94
Universitas Sumatera Utara
Dikatakan “berhasil” apabila informan mengalami perubahan pengetahuan yang lebih baik setelah melalui proses konstruksi pemahaman. Kemudian
informan mengalami perubahan perilaku yang semakin baik dan menerapkan pemahaman mereka saat beraktivitas di media sosial.
Kategori cukup berhasil
Dikatakan “cukup berhasil” apabila informan mengalami perubahan pengetahuan yang lebih baik setelah melalui proses konstruksi pemahaman.
Namun pemahaman tersebut belum diterapkan sepenuhnya saat beraktivitas di media sosial.
Kategori tidak berhasil
Dikatakan “tidak berhasil” apabila informan merupakan individu yang pasif dan segala pengalaman yang informan alami tidak menambah pemahaman
informan.
Tabel 4.4 Konstruksi Pemahaman Remaja tentang Etika komunikasi di Media Sosial
No Nama informan Konstruksi Pemahaman Remaja
1. Gibran
Cukup Berhasil 2.
Dilla Cukup Berhasil
3. Riko
Berhasil 4.
Raja Cukup Berhasil
5. Lucky
Berhasil
Sumber: Peneliti
4.1.4.4 Pemahaman Remaja Tentang Etika Komunikasi di Media Sosial
Peneliti menemukan terdapat 2 macam hasil konstruksi yang dialami informan. Kelima informan memiliki pemahaman sendiri dalam memberi makna
terhadap etika komunikasi di media sosial Sebagian informan mengetahui adanya Undang-Undang ITE namun sebagian lagi tidak mengetahui adanya Undang-
Undang ITE. Selain Undang-Undang ITE ada juga netiket yang dijadikan acuan
para informan sebagai landasan norma bermasyarakat di dunia maya. Kedua hal tersebut merupakan bidang ilmu yang membahas tentang etika dan norma di
Universitas Sumatera Utara
95
Universitas Sumatera Utara
internet. Perbedaannya terletak pada kekuatan hukumnya. Undang-Undang ITE diciptakan untuk melindungi hak warga negara Indonesia yang merasa dirugikan
atas kehadiran internet. Peneliti menemukan ada 3 dari 5 informan Gibran, Dilla dan Raja yang
memiliki pengetahuan tentang etika komunikasi berdasarkan UU ITE. Jadi, untuk informan yang mengetahui UU ITE, peneliti hanya fokus membahas UU ITE
No.11 tahun 2008 sebatas pasal 27-28 saja, agar penelitian ini lebih terarah. Artinya peneliti tidak membahas secara keseluruhan UU ITE yang sebenarnya
terdiri dari 13 BAB dan 54 Pasal. Sebab, tindakan-tindakan hukum yang dimuat pada pasal 27-28 merupakan tindakan yang paling sering dilanggar oleh para
netizen. Sementara itu, peneliti menilai bahwa kelima informan memiliki pemahaman yang baik tentang
netiket. Gibran mengetahui adanya UU ITE ketika ia mengikuti
trending topic di twitter yang memberitakan tentang seorang tukang sate terjerat kasus hukum
karena menyebarkan foto tidak pantas mirip Presiden Jokowi pada pertengahan tahun 2015. Sejak saat itu ia mencari informasi tentang UU ITE melalui internet
dan ia memperoleh gambaran mengenai perbuatan hukum yang dilarang oleh UU ITE dari sang kakak. Meskipun Gibran tidak dapat menyebutkan pasal per pasal
namun Gibran dapat menjelaskan perbuatan hukum apa saja yang diatur dalam UU ITE tersebut. Gibran mengatakan bahwa UU ITE melarang pengguna internet
untuk melakukan perbuatan penipuan, fitnah, pencemaran nama baik dan pencemaran atas Suku Agama Ras dan antar golongan SARA. Informan yang
bernama Dilla juga memiliki pendapat yang sama tentang perbuatan yang dilarang dalam Undang-Undang ITE. Peneliti menilai bahwa secara tidak langsung Gibran
dan Dilla telah menguasai pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik serta pasal 28 ayat 1 tentang tindakan yang merugikan seseorang lewat berita bohong
dan ayat 2 tentang perbuatan yang menimbulkan rasa benci berdasarkan SARA. Sementara itu, pemahaman Raja tentang UU ITE jauh lebih baik dibandingkan
dengan Gibran dan Dilla meskipun Raja tidak dapat menyebutkannya pasal per pasal.
