98
Universitas Sumatera Utara
paham” juga ditujukan kepada informan yang tidak memiliki pemahaman sama sekali tentang etika komunikasi atau
netiket.
Tabel 4.5 Pemahaman Remaja tentang Etika Komunikasi di Media Sosial
Nama Informan Pemahaman tentang Etika Komunikasi di
Media Sosial UU ITE
Netiket
1. Gibran Fadillah
Kurang Paham Paham
2. Fadillah Maharani
Kurang Paham Paham
3. Arariko Pasa
Tidak Paham Paham
4. Raja Arif Hidayah
Kurang Paham Paham
5. Luky Andriansyah
Tidak Paham Paham
Sumber: Peneliti
4.2 Pembahasan
Dari analisis hasil dan pengamatan peneliti, maka peneliti membuat pembahasan sebagai berikut:
Dari kelima informan tersebut, peneliti melakukan pembahasan menggunakan teori yang dikaitkan dengan tujuan penelitian ini, yaitu untuk
mengetahui motif remaja menggunakan media sosial facebook dan twitter,
aktivitas yang dilakukan remaja di media sosial tersebut dan konstruksi pemahaman remaja tentang etika komunikasi di media sosial. Berdasarkan hasil
analisis, peneliti mengetahui bahwa motif yang mendorong kelima informan membuat akun media sosial
facebook dan twitter dipengaruhi oleh lingkungan. Peneliti menilai bahwa pada saat kelima informan membuat
facebook dan twitter, kelima informan tidak memiliki informasi yang cukup tentang kedua media sosial
tersebut. Para informan lebih terpengaruh pada trend yang terjadi dilingkungan
teman sebaya mereka. Penilaian tersebut diperkuat dengan pernyataan kelima informan yang mengatakan bahwa informan hanya sekedar mengikuti
trend karena tidak ingin ketinggalan zaman. Informasi tentang
facebook dan twitter diterima oleh kelima informan diwaktu yang berdekatan karena popularitas kedua
Universitas Sumatera Utara
99
Universitas Sumatera Utara
media sosial tersebut cukup bersaing. Hal tersebut juga yang membuat kelima informan tidak memiliki informasi yang cukup tentang perbedaaan
facebook dan twitter.
Kemudian, sebagian informan mengalami perubahan motif dalam memilih dan menggunakan media sosial. Misalnya seperti Gibran dan Raja yang pada
awalnya menggunakan facebook dan twitter secara bersamaan namun pada
akhirnya kedua informan lebih memilih aktif menggunakan twitter saja.
Perubahan motif tersebut merupakan proses alami yang dapat dialami setiap individu sebab motif sangat erat kaitannya dengan dorongan yang berasal dari
dalam diri individu itu sendiri. Menurut Ardiyanto, motif atau motivasi adalah dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan manusia berbuat sesuatu untuk
memuaskan kebutuhannya. Namun, sebagian informan lagi Dilla, Riko dan Lucky tetap memilih menggunakan
facebook sebagai media sosial utama yang digunakan. Keputusan kelima informan dalam memilih dan menggunakan media
sosial tersebut karena informan telah mengalami proses internal sehingga hanya menggunakan salah satu media sosial saja. Menurut teori
uses and gratification yang dikemukakan oleh Kim Rubbin, proses internal tersebut adalah proses
seleksi selectivity, proses memperhatikan attention dan proses keterlibatan
involvement. Gibran pada awalnya menggunakan
facebook dan twitter namun pada akhirnya ia lebih memilih aktif menggunakan
twitter saja. Keputusannya yang memilih untuk lebih aktif menggunakan
twitter tersebut karena twitter dianggap sebagai media yang dapat memenuhi kebutuhannya akan informasi yang
up to date daripada facebook. Kemudian pada tahap attention, Gibran merasa bahwa
twitter dapat menambah wawasannya daripada facebook. Ia dapat memperoleh informasi yang sesuai minatnya seperti informasi seputar agama, hiburan, musik
atau tentang club sepak bola favoritnya. Apalagi karakter twitter yang merupakan
media interaksi yang lebih intim dari facebook membuat Gibran merasa lebih
nyaman menggunakannya. Ketika ia berinteraksi dengan teman atau idolanya via twitter ia merasa memiliki hubungan yang lebih akrab dengan mereka.
