriction ... 50 3. Ketentuan Khusus Bagi Negara Berkembang ...

53

4. Persyaratan Notifikasi dan Kewajiban Transparansi.. 54

5. The Committee on Trade Related Investment Measures ... 56

BAB III PERLUNYA KEBIJAKAN KANDUNGAN LOKAL

PADA KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI

A. Sekilas Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi ... 60 1. Istilah dan Pengertian Minyak dan Gas Bumi ... 60 2. Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi ... 63 3. Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas

Bumi Berdasarkan Kontrak Kerja Sama (Production Sharing Contract) ... 67 a) Sekilas tentang Kontrak Kerja Sama ... 67 b) Substansi Utama dalam Kontrak Kerja Sama ... 70 c) Para Pihak dan Objek dalam Kontrak Kerja

Sama ... 78

B. Tujuan Adanya Kebijakan Kandungan Lokal ... 82

BAB IV KEBIJAKAN KANDUNGAN LOKAL DI INDONESIA

BERDASARKAN PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 15 TAHUN 2013 DALAM PERSPEKTIF KESEPAKATAN WTO


(11)

A. Tinjauan Umum Peraturan Menteri dan Sumber Daya Mineral No. 15 Tahun 2012 ... 87 1. Pertimbangan, Filosofis, Sosiologis, dan Ekonomi ...

87

2. Tujuan Adanya Kebijakan Kandungan Lokal Pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi ... 90

B. Kebijakan Kandungan Lokal Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 15 Tahun 2013 Tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri Pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi ... 92 1. Jenis-jenis Tingkat Komponen Dalam Negeri ...

92

a) Tingkat Komponen Dalam Negeri Dalam Barang ... 94

b) Tingkat Komponen Dalam Negeri Dalam Jasa .... 96

c) Tingkat Komponen Dalam Negeri Gabungan Barang dan Jasa ... 98


(12)

2. Sanksi Yang Dikenakan Terhadap Pelanggaran Ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri ... 99

C. Analisis Mengenai Kebijakan Kandungan Lokal dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 15 Tahun 2013 Dalam Perspektif Kesepakatan WTO ... 102

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 114 B. Saran ... 116 DAFTAR PUSTAKA ... 118 ...


(13)

ABSTRAK

Analisis Hukum Terhadap Penggunaan Kandungan Lokal Dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Berdasarkan Kesepakatan WTO

Vellichia Lawrence*1

Bismar Nasution** Mahmul Siregar***

Perkembangan perdagangan bebas dunia yang semakin pesat, membuat negara-negara berkembang mengenakan persyaratan-persyaratan khusus agar modal asing yang diperoleh memberikan keuntungan maksimal bagi pertumbuhan ekonominya. Salah satu persyaratan khusus tersebut adalah dengan menetapkan kebijakan kandungan lokal (local content requirements). Indonesia merupakan salah satu negara yang menerapkan kebijakan kandungan lokal pada kerangka peraturan yang mengatur mengenai sektor hulu minyak dan gas bumi Namun sampai sekarang penerapan kebijakan kandungan lokal ini masih diperdebatkan. Adapun permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah pertama, bagaimanakah pandangan World Trade Organization (WTO) terhadap kebijakan kandungan lokal; kedua, apakah perlu kebijakan kandungan lokal pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi; dan ketiga, bagaimana penerapan kebijakan kandungan lokal pada kegiata usaha hulu minyak dan gas bumi.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dan bersifat deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Seluruh data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan. Kemudian data yang telah terkumpul tersebut dianalisis secara normatif kualitatif.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan skripsi ini adalah bahwa di dalam Artikel III. 4 GATT yang mengatur tentang prinsip National Treatment

melarang adanya perbedaan perbedaan perlakuan antara barang asing dan barang domestik yang kemudian dipertegas di dalam Agreement on Trade Related Investment Measures (TRIMs). Oleh karenanya kebijakan kandungan lokal ini dianggap bertentangan dengan prinsip National Treatment dimana barang dalam negeri akan diutamakan. Meski demikian, masih banyak negara yang menerapkan kebijakan kandungan lokal terutama di dalam kerangka peraturan yang berkaitan

      

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara *** Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(14)

dengan industri ekstraktif. Tingkat kandungan dalam negeri pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi di Indonesia pun dituangkan secara khusus pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 15 tahun 2013. Hal ini dilakukan dengan tujuan utama yaitu dapat mendukung dan menumbuhkembangkan produk dalam negeri, memberikan nilai tambah bagi perekonomian, menyerap tenaga kerja serta dapat berdaya saing secara nasional, regional, dan internasional. Dengan adanya peraturan menteri ini maka penggunaan produk dalam negeri baik barang dan/atau jasa dapat ditingkatkan pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi sepanjang barang yang diperlukan dan/atau jasa yang tersedia berada di dalam negeri dan telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kebijakan kandungan lokal tidaklah bertentangan dengan Kesepakatan WTO. Hal ini dikarenakan Indonesia hanya menerapkan kebijakan kandungan lokal pada sektor hulu minyak dan gas bumi, barang dan jasa dalam negeri yang digunakan merupakan barang-barang dan jasa-jasa yang berkualitas. Selain itu, penerapan kebijakan kandungan lokal ini dapat mendorong industri-industri lokal di negara berkembang agar dapat bersaing dalam lingkup internasional mengingat perdagangan bebas yang semakin maju.

Kata Kunci: Kandungan lokal, usaha hulu minyak dan gas bumi, dan World Trade Organization (WTO)

   


(15)

ABSTRAK

Analisis Hukum Terhadap Penggunaan Kandungan Lokal Dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Berdasarkan Kesepakatan WTO

Vellichia Lawrence*1

Bismar Nasution** Mahmul Siregar***

Perkembangan perdagangan bebas dunia yang semakin pesat, membuat negara-negara berkembang mengenakan persyaratan-persyaratan khusus agar modal asing yang diperoleh memberikan keuntungan maksimal bagi pertumbuhan ekonominya. Salah satu persyaratan khusus tersebut adalah dengan menetapkan kebijakan kandungan lokal (local content requirements). Indonesia merupakan salah satu negara yang menerapkan kebijakan kandungan lokal pada kerangka peraturan yang mengatur mengenai sektor hulu minyak dan gas bumi Namun sampai sekarang penerapan kebijakan kandungan lokal ini masih diperdebatkan. Adapun permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah pertama, bagaimanakah pandangan World Trade Organization (WTO) terhadap kebijakan kandungan lokal; kedua, apakah perlu kebijakan kandungan lokal pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi; dan ketiga, bagaimana penerapan kebijakan kandungan lokal pada kegiata usaha hulu minyak dan gas bumi.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dan bersifat deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Seluruh data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan. Kemudian data yang telah terkumpul tersebut dianalisis secara normatif kualitatif.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan skripsi ini adalah bahwa di dalam Artikel III. 4 GATT yang mengatur tentang prinsip National Treatment

melarang adanya perbedaan perbedaan perlakuan antara barang asing dan barang domestik yang kemudian dipertegas di dalam Agreement on Trade Related Investment Measures (TRIMs). Oleh karenanya kebijakan kandungan lokal ini dianggap bertentangan dengan prinsip National Treatment dimana barang dalam negeri akan diutamakan. Meski demikian, masih banyak negara yang menerapkan kebijakan kandungan lokal terutama di dalam kerangka peraturan yang berkaitan

      

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara *** Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(16)

dengan industri ekstraktif. Tingkat kandungan dalam negeri pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi di Indonesia pun dituangkan secara khusus pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 15 tahun 2013. Hal ini dilakukan dengan tujuan utama yaitu dapat mendukung dan menumbuhkembangkan produk dalam negeri, memberikan nilai tambah bagi perekonomian, menyerap tenaga kerja serta dapat berdaya saing secara nasional, regional, dan internasional. Dengan adanya peraturan menteri ini maka penggunaan produk dalam negeri baik barang dan/atau jasa dapat ditingkatkan pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi sepanjang barang yang diperlukan dan/atau jasa yang tersedia berada di dalam negeri dan telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kebijakan kandungan lokal tidaklah bertentangan dengan Kesepakatan WTO. Hal ini dikarenakan Indonesia hanya menerapkan kebijakan kandungan lokal pada sektor hulu minyak dan gas bumi, barang dan jasa dalam negeri yang digunakan merupakan barang-barang dan jasa-jasa yang berkualitas. Selain itu, penerapan kebijakan kandungan lokal ini dapat mendorong industri-industri lokal di negara berkembang agar dapat bersaing dalam lingkup internasional mengingat perdagangan bebas yang semakin maju.

Kata Kunci: Kandungan lokal, usaha hulu minyak dan gas bumi, dan World Trade Organization (WTO)

   


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini, globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas dunia merupakan dua arus yang saling mempengaruhi atau memperkuat satu dengan yang lainnya. Kedua arus tersebut pun semakin kuat pada masa yang akan datang, seiring dengan kemajuan teknologi serta peningkatan pendapatan perkapita dan pertambahan jumlah penduduk dunia. Munculnya dua arus ini mengubah tatanan perekonomian dan perdagangan dunia yang akan berpengaruh sangat kuat terhadap setiap negara termasuk negara Indonesia.2 Pada awalnya sistem

perekonomian di negara Indonesia adalah orientasi ke dalam (inward looking)

sebelum akhirnya berubah menjadi orientasi keluar (outward looking). Transformasi ekonomi nasional terjadi dari konsentrasinya pada minyak dan komoditi primer ke arah pengembangan sektor non-migas dan industri pengolahan.3 Pada era Orde Lama, perekonomian di Indonesia menekankan pada

pertumbuhan bangsa melalui adanya pembinaan persatuan kebangsaan dan watak bangsa.4 Indonesia menutup diri dari sektor-sektor asing dengan tujuan untuk

melindungi industri-industri dalam negeri dari pengaruh liberalisasi negara barat.5       

2 Hubungan Internasional, http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/604/jbptunikompp-gdl-ristagemam-30183-9-unikom_r-i.pdf (diakses pada tgl 3 Januari 2014 pukul 22.30 WIB) .