Menurut Raja, Undang-Undang ITE mengatur tentang hal-hal apa saja yang melanggar aturan di internet. Misalnya, tidak boleh melakukan fitnah, pencemaran
Universitas Sumatera Utara
96
Universitas Sumatera Utara
nama baik, penipuan, membagi informasi yang tidak jelas sumbernya. Melakukan penghinaan
yang menyangkut
SARA dan
tidak boleh
mengakses, menyebarluaskan atau membuat konten pornografi. Peneliti menilai bahwa Raja
telah memahami UU ITE pasal 27 ayat 1 tentang kesusilaan, pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik, pasal 28 ayat 1 tentang berita bohong fitnah dan
pasal 28 ayat 2 tentang penghinaan SARA. Gambaran pemahaman kelima informan tentang
netiket juga terlihat dari hasil wawancara yang telah dilakukan. Informan yang bernama Gibran
mengatakan bahwa sebagai pengguna internet seseorang harus mengetahui hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Menurutnya, pengguna media sosial lebih
baik menggunakan bahasa yang sopan, tidak boleh menyinggung SARA, tidak boleh memfitnah dan melakukan pencemaran nama baik. Informan yang bernama
Dilla juga memiliki pendapat yang tidak jauh berbeda dengan Gibran yang mengatakan bahwa pengguna media sosial lebih baik tidak mengunggah tulisan
yang bersifat provokatif yang dapat memicu konflik. Lebih baik menerbitkan tulisan-tulisan yang bersifat informatif atau motivasi agar berguna bagi orang lain.
Kemudian Dilla menambahkan jika pengguna media sosial tidak boleh melakukan fitnah, penipuan, berkomentar tentang SARA dan menggunakan sumber yang
jelas berbagi informasi. Informan yang bernama Riko berpendapat bahwa sebagai pengguna media
sosial, seseorang harus memiliki tata krama sebagaimana layaknya hidup di dunia nyata. Penting baginya untuk selalu menjaga gaya bicara yang sopan saat
berkomunikasi dengan lawan bicara di media sosial. Pengguna media sosial tidak boleh mengakses pornografi, Riko juga mengatakan menggunakan bahasa yang
mudah dipahami juga termasuk salah satu etika dalam berkomunikasi di media sosial. Begitu juga dengan Lucky yang memiliki pendapat yang sama dengan
Riko. Namun, Lucky menambahkan bahwa penting bagi pengguna media sosial untuk memperhatikan gaya menulis saat berinteraksi di media sosial agar tidak
terjadi kesalahpahaman. Menulis informasi yang berasal dari sumber yang jelas juga merupakan salah satu tindakan beretika agar informasi yang disebarkan
memiliki kejelasan dan tidak terjadi pencemaran nama baik dan fitnah.
Universitas Sumatera Utara
97
Universitas Sumatera Utara
Belajar dari pengalamannya, informan yang bernama Raja mengatakan bahwa setiap penggguna media sosial harus dapat menggunakan media sosial
secara bijak. Membedakan antara ruang privasi dengan publik merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan agar seseorang dapat menahan diri untuk tidak
mengumbar masalah pribadi di media sosial. Sebab, mengunggah masalah pribadi di media sosial dapat menimbulkan masalah baru. Menulis sesuatu di media sosial
tidak boleh sampai menyinggung pihak tertentu yang akhirnya tulisan tersebut dapat menimbulkan pencemaran nama baik bagi pihak yang tersinggung.
Peneliti menetapkan standarisasi yang dapat mengukur sejauh mana kelima informan memahami
netiket. Peneliti menggolongkan pemahaman kelima informan kedalam 3 kategori informan. Kategori-kategori tersebut yaitu, kategori
informan yang “paham”, “kurang paham” dan “tidak paham”. Kategori tersebut akan menunjukkan bagaimana pemahaman remaja tentang etika komunikasi,
apakah berdasarkan UU ITE atau Netiket. Keterangan masing-masing kategori
yaitu sebagai berikut:
Paham Kategori “paham” adalah informan yang mengetahui adanya UU ITE No.
11 tahun 2008. Informan dapat menjelaskan pengetahuannya tentang pasal 27 dan pasal 28 secara rinci seperti yang termaktub dalam UU tersebut.
Kategori “paham” juga ditujukan bagi informan yang dapat menjelaskan minimal 3 hal tentang etika komunikasi atau
netiket yang diketahui.
Kurang paham Kategori
“Kurang Paham” ini ditujukan kepada informan yang mengetahui adanya UU ITE namun tidak dapat menjelaskan pasal 27-28 secara rinci
atau berurut. Informan hanya dapat mendeskripsikan pemahamannya tentang UU ITE tetapi esensinya sama seperti pasal 27-28. Kategori
“Kurang Paham” ini juga ditujukan untuk informan yang hanya bisa menjelaskan kurang dari 3 hal tentang etika komunikasi atau
netiket.
Kategori tidak paham Kategori “tidak paham” ditujukan kepada informan yang tidak mengetahui
UU ITE pasal 27-28 No.11 Tahun 2011 dan tidak dapat menjelaskan pemahamannya tentang UU ITE pasal 27-
28 tersebut. Kategori “tidak
Universitas Sumatera Utara
98
Universitas Sumatera Utara
paham” juga ditujukan kepada informan yang tidak memiliki pemahaman sama sekali tentang etika komunikasi atau
netiket.
Tabel 4.5 Pemahaman Remaja tentang Etika Komunikasi di Media Sosial
Nama Informan Pemahaman tentang Etika Komunikasi di
Media Sosial UU ITE
Netiket
1. Gibran Fadillah
Kurang Paham Paham
2. Fadillah Maharani
Kurang Paham Paham
3. Arariko Pasa
Tidak Paham Paham
4. Raja Arif Hidayah
Kurang Paham Paham
5. Luky Andriansyah
Tidak Paham Paham
Sumber: Peneliti
4.2 Pembahasan