Raja juga memiliki kesamaan dengan Gibran. Raja lebih memilih menggunakan
twitter daripada
facebook. Apalagi
proses keterlibatan
Universitas Sumatera Utara
100
Universitas Sumatera Utara
involvement yang dialami oleh Raja terhadap media sosial twitter terlihat dengan jelas. Interaksi yang dijalin Raja dengan para pengguna
twitter tidak hanya sebatas pada dunia maya saja tetapi juga di dunia nyata.
Twitter mempertemukan mereka dalam sebuah komunitas bahkan Raja juga mendapatkan pekerjaan lewat
twitter. Motif yang mendorong Raja untuk lebih memilih
twitter daripada facebook karena ia telah merasakan langsung perbedaan diantara keduanya. Karakter
twitter yang bersifat kekinian untuk segala jenis aspek informasi, hiburan dan gaya hidup
dapat memenuhi kebutuhannya akan hal tersebut. Begitu juga yang dialami oleh Dilla, Riko dan Lucky dengan pengalaman mereka masing-masing.
Aktivitas informan di media sosial sangat erat kaitannya dengan pemahaman informan tentang etika komunikasi. Sebab, hasil pengamatan dan
wawancara menunjukkan adanya perubahan perilaku pada saat informan belum mengetahui adanya Undang-Undang ITE atau
netiket dan setelah informan mengetahuinya. Hal yang paling sering dilakukan oleh informan pada akun
facebook-nya adalah aktivitas self disclosure. Berdasarkan hasil analisis, aktivitas self disclosure yang dilakukan oleh kelima informan lewat postingan status di
facebook karena adanya motif dalam diri informan. Kelima informan masih tergolong remaja usia akhir usia 17-21 tahun yang berada pada masa-masa kritis
dalam pencarian jati dirinya. Persoalan yang peneliti temukan dalam penelitian ini yaitu, cara yang digunakan remaja dalam mengungkapkan sisi emosionalnya.
Ternyata, kemajuan teknologi membawa budaya baru dalam gaya hidup remaja dalam mengungkapkan isi hatinya. Jika dahulu, individu mengungkapkan reaksi
emosionalnya lewat catatan harian atau buku diary, kini telah ada media sosial
sebagai media untuk mengungkapkannya. Namun, buku diary tentu berbeda
dengan media sosial. Buku diary bersifat lebih pribadi antara si penulis dan
perasaannya saja akan tetapi sangat jauh berbeda dengan media sosial. Media sosial bersifat umum artinya, setiap tulisan yang diunggah di media sosial berarti
menjadi milik khalayak dapat dibaca, berpotensi mendapat reaksi dan dapat melibatkan orang banyak. Aktivitas Gibran dan Dilla di media sosial mendapat
pengawasan dari orang tuanya. Aktivitas
self disclosure yang dilakukan oleh kelima informan dapat dinilai dari segi valensinya yaitu kualitas
self disclosure yang dilakukan oleh kelimanya.
Universitas Sumatera Utara
101
Universitas Sumatera Utara
Menurut Devito dalam teori self disclosure, kualitas keterbukaan diri individu
dapat dinilai dari cara individu mengungkapkan diri dan bagaimana dampak yang ditimbulkan dari
self disclosure yang dilakukan. Apabila si individu dapat mengungkapkan diri dengan baik dan meninggalkan kesan yang baik bagi orang
lain maka kualiatas self disclosure-nya positif. Informan yang termasuk kategori
ini adalah Riko dan Lucky karena kedua informan tersebut dapat mengontrol dirinya saat mengungkapkan pengalaman pribadinya lewat
facebook. Kedua informan memilih informasi apa yang akan mereka tampilkan tentang diri mereka
sendiri dan sangat cerdas dalam mengemas tampilan dirinya dihadapan publik. Misalnya seperti Lucky yang mengaku sering curhat tentang mantan kekasihnya
di facebook namun ia dapat mengemas emosi dan tampilan dirinya dengan
mengungkapkan perasaannya lewat puisi. Selain itu, peneliti juga memperhatikan aktivitas komentar yang dilakukan Riko dan Lucky dengan pengguna
facebook lain. Riko dan Lucky pernah mengalami masalah komunikasi dengan lawan
bicaranya yang menggunakan kata-kata kasar saat berkomunikasi dengan informan. Namun kejadian tersebut tidak sampai menimbulkan konflik karena
informan dapat mengatasinya. Peneliti menilai bahwa kedua informan tersebut adalah orang yang santun.