3  

H.S. Kartadjomena, GATT dan WTO: Sistem, Forum, dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan, (Jakarta, Salemba: Universitas Indonesia Press, 2002), hlm. v. 

4 Ayu Ramadhani, Perkembangan Orientasi Pembangunan Ekonomi di Indonesia,

http://ayurahmadhani-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-78853-Studi%20Strategis%20Indonesia%20IPerkembangan%20Orientasi%20Pembangunan%20Ekonom i%20di%20Indonesia.html (diakses pada tgl 3 Januari 2014 pukul 23.22WIB).

5 Luthfiana Chandra A.M., Perkembangan Ekonomi Pembangunan di Indonesia dan Kedua Orientasinya,


(18)

http://luthfiana12unairacid-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-81734-SSI-Namun pada akhirnya sistem perekonomian di Indonesia mengalami keterpurukan yang disebabkan oleh inflasi yang sangat tinggi, defisit neraca pembayaran, dan habisnya cadangan devisa.

Untuk memperbaiki tatanan perekonomian di Indonesia, maka pada era Orde Baru tatanan sistem perekonomian berubah menjadi orientasi keluar. Hal ini dilakukan untuk mengendalikan inflasi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dengan berorientasi pada pembangunan ekonomi ke luar, maka dukungan dari berbagai pemerintah kapitalis asing dan masyarakat bisnis internasional menjadi sumber penting pembangunan Indonesia. Pada tahun 1969, Indonesia memulai membentuk rancangan pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) dalam rangka pemulihan perekonomian. Pada era Orde Baru, harga minyak bumi melonjak tinggi di pasar dunia sehingga inflasi terkendali dan pertumbuhan ekonomi meningkat.6

Perubahan tatanan perekonomian dan perdagangan dunia sangat berpengaruh terhadap setiap negara, terutama yang menerapkan kebijakan perdagangan bebas atau ekonomi terbuka. Integrasi perdagangan antarnegara meningkat pesat terutama pada tahun 1970-an. Pada saat itu banyak negara mulai menerapkan sistem ekonomi terbuka yang di sebut era keterbukaan global. Akan tetapi, tidak semua negara mengalami laju pertumbuhan perdagangan internasional yang sama.7 Ada negara yang pertumbuhan ekonominya semakin         Pekembangan%20Ekonomi%20Pembangunan%20di%20Indonesia%20dan%20Kedua%20Orienta sinya.html (diakses pada tgl 3 Januari 2014 pada pukul 23. 35 WIB).

6 Sejarah Masuknya Perdagangan Bebas di Indonesia Pada Era Orde Baru, http://blog-sphere.blogspot.com/2012/10/sejarah-masuknya-perdagangan-bebas-di.html (diakses pada tgl 3 Januari 2014 pukul 23.45 WIB).


(19)

meningkat tetapi ada pula negara yang perekonomiaannya semakin menurun. Dengan semakin meningkatnya perdagangan bebas, dunia pun semakin terpolarisasi antara negara-negara maju dengan negara berkembang. Oleh karenanya pada tanggal 23 Oktober 1947, sebanyak 23 negara anggota delegasi komite persiapan pada dewan ekonomi dan sosial PBB (ECOSOC/Economic and Social Council) bersepakat untuk membentuk suatu perjanjian perdagangan dunia yaitu General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). GATT merupakan perjanjian multilateral yang tujuan utamanya adalah untuk membebaskan perdagangan dunia dari berbagai faktor yang mungkin menghambatnya, serta menempatkannya pada suatu landasan yang kokoh, sehingga dapat menumbuhkan dan mengembangkan perekonomian serta kesejahteraan bangsa-bangsa di dunia.8

Terlepas dari keberhasilan di bidang perdagangan dan penetapan tarif impor, GATT dipandang memiliki beberapa kekurangan sehingga mengurangi efektivitas sebagai sebuah mekanisme yang dimaksudkan untuk memperlancar perdagangan internasional. Oleh karena itu, beberapa negara anggota mengusulkan reformasi mendasar penggantian GATT dengan sebuah mekanisme baru yang lebih mengikat dan memiliki status hukum yang lebih jelas. Pada bulan Desember 1991, para perunding di Putaran Uruguay menyusun sebuah rancangan tentatif untuk menggantikan GATT yang dikenal dengan sebutan MTO

(Multilateral Trade Organization) dan rancangan itu lebih dimatangkan lagi

dengan istilah baru yakni WTO (World Trade Organization) pada bulan

      

8 Edy Suandi Hamid dan M.B Hendrie Anto, Ekonomi Indonesia: Memasuki Millenium III, (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2000), hlm. 97.


(20)

Desember 1993.9 WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995 dengan jumlah anggota mencapai lebih dari 117 negara termasuk negara Indonesia. Dengan adanya perubahan dari GATT menuju WTO, maka terdapat pula nilai dan prinsip yang berubah. Jika pada GATT lebih memfokuskan pada barang, maka dalam WTO produk jasa juga diperhatikan yang meliputi penanaman modal atau investasi. Kesepakatan tentang aturan-aturan investasi yang berkaitan dengan perdagangan diatur secara khusus di dalam ketentuan Trade Related Investment Measures (TRIMs). Kesepakatan ini dimaksudkan untuk memacu perkembangan dan liberalisasi yang progresif dalam perdagangan dunia serta memudahkan arus penanaman modal antarnegara.10 TRIMs melarang pengaturan-pengaturan

penanaman modal asing yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip GATT 1994. Oleh karenanya negara anggota tidak dapat menerapkan ketentuan-ketentuan investasi yang berkaitan dengan perdagangan yang bertentangan dengan Pasal III GATT tentang national treatment dan ketentuan pada Bab XI tentang prohibition of quantitative restriction.11

Masuknya Indonesia sebagai negara anggota WTO berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994 membawa konsekuensi hukum berupa kewajiban untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan nasionalnya dengan kesepakatan-kesepakatan WTO yang telah diratifikasi dan menjamin bahwa

      

9 Sejarah Pembentukan WTO, http://globalonlinebook1.blogspot.com/2013/06/sejarah-pembentukan-wto.html (diakses pada tgl 4 Januari 2014 pukul 23.35WIB).

10 Rosyidah Rakhmawati, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, (Malang: Bayumedia Publishing, 2003), hlm. 35.


(21)

peraturan perundang-undangan nasional yang telah disesuaikan tersebut dapat dilaksanakan.12

Ketika negara-negara maju lebih cenderung mengekspor produk mereka ke pasar yang belum dieksplorasi, negara-negara berkembang mencoba untuk menggunakan potensi pasar mereka untuk menarik investasi asing secara langsung. Berbeda dengan ekspor, investasi asing secara langsung oleh perusahaan multinasional dapat meningkatkan lapangan kerja dan meningkatkan transfer teknologi di negara berkembang. Oleh karena itu, hampir semua negara khususnya negara berkembang berusaha untuk meningkatkan kapabilitas negaranya yaitu dengan cara meningkatkan pertumbuhan ekonomi negaranya. Negara-negara berkembang umumnya akan mengenakan persyaratan-persyaratan khusus agar modal asing tersebut memberikan keuntungan maksimal bagi pertumbuhan ekonominya.13

Salah satu persyaratan khusus tersebut adalah dengan menetapkan persyaratan penggunaan kandungan lokal (local content requirements). Persyaratan penggunaan kandungan lokal ini mengharuskan investor membeli atau menggunakan produk-produk buatan dalam negeri dalam jumlah atau presentase tertentu atau keharusan bagi investor untuk menggunakan sumber-sumber dalam negeri lainnya dalam hal pengadaan barang-barang impor.14

      

12 Asmin Nasution, Transparansi Dalam Penanaman Modal, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 14.

13 An An Chandrawulan, Hukum Perusahaan Multinasional, Liberalisasi Hukum Perdagangan Internasional dan Hukum Penanaman Modal, (Bandung: PT Alumni, 2011), hlm. 137.

14 Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal: Studi Kesiapan Indonesia Dalam Perjanjian Investasi Multilateral (Medan: Universitas Sumatera Utara,2008), hlm. 74.


(22)

Indonesia termasuk salah satu negara yang menerapkan persyaratan penggunaan kandungan lokal. Sejak tahun 1993, persyaratan penggunaan kandungan lokal telah diterapkan pada sektor usaha otomotif di Indonesia.15 Namun karena

Indonesia merupakan negara anggota WTO yang terikat dengan ketentuan TRIMs, maka Indonesia memiliki kewajiban untuk menghapuskan persyaratan tersebut secara bertahap sampai dengan tahun 2000.16

Dewasa ini, persyaratan penggunanan kandungan lokal masih menjadi perdebatan antara negara maju dengan negara berkembang. Hal ini dikarenakan negara maju menganggap persyaratan penggunaan kandungan lokal bertentangan dengan prinsip national treatment. Prinsip ini menyatakan bahwa negara tuan rumah harus memperlakukan dengan sama terhadap penanaman modal dari mitra dagangnya seperti halnya terhadap penanaman modal yang dilakukan oleh warga negara dan perusahaan-perusahaannya. Di lain pihak, negara-negara berkembang berupaya untuk membatasi ruang lingkup aturan dasar perlakuan nasional ini.17 Oleh karena itu, umumnya negara-negara berkembang berusaha untuk menerapkan suatu kebijakan tertentu untuk membatasi ruang lingkup asing. Dengan menerapkan persyaratan penggunaan kandungan lokal di Indonesia akan memberikan keuntungan yang maksimal terhadap pembangunan ekonominya. Dalam hal ini, penanaman modal asing akan digunakan sebaik-baiknya untuk membangun atau untuk memenuhi rencana pembangunan atau rencana

       15 Ibid., hlm. 129.

16 Ibid., hlm. 130.

17 Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, tahun 2005), hlm. 168.


