Konstruksi Pemahaman Remaja Tentang Etika Komunikasi di Media Sosial

91 Universitas Sumatera Utara

4.1.4.3 Konstruksi Pemahaman Remaja Tentang Etika Komunikasi di Media Sosial

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, 3 dari 5 informan mengalami konstruksi pemahaman tentang etika komunikasi di media sosial. Adapun 3 informan yang sangat menonjol perubahannya tersebut adalah Gibran, Dilla dan Raja. Sedangkan 2 informan lainnya yaitu Riko dan Lucky mengalami rekonstruksi pemahaman yang membuat pemahaman keduanya tentang etika semakin baik. Hasil wawancara telah menunjukkan bahwa hampir semua informan menggunakan facebook sebagai media pribadi untuk kepentingan pribadi mereka. Bentuk kegiatan yang paling banyak dilakukan oleh informan adalah pengungkapan diri dibandingkan berinteraksi dengan pengguna media sosial lain. Padahal fungsi utama facebook dan twitter adalah sebagai media komunikasi. Latar belakang keluarga merupakan faktor yang mendorong informan menggunakan media sosial sebagai media pengungkapan diri. Rata-rata, para informan berasal dari lingkungan keluarga yang “tidak sehat”. Peneliti akan membahas Gibran, Dilla dan Raja terlebih dahulu karena ketiga informan ini yang paling terlihat progress proses konstruksi pemahamannya. Pembentukan pemahaman dapat terjadi melalui proses akomodasi dan asimilasi. Proses akomodasi dialami oleh informan Gibran, Dilla dan Raja. Kritikan terhadap aktivitas informan yang senang mengunggah kata-kata kasar dan membuka masalah pribadi di ruang publik tidak dianggap serius oleh ketiga informan ini. Sebab, para informan berpikir bahwa hal yang dilakukan adalah hal yang wajar dilakukan anak muda zaman sekarang dan informan merasa hal tersebut adalah pengalaman baru yang memuaskan hatinya. Awalnya informan tidak berpikir bahwa tindakan mereka akan mendapat reaksi dari orang sekitar bahkan menimbulkan konflik. Pengalaman informan berkonflik dengan netizen lain berdampak hingga hubungan ke dunia nyata. Misalnya, Dilla yang berkonflik dengan temannya. Konflik dimulai dari perang status di media sosial dan akhirnya hal tersebut merusak hubungannya dengan temannya tersebut. Dilla pun pernah dijauhi oleh teman- temannya karena sikapnya yang “frontal” di media sosial. Dalam hal ini peneliti menilai pihak keluarga sangat berperan aktif dalam membentuk pemahaman ketiga informan. Pihak keluarga seperti orang tua, om Universitas Sumatera Utara 92 Universitas Sumatera Utara dan tante serta para sepupu yang terkoneksi dengan informan di facebook turut memberikan nasihat kepada informan. Bentuk peran aktif keluarga ditunjukkan dengan cara membuat akun facebook dan ikut mengawasi aktivitas informan. Meskipun cara tersebut belum sepenuhnya berhasil mengubah perilaku informan agar tidak bekata-kata kasar atau curhat di media sosial, namun komunikasi yang terus menerus dilakukan keluarga tersebut memberikan sumbangan pengetahuan bagi informan tentang etika. Gibran, Dilla dan Raja merupakan remaja yang aktif. Gibran, Dilla dan Raja selalu mengikuti perkembangan yang ada di media sosial. Ketiga remaja ini peka terhadap setiap inovasi yang ada disekitar mereka, buktinya ketiga informan tersebut mengetahui adanya kasus hukum yang menjerat para pengguna media sosial. Informasi yang diperoleh informan dari media sosial itu merangsang kembali struktur kognitif ketiga informan. Kasus-kasus tersebut seperti pengingat atas nasihat yang diberikan oleh orang-orang yang telah memberi nasihat kepada informan. Kasus yang sempat menyita perhatian publik tersebut ternyata menyita perhatian ketiga informan juga. Sebab, informan seperti disadarkan oleh kasus yang menggambarkan peristiwa nyata dari penegakan hukum yang menjerat pengguna media sosial. Rasa ingin tahu pun mendorong informan untuk mengetahui lebih lanjut tentang kasus hukum yang menghebohkan itu. Ketiga informan mencari tahu lewat beragam pemberitaan online atau hanya sekedar mengikuti perkembangan kasusnya lewat kicauan para netizen di twitter. Sejak munculnya kasus tersebut, akhirnya