Berbeda dengan Gibran. Meskipun Gibran juga memiliki area tersembunyi yang sama dengan Riko dan Lucky namun saat Gibran melepaskan emosionalnya
di facebook
¸ ia sangat “meledak-ledak”. Pada beberapa postingan yang tertera pada akun
facebook-nya, Gibran memaki, menyindir dan mengumpat tentang permasalahan yang sedang dihadapinya. Sehingga peneliti menyimpulkan bahwa
Gibran memiliki kualitas self disclosure yang negatif. Begitu juga dengan Dilla
dan Raja yang juga memiliki kualitas self disclosure negatif. Akibatnya, Dilla dan
Raja sering mengalami konflik di facebook dan berdampak pada dunia nyata
mereka dimana hubungan informan dengan temannya memburuk dan informan mendapat citra negatif dari lingkungan sekitar mereka. Aktivitas lain yang
tergambar dari akun facebook dan twitter Gibran, Dilla dan Raja yaitu aktivitas
komunikasi dengan sesama pengguna facebook. Sepanjang tahun 2008-2015
peneliti menemukan beberapa aktivitas berbalas komentar yang dilakukan oleh
Universitas Sumatera Utara
102
Universitas Sumatera Utara
ketiga informan menggunakan bahasa yang kurang sopan. Misalnya, “bodat”, “njing”, “Alien” dan lain-lain.
Hasil wawancara telah menunjukkan bahwa hampir semua informan menggunakan
facebook sebagai media pribadi untuk kepentingan pribadi mereka. Bentuk kegiatan yang paling banyak dilakukan oleh informan adalah
pengungkapan diri dibandingkan berinteraksi dengan pengguna media sosial lain. Padahal fungsi utama
facebook dan twitter adalah sebagai media komunikasi. Latar belakang keluarga merupakan faktor yang mendorong informan
menggunakan media sosial sebagai media pengungkapan diri. Rata-rata, para informan berasa
l dari lingkungan keluarga yang “tidak sehat”. Peneliti akan membahas Gibran, Dilla dan Raja terlebih dahulu karena ketiga informan ini yang
paling terlihat progress proses konstruksi pemahamannya. Gibran dan Dilla yang merupakan anak
broken home dan Raja yang dibesarkan oleh karakter orang tua yang ortodoks. Latar belakang keluarga yang
seperti itu mempengaruhi karakter ketiga informan tersebut. Peneliti menilai bahwa ketiga informan tidak memiliki kebebasan untuk mengungkapkan diri
mereka yang sebenarnya pada lingkungan keluarga sehingga para informan mencari alternatif lain yang dapat menampilkan diri informan yang sebenarnya.
Sehingga ketiga informan tersebut beranggapan bahwa media sosial adalah sarana yang tepat untuk melayani diri mereka sendiri. Artinya, informan dapat
menampilkan diri sesuai peran yang diinginkannya. Apalagi para informan memperhatikan banyak pengguna
facebook lain yang menyalurkan perasaannya lewat status di
facebook. Karakter yang ditampilkan oleh informan di media sosial tidak terlepas dari karakter yang terbentuk dari lingkungan keluarga dan
lingkungan sosialnya. Melalui tulisannya di facebook Gibran tergambar sebagai
sosok yang “lantang” ketika sedang menghadapi masalah, Dilla terpotret sebagai sosok yang melankolis dan sangat terbuka terhadap masalah yang ia hadapi dan
Raja pun tidak jauh berbeda dengan Dilla. Saat berkomunikasi dengan pengguna facebook lainnya, ketiga informan tersebut tidak seagresif saat menulis status.