(23)

perekonomian negaranya.18 Salah satu contoh persyaratan penggunaan kandungan lokal diterapkan di Indonesia yaitu pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Persyaratan penggunaan kandungan lokal pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi mencapai lebih dari 50% yang sebelumnya hanya sekitar 35%.19 Persyaratan penggunaan kandungan lokal pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dituangkan dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 15 tahun 2013. Dengan adanya persyaratan penggunaan kandungan lokal ini diharapkan agar kemampuan nasional dapat berdaya saing di tingkat nasional, regional, maupun internasional. Oleh karenanya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah memerintahkan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SK Migas) agar persoalan penyerapan peralatan lokal penunjang industri hulu migas dapat dipakai oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).20 Hal ini dilakukan dengan maksud meningkatkan

ekonomi dalam negeri baik dari bidang barang maupun bidang jasa.

B.Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah kebijakan kandungan lokal (local content requirement)

dalam Kesepakatan WTO tentang Agreement on Trade Related Investment Measures) ?

2. Mengapa perlu adanya persyaratan kandungan lokal dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi di Indonesia ?

      

18 An An Chandrawulan, Op.cit., hlm. 137.

19 Oil and Gas New Rules on Domestic Content: Hard Headed Pragmatism or Impossible Dream?, www.bakermckenzie.com/ALJakartaOilGasRulesApr13/ (diakses pada tgl 6 Januari 2014 pukul 1.08 WIB).

20 Wamen minta SKK Migas Utamakan Local Content, http://energitoday.com/2013/10/03/wamen-minta-skk-migas-utamakan-local-content/ (diakses pada tgl 6 Januari 2014 pukul 02.00 WIB).


(24)

3. Bagaimanakah kebijakan penggunaan kandungan lokal di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 15 Tahun 2013 dalam perspektif Kesepakatan WTO ?

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penulisan :

a. Untuk memahami tentang kebijakan kandungan lokal (local

content requirement) dalam Kesepakatan WTO tentang Agreement

on Trade Related Investment Measures.

b. Untuk mengetahui perlunya persyaratan kandungan lokal dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi di Indonesia.

c. Untuk mengetahui perspektif WTO terhadap kebijakan kandungan lokal di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 15 Tahun 2013.

2. Manfaat Penulisan a. Secara Teoritis

1) Untuk menambah wawasan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dalam bidang Hukum Ekonomi Internasional, terutama berhubungan dengan persyaratan penggunaan kandungan lokal

2) Untuk melengkapi tugas-tugas akhir dan memenuhi syarat untuk mencapai gelar sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(25)

b. Secara Praktis

1) Dengan penulisan skripsi ini, diharapkan dapat memberikan masukan kepada pihak pemerintah dalam melakukan penyusunan aturan tentang persyaratan penggunaan kandungan lokal.

2) Dengan penulisan skripsi ini, diharapkan dapat digunakan sebagi bahan untuk menambah pengetahuan bagi rekan-rekan mahasiswa, sehingga dapat mengetahui ketentuan persyaratan penggunaan kandungan lokal pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi di Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi yang berjudul “Analisis Hukum Terhadap Penggunaan Kandungan Lokal Dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi Berdasarkan Kesepakatan WTO” ini adalah merupakan hasil karya tulis penulis sendiri, tanpa meniru Karya Tulis milik orang lain. Oleh karenanya, keaslian dan kebenaran ini dapat dipertanggungjawabkan oleh penulis sendiri dan telah sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi secara akademik yaitu kejujuran, rasional, objektif, dan terbuka. Penulis menyusun skripsi ini melalui referensi buku-buku dan informasi dari media cetak maupun media elektronik. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan, terutama secara ilmiah atau secara akademik.


(26)

Karya tulis skripsi ini memiliki kemiripan dengan beberapa skripsi yang sudah ditulis oleh beberapa mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yaitu:

1. Nama : Dia Sari Ritawati

NIM : 020200210

Judul : Perlindungan Industri Dalam Negeri Dalam Kerangka World Trade Organization (WTO)

2. Nama : Suci Yunita Siregar

NIM : 030200081

Judul : Penerapan Prinsip Non-Diskriminasi Pada Sistem Perdagangan Multilateral Dalam Kerangka WTO (World Trade Organization)

Walaupun terdapat kemiripan dengan beberapa judul di atas, namun terdapat perbedaan signifikan mengenai substansi pembahasan. Penelitian yang dilakukan dengan judul “Analisis Hukum Terhadap Penggunaan Kandungan Lokal Dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Berdasarkan Kesepakatan WTO” secara khusus membahas tentang tingkat kandungan dalam negeri pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi serta kaitannya dengan kesepakatan WTO. Sedangkan skripsi yang berjudul “Perlindungan Industri Dalam Negeri Dalam Kerangka World Trade Organization (WTO)” di atas membahas mengenai perlindungan industri dalam negeri dan skripsi yang berjudul “Penerapan Prinsip Non-Diskriminasi Pada Sistem Perdagangan Multilateral


(27)

Dalam Kerangka WTO (World Trade Organization)” membahas mengenai prinsip non-diskriminasi dalam kerangka WTO.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Kebijakan Kandungan Lokal

Kebijakan kandungan lokal (local content requirement) adalah suatu kebijakan yang mewajibkan investor membeli atau menggunakan produk-produk buatan dalam negeri dalam jumlah atau presentase tertentu atau keharusan bagi investor untuk menggunakan sumber-sumber dalam negeri lainnya dalam hal pengadaan barang-barang impor, misalnya dengan menetapkan kewajiban impor barang yang harus dilakukan dengan mempergunakan jasa importir dalam negeri

host country atau dengan kata lain tidak dimungkinkannya perusahaan penanaman modal asing melakukan impor secara langsung.21

Kebijakan kandungan lokal minyak dan gas bumi adalah nilai tambah yang ditetapkan host country melalui kegiatan-kegiatan industri minyak dan gas. Hal ini dapat diukur (melalui proyek, afiliasi) dan dilakukan melalui:22

a. pembinaan tenaga kerja

1. menggunakan tenga kerja lokal

2. memberi pelatihan kepada tenaga kerja lokal b. pengembangan investasi

1. pengadaan barang dan jasa lokal 2. mengembangkan barang dan jasa lokal

      

21 Mahmul Siregar, Op.cit., hlm. 74.

22 Local Content, “Local Content Strategy: A Guidance Document For The Oil And Gas Industry”, IPIECA, 2011, hlm. 3.


(28)

Negara-negara berkembang umumnya menggunakan kebijakan kandungan lokal ini agar modal asing memberikan keuntungan maksimal terhadap pembangunan ekonominya. Dalam hal ini, penanaman modal asing akan digunakan sebaik-baiknya untuk membangun atau untuk memenuhi rencana pembangunan atau rencana perekonomian negaranya.23

Kebijakan kandungan lokal merupakan salah satu tindakan di bidang penanaman modal yang dilarang oleh TRIMS (Trade Related Investment Measures). Biasanya kebijakan kandungan lokal dikaitkan dengan pemberian insentif pajak bagi perusahaan-perusahaan asing yang menggunakan kandungan lokal. Oleh karenanya kebijakan kandungan lokal dianggap telah melanggar ketentuan Artikel III.4 GATT tentang national treatment dimana suatu negara harus memperlakukan dengan sama terhadap penanaman modal dari mitra dagangnya seperti halnya terhadap penanaman modal yang dilakukan oleh warga negara dan perusahaan-perusahaannya. Dewasa ini, persyaratan kandungan lokal masih menjadi perdebatan antara negara maju dengan negara berkembang. Bagi negara-negara berkembang dan terbelakang kebijakan pembatasan terhadap penanaman modal asing masih diperlukan untuk melindungi kepentingan nasional mereka dari persaingan yang tidak seimbang antara industri domestik dengan modal dan sumberdaya terbatas melawan perusahaan-perusahaan multinasional yang modal dan teknologinya jauh lebih berkembang. Sedangkan negara-negara maju merasa persyaratan kandungan lokal merupakan suatu tindakan diskriminatif terhadap produk-produk impor.

      


(29)

2. Minyak dan Gas Bumi A. Pengertian

Istilah minyak bumi berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu crude oil, sedangkan istilah gas bumi berasal dari terjemahan Inggris, yaitu natural gas. Pengertian minyak bumi dapat kita temukan dalam Pasal 3 huruf (i) The

Petroleum Tax Code pada tahun 1997 di negara India. Pasal tersebut berbunyi

sebagai berikut:24

Petroleum” means crude oil existing in its natural condition i.e. all kinds of hydrocarbons and bitumens, both in solid and in liquid form. In their natural state or obtained from Natural Gas by condensation or extraction, including distillate and condensate (when commingled with the heavier hydrocarbons and delivered as a blend at the delivery point) but excluding Natural Gas.”

Pengertian gas bumi terdapat dalam Pasal 3 huruf (g) The Petroleum Tax Code. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:25

Natural Gas means wet gas, dry gas, all other gaseous hydrocarbons, and all substances contained therein, including sulphur, carbon dioxide, nitrogen and helium, which are produced from oil and gas wells, excluding liquid hydrocarbons that are condensed or extracted from gas and are liquid at normal temperature and pressure conditions, but including the residue gas remaining after the condensation or extraction of liquid hydrocarbons from gas.”

