2.1.2. Epidemiologi
Secara global ditemukan sekitar 65.000 kasus baru KNF dengan 38.000 kematian pada tahun 2000. Sementara pada sebagian besar tempat di dunia jarang
dijumpai dengan angka kejadian sekitar 1 dari 105 atau 0,6 dari seluruh kanker,
1,2
pada populasi tertentu insidensinya lebih tinggi pada ras China, Asia Tenggara seperti Thailand, Philippina, dan Vietnam, Afrika Utara seperti
Algeria dan Maroko, demikian juga wilayah Arctic seperti Canada dan Alaska. Insidensi tertinggi dari karsinoma nasofaring telah lama diamati di Hongkong, di
mana 1 dari 40 laki-laki menderita karsinoma nasofaring sebelum usia 75 tahun.
1
Bukti epidemiologik lain adalah angka kejadian kanker ini di Singapura. Persentase terbesar yang dikenai adalah masyarakat keturunan Tionghoa 18,5 per
100.000 penduduk, disusul oleh keturunan Melayu 6,5 per 100.000 dan terakhir adalah keturunan Hindustan 0,5 per 100.000.
3
Prevalensi penderita KNF 4,7 orang per 100.000 penduduk pertahun yang diambil dari data resmi Departemen Kesehatan tahun 1980. Penelitian Fachiroh di
Yogyakarta menyatakan insiden penderita KNF 3,9 orang per 100.000 penduduk. Di Bagian THT FK-UI RSCM selama periode 1988-1992 didapati 511 penderita
baru KNF. Di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 1998-2000 ditemukan 130 penderita KNF dari 1370 pasien baru onkologi kepala dan leher. Dari
beberapa penyelidikan di Indonesia dan di luar negeri, kasus dini hanya ditemukan antara 3,8-13,9, dibandingkan dengan kasus lanjut stadium III dan IV sekitar
88,1-96,2.
7
Di RSUP HAM periode Juli 2005-Juni 2006 dari 79 penderita KNF seluruhnya berada pada stadium lanjut, tidak dijumpai penderita dengan
stadium dini.
3,5,6,10,15
Universitas Sumatera Utara
2.1.3. Etiologi
Etiologi KNF dinyatakan berhubungan dengan interaksi yang kompleks dari faktor lingkungan dan faktor genetik serta infeksi Epstein-Barr virus.
16-21
2.1.3.1. Faktor Genetik
KNF merupakan keganasan yang jarang di sebagian besar tempat di dunia, namun KNF merupakan salah satu kanker tersering di Asia Tenggara dengan
insidensi berkisar 10-53 kasus per 100.000 penduduk. Insidensinya juga tinggi di Alaska, Greenland dan Tunisia dengan kisaran 15-20 per 100.000 penduduk.
Terdapat risiko familial yang tinggi pada populasi Kanton dan pada orang-orang dengan riwayat KNF pada keluarga. Banyak penelitian yang membuktikan adanya
kelainan pada kromosom antara lain translokasi, amplifikasi, dan delesi 3p, 5p dan 3q juga pada kromosom lain yang bervariasi pada masing-masing kasus.
Inaktivasi gen supresor tumor pada 9p, 11q, 14q, dan 16q serta perubahan onkogen pada kromosom 8 dan 12 juga ditemukan pada KNF. Beberapa studi
menunjukkan bahwa delesi kromosom 3p merupakan kelainan genetik yang paling sering ditemukan pada KNF. Beberapa studi lain juga menunjukkan adanya
polimorfik dalam gen yang memetabolisme karsinogen yang berhubungan dengan KNF. Cytochrome P450 2E1 CYP2E1 dan Cytochrome P450 2A6 CYP2A6
merupakan grup cytochrome P450 yang respon terhadap aktivasi metabolik nitrosamin dan karsinogen lain. Gen-gen ini diduga berperan dalam timbulnya
KNF.
22
Salah satu studi di Cina pada keluarga penderita KNF dijumpai adanya lokus yang rentan pada regio HLA human leukocyte antigen. Studi dari
kerentanan HLA pada orang-orang Cina menunjukkan bahwa orang-orang dengan
Universitas Sumatera Utara
HLA A0207 atau B4601 tetapi tidak pada A0201 memiliki resiko yang meningkat untuk terkena karsinoma nasofaring.
12,23
Studi oleh Goldsmith et al menyatakan adanya hubungan pada risiko KNF dengan HLA-A2, HLA-B14, dan
HLA-B46.
2
2.1.3.2. Faktor Lingkungan
Adanya hubungan antara faktor kebiasaan makan dengan terjadinya KNF dipelajari oleh Ho dkk. Ditemukan kasus KNF dalam jumlah yang tinggi pada
mereka yang gemar mengkonsumsi ikan asin yang dimasak dengan gaya Kanton Cantonese-style salted fish. Risiko terjadinya KNF sangat berkaitan dengan
lamanya mereka mengkonsumsi makanan ini. Banyak studi case-control pada berbagai populasi Kanton, Cina Selatan lainnya, Cina Utara dan Thailand
menunjukkan bahwa makanan gaya Kanton mengandung nitrosodimethyamine NDMA, N-nitrospyrrolidene NPYR, dan N-nitrospiperidine NPIP dalam
jumlah besar yang dapat menjadi faktor karsinogenik terhadap KNF.