Ketiga informan terlihat sebagai sosok yang komunikatif. Selain itu gaya bahasa yang digunakan juga kekinian, banyak istilah-istilah baru yang digunakan meski
bahasa yang digunakan agak terkesan kasar. Berbeda dengan Riko dan Lucky,
Universitas Sumatera Utara
103
Universitas Sumatera Utara
keduanya tidak terlalu terbuka dalam aktivitas pengungkapan diri self disclosure
namun keduanya mengaku pernah menggunakan facebook untuk curhat. Jadi, hal
yang ketahui para informan tentang facebook adalah media untuk
mengekspresikan diri. Itulah gambaran pengetahuan informan sebelum memahami kegunaan media sosial yang sebenarnya.
Peneliti menilai bahwa pola pikir kelima informan menuju kematangan meskipun belum stabil, sebagaimana khasnya remaja. Hal tersebut terlihat dari
perubahan aktivitas yang dilakukan oleh para informan dalam menggunakan media sosial. Informan lebih selektif terhadap media apa yang mereka gunakan
dan apa yang harus informan lakukan terhadap media yang mereka gunakan tersebut. Saat ini Gibran dan Raja lebih memilih menggunakan
twitter dan aktivitas yang dilakukannya di
twitter sangat jauh berbeda saat menggunakan facebook. Gibran mengakses twitter sebanyak 3-5 kali minggu, biasanya ia me-
retweet informasi penting, mencari informasi yang sesuai minatnya musik, agama dan olahraga. Frekuensi Raja mengakses
twitter sebanyak 7 kali minggu sebab relasi terbesarnya adalah pengguna
twitter dan ia membutuhkan informasi tentang komunitas, musik dan lain-lain juga melalui
twitter. Sedangkan Dilla, Riko dan Lucky masih setia dengan
facebook-nya. Frekuensi Dilla menggunakan
facebook sebanyak 5 kali dalam seminggu dan ia menggunakan
facebook-nya untuk mengisi waktu luang di kantor untuk membaca artikel, berbagi dokumentasi saat liburan aatau sekedar bermain
games online. Riko menggunakan
facebook tidak kurang dari 3 kali dalam seminggu, Riko hanya membutuhkan informasi seputar
parkour dan sesekali berkomunikasi dengan kerabatnya. Sementara itu, Lucky mengakses
facebook-nya sebanyak
5
kali dalam minggu. Biasanya Lucky aktif mengunggah puisi dan beragam dokumentasi kegiatannya sehari
-
hari. Peneliti menilai bahwa perubahan aktivitas yang dilakukan oleh informan di media sosial memperlihatkan bagaimana
konstruksi pemahaman kelima informan tentang etika komunikasi. Berkaitan dengan konstruksi pemahaman remaja, peneliti menemukan 3 dari
5 informan sangat menonjol perubahan aktivitasnya di media sosial, yaitu Gibran, Dilla dan Raja. Sedangkan 2 informan lainnya yaitu Riko dan Lucky mengalami
rekonstruksi yang membuat pemahaman keduanya tentang etika semakin baik.
Universitas Sumatera Utara
104
Universitas Sumatera Utara
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam uraian teoritis, bahwa konstruksi pemahaman individu dapat terjadi apabila individu tersebut mengubah atau
mengembangkan skema pengetahuan yang telah dimiliki. Demikian pula yang dialami oleh kelima informan pengguna
facebook dan twitter yang terlibat dalam penelitian ini.