B. Asas-asas Penyelenggaraan Minyak dan Gas Bumi

Di dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan telah ditentukan asas-asas yang menjadi dasar

      

24 H. Salim. HS., Hukum Pertambangan di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 229.


(30)

daripada pertambangan. Artinya seluruh kegiatan yang berhubungan dengan pertambangan haruslah sesuai dengan asas-asas pertambangan. Asas-asas pertambangan tersebut terdiri atas: asas manfaat, asas pengusahaan, asas keselarasan, asas partisipatif, dan asas musyawarah dan mufakat.26

Di samping itu, di dalam Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi juga telah ditentukan secara jelas asas-asas hukum penyelenggaraan pertambangan minyak dan gas bumi. Penyelenggaraan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi berasaskan pada ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan, pemerataan, kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan, dan kepastian hukum serta berwawasan lingkungan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi.27

C. Usaha Minyak dan Gas Bumi

Kegiatan usaha minyak dan gas bumi (migas) terdiri dari 2 (dua) kegiatan, yaitu Kegiatan Usaha Hulu yang mencakup eksplorasi dan eksploitasi, serta Kegiatan Usaha Hilir yang mencakup pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga.28

1. Kegiatan Usaha Hulu

Kegiatan usaha hulu diatur di dalam Pasal 1 ayat (7), Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 9 sampai dengan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang

      

26 Undang-Undang Tambang dan Perburuhan, http://www.slideshare.net/vestersaragih/uu-tambang-dan-perburuhan-materi-1 (diakses pada tgl 9 January 2014 pukul 22.30 WIB).

27 Op.cit., Hlm. 13.


(31)

Minyak dan Gas Bumi. Kegiatan usaha hulu adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha, yaitu usaha eksplorasi dan usaha eksploitasi.29

Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas, dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup.30 Kegiatan ini meliputi:31

a. Penyedikan Geologi b. Penyelidikan Geofisika c. Pemboran Eksplorasi

Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak dan gas bumi dari wilayah kerja yang ditentukan yang terdiri atas pengeboran, dan pengambilan minyak dari sumur untuk diproses dan dikilang.32

Kegiatan usaha hulu memakai rezim kontrak. Kegiatan usaha hulu dilaksanakan dan dikendalikan melalui kontrak kerja sama yang merupakan kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat.33

       29 H. Salim HS., Op.cit., hlm. 237.

30 DC. Kurniawan, Pengaturan Kegiatan Usaha Pertambnagan di Indonesia, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37041/5/Chapter%20III-V.pdf (diakses pada tgl 9 January 2014 pukul 23.20 WIB).

31 Kegiatan Hulu Migas, http://cepumerah.blogspot.com/p/peran-industri-migas_26.html (diakses pada tgl 10 January 2014 pukul 00.05 WIB).

32 Ibid.

33 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Pasal 1 ayat (19).


(32)

2. Kegiatan Usaha Hilir

Kegiatan usaha hilir diatur dalam Pasal 1 ayat (10), Pasal 5, Pasal 7, Pasal 23 sampai dengan 27.34 Kegiatan usaha hilir migas terdiri atas kegiatan usaha

pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga.

Pengolahan minyak mentah dilakukan pada kilang minyak bumi sebagai sistem peralatan untuk mengolah minyak mentah (minyak bumi) menjadi berbagai produk kilang. Kegiatan pengangkutan migas adalah kegiatan pemindahan minyak bumi, gas bumi dan atau hasil olahan dari wilayah kerja atau dari tempat penampungan dan pengolahan, termasuk pengangkutan gas bumi melalui pipa transmisi dan distribusi. Kegiatan penyimpanan migas adalah kegiatan penerimaan, pengumpulan, penampungan dan pengeluaran minyak bumi dan atau gas bumi, Sedangkan kegiatan niaga meliputi kegiatan pembelian, penjualan, ekspor, impor minyak bumi, BBM, bahan bakar gas dan atau hasil olahan termasuk gas melalui pipa.35

3. World Trade Organization (WTO) – Trade Related Investment Measures (TRIMs)

World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia

merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh

negara-       34 H. Salim HS., Op.cit., Hlm. 241. 35 Kegiatan Hulu Migas, Loc. cit.


(33)

negara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar negara-anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangan di negaranya masing-masing. Walaupun ditandatangani oleh pemerintah, tujuan utamanya adalah untuk membantu para produsen barang dan jasa, eksportir dan importir dalam kegiatan perdagangan. Pemerintah Indonesia merupakan salah satu negara pendiri Word Trade Organization (WTO) dan telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994.36

Sebagai organisasi internasional, WTO memiliki fungsi yaitu sebagai berikut:37

a) Lembaga internasional yang mempunyai kekuatan hukum untuk menciptakan sistem perdagangan yang ditaati oleh negara anggota WTO. b) Forum negosiasi dan forum menyelesaikan perselisihan perdagangan

internasional di antara negara anggota WTO.

Ada beberapa aturan main (rule of law) dalam penyelenggaraan perdagangan internasional yang wajib ditaati negara anggota WTO antara lain:38

1) Prinsip Non Discrimination in Trade (prinsip non diskriminasi dalam perdagangan internasional);

2) Prinsip National Treatment (prinsip perlakuan sama terhadap barang-barang impor di dalam negeri);

      

36 Fungsi dan Peranan WTO Dalam Era Perdagangan WTO, http://hukuminvestasi.wordpress.com/2010/09/16/fungsi-dan-peranan-wto/ (diakses pada tgl 14 Januari 2014 pukul 23.38).

37 Widayaiswara Utama Pusdiklat Bea dan Cukai, Mengenal World Trade Organization (WTO), Syaiful Anwar, hlm. 2.


(34)

3) Prinsip Eliminating non Tariff Barriers (prinsip yang melarang hambatan non tarif);

4) Prinsip Restriction on Quota (prinsip yang melarang penetapan kuota perdagangan secar sepihak);

5) Anti dumping dan subsidi; dan

6) Membentuk kawasan perdagangan regional yang lebih liberal.

WTO memiliki berbagai kesepakatan perdagangan yang telah dibuat, namun kesepakatan tersebut sebenarnya bukanlah kesepakatan yang sebenarnya. Hal ini dikarenakan kesepakatan tersebut adalah pemaksaan kehendak oleh WTO kepada negara-negara untuk tunduk terhadap keputusan-keputusan yang dibuat oleh WTO.39 Trade-Related Investment Measures (TRIMs) termasuk sebagai salah satu kesepakatan dalam konvensi WTO. TRIMs adalah perjanjian tentang aturan-aturan investasi yang menyangkut atau berkaitan dengan perdagangan. Kesepakatan TRIMs dimaksudkan untuk mengurangi atau menghapus kegiatan perdagangan dan meningkatkan kebebasan kegiatan investasi antar negara. Tujuan utama TRIMs adalah untuk menyatukan kebijakan dari negara-negara anggota dalam hubungannya dengan investasi asing dan mencegah proteksi perdagangan sesuai dengan prinsip-prinsip GATT. Pertimbangan-pertimbangan tersebut menjadi dasar perundingan yang mengarahkan negara-negara penerima modal mengatur investasi asing di negara tersebut. TRIMs melarang pengaturan-pengaturan penanaman modal asing yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip

      

39 Organisasi Perdagangan Dunia,

http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_Perdagangan_Dunia (diakses pada tgl 14 Januari 2014 pukul 23.55 WIB).


(35)

GATT 1994, sebagai instrumen untuk membatasi penanaman modal asing, namun ada pengecualian-pengecualian tertentu asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu juga.40

F.Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penelitian yang digunakan oleh Penulis dapat diuraikan seperti berikut:

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Skripsi ini merupakan hasil dari penelitian hukum yang bersifat normatif dan yang bersifat deskriptif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.41 Penelitian hukum normatif ini sendiri mencakup:42

a. penelitian terhadap azas-azas hukum; b. penelitian terhadap sistematika hukum; c. penelitian terhadap tahap sinkronisasi hukum; d. penelitian sejarah hukum; dan

penelitian perbandingan hukum.

Dengan demikian, penelitian normatif yang dilaksanakan adalah: penelitian yang menganalisa Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya

      

40 Fungsi dan Peranan WTO Dalam Era Perdagangan WTO, http://hukuminvestasi.wordpress.com/2010/09/16/fungsi-dan-peranan-wto// (diakses pada tgl 14 Januari 2014 pukul 00.10 WIB).

41 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu TInjauan Singkat, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 13-14.

42 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 2005), hlm. 51.


(36)

Mineral Nomor 15 tahun 2013 mengenai ketentuan persyaratan kandungan lokal pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.

Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang pada umunya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau faktor-faktor tertentu.43 Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.44

2. Sumber Data

Dalam penulisan skripsi ini, data dan sumber data yang digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

a) Bahan hukum primer, yaitu: bahan-bahan hukum yang mengikat. Dalam penulisan ini, bahan-bahan primer tersebut adalah Article III GATT

(national treatment), ketentuan TRIMs, Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi, dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 15 tahun 2013 tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri Pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

      

43 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998), hlm. 36.


(37)

b) Bahan hukum sekunder, yaitu: bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai hukum primer. Dalam penulisan ini, bahan hukum sekunder yang digunakan adalah buku-buku yang berkaitan dengan ketentuan WTO dan persyaratan penggunaan kandungan lokal.

c) Bahan hukum tersier, yaitu: bahan-bahan hukum penunjang. Bahan hukum tersier mencakup bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan hukum sekunder. Dalam penulisan ini, bahan hukum tersier yang digunakan adalah mencakup kamus bahasa untuk pembenahan bahasa dan juga sebagai alat bantu pengalihbahasaan beberapa literatur asing, media massa dan media internet.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam melakukan penulisan ini, penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian kepustakaan (library research) meskipun ada penelitian lapangan (field research) dalam arti sempit yaitu melalui media massa dan media internet. Penelitian kepustakaan (library research) adalah penelitian yang berkenaan dengan bacaan yang berisi reference books,

textbooks, peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan judul

skripsi yaitu mengenai ketentuan persyaratan penggunaan kandungan lokal guna menjadi landasan berpikir serta memperkuat argumentasi-argumentasi dalam penulisan skripsi ini.