informan mengetahui bahwa telah ada Undang-Undang yang mengatur tentang transaksi elektronik di dunia maya. Sejak mengetahui adanya UU ITE tersebut Gibran, Dilla dan Raja mulai mengubah perilakunya saat menggunakan media sosial. Peneliti menilai media baru merupakan salah satu media pendukung yang dapat membantu informan untuk mengkonstruk pemahamannya tentang etika komunikasi. Selain itu, peneliti juga melihat keberhasilan dari komunikasi antarpribadi dalam proses rekonstruksi pemahaman yang dilakukan pihak keluarga. Rekonstruksi pemahaman dilakukan dengan cara terus memberi nasihat secara berulang kepada informan jika informan melakukan tindakan negatif di media sosial. Misalnya Gibran, setelah mengetahui adanya UU ITE, informan justru senang berdiskusi dengan sang kakak untuk Universitas Sumatera Utara 93 Universitas Sumatera Utara membahas hal tersebut. Dilla dan Raja juga lebih dapat menerima nasihat yang diberikan oleh orang-orang disekitarnya dan pengetahuan yang informan dapatkan dari berbagai forum diskusi. Sehingga skema pengetahuan yang informan miliki semakin berkembang. Setelah ketiga informan mengetahui adanya UU ITE dan mengetahui nilai- nilai kesopanan yang harus dijalankan sebagai bagian dari anggota masyarakat maya, ketiganya pun mengurangi aktivitas self disclosure di facebook atau di twitter. Namun karena tuntutan pergaulan, informan masih berkata-kata kasar. Sehingga ketiga informan ini membentuk skema baru yang dianggap sesuai dengan pandangan mereka. Kini informan menyeleksi kepada siapa mereka dapat bersenda gurau dengan gaya bahasa yang “liar”, misalnya hal tersebut dilakukan hanya kepada teman-teman dekat saja. Sementara proses pembentukan pemahaman Riko dan Lucky terjadi melalui proses asimilasi dimana kedua informan ini dapat mengintegrasikan persepsi atau pengalaman baru mereka ke dalam skema pengetahuan yang telah dimiliki. Artinya, kedua informan telah mampu menangkap rangsangan baru tanpa ada proses penolakan atau ketidakcocokan terhadap skema yang telah ada. Misalnya, Riko pernah mengalami masalah komunikasi dimana ada seorang pengguna media sosial yang berkata-kata tidak sopan terhadapnya. Pengalaman lain juga pernah dialami oleh Lucky. Ia pernah berkomunikasi dengan temannya lewat facebook dan pada saat itu Lucky menggunakan huruf kapital. Lucky tidak tahu bahwa berkomunikasi dengan teks yang menggunakan huruf kapital adalah simbol tidak sopan, temannya pun merasa tersinggung dengan perbuatan Lucky tersebut. Lucky baru mengetahui makna simbol tersebut setelah ia kuliah di jurusan komunikasi dan banyak berdiskusi dengan teman organisasinya. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis tersebut peneliti menggolongkan informan kedalam 3 kategori informan. Ketiga kategori tersebut menggambarkan berhasil atau tidaknya proses konstruksi pemahaman remaja tentang etika komunikasi. Adapun 3 kategori tersebut adalah “berhasil”, “cukup berhasil” dan “tidak berhasil”.  Kategori berhasil Universitas Sumatera Utara 94 Universitas Sumatera Utara Dikatakan “berhasil” apabila informan mengalami perubahan pengetahuan yang lebih baik setelah melalui proses konstruksi pemahaman. Kemudian informan mengalami perubahan perilaku yang semakin baik dan menerapkan pemahaman mereka saat beraktivitas di media sosial.  Kategori cukup berhasil Dikatakan “cukup berhasil” apabila informan mengalami perubahan pengetahuan yang lebih baik setelah melalui proses konstruksi pemahaman. Namun pemahaman tersebut belum diterapkan sepenuhnya saat beraktivitas di media sosial.  Kategori tidak berhasil Dikatakan “tidak berhasil” apabila informan merupakan individu yang pasif dan segala pengalaman yang informan alami tidak menambah pemahaman informan. Tabel 4.4 Konstruksi Pemahaman Remaja tentang Etika komunikasi di Media Sosial No Nama informan Konstruksi Pemahaman Remaja 1. Gibran Cukup Berhasil 2. Dilla Cukup Berhasil 3. Riko Berhasil 4. Raja Cukup Berhasil 5. Lucky Berhasil Sumber: Peneliti

4.1.4.4 Pemahaman Remaja Tentang Etika Komunikasi di Media Sosial