Peneliti menggunakan teori Jean Piaget untuk membahas proses konstruksi pemahaman informan tentang etika komunikasi di media sosial. Teori Jean Piaget
ini menekankan
pada keaktifan
individu dalam
mengkonstruksikan pengetahuannya melalui pengalaman yang dialami. Ada proses asimilasi yaitu
proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru. Pada proses asimilasi ini, individu akan mengintegrasikan
pengalaman baru mereka ke dalam skema yang sudah ada dalam pikirannya. Selain itu, Jean Piaget juga mengemukakan adanya proses akomodasi yaitu proses
penyesuaian struktur kognitif terhadap situasi baru dimana biasanya akomodasi ini terjadi apabila seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman barunya
terhadap skema yang telah ada. Sehingga individu membentuk skema baru atau memodifikasi skema yang telah ada.
Pembentukan pemahaman melalui proses akomodasi dialami oleh informan Gibran, Dilla dan Raja. Kritikan terhadap aktivitas informan yang senang
mengunggah kata-kata kasar dan membuka masalah pribadi di ruang publik tidak dianggap serius oleh ketiga informan ini. Sebab, para informan berpikir bahwa hal
yang dilakukan adalah hal yang wajar dilakukan anak muda zaman sekarang dan informan merasa hal tersebut adalah pengalaman baru yang memuaskan hatinya.
Awalnya informan tidak berpikir bahwa tindakan mereka akan mendapat reaksi dari orang sekitar bahkan menimbulkan konflik. Pengalaman informan berkonflik
dengan netizen lain berdampak hingga hubungan ke dunia nyata. Misalnya, Dilla
yang berkonflik dengan temannya. Konflik dimulai dari perang status di media sosial dan akhirnya hal tersebut merusak hubungannya dengan temannya tersebut.
Dilla pun pernah dijauhi oleh teman- temannya karena sikapnya yang “frontal” di
media sosial. Dalam hal ini peneliti menilai pihak keluarga sangat berperan aktif dalam membentuk pemahaman ketiga informan. Pihak keluarga seperti orang tua,
om dan tante serta para sepupu yang terkoneksi dengan informan di facebook turut
Universitas Sumatera Utara
105
Universitas Sumatera Utara
memberikan nasihat kepada informan. Bentuk peran aktif keluarga ditunjukkan dengan cara membuat akun
facebook dan ikut mengawasi aktivitas informan. Meskipun cara tersebut belum sepenuhnya berhasil mengubah perilaku informan
agar tidak bekata-kata kasar atau curhat di media sosial, namun komunikasi yang terus menerus dilakukan keluarga tersebut memberikan sumbangan pengetahuan
bagi informan tentang etika. Pembentukan pemahaman individu tidak akan berhasil apabila individu
tersebut tidak memiliki motivasi untuk menjadi lebih baik. Menurut pandangan teori konstruktivis, pengetahuan bukan suatu pemberian dari orang lain.
Pengetahuan yang diberikan oleh orang lain hanya sebagai salah faktor pendorong yang dapat membantu kesuksesan proses konstruksi pemahaman. Peneliti menilai
Gibran, Dilla dan Raja merupakan remaja yang aktif. Gibran, Dilla dan Raja selalu mengikuti perkembangan yang ada di media sosial. Ketiga remaja ini peka
terhadap setiap inovasi yang ada disekitar mereka, buktinya ketiga informan tersebut mengetahui adanya kasus hukum yang menjerat para pengguna media
sosial. Informasi yang diperoleh informan dari media sosial itu merangsang kembali struktur kognitif ketiga informan. Kasus-kasus tersebut seperti pengingat
atas nasihat yang diberikan oleh orang-orang yang telah memberi nasihat kepada informan. Kasus yang sempat menyita perhatian publik tersebut ternyata menyita
perhatian ketiga informan juga. Sebab, informan seperti disadarkan oleh kasus yang menggambarkan peristiwa nyata dari penegakan hukum yang menjerat
pengguna media sosial. Rasa ingin tahu pun mendorong informan untuk mengetahui lebih lanjut tentang kasus hukum yang menghebohkan itu. Ketiga
informan mencari tahu lewat beragam pemberitaan online atau hanya sekedar
mengikuti perkembangan kasusnya lewat kicauan para netizen di twitter. Sejak
munculnya kasus tersebut, akhirnya informan mengetahui bahwa telah ada Undang-Undang yang mengatur tentang transaksi elektronik di dunia maya.