(38)

Penelitian yang dilakukan penulis dalam skripsi ini termasuk dalam penelitian hukum normatif. Pengelolaan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk melakukan analisa terhadap permasalahan yang akan diteliti. Analisa data dilakukan dengan:

a) Mengumpulkan bahan-bahan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti yaitu mengenai ketentuan WTO dan persyaratan penggunaan kandungan lokal.

b) Memilih kaedah-kaedah hukum yang sesuai dengan permasalahan.

c) Menjelaskan hubungan antara ketentuan persyaratan penggunaan kandungan lokal pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dengan ketentuan di dalam WTO.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi, harus disusun secara sistematis agar dihasilkan suatu tulisan yang teratur dan terarah pada suatu titik permasalahan dan pembahasan yang jelas sehingga setiap orang yang membaca dapat memahami isi tulisan tersebut. Untuk itu penulis akan membuat suatu sistematika penulisan skripsi sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan bab pendahuluan, dimana yang akan dipaparkan disini adalah mengenai latar belakang, perumusan masalah-masalah yang akan dibahas, tujuan dan manfaat penulisan skripsi, mengenai keaslian


(39)

penulisan, tinjauan kepustakaan yaitu: pengertian-pengertian judul penulisan serta sistematika penulisan.

BAB II KEBIJAKAN KANDUNGAN LOKAL MENURUT KESEPAKATAN WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) – AGREEMENT ON TRADE RELATED INVESTMENT MEASURES (TRIMS)

Bab ini membahas mengenai pengertian kebijakan kandungan lokal, latar belakang negara-negara menerapkan kebijakan kandungan lokal, prinsip nondiskriminasi dalam WTO dan kebijakan kandungan lokal, dan TRIMs.

BAB III PERLUNYA KEBIJAKAN KANDUNGAN LOKAL PADA KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI

Bab ini membahas mengenai kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dan tujuan adanya kebijakan kandungan lokal.

BAB IV PENERAPAN PERSYARATAN PENGGUNAAN KANDUNGAN LOKAL DI INDONESIA BERDASARKAN PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 15 TAHUN 2013

Bab ini membahas mengenai tinjauan umum Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral No. 15 tahun 2013 tentang penggunaan produk dalam negeri pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, persyaratan penggunaan kandungan lokal berdasarkan Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral No. 15 tahun 2013, dan analisis


(40)

tentang kebijakan kandungan lokal dalam Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral No. 15 tahun 2013.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bagian penutup dari isi penulisan skripsi ini serta saran-saran yang diberikan untuk dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam hal analisis hukum terhadap penggunaan kandungan lokal dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi berdasarkan kesepakatan WTO.


(41)

BAB II

KEBIJAKAN KANDUNGAN LOKAL MENURUT KESEPAKATAN WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) – AGREEMENT ON TRADE

RELATED INVESTMENT MEASURES (TRIMS)

A. Pengertian Kebijakan Kandungan Lokal

Paragraf l.a illustrative list dari Agreement on TRIMs melarang negara-negara anggota WTO menerapkan kebijakan local content requirement yang dijadikan sebagai salah syarat bagi investor untuk dapat melakukan kegiatan penanaman modal. Jika diperhatikan ketentuan dalam Paragraf 1.a tersebut terdapat dua bentuk kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai local content

requirement, yaitu mewajibkan investor membeli atau menggunakan

produk-produk buatan dalam negeri dalam jumlah atau persentase tertentu atau keharusan bagi investor untuk menggunakan sumber-sumber dalam negeri lainnya dalam hal pengadaan barang-barang impor, misalnya dengan menetapkan kewajiban impor barang yang harus dilakukan dengan mempergunakan jasa importir dalam negeri

host country atau dengan kata lain tidak dimungkinkannya perusahaan penanaman modal asing melakukan impor secara langsung.45

Local content requirement atau kebijakan kandungan lokal dilarang karena tindakan tersebut merupakan bentuk perlakuan diskriminatif terhadap barang impor. Dengan adanya kewajiban bagi investor untuk membeli atau mempergunakan barang-barang buatan dalam negeri, maka dalam hal ini

      


(42)

Pemerintah telah memberikan perlakuan yang lebih baik pada barang buatan dalam negeri dari pada barang impor. Perlakuan yang diskriminatif seperti ini dengan sendirinya menciptakan persaingan yang tidak adil antara barang impor dan barang buatan dalam negeri. Melalui persyaratan kandungan lokal sebenarnya Pemerintah host country telah membatasi akses pasarnya bagi barang-barang yang sama dari negara-negara anggota lain.46

Konten lokal adalah nilai tambah yang dibawa ke negara tuan rumah (daerah regional dan lokal di negara tersebut) melalui kegiatan industri minyak dan gas. Konten lokal ini mengacu pada nilai tambah yang dibawa ke negara tuan rumahmelalui:47

a. pembinaan tenaga kerja

1. menggunakan tenga kerja lokal

2. memberi pelatihan kepada tenaga kerja lokal c. pengembangan investasi terhadap supplier

1. pengembangan barang dan jasa lokal 2. pengadaan barang dan jasa lokal

Sedangkan, Anthony Paul dari asosiasi spesialis energi di Karibia menyimpulkan definisi konten lokal sebagai:48

a. Pendapatan yg diterima masyarakat lokal

b. Pendapatan yg diperoleh dari pemilik tanah dan sumber daya

       46 Ibid.

47 IPIECA, Loc. Cit.

48 Local Content Policies in the Oil, Gas and Mining Sectors - A World Bank conference,http://goxi.org/profiles/blogs/local-content-policies-in-the-oil-gas-and-mining-sectors-a-world (diakses pada tgl 24 Februari 2014 pukul 23.35 WIB).


(43)

c. Pendistribusian pendapatan kepada pemegang saham kreditor lokal.

Singkatnya, input disediakan oleh pihak lokal ke industri ekstraktif adalah dalam bentuk barang dan jasa.

Kebijakan kandungan lokal antara satu negara dengan negara lain biasanya berbeda. Misalnya, perusahaan asing mungkin perlu bermitra dengan perusahaan lokal untuk melakukan bisnis di negara setempat. Sebagai alternatif perusahaan asing diharuskan untuk memiliki cabang di negara setempat dan melalui cabang tersebutlah, perusahaan asing dapat menjalankan usaha dan/atau kegiatan komersialnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar perusahaan asing memiliki partisipasi lokal dan/atau kepemilikan lokal pada keseluruhan operasi.49

Sebuah perusahaan minyak internasional perlu bermitra dengan pihak lokal yang biasanya perusahaan minyak nasional. Dalam rangka mengoperasikan kebijakan kandungan lokal di negara tuan rumah, perusahaan asing harus beradaptasi dengan dan menyetujui persyaratan ini baik dalam mempekerjakan tenaga kerja, pengadaan barang, materi maupun jasa-jasa, atau pun bermitra dengan perusahaan lokal, persyaratan penggunaan kandungan lokal akan mempengaruhi cara perusahaan asing melakukan bisnis di negara tuan rumah.

B. Latar Belakang Negara-Negara Menerapkan Kebijakan Kandungan Lokal

Penanaman modal adalah bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional upaya untuk meningkatkan akumulasi modal, menyediakan lapangan

      

49 Derek J Anchodo, “Local Content Requirements In The Oil and Gas Sector: A Way Of Life Or An Emerging Trend?”, Oil and Gas Newsletter, October 2010, hlm. 16.


(44)

kerja, menciptakan transfer teknologi, melahirkan tenaga-tenaga ahli baru, memperbaiki kualitas sumber daya manusia dan menambah pengetahuan serta membuka akses kepada pasar global. Penanaman modal asing dapat memberikan keuntungan cukup besar terhadap perekonomian nasional, misalnya menciptakan lowongan pekerjaan bagi penduduk tuan rumah sehingga dapat meningkatkan penghasilan dan standar hidup, menciptakan kesempatan bekerjasama dengan perusahaan lokal sehingga mereka dapat berbagi manfaat, meningkatkan ekspor sehingga meningkatkan cadangan devisa negara dan menghasilkan alih teknologi.50

Peraturan penanaman modal asing masing-masing negara pada dasarnya berisi ketentuan tentang persyaratan-persyaratan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh investor asing, seperti kewajiban kandungan lokal (local

content requirement), kewajiban menggunakan komponen tertentu buatan dalam

negeri , kewajiban alih teknologi (technology transfer requirement), kebijakan keseimbangan perdagangan (trade balancing policy), pembatasan bidang usaha, pemilikan saham, penggunaan tenaga kerja asing, dan lain sebagainya. Adakalanya persyaratan penanaman modal tersebut dapat menghambat perdagangan internasional. Tolok ukur yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi apakah suatu persyaratan penanaman modal menghambat perdagangan internasional adalah dampak diskriminatif terhadap produk impor dan hambatan kuantitatif terhadap aliran barang yang ditimbulkan persyaratan-persyaratan

      

50 Penanaman Modal Asing di Indonesia,

http://www.academia.edu/4870433/Penanaman_Modal_Asing_di_Indonesia?login=&email_was_t aken=true (diakses pada tgl 25 Februari 2014 pukul 23.22 WIB).


