yang merupakan salah satu protein EBV diketahui mempunyai peranan dalam pertumbuhan karsinoma bahkan dalam metastasis KNF.
8,9
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana tampilan LMP1 pada sitologi biopsi aspirasi jarum halus kelenjar getah bening
leher pada penderita KNF yang mengalami metastasis di KGB leher yang diperiksa di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara Medan.
1.2. Perumusan Masalah
Bagaimana tampilan Latent Membrane Protein 1 LMP1 pada sitologi biopsi aspirasi jarum halus kelenjar getah bening leher pada penderita karsinoma
nasofaring yang mengalami metastasis di kelenjar getah bening leher yang diperiksa di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara Medan.
1.3. Hipotesis
EBV berhubungan dengan sebagian besar KNF jenis nonkeratinizing carcinoma, sehingga KNF yang bermetastasis ke KGB leher yang akan
menampilkan LMP1 adalah KNF jenis nonkeratinizing carcinoma, dengan demikian hipotesis awal pada penelitian ini adalah ada perbedaan tampilan LMP1
pada KNF jenis keratinizing squamous cell carcinoma dan KNF jenis nonkeratinizing carcinoma yang telah bermetastasis ke KGB leher.
Universitas Sumatera Utara
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Melihat tampilan Latent Membrane Protein 1 LMP1 pada sitologi biopsi aspirasi jarum halus kelenjar getah bening leher pada penderita karsinoma
nasofaring yang mengalami metastasis di kelenjar getah bening leher.
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Melihat pola tampilan LMP1 pada masing-masing tipe histologik karsinoma nasofaring.
2. Melihat hubungan tampilan LMP1 dengan ukuran KGB yang terlibat dalam metastasis karsinoma nasofaring pada penderita karsinoma
nasofaring.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Tampilan LMP1 diharapkan dapat dipakai untuk konfirmasi diagnosis suatu metastasis karsinoma nasofaring di kelenjar getah bening leher.
2. Tampilan LMP1 juga diharapkan dapat membantu dalam menentukan prognosis penderita karsinoma nasofaring.
3. Tampilan LMP1 juga diharapkan dapat membantu dalam menentukan terapi pada penderita karsinoma nasofaring.
4. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karsinoma Nasofaring 2.1.1. Anatomi dan Histologi Nasofaring
Secara fungsional dan struktural faring terbagi atas tiga bagian, nasofaring, orofaring, dan hipofaring.
10,11
Nasofaring adalah lubang berbentuk pipa dengan ujung menyempit, terletak di belakang rongga hidung. Bagian atap dan dinding
belakang dibentuk oleh basi sfenoid, basi oksiput dan ruas pertama vertebra. Bagian depan berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Orifisium dari
tuba Eustachian terletak pada dinding lateral, di bagian depan dan belakang terdapat ruangan berbentuk koma yang disebut dengan torus tubarius. Bagian atas
dan samping dari torus tubarius merupakan ceruk dari nasofaring yang disebut dengan fossa Rosenmuller. Nasofaring berhubungan dengan orofaring pada bagian
palatum mole. Nasofaring merupakan bagian dari Waldeyer ring.
1,2,10,12,13
Gambar 2.1 . Pemotongan sagital kepala menunjukkan nasofaring, rongga hidung dan
sinus paranasal. 1. Sinus sfenoidalis; 2. Meatus superior; 3. Meatus media; 4.Tubal elevation; 5. Tonsil faringeal; 6. Pharyngeal orifice of Eustachian tube;
7. Salpingopharyngeal fold; 8. Pharyngeal recess; 9. Palatum mole; 10. Uvula; 11. Sinus frontalis; 12. Sphenoethmoidal recess; 13. Superior nasal concha; 14. Middle nasal
concha; 15. Inferior nasal concha; 16. Vestibulum; 17. Meatus inferior; 18. Palatum durum; 24. Atrium
1
Universitas Sumatera Utara