Sejak mengetahui adanya UU ITE tersebut Gibran, Dilla dan Raja mulai mengubah perilakunya saat menggunakan media sosial. Peneliti menilai media
baru merupakan salah satu media pendukung yang dapat membantu informan untuk mengkonstruk pemahamannya tentang etika komunikasi. Selain itu, peneliti
juga melihat keberhasilan dari komunikasi antarpribadi dalam proses rekonstruksi
Universitas Sumatera Utara
106
Universitas Sumatera Utara
pemahaman yang dilakukan pihak keluarga. Rekonstruksi pemahaman dilakukan dengan cara terus memberi nasihat secara berulang kepada informan jika informan
melakukan tindakan negatif di media sosial. Misalnya Gibran, setelah mengetahui adanya UU ITE, informan justru senang berdiskusi dengan sang kakak untuk
membahas hal tersebut. Dilla dan Raja juga lebih dapat menerima nasihat yang diberikan oleh orang-orang disekitarnya dan pengetahuan yang informan dapatkan
dari berbagai forum diskusi. Sehingga skema pengetahuan yang informan miliki semakin berkembang.
Setelah ketiga informan mengetahui adanya UU ITE dan mengetahui nilai- nilai kesopanan yang harus dijalankan sebagai bagian dari anggota masyarakat
maya, ketiganya pun mengurangi aktivitas self disclosure di facebook atau di
twitter. Namun karena tuntutan pergaulan, informan masih berkata-kata kasar. Sehingga ketiga informan ini membentuk skema baru yang dianggap sesuai
dengan pandangan mereka. Kini informan menyeleksi kepada siapa mereka dapat ber
senda gurau dengan gaya bahasa yang “liar”, misalnya hal tersebut dilakukan hanya kepada teman-teman dekat saja. Disinilah peneliti menilai bahwa ketiga
informan mulai memahami prinsip komunikasi yang dikemukakan Deddy Mulyana. Menurut Deddy Mulyana, setiap aktivitas komunikasi memiliki dimensi
isi dan hubungan. Dimensi isi menunjukkan pesan yang disampaikan dan dimensi hubungan menunjukkan bagaimana hubungan para peserta komunikasi dan
bagaimana pesan tersebut harus ditafsirkan oleh peserta komunikasi. Ketiga informan mulai dapat menyeleksi kepada siapa mereka dapat berbahasa “liar”
dengan harapan tidak ada yang tersakiti. Tentu saja, telah terjadi kesepakatan makna antara informan dan teman-
temannya bahwa gaya bahasa “liar” merupakan budaya komunikasi yang dapat diterima oleh mereka sendiri. Selain itu, apabila
informan ingin menyalurkan emosinya, informan lebih memilih untuk menggunakan kata-kata bijak tidak dengan cara menyindir secara kasar. Adanya
perubahan perilaku seperti itu menunjukkan bahwa proses pembentukan pemahaman informan lewat proses akomodasi dapat dikatakan cukup berhasil.
Sementara proses pembentukan pemahaman Riko dan Lucky terjadi melalui proses asimilasi dimana kedua informan ini dapat mengintegrasikan persepsi atau
pengalaman baru mereka ke dalam skema pengetahuan yang telah dimiliki.