(45)

tersebut.51 Kewajiban bagi investor untuk menggunakan barang-barang buatan dalam negeri host country yang dijadikan sebagai syarat untuk dapat melakukan penanaman modal atau untuk kemudahan pajak, menyebabkan adanya perlakuan khusus terhadap barang buatan dalam negeri.52

Salah satu prinsip persyaratan penanaman modal yang paling sering diterapakan oleh negara host country adalah kebijakan kandungan lokal. Kebijakan kandungan lokal dapat ditemukan dalam kebijakan penanaman modal asing di Brazil, India, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Umumnya kewajiban tersebut divariasikan dengan insentif pengurangan atau pembebasan tarif bea masuk dan kewajiban perpajakan.53

Hasil pengamatan badan GATT yang mengawas kebijakan perdagangan negara-negara anggotanya, yaitu TPRM (Trade Policy Review Mechanism), terdapat 19 negera dari 27 negara sedang berkembang yang menerapkan kewajiban kandungan lokal ini. Bidang industri yang paling jelas terlihat adalah industri otomotif, tetapi juga terdapat cabang-cabang industri lainnya yang menyangkut mesin-mesin.54

Hubungan yang tidak terpisahkan antara peraturan penanaman modal dan peraturan perdagangan dalam negeri sebenarnya telah menjadi pembahasan masyarakat internasional pada saat berlangsungnya United Nations Confrence on

Trade and Employment tahun 1948 di Havana. Konvensi yang menghasilkan

Havana Charter ini meminta kepada negara-negara peserta agar menghindari

      

51 Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal: Studi Kesiapan Indonesia Dalam Perjanjian Invesstasi Multilateral, hlm. 35.

52 Asmin Nasution, Op.cit, hlm. 75. 53 Mahmul Siregar, Op. cit., hlm. 119. 54 An An Chandrawulan, Op.cit, hlm. 147.


(46)

perlakuan diskriminatif terhadap investor asing. Namun kegagalan ratifikasi menyebabkan kajian ini kurang mendapat perhatian. Masalah ini kembali menarik perhatian pada saat Parlemen Kanada mengesahkan Canada’s Foreign Investment Review Act pada tanggal 12 Desember 1973.55 Kasus ini kemudian sangat terkenal dengan sebutan FIRA Case.

FIRA Case berawal dari tindakan Parlemen Kanada yang melakukan

perubahan atas Undang-Undang Penanaman Modal Kanada. Perubahan undang-undang ini ditujukan terutama untuk menjamin bahwa kegiatan bisnis perusahaan asing di wilayah Kanada menghasilkan kentungan yang signifikan bagi kemajuan Kanada. Pemerintah Kanada akan mengizinkan kegiatan operasi perusahaan investasi asing hanya jika menurut Pemerintah Kanada perusahaan investasi asing tersebut dapat memberikan keuntungan yang signifikan bagi kemajuan pembangunan ekonomi Kanada. Untuk memastikan tercapainya keuntungan yang signifikan tersebut, Pemerintah Kanada menetapkan syarat bagi investor yang melakukan permohonan penanaman modal asing di Kanada untuk melakukan hal-hal berikut:56

a. Membeli sejumlah presentase tertentu barang-barang dari Kanada; b. Menggantikan produk impor dengan produk buatan Kanada;

c. Membeli barang-barang dari Kanda jika barang-barang tersebut dapat bersaing dengan barang impor (misalnya jika harga atau persyaratannya sama, maka investor harus membeli produk dari Kanada);

      

55 Asmin Nasution, Op. Cit., hlm. 73. 56 Mahmul Siregar, Op. Cit., hlm. 36.


(47)

d. Membeli dari supplier Kanada (menyebabkan investor harus membeli barang secara langsung dari produser dalam negeri tetapi tidak dapat membeli langsung dari perusahaan asing).

Pemerintah Kanada dalam membantah tuntutan Pemerintah Amerika Serikat mempergunakan pendekatan tentang kedaulatan dan kompetensi GATT sebagai dasar argumentasi penolakan. Pemerintah Kanada mendalilkan bahwa ketentuan ketentuan GATT tidak meliputi masalah investasi. GATT sejak saat pembentukannya diterima sebagai sebuah kesepakatan multilateral yang menyangkut masalah pengaturan liberalisasi perdagangan barang, tidak termasuk di dalamnya masalah investasi. Penataan investasi asing menyangkut langsung pada persoalan kedaulatan negara Kanada sebagai sebuah negara merdeka. Oleh karena itu ketentuan-ketentuan GATT tidak dapat diterapkan atas persyaratan penanaman modal yang ditetapkan oleh Pemerintah Kanada bagi perusahaan-perusahaan investasi asing di wilayah hukum mereka. Keberatan Pemerintah Kanada berkenaan dengan masalah kedaulatan negara Kanada untuk menerapkan tindakan-tindakan tertentu di wilayah hukumnya pada dasarnya diterima oleh Panel Penyelesaian Sengketa GATT yang memeriksa dan mengadili FIRA Case ini, akan tetapi alasan tersebut tidak menyebabkan Pemerintah Kanada menyampingkan kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan perjanjian internasional yang telah mereka sepakati, khususnya dalam hal ini adalah General


(48)

Agreement on Tariffs and Trade. Pendapat ini tercermin dari pertimbangan hukum Panel yang diputuskan pada tahun 1984 yang menyatakan sebagai berikut:57

"... in view of the fact that the General Agreement does not prevent Canada from exercising its sovereign right to regulate foreign direct investment, the panel examined the purchase and export undertaking by investors solely in the light of Canada's trade obligation under the General Agreement. Thus, the Panel clearly stated that this is not an inquiry into a sovereign state's right to regulate foreign investment in Canoda 's territory, but is only designed to determine whether or not the regulation effected Canada 's trade obligations within the framework of the GATT.”

Dengan memperhatikan keterkaitan antara persyaratan penanaman modal dan kewajiban-kewajiban Kanada di bawah ketentuan GATT selanjutnya Panel memutuskan bahwa tindakan Pemerintah Kanada yang menjadikan syarat pembelian dan atau penggunaan produk buatan dalam negeri Kanada serta menentukan jumlah tertentu dari hasil produksi yang wajib diekspor, dijadikan sebagai pertimbangan utama untuk memberikan ijin operasi bagi investasi asing, maka secara meyakinkan Perubahan Undang-Undang Penanaman Modal Asing Kanada tersebut telah melanggar ketentuan Artikel III.4 GATT tentang national treatment. 58

Panel tersebut menyimpulkan bahwa persyaratan kandungan lokal tidak konsisten dengan prinsip National Treatment berdasarkan Article III: 4 GATT (1), sedangkan persyaratan ekspor tidak konsisten dengan ketentuan di bawah GATT. Keputusan panel dalam FIRA Case ini signifikan karena menegaskan bahwa ketentuan berdasarkan GATT berlaku terhadap persyaratan yang diberlakukan

      

57 Mahmul Siregar, “Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal”, USU Repository, 2005, hlm. 5.


(49)

oleh pemerintah dalam konteks penanaman modal sejauh persyaratan tersebut membedakan barang impor dari barang lokal.59

Selain Kanada, Indonesia juga pernah bersengketa dengan WTO terkait dengan kasus mobil nasional(mobnas) pada tahun 1996. Awal mula muncul kasus ini karena inisiatif pemerintah Indonesia dalam mendukung dan ingin meningkatkan industri mobil nasional. Oleh karena itu, pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan program Mobil Nasional melalui Inpres No.2 tahun 1996 mengenai Program Mobil Nasional sebagai terobosan di sektor otomotif Indonesia. Tujuan Mobnas adalah sebagai embrio kemajuan dan kemandirian bangsa Indonesia dalam industri otomotif. Program Mobnas ini yang menunjuk PT Timor Putra Nusantara (TPN) sebagai pelopor yang memproduksi Mobnas. Namun karena Mobnas masih belum dapat memproduksi di dalam negeri, maka perlu dikeluarkan Keputusan Presiden No. 42 tahun 1996 yang mengizinkan PT TPN mengimpor Mobnas yang kemudian diberi merek “Timor” (baik dalam bentuk jadi atau completely build-up/ CBU) dari Korea Selatan.60

Perusahaan atau produsen mobil asing yang berada di Indonesia, yaitu perusahaan dari Jepang, Masyarakat Eropa (ME), dan Amerika Serikat (AS) protes. Mereka mengklaim bahwa program Mobnas ini diskriminatif dan telah melanggar aturan perdagangan internasional antara lain: Pasal I dan III GATT, Pasal 2 Perjanjuian TRIMs, Pasal 3, 6, dan 28 Perjanjian SCM (Subsidi dan Bea

      

59 Agreement on Trade Related Investment Measures, http://www.wto.org/english/tratop_e/invest_e/invest_info_e.htm (diakses pada tgl 26 Februari 2014 pukul 00.06).

60 Sengketa Mobil Nasional Timor Di WTO, http://www.scribd.com/doc/129547242/Sengketa-Mobil-Nasional-Timor-Di-WTO (diakses pada tgl 25 February 2014 pukul 00.49 WIB).


(50)

Masuk Imbalan), serta Pasal 3, 20, dan 65 TRIPS. Mereka memohon konsultasi terpisah dengan Pemerintah RI pada bulan Oktober 1966. Setelah konsultasi gagal, mereka mengajukan pembentukan panel yang kemudian terbentuk pada bulan Juni dan Juli 1997. 61

Dalam putusannya, panel menyimpulkan bahwa kebijakan Program Mobnas di Indonesia telah melanggar ketentuan-ketentuan perdagangan internasional yaitu:62

1. GATT Art. I:1 (most-favoured-nation treatment): yaitu adanya perlakuan khusus impor mobil dari KIA Motor Korea yang hanya memberi keuntungan pada satu negara, misalnya perlakuan bebas tarif masuk barang impor.