3,20
Paparan ikan asin sejak usia muda merupakan resiko tinggi KNF pada populasi Cina
Selatan. Di beberapa bagian negeri Cina makanan ini mulai digunakan sebagai pengganti air susu ibu pada saat menyapih. Peneliti lainnya mencoba
menghubungkannya dengan makanan yang diawetkan menggunakan garam lainnya seperti udang asin, telur asin. Pada penelitian terhadap hewan percobaan
diketahui bahwa tumor nasal dan nasofaringeal dapat diinduksi pada tikus dengan memberi ikan asin dalam makanan mereka. Pajanan di tempat kerja seperti asap,
paparan formaldehyde dan debu kayu juga telah diketahui merupakan faktor risiko bagi timbulnya KNF. Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap pengobatan
alami Chinese Herbal Medicine = CHM. Hildesheim et al memperoleh
Universitas Sumatera Utara
hubungan yang erat antara terjadinya KNF, infeksi EBV dan penggunaan CHM.
3,20
2.1.3.3. Epstein –Barr Virus
Hubungan dekat yang konstan antara EBV dan KNF, terlepas dari latar belakang etnis, menunjukkan kemungkinan peran onkogenik virus dalam
pembentukan tumor ini. Bukti-bukti mencakup: 1 meningkatnya titer antibodi, khususnya IgA, terhadap EBV yang tersering viral capsid antigen dan early
antigen pada kebanyakan penderita KNF dibandingkan kontrol normal dan penderita kanker lainnya; 2 tingginya titer IgA antibodi terhadap EBV pada
penderita dengan tumor yang besar; 3 adanya DNA atau RNA EBV dalam hampir semua sel KNF; 4 adanya EBV dalam bentuk episomal klonal,
menunjukkan bahwa virus telah berada di dalam sel tumor sebelum ekspansi klonal; 5 adanya EBV dalam lesi prekursor KNF, tetapi tidak pada epitel
nasofaring normal. Bukti dianggap cukup untuk menyatakan bahwa EBV adalah karsinogenik oleh the International Agency for Research on Cancer IARC pada
tahun 1997.
1
Hubungan antara EBV dan KNF pertama kali ditemukan oleh Old et al pada tahun 1966 dengan menggunakan metode in situ hybridization dan the
anticomplement immunofluorescent ACIF. Studi lainnya menunjukkan ekspresi gen laten EBV yaitu Epstein
–Barr virus nuclear antigen EBNA, latent membrane protein-1 LMP-1, LMP-2, dan EBV encoded small RNAs EBER
dalam sel-sel KNF untuk mengkonfirmasi adanya infeksi EBV dalam sel-sel tumor. Sekitar 90 penderita undifferentiated nasopharyngeal carcinomas
dewasa di seluruh dunia positif mengandung EBV secara serologi. Beberapa studi
Universitas Sumatera Utara
menemukan bahwa KNF dengan EBV tumbuh lebih cepat dan lebih cenderung untuk bermetastasis dibanding yang tidak mengandung EBV.
20-30
EBV-Encoded Latent Membrane Proteins LMP1 merupakan protein membran integral dengan potensi onkogenik, dikode oleh gen BNLF-1 juga
dikenal sebagai gen LMP1 dari EBV, dapat mentransformasi sel hewan pengerat dan mengubah fenotipe baik sel limfoid maupun sel sepitel. LMP1 terekspresi
dalam kebanyakan KNF, dan diduga kuat memiliki peranan penting dalam patogenesis dan perkembangan KNF dan ekspresinya berhubungan dengan
prognosis yang buruk.
17,27
Infeksi EBV dalam KNF merupakan tampilan dari pola latensi tipe II dari virus, yang mengekspresikan EBV nuclear antigen-1 EBNA-1 dan latent
membrane protein 1 LMP1, tetapi tidak mengekspresikan EBNA2-6. EBV encoded early RNAs EBERs juga diekspresikan secara kuat pada tumor ini.
LMP1, protein virus dengan perangkat transformasi, dapat menginduksi hiperplasia epidermal, menghambat diferensiasi skuamous, melakukan upregulasi
adhesion molecule ICAM-1 dan CD40, mengaktivasi nuclear factor- κB NF-κ-
B, dan menginduksi ekspresi epidermal growth factor receptor.
1
2.1.4. Patogenesis
KNF terbentuk melalui beberapa tahap karsinogenesis, namun sirkuit yang sangat terintegrasi dan kompleks molekul sinyal dalam patogenesis KNF masih
sebagian yang dipahami. Adanya disregulasi dan ekspresi protein abnormal molekul dalam jalur sinyal tertentu yang terlibat dalam fungsi selular termasuk
proliferasi, adhesi, kelangsungan hidup, dan apoptosis telah dibuktikan dalam sel KNF.
21
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3 . Tahapan evolusi kanker nasofaring
1
2.1.5. Gambaran klinis