Universitas Sumatera Utara
107
Universitas Sumatera Utara
Artinya, kedua informan telah mampu menangkap rangsangan baru tanpa ada proses penolakan atau ketidakcocokan terhadap skema yang telah ada. Misalnya,
Riko pernah mengalami masalah komunikasi dimana ada seorang pengguna media sosial yang berkata-kata tidak sopan terhadapnya. Riko yang lama tinggal
di pesantren sempat kaget dengan kejadian tersebut namun karena selama ini ia sekolah di pesantren dan senang membaca ilmu agama yang mengajarkan tentang
kebaikan, tidak membuat Riko membalas lawan bicaranya tersebut dengan cara yang kasar juga. Justru, pengalaman tersebut membuatnya jadi lebih mengerti
bagaimana harus memperlakukan orang lain saat berinteraksi melalui media sosial.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa konstruksi pemahaman remaja yang terlibat dalam penelitian ini berhasil dengan baik. Kelima informan mengalami perubahan
pemahaman tentang etika komunikasi dan perubahan tersebut lebih positif. Sebagian besar informan yang tergolong remaja usia akhir ini telah memahami
netiket dan sebagian lagi mengetahui adanya Undang-Undang ITE. Kehadiran internet juga ikut membantu keberhasilan proses asimilasi dan akomodasi dalam
pembentukan pemahaman informan. Internet dalam hal ini adalah media sosial facebook dan twitter ternyata dapat menjadi media belajar bagi para informan
dalam mengembangkan pengetahuannya. Penelitian ini juga menggambarkan bagaimana pemahaman seseorang bisa dibentuk. Agar mencapai pemahaman yang
baik tentang suatu hal, perlu adanya proses rekonstruksi. Proses rekonstruksi ini berupa rangsangan-rangsangan yang kembali mengingatkan individu tentang
skema yang telah dimiliki sebelumnya. Proses rekonstruksi dapat menimbulkan kesadaran individu apabila terjadi ketidakseimbangan dalam hidup mereka.
Individu yang aktif akan mampu memberikan makna terhadap fenomena yang terjadi disekitarnya. Kelima informan yang terlibat dalam penelitian ini pun
melalui tahap rekonstruksi melalui komunikasi antarpribadi yang dilakukan pihak keluarga, konflik, forum diskusi bahkan hobi. Sehingga dari pengalaman tersebut
terbentuklah pemahaman baru tentang etika komunikasi. Tingkat pemahaman seseorang dapat tercermin dari perilaku orang tersebut. Semakin baik pemahaman
seseorang tentang suatu hal maka perilakunya dalam menyikapi sesuatu pun akan baik pula
Universitas Sumatera Utara
108
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai konstruksi pemahaman remaja di koat Medan tentang etika komunikasu di media sosial
facebook dan twitter, maka dapat diambil kesimpulan sebagai beikut :
1. Sebelum memiliki pengetahuan yang cukup tentang media sosial, motif
kelima informan membuat akun facebook dan twitter untuk mengikuti
trend. Setelah memiliki pengetahuan, informan memilih media berdasarkan kebutuhan mereka. Misalnya, Gibran dan Raja yang lebih
memilih menggunakan twitter karena media tersebut dapat memenuhi
kebutuhan kedua informan akan media interaksi, informasi dan hiburan. Sementara informan Riko, Dilla dan Lucky lebih memilih menggunakan
facebook sebagai media interaksi yang efektif dan media informasi yang tepat.
2. Sebelum mengetahui adanya Undang-Undang ITE dan netiket sebagian
remaja Gibran, Dilla dan Raja memiliki kualitas self disclosure negatif
karena sering mengumbar masalah pribadi, menyindir, memaki dan berbahasa kasar saat berinteraksi dengan sesama pengguna media sosial.
Sedangkan remaja yang memiliki kualitas self disclosure positif Riko dan
Lucky mampu mengontrol diri saat mengumbar masalah pribadi atau saat berinteraksi di media sosial. Setelah mengetahui adanya UU ITE dan
netiket, perilaku remaja berubah dan dapat menggunakan media sosial sesuai fungsinya. Kebanyakan aktivitas remaja di media sosial tidak
mendapat pengawasan orang tua. 3.
Konstruksi pemahaman remaja yang terlibat dalam penelitian ini terjadi melalui 2 proses yaitu proses akomodasi dan asimilasi. Proses konstruksi
pemahaman secara asimilasi berhasil dialami oleh informan yang memiliki kualitas
self disclosure positif Riko dan Lucky. Sedangkan proses akomodasi dialami oleh informan yang sebelumnya memiliki kualitas
self disclosure negatif Gibran, Dilla dan Raja. Kualitas self disclosure pada
104
Universitas Sumatera Utara