2. GATT Art. III:2, first and second sentences (national treatment-taxes and charges): Perlakuan bebas pajak atas barang mewah yang diberikan kepada produsen mobil nasional selama 2 tahun.

3. TRIMs Agreement Art. 2.1 (local content requirement): soal kandungan lokal yang ditentukan secara bertahap yakni 20% pada tahap pertama dan 60% tahun ketiga tidak terpenuhi.

4. ASCM Art. 5(c) (serious prejudice).

Dalam penyelesaian kasus mobnas, WTO memutuskan bahwa Indonesia telah melanggar Prinsip-Prinsip GATT yaitu National Treatment dan menilai kebijakan mobil nasional tersebutdinilai tidak sesuai dengan spirit perdagangan

      

61 Huala Adolf, Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum Perdagangan Internasional (WTO), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 147.

62 Robby Adrian, “Kebijakan Otomotif Nasional (“ Mobnas Timor “) ditinjau dari prinsip Most Favoured Nation”, hlm. 3.


(51)

bebas yang diusung WTO, oleh karena itu WTO menjatuhkan putusan kepada Indonesia untuk menghilangkan subsidi serta segala kemudahan yang diberikan kepada PT. Timor Putra Nasional selaku produsen Mobil Timor dengan menimbang bahwa: 63

a. Penghapusan bea masuk dan penghapusan pajak barang mewah yang oleh pemerintah hanya diberlakukan pada PT. Mobil Timor nasional merupakan suatu perlakuan yang diskriminatif dan tentu saja akan sangat merugikan para investor yang telah terlebih dahulu menanamkan modalnya dan menjalankan usahanya di Indonesia. Dengan diberlakukannya penghapusan bea masuk dan pajak barang mewah terhadap mobil timor, hal ini dapat menekan biaya produksi sehingga membuat harga mobil timor di pasaran menjadi lebih murah, hal tersebut akan mengancam posisi investor asing yang tidak dapat menrunkan harga jual produknya,dalam persaingan pasar yang tidak sehat seperti itu, investor asing pasti akan sangat dirugikan. b. Untuk menciptakan suatu perdagangan bebas yang efektif dan efisien,

GATT dalam aturanaturannya telah berusaha menghapuskan segala hambatan dalam perdagangan internasional,antara lain adalah hambatan-hambatan perdagangan Non Tarif.

Oleh karena itu kebijakan Pemerintah Indonesia yang menetapkan keharusan aturan persyaratan kandungan lokal terhadap investor asing dinilai sebagai upaya pemerintah dalam menciptakan suatu hambatan peragangan non tarif guna memproteksi pasar dalam negeri dari tekanan pasar asing. Kebijakan

      


(52)

tersebut merupakan salah satu strategi pemerintah untuk memproteksi pasar Mobil Timor agar tidak kalah bersaing dengan produsen mobil dari luar negeri. Instrumen kebijakan tersebut tentunya sangat merugikan pihak produsen mobil dari luar negeri, dan dapat menciptakan suatu iklim persaingan yang tidak sehat.

Sebagai respon Indonesia terhadap putusan panel, maka pada tgl 21 Januari 1998 dikeluarkan Keputusan Presiden No. 20 tahun 1998 tentang Pencabutan Keputusan Presiden No. 2 tahun 1996 tentang Pembuatan Mobil Nasional. Dengan dikeluarkannya Keppres No. 20 tahun 1998 ini, maka seluruh peraturan-peraturan yang melaksanakan Keppres No. 2 tahun 1996, termasuk di dalamnya Inpres No. 2 tahun 1996 tentang Pembangunan Industri Kendaraan Bermotor Nasional dinyatakan tidak berlaku.64

Pada periode setelah berlakunya Agreement on Trade Related on Investment Measures hasil perundingan Putaran Uruguay bermunculan sengketa-sengketa perdagangan internasional yang lahir dari peraturan penanaman modal. Selain Kanada dengan “Fira Case” dan Indonesia dengan kebijakan “mobil nasional”, adapula beberapa negara yang kebijakan penanaman modalnya melanggar ketentuan GATT terutam prinsip national treatment antara lain Brazil dengan kebijakan investasi sektor otomotif, India dengan kebijakan local content requirement, Filipina dengan kebijakan foreign exchange limitation, dan berbagai negara lainnya. Sejumlah sengketa tersebut menunjukkan bahwa adakalanya peraturan penanaman modal suatu negara dapat menimbulkan sengketa bidang internasional ketika peraturan penanaman modal tersebut bertentangan dengan

      


(53)

kewajiban internasional dari host country berdasarkan prinsip-prinsip perdagangan internasional yang diatur di dalam GATT/WTO.65

C. Prinsip Nondiskriminasi dalam WTO dan Kebijakan Kandungan Lokal

Prinsip adalah asas kebenaran yang menjadi pokok dasar orang berpikir, bertindak, dan sebagainya.66 Adapun prinsip-prinsip hukum atau asas-asas hukum merupakan jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa melalui asas hukum ini peraturan-peratran hukum berubah sifatnya menjadi bagian dari suatu tatanan etis.67

Tentang pengertian prinsip atau principle, Black’s Law Dictionary,

memberikan pernyataan sebagai berikut.68

“A fundamental truth or doctrine, as of law; a comprehensive rule of doctrine which furnishes a basis or drigen for others, a settled rule of actions procedure or legal determination. A truth or preposition so clear that it can not be proves or contradicted anless by a preposition which is still cleaner. That which constitutes the essence of a body or its constituents parts. That which pertains theoritical part of a science.”

Dari pengertian prinsip di atas dapat disimpulkan bahwa prinsip hukum adalah suatu yang sangat mendasar bagi suatu konsep hukum. Prinsip hukum dalam pengertian substansinya tidak meerupakan bagian terpisah dari kategori

      

65 Asmin Nasution, Op. Cit., hlm. 74.

66 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta: PN. Balai Pusaka, 1986), hlm. 768.

67 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006) , hlm. 45. 68 Syahmin A.K., Hukum Dagang Internasional: Dalam Kerangka Studi Analitis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 36.


(54)

norma-norma hukum, melainkan hanya berbeda dalam isi dan pengaruhnya.69 Prinsip-prinsip dasar yang melandasi GATT/WTO menurut Wil D. Verwey dalam Ginanjar Kartasasmita ialah prinsip non diskriminasi yang mengundang tiga bentuk perlakuan terhadap barang yang akan dijual di pasar internasional. Prinsip-prinsip itu berakar dari filsafah liberalisme barat, yang dikenal dengan “Trinita”, yaitu kebebasan (freedom), persamaan (equality), dan asas timbal balik (reciprocity).70

Pada dasarnya prinsip-prinsip tersebut menganggap semua pihak sama kedudukannya. Dari prinsip-prinsip tersebut tersirat prinsip persaingan bebas melalui kesempatan yang sama. Prinsip-prinsip hukum liberal tersebut menganggap semua negara sama kuat. Namun demikian muncul persoalan ketika muncul negara-negara berkembang yang baru merdeka setelah Perang Dunia Kedua. Kehadiran negara-negara berkembang mengakibatkan negara industtri maju yang kuat bersaing dengan negara berkembang yang lemah, akhirnya asas persamaan tidak lagi membawa keadilan (equity), tetapi sering justru memperbesar ketidakadilan.71 Oleh karena itu, perlulah peraturan-peraturan dasar

dan prinsip-prinsip yang terdapat dalam hukum WTO menjadi acuan sistem perdagangan multinasional.

Dalam menghadapi era globalisasi yang tengah berjalan di segala sektor dewasa ini, Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian penting yang diantaranya adalah menjadi anggota WTO. Konsekuensi penting dari kenggotaan

       69 Ibid., hlm. 36.

70 Ginanjar Kartassasmita, Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, (Jakarta: Cidesindo, 1996), hlm. 100.

71 Muhammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 40.


(55)

suatu orgaanisasi dunia, seperti WTO yang diratifikaasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994 pada tanggal 2 November 1994 mewajibkan Indonesia berhati-hati dalam memberlakukan peraturan ekonomi. Ratifikasi yang dilakukan Pemerintah Indonesia atas Agreement Establishing the World Trade Organization dilihat dari segi hukum merupakan suatu langkah yang tidak dapat dicegah sebab sebagai negara yang berkembang dengan posisi lemah dalam peraturan dagang internasional, Indonesia harus meletakkan tumpuan pada suatu forum multilateral, yakni WTO sebagai wujud suatu kekuasaan internasional di bidang perdagangan antarnegara, yang diharapkan menegakkan

rule of law dalam masyarakat global.72

Adapun prinsip-prinsip hukum dari perdagangan multilateral yang diatur didalam GATT/WTO, meliputi prinsip non-diskriminasi (the principle of non-discriminatory), prinsip resiprositas (reciprocity), prinsip penghapusan hambatan kuantitatif, prinsip perdagangan adil (fairness principle), dan prinsip tarif mengikat (tariff binding principle).73 Berikut akan diuraikan mengenai prinsip

non-diskriminasi.

Prinsip non-diskriminasi adalah salah satu prinsip utama WTO, artinya merupakan prinsip-prinsip yang menjadi landasan seluruh kebijakan dan tata aturan perdagangan dalam sistem WTO. Prinsip non-diskriminasi berarti prinsip yang menolak kebijakan atau tindakan yang diskriminatif.74 Terdapat dua prinsip

non diskriminasi dalam hukum organisasi perdagangan dunia (WTO/GATT) yaitu

      

72 Asmin Nasution,Op.cit., hlm. 48. 73 Muhammad Sood, Op. Cit., hlm. 41.

74 Rusli Pandika, Sanksi Dagang Unilateral: Di Bawah Sistem Hukum WTO, (Bandung: PT. Alumni, 2010), hlm. 131.


(1)

Local Content. 2011. “Local Content Strategy: A Guidance Document For The Oil And Gas Industry”, IPIECA.

Siregar, Mahmul. 2005. “Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan Penanaman Modal”. USU Repository.

C. BAHAN AJAR

Rajagukguk, Erman. “TRIMs dan Investasi”. Materi Kuliah 1: Pendahuluan. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Siregar, Mahmul. “Hukum Perdagangan Internasional”. Bahan Kuliah Program Studi Ilmu Hukum. Medan: Sekolah Pascasarjana USU.

D. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 15 Tahun 2013 tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri Pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

E. MAJALAH

Indomedia Dinamika, “Mengelola Industri Hulu Migas Untuk Kesejahteraan Bangsa”, Bloomberg Businessweek, No.30, 29 Juli-18 Agustus 2013. SKK Migas, “Nama Baru Harapan Baru”, Buletin SKK Migas, Edisi Pertama,

Februari 2013.

F. WEBSITE

Advocates and Legal Consultant, Aspek Hukum Migas,


(2)

Advocates and Legal Consultant, Production Sharing Contract For The Joint Petroleum Development Area Presented For The Information Of The

Council Of Ministers,

http://hukumkeadilan.wordpress.com/category/hukum-pertambangan/ (diakses pada tgl 14 Maret 2014).

Agreement on Trade Related Investment Measures, http://www.wto.org/english/tratop_e/invest_e/invest_info_e.htm

(diakses pada tgl 26 Februari 2014).

A.M , Chandra Luthfiana, Perkembangan Ekonomi Pembangunan di Indonesia dan Kedua Orientasinya, http://luthfiana12unairacid-

fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-81734-SSI-Pekembangan%20Ekonomi%20Pembangunan%20di%20Indonesia% 20dan%20Kedua%20Orientasinya.html (diakses pada tgl 3 Januari 2014).

Anwar, Syaiful, “Mengenal World Trade Organization (WTO), http://www.bppk.depkeu.go.id/webbc/index.php?option=com_docma n&task=doc_download&gid=344&Itemid=128 (diakses pada tgl 12 Maret 2014).

Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi, http://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Pelaksana_Kegiatan_Usaha_Hul u_Minyak_dan_Gas_Bumi (diakses pada tgl 15 Maret 2014).

D.C.Kurniawan, Pengaturan Kegiatan Usaha Pertambangan di Indonesia, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37041/5/Chapter%2 0III-V.pdf (diakses pada tgl 9 January 2014).

Energi Masih Jadi Andalan Negara,

http://www.neraca.co.id/article/36781/Energi-Masih-Jadi-Andalan-Pendapatan-Negara. (diakses pada tgl 10 April 2014).

Eksplorasi, http://id.wikipedia.org/wiki/Eksplorasi(diakses pada tgl 11 Maret 2014).

Fungsi dan Peranan WTO Dalam Era Perdagangan WTO,


(3)

ristagemam-30183-9-unikom_r-i.pdf (diakses pada tgl 3 Januari 2014).

Ika Ceranawati, Eksploitasi Dan Eksplorasi Sumberdaya Mineral Dan

Strategi Pengolahan Sumberdaya Mineral,

http://ceranawati.blogspot.com/2011/06/eksploitasi-dan-eksplorasi-sumberdaya.html (diakses pada tgl 10 Maret 2014).

Indonesia,

http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:CvBCsNCl bJwJ:photos.state.gov/libraries/indonesia/890636/pdf_001/NTE_201 3.pdf+&cd=1&hl=en&ct=clnk&client=firefox-a (diakses pada tgl 12 Maret 2014).

Kegiatan Hulu Migas, http://cepumerah.blogspot.com/p/peran-industri-migas_26.html (diakses pada tgl 10 January 2014).

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, “Permen ESDM Tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri Pada Kegiatan Usaha Hulu Migas”, http://www.migas.esdm.go.id/berita-

kemigasan/detail/3090/Permen-ESDM-Tentang-Penggunaan-Produk-Dalam-Negeri-Pada-kegiatan-Usaha-Hulu-Migas (diakses pada tgl 20 Maret 2014).

Kontrak Bagi Hasil, http://id.wikipedia.org/wiki/Kontrak_Bagi_Hasil (diakses pada tgl 13 Maret 2014).

Latar Belakang Negosiasi TRIMs, http://mekar-sinurat.blogspot.com/ 2009/10/latar-belakang-negosiasi-trims.html (diakses pada tgl 9 Februari 2014).

Maizar, Alifia Faradina, “Local Content Requirement Policy on Oil and Gas Mining”,http://advinternationaleconfeui.wordpress.com/2013/01/06/l ocal-content-requirement-policy-on-oil-and-gas-mining/ (diakses pada tgl 22 Maret 2014).

Martini, Dwi, “Prinsip National Treatment Dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia (Antara Liberalisasi dan Kepentingan Nasional), http://dwimaret.blogspot.com/2012/12/prinsip-national-treatment-dalam.html (diakses pada tgl 28 Maret 2014).

Maulana, Alfino,”Konsideran”, http://alfinomaulana.blogspot.com/2012/1/ konsideran.html (diakses pada tgl 19 Maret 2014).


(4)

Neraca, “Kebijakan Migas RI Diprotes WTO”,

http://www.neraca.co.id/article/28626/Kebijakan-Migas-RI-Diprotes-WTO (diakses pada tgl 22 Maret 2014).

Oil and Gas New Rules on Domestic Content: Hard Headed Pragmatism or

Impossible Dream?,

www.bakermckenzie.com/ALJakartaOilGasRulesApr13/ (diakses pada tgl 6 Januari 2014).

Organisasi Perdagangan Dunia, http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_Perdagangan_Dunia (diakses

pada tgl 14 Januari 2014).

Penanaman Modal Asing di Indonesia, http://www.academia.edu/4870433/Penanaman_Modal_Asing_di_In

donesia?login=&email_was_taken=true (diakses pada tgl 25 Februari 2014).

Penanaman Modal Terkait Perdagangan Internasional,

http://mahendraputra.net/wp-content/uploads/2012/02/BAHAN-KULIAH-HUKUM-PERNIAGAAN-INTERNASIONAL-10.pdf (diakses pada tgl 7 Februari 2014).

Perdagangan Global dan Tindakan Investasi,

http://hukuminvestasi.wordpress.com/2010/09/16/trade-related-investment-measures-trims/ (diakses pada tgl 8 Februari 2014).

Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum Perdagangan Internasional (WTO), http://referensi-hukum.blogspot.com/2010/10/perjanjian-penanaman-modal-dalam-hukum.html (diakses pada tgl 9 Februari 2014).

Pertambangan Minyak dan Gas Bumi di Indonesia, http://info- pertambangan.blogspot.com/2012/10/pertambangan-minyak-dan-gas-bumi-di.html(diakses pada tgl 10 Maret 2014).

Ramadhani, Ayu, “Perkembangan Orientasi Pembangunan Ekonomi di Indonesia”, http://ayurahmadhani-

fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-78853Studi%20Strategis%20Indonesia%20IPerkembangan%20Orie ntasi%20Pembangunan%20Ekonomi%20di%20Indonesia.html (diakses pada tgl 3 Januari 2014).


(5)

http://www.academia.edu/4332132/Kebijakan_Otomotif_Nasional_ Mobnas_Timor_ditinjau_dari_prinsip_Most_Favoured_Nation (diakses pada tgl 12 Maret 2014).

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, http://id.wikipedia.org/wiki/Satuan_Kerja_Khusus_Pelaksana_Kegia tan_Usaha_Hulu_Minyak_dan_Gas_Bumi (diakses pada tgl 16 Maret 2014).

Sejarah Masuknya Perdagangan Bebas di Indonesia Pada Era Orde Baru,

http://blog-sphere.blogspot.com/2012/10/sejarah-masuknya-perdagangan-bebas-di.html (diakses pada tgl 3 Januari 2014).

Sejarah Pembentukan WTO,

http://globalonlinebook1.blogspot.com/2013/06/sejarah-pembentukan-wto.html (diakses pada tgl 4 Januari 2014).

Sengketa Mobil Nasional Timor Di WTO,

http://www.scribd.com/doc/129547242/Sengketa-Mobil-Nasional-Timor-Di-WTO (diakses pada tgl 25 February 2014).

Sir_AnwarHabibiblog,”Makalah Legal Drafting (Aspek Filosofis dan Sosiologis Dalam Penyusunan Naskah Asademik, http://habibisir.blogspot.com/2013/01/makalah-legal-drafting-aspek-filosofis.html (diakses pada tgl 19 Maret 2014).

The General Agreement on Tariffs And Trade, http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:XYVkHpxx 9GcJ:www.wto.org/english/docs_e/legal_e/gatt47_e.doc+&cd=1&hl =en&ct=clnk (diakses pada tanggal 3 February 2014).

Undang-Undang Tambang dan Perburuhan,

http://www.slideshare.net/vestersaragih/uu-tambang-dan-perburuhan-materi-1 (diakses pada tgl 9 January 2014).

Uruguay Round Agreement: Agreement on Trade-Related Investment Measures, http://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/18-trims_e.htm (diakses pada tgl 10 Februari 2014).

Uyanga Gankhuya, Local Content Policies in the Oil, Gas and Mining Sectors - A World Bank conference, http://goxi.org/profiles/blogs/local-content-policies-in-the-oil-gas-and-mining-sectors-a-world (diakses pada tgl 24 Februari 2014).


(6)

Wamen minta SKK Migas Utamakan Local Content,